Sidang Buddhis

(Dialihkan dari Sidang agung Buddhis)

Sidang Buddhis (dikenal juga sebagai Konsili Buddhis, Sidang Agung, Sidang Agung Agama Buddha, atau Sidang Agung Sangha) adalah sidang umum yang membahas tentang penetapan doktrin agama Buddha dan pembagian aliran-aliran keagamaannya. Dua sidang agung Buddhis pertama diadakan sebelum masa pemerintahan Asoka pada abad ke-3 sebelum Masehi.[1] Daftar dan penomoran Sidang Agung Buddhis beragam baik antara maupun di dalam kelompok ajaran itu sendiri. Penomoran yang dipakai di sini menggunakan penulisan Barat.

Sidang Pertama (sekitar 543 SM) sunting

Menurut naskah-naskah dari seluruh kelompok Buddhis, Sidang Agung agama Buddha pertama diadakan setelah Buddha mencapai mahaparinirvana, ditanggali oleh sebagian besar dari kelompok yang ada sekarang ini sekitar tahun 400 SM, di bawah perlindungan raja Ajatasatru dengan pimpinan bhikkhu Mahakasyapa, di gua Sattapanni Rajgriha (sekarang Rajgir). Tujuannya adalah mempertahankan perkataan Buddha (sutta) dan disiplis kebiaraan atau peraturan (Vinaya). Sutta-sutta itu dibaca ulang oleh Ananda, dan Vinaya dibacakan oleh Upali. Menurut beberapa sumber, Abhidhamma Pitaka, juga disertakan. Sangha juga membuat keputusan tanpa bantahan guna menjaga seluruh peraturan Vinaya, bahkan hingga ke peraturan yang lebih kecil sekalipun.

Sidang Kedua (sekitar 443 SM) sunting

Catatan sejarah untuk apa yang disebut sebagai "Sidang Agung Buddhis ke-2" utamanya diperoleh Vinaya kanon dari berbagai kelompok (Theravāda, Sarvāstivāda, Mūlasarvāstivāda, Mahāsanghika, Dharmaguptaka, dan Mahīśāsaka). Dalam beberapa hal, catatan-catatan ini ditemukan pada bagian akhir Skandhaka dalam Vinaya. Walau tidak setuju pada bagian-bagian terperinci, kelompok-kelompok ini biar bagaimanapun setuju pada garis besar tersebut.

Sekitar 100 atau 110 tahun setelah wafatnya Buddha, seorang bhikkhu bernama Yasa, ketika mengunjungi Vesālī, memerhatikan pelaksanaan lalai dari sekelompok bhikkhu setempat. Sebuah daftar dengan "sepuluh pokok" pun diberikan; hal terpenting adalah bahwa bhikkhu-bhikkhu Vesālī, yang dikenal sebagai Vajjiputtaka, setuju untuk menerima uang. Kontroversi yang penting pun muncul ketika Yasa menolak untuk mengikuti kebiasaan ini. Ia diusut oleh Vajjiputtaka, dan membela dirinya di depan publik dengan mengutip beberapa bagian dari kanon menyalahkan penggunaan uang oleh biara-biara. Berharap untuk menyelesaikan permasalahan, ia mengumpulkan dukungan dari bhikkhu-bhikkhu yang berasal dari wilayah lain, terutama yang berasal dari barat dan selatan. Sebuah kelompok diizinkan untuk pergi ke Vesālī guna menyelesaikan permasalahan. Setelah upaya pendekatan yang keras, pertemuan diadakan, dihadiri oleh 700 bhikkhu. Sebuah sidang yang dihadiri oleh delapan bhikkhu-pun ditunjuk untuk mempertimbangkan permasalahan tersebut. Kelompok ini dibentuk dengan empat bhikkhu setempat dan empat bhikkhu 'dari barat'; tetapi beberapa bhikkhu lokal telah secara diam-diam dipengaruhi guna mendukung kelompok barat[butuh rujukan]. Setiap permasalahan dari sepuluh pokok dirujuk kembali kepada teladan kanon. Keputusan komite berlawanan dengan bhikkhu-bhikkhu Vajjiputtaka. Mereka mempersembahkan penemuan itu kepada majelis, yang sepakat menyetujui. Catatan kanon berakhir di sini.

