Sasadu

rumah tradisional di Indonesia
(Dialihkan dari Sesadu)

Sasadu merupakan rumah adat suku bangsa Sahu di Halmahera Barat yang juga merupakan suku bangsa asli dan tertua yang ada di daerah tersebut. Di rumah ini, masyarakat adat Sahu biasa berkumpul dalam pertemuan-pertemuan. Di Halmahera Barat, rumah ini lazim ditemui di setiap desa.[1] Penggunaan Sasadu sebagai lokasi pertemuan masyarakat biasanya terkait dengan diselenggarakannya berbagai acara, misalnya ritual atau upacara adat seperti perayaan panen dan pemilihan ketua adat, dan menyambut tamu yang datang. Meski demikian dapat pula Sasadu digunakan hanya untuk sekadar bersantai tanpa ada acara khusus.[2] Secara etimologi, Sasadu berasal dari kata sadu yang dalam bahasa Sahu tidak punya arti apapun, sedangkan dalam bahasa Ternate artinya adalah menimba, dan sado berarti lengkap, genap bilangannya.[3] Sasadu dibangun di bagian tengah kampung atau desa dengan lokasi yang tidak jauh jalan. Hal ini dimaksudkan agar Sasadu bisa dijangkau dengan mudah sehingga orang-orang dari seluruh penjuru kampung bisa mendatanginya untuk berkumpul.

Rumah adat Sasadu di Desa Gamtala, Jailolo, Halmahera Barat. Desa Gamtala, Lolori, Marimbati, diproyeksikan sebagai desa wisata.

Budaya sunting

Sebagai produk budaya, Sasadu tidak luput dari perubahan. Bagaimana perubahan ini eksis di antaranya terlihat dari atap rumah yang dulunya biasa dibuat dari atap daun sagu, kini berganti dengan material seng. Perubahan ini adalah dampak dari masuknya teknologi tahan api dari barang-barang fabrikan seperti genteng metal ataupun seng. Karena banyak terjadinya kebakaran jika menggunakan material alami tanpa adanya alat-alat penanganan kebakaran, maka di era modern lebih banyak digunakan atap seng. Meski seng lebih aman dari api, namun sangat mengurangi nilai estetis bangunan asli. Di sisi lain, perubahan ini bukannya tidak terpantau oleh masyarakat karena ada pula keinginan untuk mempertahankan arsitektur rumah Sasadu agar jati diri sebagai orang Sahu tidak hilang.[3] Sasadu sendiri memang merupakan salah satu bagian dari alur perkembangan budaya Sahu dalam sejarah perkembanganna. Sebelum ada Sasadu, masyarakat setempat tinggal di dalam rumah-rumah "koseba" di hutan. Rumah ini didirikan di atas tiang-tiang pancang yang ditancapkan ke tanah.[4]

Tidak hanya di Halmahera Utara, Sasadu juga dapat ditemukan di luar daerah asalnya. Salah satunya terdapat di Jakarta Timur, tepatnya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Di Anjungan Maluku Utara TMII, terdapat replika sasadu yang dapat disambangi oleh para pengunjung. Berdasarkan informasi di situs resmi TMII, Anjungan Maluku Utara menggunakan Sasadu sebagai tempat pamer berbagai aspek budaya tradisional Maluku Utara lain seperti pakaian adat, alat musik, dan makanan khas.[5]

Konstruksi sunting

 
Rumah Sasadu di Gamtala, Jailolo, Halmahera Barat.

Material yang berasal langsung dari alam banyak digunakan untuk membangun Sasadu. Untuk rangka rumah, digunakan bahan kayu, bambu, atau batang pohon kelapa. Kemudian bagian langit-langitnya dibuat dari susunan daun pohon sagu yang disatukan dengan cara diikat menggunakan tali bambu. Ada pula tali ijuk yang dipakai sebagak pengikat rangka yang dipasang bersambung tanpa putus.[2]

Meski banyak mengandalkan material langsung dari alam sebagai bahan bangunannya, bukan berarti Sasadu juga tidak sama sekali memanfaatkan bahan buatan pabrik. Pada masa kini, semen juga digunakan misalnya untuk membuat lantai. Adapun penggunaan semen ini didasari oleh pertimbangan kebersihan dan pemeliharaannya lebih mudah.[2] Tidak ada kesamaan dalam hal ukuran rumah Sasadu karena setiap rumah masing-masing memiliki ukuran yang berbeda. Ukuran rumah paling besar berukuran 9 kali 6 meter.[6]

Sasadu yang memiliki fungsi beda dengan rumah hunian membuatnya memiliki karakteristik fisik yang berbeda pula. Sasadu biasanya berukuran lebih besar dari rumah-rumah penduduk pada umumnya.[4] Denah bangunan Sasadu memiliki bentuk geometris persegi panjang dengan ruang tengah dan ruang samping. Lantai dasarnya dibuat dari timbunan tanah setinggi 30 sampai 40 sentimeter yang dipadatkan lalu dipasang susunan batu kali berbentuk sudut delapan sebagai penopangnya.[3]