Pada hakekatnya, para filolog menyetujui bahwa sidang agung kedua ini merupakan peristiwa bersejarah..[2]

Sidang Ketiga (sekitar 250 SM) sunting

Dengan perbedaan tegas mengenai keseragaman catatan mengenai Sidang agung kedua, terdapat catatan mengenai kemungkinan "Sidang agung ketiga". Perbedaan versi ini berfungsi guna pengesahan penemuan akan satu kelompok tertentu atau lainnya.

Menurut komentar dan silsilah Theravāda, Sidang agung ketiga diadakan oleh raja Ashoka dari Mauria di Pātaliputra (sekarang dikenal sebagai Patna), di bawah kepemimpinan bhikkhu Moggaliputta Tissa. Tujuannya adalah untuk menjernihkan gerakan Buddhis, khususnya dari kelompok berupaya untuk mengambil keuntungan yang terpikat karena perlindungan keluarga kerajaan. Raja menanyakan kepada bhikkhu-bhikkhu yang dicurigai apa yang telah diajarkan Buddha, dan mereka menyatakan bahwa ia mengajarkan pandangan-pandangan seperti keabadian, dll., sebagaimana ditentukan dalam Brahmajala Sutta. Ia menanyakan bhikkhu-bhikkhu yang berbudi luhur, dan mereka menjawab bahwa Buddha adalah seorang "Guru akan Analisis" (Vibhajjavādin), sebuah jawaban yang dipastikan oleh Moggaliputta Tissa. Sidang dilanjutkan dengan membaca naskah-naskah sekali lagi, menambahkan ke dalam kanon, buku Moggaliputta Tissa sendiri, Kathavatthu, sebuah diskusi akan berbagai ketidaksepakatan pandangan Buddhis yang sekarang berada dalam Abhidhamma Pittaka aliran Theravāda.

Para utusan juga dikirim ke berbagai negara guna menyebarkan ajaran Buddhisme, jauh hingga ke kerajaan Yunani di Barat (khususnya ke Kerajaan Greko-Baktrian yang bertentangga, dan mungkin lebih jauh lagi sebagaimana disebutkan dalam catatan yang ditinggalkan di tiang Ashoka). Menurut Frauwallner (Frauwallner, 1956), beberapa dari misionaris ini bertanggung jawab akan pendirian sekolah-sekolah di berbagai bagian di India: Majjhantika adalah nenek moyang suku Sarvastivād Kasmir; Yonaka Dhammarakkhita mungkin seorang pendiri kelompok Dharmaguptaka; Mahādeva, yang dikirim ke negara Mahisa mungkin menjadi pendiri Mahisasaka; dan beberapa guru berkelana ke pegunungan Himalaya di mana mereka mendirikan kelompok Haimavata, termasuk Kassapagotta tertentu, yang mungkin berhubungan dengan Kasyapiya. Relik dari beberapa bhikkhu Haimavata telah digali di Vedisa di India Tengah.[3] Misionaris yang paling terkenal, dan menjadi pusat perhatian dari sejarah-sejarah Theravada, adalah Mahinda, yang berkelana ke Sri Lanka di mana ia mendirikan kelompok yang kita kenal sekarang ini sebagai Theravada.

Dipavamsa milik kelompok Theravāda mencatat Sidang berbeda dengan sebutan "Pengucapan Agung" (Inggris: Great Recital) (Mahāsangiti), yang menurut pernyataan diadakan oleh Vajjiputtaka yang telah melakukan perombakan setelah kekalahan mereka pada Sidang agung kedua. Dipavamsa mengkritik anggota Mahasangitika (yang sama dengan Mahasanghika) karena menolak berbagai naskah sebagai non-kanonikal: [Vinaya] Parivāra; 6 kitab Abhidhamma; Patisambhida; Niddesa; sebagian dari Jataka dan beberapa ayat. (Dipavamsa 76, 82)

Mahāsanghika, untuk bagian mereka, mengingat hal-hal secara berbeda: mereka menduga, dalam Sāriputraparipriccha bahwa terdapat upaya untuk terlalu memperluas Vinaya tua. Vinaya dair kelompok Mahasanghika pada dasarnya memberikan catatan yang sama mengenai Sidang agung kedua selayaknya kelompok lain, contoh: mereka berada pada sisi yang sama.

Catatan yang sama sekali berbeda mengenai asal-mula Mahāsanghika ditemukan dalam karya-karya kelompok Sarvāstivāda. Vasumitra menyampaikan sebuah perselisihan dalam Pātaliputra pada masa Ashoka lewa lima pokok sesat: bahwa seorang Arahat dapat memiliki pancaran pada malam hari; bahwa mereka dapat memiliki keragu-raguan; bahwa mereka dapat diajarkan oleh orang lain; bahwa mereka dapat memiliki pengetahuan yang kurang; dan jalan dapat dibangkitkan dengan menjeritkan "Sangat menderita!" (Inggris: What suffering). Pokok-pokok serupa didiskusikan dan dikutuk dalam Kathavatthu karya Moggaliputta Tissa, tetapi tidak terdapat pernyataan mengenai Majelis ini dalam sumber-sumber Theravada. Kemudian Mahavibhasa mengembangkan cerita ini menjadi sebuah kampanye fitnah yang mengerikan menentang pendiri Mahasanghika, yang diidentifikasi sebagai "Mahadewa". Versi peristiwa ini menekankan kemurnian akan Sarvastivadin Kasmiri, yang digambarkan sebagai keturunan dari para arahat yang melarikan diri dari penganiayaan yang disebabkan oleh Mahadewa.

Sidang Keempat sunting

Pada waktu sidang agung agama Buddha keempat, agama Buddha telah lama terpecah menjadi kelompok-kelompok berbeda. Theravada telah melaksanakan Sidang agung Buddhis keempat pada abad terakhir SM di Tambapanni, Sri Lanka, di Aloka (sekarang Vihara Alu) selama pemerintahan Raja Vattagamani-Abaya. Akan tetapi harus dijelaskan bahwa kepala suku setempat yang tidak diketahui namanya memimpin sidang dan bukan raja, oleh karena ia adalah pengikut setia kelompok Abayagir (sebuah sekte Mahayana. Alasan utama lainnya dari pelaksanaan Sidang agung adalah situasi politik dalam negeri yang tidak stabil oleh karena penyerangan terus menerus yang membuat raja membunuh dirinya sendiri karena melarikan diri berulang kali juga karena kelaparan yang luar biasa. Dikatakan pula adanya pengabdian untuk menulis seluruh Kanon Pali, yang sebelumnya dilestarikan melalui ingatan. Tidak terdapat catatan siapa yang memimpin Sidang agung ini, hal ini sekiranya merupakan alasan kemunduran Buddhisme pada masa itu, dan upaya bersama oleh para bhikkhu guna mempertahankan kepercayaan dalam bentuk murni sehingga tidak memerlukan seorang pemimpin (hanya fakta bahwa bhikkhu Mahavihara contoh: kelompok Theravada disebut mengambil bagian dalam pengucapan dan kompilasi ini).