Di bagian tengah bangunan yang ruangannya berfungsi sebagai tempat musyawarah, konstruksinya dibuat tanpa dinding dan ditopang dengan tiang-tiang yang didirikan dengan alas batu. Setiap tiang memiliki namanya sendiri-sendiri seperti Ngasu u lamo yang terletak di pusat bangunan, Ngusu u d'ud'un di sepanjang pinggiran luar, dan Ngasu u taba yang berada di antara Ngasu u lamo dan Ngasu u d'ud'un. Bagian atas Sasadu biasanya tidak memiliki loteng. Atapnya terdiri dari tujuh lembaran yang disebut ngatumding.[3]

Filosofi sunting

Struktur konstruksi rumah Sasadu bukan hanya sekadar memiliki arti fungsional, namun juga filosofis. Dalam Sasadu, memang terkandung berbagai aspek yang merefleksikan arti, adat, dan budaya masyarakat setempat di samping nilai filosofisnya. Hal yang bernilai filosofis dari Sasadu misalnya tampak dari bentuk bangunan yang dibuat dari kayu pohon kelapa dan bambu. Kemudian di bagian atap, terdapat bola-bola yang digantung pada bilah kayu di sisi ujungnya. Ini adalah simbol dari kaki yang memiliki makna kestabilan. Arahnya juga dibuat merunduk sehingga tampak berlawanan arah dengan bagian atapnya yang mencuat ke atas. Ini memiliki arti kerendahan hati meski seseorang sedang berada di posisi puncak. Dari segi bentuk bangunan, Sasadu dibuat pendek. Desain ini membuat setiap orang yang akan masuk ke dalamnya diharuskan menunduk terlebih dahulu. Hal ini memiliki arti agar semua orang diingatkan untuk selalu hormat dan patuh terhadap adat tanpa terkecuali.[2]

Bagi orang Sahu, Sasadu adalah rumah yang diibaratkan sebagai kapal perang kerajaan Ternate yang disebut Kagunga. Sasadu dianggap sebagai Kagunga Tego-tego, yaitu kapal perang yang merapat ke pantai. Filosofi ini adalah alasan mengapa Sasadu selalu dibangun secara membujur ke arah daratan dan gunung dan ditempatkan di tengah kampung.[4]

Sisi filosofis lainnya adalah adanya dua kain berwarna merah dan putih yang dipasang di sambungan rangka rumah. Kain dua warna ini menjadi perlambang dari pemeluk agama Kristen dan Islam. Dari sini, tercermin bagaimana umat beragama sehari-harinya bisa hidup berdampingan secara harmonis di Halmahera.[2]

Ada sejumlah pintu masuk yang dimiliki Sasadu di setiap pojok bangunan dan masing-masing pintu memiliki filosofinya yang mencerminkan strukrur hierarki masyarakat Sahu. Pintu yang berada di bagian pojok rumah dan di bawah atap segitiga adalah pintu yang digunakan oleh masyarakat dari seluruh lapisan. Sementara itu pintu di bagian tengah adalah yang digunakan oleh para petinggi lokal.[4]

Ritual dan Upacara sunting

Seperti dibahas sebelumnya, Sasadu lazim digunakan sebagai tempat digelarnya ritual atau upacara adat. Satu di antara ritual tersebut adalah Sibere Wanat yang merupakan ekspresi ucapan syukur atas hasil panen yang telah didapat masyarakat dari aktivitas pertaniannya. Dalam bahasa lokal, Sibere berarti naik dan Wanat artinya atap. Ritual ini memang berisi acara penaikkan atap ke atas rumah. Sibere Wanat dibuka dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh tokoh adat. Setelah itu, barulah Wanat dinaikkan ke atas menggunakan tali. Selain menggunakan tali, dapat pula Wanat dibawa oleh tiga laki-laki menuju atas rumah dengan berjalan meniti batang bambu. Setelah dinaikkan, Wanat kemudian dipasang. Selanjutnya, ritual diteruskan dengan menari Legu Salai bersama-sama. Penari yang mengenakan pakaian adat Sahu menampilkan tariannya bersama musik yang dibawakan dengan alat musik tifa dan gong.[6]