Sidang agung keempat lainnya diadakan dalam tradisi Sarvastivada, yang menurut catatan dipimpin oleh kaisar Kushan Kanishka, pada tahun 78 Masehi di Jalandhar atau di Kashmir. Dikatakan bahwa Kanishka mengumpulkan lima ratus [[bhikkhu di Kashmir, dipimpin oleh Vasumitra, guna sistematisasi naskah-naskah Abhidhamma versi Sarvastivada]], yang diterjemahkan dari bahasa daerah Prakrit awal (seperti Gandhari dalam naskah Kharosthi) menjadi bahasa klasik Sanskerta. Dikatakan pula bahwa selama sidang agung, tiga ratus ribu ayat dan lebih dari sembilan juta pernyataan dirangkum, sebuah proses yang memakan waktu dua belas tahun penyelesaian. Walaupun kelompok Sarvastivada tidak lagi ada dalam bentuk kelompok independen, tradisi-tradisi kelompok ini diwarisi oleh tradisi Mahayana. Monseigneur Profressor Etienne Lamotte, seorang Buddhologis terkenal, menyatakan bahwa Sidang agung yang diadakan di Kanishka adalah ilusi.[4] Akan tetapi, David Snellgrove, seorang Buddhologis terkenal lainnya, menganggap Sidang agung ketiga dalam catatan Theravada dan Sidang agung keempat dalam catatan Sarvastivada "equally tendentious", menggambarkan ketidakpastian kebenaran akan sebagian besar cerita-ceritanya.[5]

Sidang Kelima (Sidang Buddhis Theravāda tahun 1871) sunting

Sidang agung agama Buddha lainnya, kali ini dipimpin oleh bhikkhu-bhikkhu Theravada dan mengambil tempat di Mandalay, Myanmar, pada tahun 1871 di bawah kekuasaan Raja Mindon. Tujuan utama dari pertemuan ini adalah membaca ulang seluruh ajaran Buddha dan memeriksa secara terperinci guna mengetahui apa ada daripadanya yang telah berubah, diputarbalikkan atau diabaikan. Sidang ini dipimpin oleh tiga Tetua, Yang Mulia Mahathera Jagarabhivamsa, Yang Mulia Narindabhidhaja, dan Yang Mulia Mahathera Sumangalasami yang didampingi lebih dari dua ribu empat ratus bhikkhu (2.400). Pembacaan Dhamma secara gabungan berlangsung selama lima bulan. Sidang ini juga yang oleh karenanya menyetujui seluruh Tripitaka ditulis untuk warisan pada tujuh ratus dan dua puluh sembilan lempeng pualam dalam Naskah Myanmar sebelum pembacaannya.[6] Tugas bersejarah ini dilakukan oleh para bhikkhu dan banyak pengrajin handal yang pada akhir penyelesaian, lempengan ini ditempatkan pada miniatur pagoda-pagoda pitaka yang indah di sebuah tempat di pelataran Pagoda Kuthodaw milik Raja Mindon yang berada di kaki Bukit Mandalay di mana tempat itu dan yang disebut 'buku terbesar di dunia' sekarang ini berada. Sidang ini tidak secara umum dikenal di luar negara Myanmar.[7]

Sidang Keenam (Sidang Buddhis Theravāda tahun 1954) sunting

Sidang agung keenam dilaksanakan di Kaba Aye di Yangon (dahulu dikenal dengan nama Rangoon) pada tahun 1954, 83 tahun setelah Sidang ke-5 yang diadakan di Mandalay. Sidang ini disponsori oleh Pemerintahan Myanmar yang dipimpin oleh Perdana Menteri pada saat itu, Yang Mulia U Nu. Ia mengizinkan pembangunan Maha Passana Guha, "gua agung" (Inggris: great cave), sebuah gua buatan seperti Gua Sattapani di India di mana Sidang agung pertama kali dilaksanakan. Pada penyelesaiannya, Sidang agung dimulai tanggal 17 Mei 1954.

Seperti pada kasus sidang-sidang terdahulu, tujuan utama Sidang ini adalah untuk menegaskan dan mempertahankan keaslian Dhamma dan Vinaya. Akan tetapi sidang ini merupakan sesuatu yang unik dalam catatan bahwa bhikkhu-bhikkhu yang mengambil bagian datang dari delapan negara. Dua ribu lima ratus bhikkhu yang mempelajari Theravada datang dari Myanmar, Kamboja, India, Laos, Nepal, Sri Lanka dan Thailand. Yang Mulia Mahasi Sayadaw ditugaskan untuk mengemban tugas mulia untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diperlukan mengenai Dhamma oleh Yang Mulia Bhadanta Vicittasarabhivamsa yang menjawab seluruhnya secara arif dan bijaksana. Pada saat sidang ini dimulai, seluruh negara-negara peserta telah memiliki Tripiṭaka berbahasa Pali yang telah diterjemahkan ke dalam naskah berbahasa setempat, dengan pengecualian oleh India.

Pelafalan yang dilakukan turun-temurun mengenai Naskah-naskah Buddhis memakan waktu dua tahun dan Tripiṭaka beserta sastra sejenis akan seluruh naskah tersebut dengan susah payah diperiksa, perbedaan-perbedaan dicatat, dan pembetulan yang diperlukan dibuat, dan seluruh terjemahan kemudian disusun. Tidak ditemukan banyak perbedaan isi dari naskah-naskah tersebut. Akhirnya, setelah persetujuan resmi oleh Sidang, seluruh kitab-kitab Tipitaka dan komentar-komentarnya dipersiapkan untuk dicetak dengan percetakan modern dan diterbikan dalam Bahasa Myanmar. Pencapaian penting ini dimungkinkan melalui upaya keras dari dua ribu lima ratus bhikkhu dan orang-orang awam. Karya mereka berakhir pada malam Waisak, 24 Mei 1956, tepat dua dan setengah millenium setelah Parinibbana Buddha, menurut tradisi penanggalan Theravada.

Referensi sunting

  1. ^ Khairiah (2018). Agama Budha (PDF). Pekanbaru: Kalimedia. hlm. 8. ISBN 978-602-6827-86-9. 
  2. ^ "Buddhist council." Encyclopædia Britannica. Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2008.
  3. ^ M. Willis, "Buddhist Saints in Ancient Vedisa", Journal of the Royal Asiatic Society 11 (2001): 219-28
  4. ^ Teaching of Vimalakirti, Pali Text Society,page XCIII
  5. ^ Indo-Tibetan Buddhism. Snellgrove, David. Shambhala. Boston:2003. pg. 46
  6. ^ Bollée in Pratidanam (Kuiper Festschrift), pub Mouton, the Hague/Paris, 1968
  7. ^ Mendelson, Sangha and State in Burma, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1975, pages 276f

Pustaka sunting

  • Cousins, L. S. (2001). On the Vibhajjavadins. Buddhist Studies Review, 18 (2), 131-182.
  • Dutt, N. (1998). Buddhist Sects in India. New Delhi: Motilal Banarsidass.
  • Frauwallner, E. (1956). The Earliest Vinaya and the Beginnings of Buddhist Literature.
  • Lamotte, E. (1976). History of Indian Buddhism. Paris: Peeters Press.
  • Law, B. C. (1940, reprinted 1999). The Debates Commentary. Oxford: Pali Text Society.
  • Mukherjee, Biswadeb (1994). The Riddle of the First Buddhist Council - A Retrospection in Chung-Hwa Buddhist Journal, No.7, pp. 452~473, 1994
  • Prebish, J. N. (1977). Mahasamghika Origins. History of Religions, pp. 237–72.
  • Willis, M. (2001). Buddhist Saints in Ancient Vedisa. Journal of the Royal Asiatic Society, 11 (2).

Lihat pula sunting

  • The World Fellowship of Buddhists (WFB) holds frequent meetings in which many Buddhist groups are involved. However, the meetings are of a differing nature from the Buddhist Councils mentioned above.