Makan bersama di dalam rumah menjadi bagian penutup dari acara ini. Acara makan bersama ini pun tetap diiringi musik dan punya aturan khusus. Setiap orang yang akan masuk ke rumah untuk makan diharuskan menenakan penutup kepala. Selain itu, di dalam rumah ada tempat khusus berupa kursi bambu yang hanya bisa diduduki oleh orang tertentu, yaitu seorang ayah dan anak pertama. Untuk makanannya, lazimnya tersedia makanan khas Sahu berupa Nasi Kembar, yaitu nasi yang dimasakan dengan daun lebar yang digulung hingga berbentuk dua lubang tempat diletakannya nasi yang kemudian dimasukkan kembali ke bilah bambu lalu dibakar dan dimakan dengan lauk. Pada zaman dahulu, Sibere Wanat digelar selama 9 hari 9 malam secara tanpa jeda. Jika ingin lebih singkat pun durasi harinya harus dengan angka ganjil. Meski demikian, saat ini sudah tidak ada lagi masyarakat Sahu yang menggelarnya berhari-hari seperti itu.[6]

Ritual lainnya adalah Orom Sasadu, yaitu makan bersama yang bertujuan untuk menghormati leluhur dan mengucap syukur atas nikmat kehidupan yang diberikan oleh tuhan. Orom artinya makan, sehingga Orom Sasadu bisa diartikan sebagai berkumpul untuk makan bersama. Rituan in idihadiri oleh para pemimpin, tokoh masyarakat, dan para pemegang adat. Dipercaya bahwa leluhur Sahu juga ikut serta dalam acara makan bersama ini. Seperti dalam Sibere Wanat, Nasi Kembar disajikan dalam Orom Sasadu. Makanan lain yang umumnya tersedia biasanya adalah olahan mengingat lokasi Halmahera Barat yang lekat dengan perairan dan masyarakatnya banyak yang menjadikan laut sebagai tempat mencari nafkah. Kesamaan antara Orom Sasadu dan Sibere Wanar bukan hanya terletak pada makanannnya, melainkan juga susunan acaranya. Dalam Sibere Wanat, pembacaan doa dalam bahasa daerah dibacakan pula sebagai pembuka. Selama ritual juga terdapat musik dan tari-tarian yang memeriahkan suasana.[7]

Ada pula upacara pengungkapan rasa syukur lain selain Sibere Wanat dan Orom Sasadu, yaitu Sa'ai mago yang dihelat setelah menabur benih padi di sawah, tepatnya saat padi yang ditanam berumur dua atau tiga minggu. Sa'ai berarti memasak dan ngo'a artinya anak. Ini adalah pesta yang digelar selama tiga hari tiga malam yang digelar dengan rasa gembira masyarakat. Ritual-ritual dalam rumah tersebut eksis seiring dengan hilangnya kepercayaan animisme yang dulu dianut masyarakat Sahu. Pada masa lampau, di sebelah Sasadu biasanya terdapat rumah pemujaan. Ritual-ritual dalam rumah yang ada saat ini merupakan pengganti dari hilangnya rumah pemujaan tersebut.[4]

Saat ini, ritual-ritual yang digelar di rumah Sasadu dapat disaksikan oleh orang luar atau wisatawan yang datang ke Halmahera Utara karena ritual ini sudah menjadi bagian dari promosi wisata daerah. Ritual Orom Sasadu misalnya, adalah bagian dari rangkaian acara Festival Teluk Jailolo yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya. Festival ini bahkan masuk ke dalam daftar 100 Acara Nasional Pariwisata yang dirilis Kementerian Pariwisata Republik Indonesia.[8]

Referensi sunting

  1. ^ Faqir, Anisyah Al. Abdurohman, Nuryandi, ed. "Melihat rumah adat suku asli Halmahera Barat". Merdeka.com. Diakses tanggal 2019-02-27. 
  2. ^ a b c d e Hamid, Endi. "Sasadu, Rumah Adat Kaya Makna". detikcom. Diakses tanggal 2019-02-27. 
  3. ^ a b c d Mezak Wakim, (2015), Sasadu, Arsitektur Tradisional Jailolo, Halmahera Barat. Patanjala, Vol.7 No. 1.
  4. ^ a b c d e Hikmansyah, (2016), Bentuk dan Fungsi Rumah Sasadu sebagai Pusat Kegiatan Masyarakat Sahu Kabupaten Halmahera Barat Maluku Utara, Prosiding Seminal Nasional Sustainable Architecture and Urbanism 2016. Universitas Diponegoro
  5. ^ "Anjungan Maluku Utara :: Taman Mini Indonesia Indah". www.tamanmini.com. Diakses tanggal 2019-03-04. 
  6. ^ a b c F, Ni Luh Made Pertiwi (ed.). "Menaikkan Atap Rumah, Ritual Panen Unik Khas Suku Sahu". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-02-27. 
  7. ^ Nurhidayah, Wina Widiana. "Orom Sasadu, Upacara Makan Bersama Roh Leluhur". detikcom. Diakses tanggal 2019-02-27. 
  8. ^ Mustafa, Ardita. "Festival Teluk Jailolo Kembali Digelar Tahun Ini". CNN Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-03-04.