Seminari Depok

gereja di Indonesia

Seminari Depok (21 Agustus 1878[1]-1926) adalah sebuah seminari Kristen Protestan di daerah Depok, Jawa Barat.[2] Seminari ini dikenal dengan nama Seminarie van Inlandsche Zendelingen.[3] Seminari ini didirikan oleh salah seorang pendeta Lutheran di Jakarta yang berminat pada usaha zending, yaitu pendeta J.A.Schuurman.[1] Bahasa pengantar yang dipergunakan di seminari ini adalah bahasa Melayu.[4] Direktur pertama seminari ini adalah seorang pendeta yang bernama PH. Henema.[2]

Latar belakang sunting

Sejak tahun 1830-an, lembaga zending mengembangkan kegiatan Pekabaran Injil terlepas dari GPI.[2] GPI hanya melayani pelayanan kepada orang yang sudah beragama Kristen, orang Eropa dan orang Indo-Eropa.[2] Pembatasan ini mengakibatkan ketidakpuasan dari beberapa anggota GPI yang akhirnya membentuk sebuah lembaga baru.[2] Lembaga itu bernama GIUZ (Genootschap van In-en Uitwendige Zending te Batavia).[5] Dalam bahasa Indonesia GIUZ berarti perhimpunan pekabaran Injil di dalam dan di luar Jakarta/Batavia.[5] Namun ternyata lembaga ini kekurangan tenaga pekabaran Injil.[2] Berdasarkan kebutuhan tenaga itulah maka GIUZ membentuk sebuah seminari di daerah Depok.[2] Mr. L.W.C. Keuchenius adalah utusan dari GIUZ yang meresmikan pembukaan seminari ini.[1]

Pada tahun 1714, seorang pemilik tanah yang bernama Cornelis Chastelein mewariskan tanahnya di sepanjang kali Ciliwung kepada para bekas budaknya dengan syarat mereka membentuk jemaat Kristen.[2] Nama Depok kemudian terkenal karena desa itu menjadi tempat pemukiman lembaga-lembaga pendidikan Kristen, seperti lembaga pertanian (1873-1878) dan Seminari Depok.[2]

Kegiatan belajar mengajar dan murid sunting

Tujuan didirikannya seminari ini adalah untuk menyiapkan tenaga pribumi untuk menjadi pembantu guru, zending (Inlandsche hulpzendeling) dan pendeta (Opleiding Inheemse helpers en onderwijizers en voorgangers).[6] Seminari ini mendapat subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda, sehingga harus menyesuaikan diri dengan tuntutan dan persyaratan pemerintah, yaitu sebagai Sekolah Guru.[3] Hal ini berdampak pada pendidikan yang lebih dititik beratkan kepada pendidikan guru.[4] Mereka dididik sebagai guru yang diberi pengetahuan tambahan untuk memberitakan Injil.[3] Murid di seminari Depok ini berasal dari berbagai gereja dan para utusan zending di seluruh wilayah Hindia Belanda.[2] Syarat penerimaan yang diberikan kepada para murid di seminari ini adalah mereka yang berdiploma sekolah dasar Belanda atau telah empat tahun melalui pendidikan guru sekolah dan pekabaran Injil.[6] Seminari ini mempekerjakan seorang guru teologi di samping seorang guru ahli pendidikan sekalipun tidak secara tegas diadakan pembagian mata pelajaran di antara kedua guru tersebut.[4] Setiap tahun seminari ini menerima sepuluh murid baru, sehingga kurang lebih ada 40 siswa di Seminari Depok.[3] Mereka belajar di seminari ini selama 4 tahun.[3] Di seminari ini mereka mendapat berbagai pelajaran dalam berbagai bidang pendidikan dasar, yaitu: Pengetahuan Alkitab, Ajaran Gereja, Sejarah Gereja dan Zending, Musik dan Bernyanyi.[3]

Tamatan seminari ini bekerja sebagai pembantu atau penolong pendeta jemaat sekaligus dipersiapkan menjadi seorang guru sekolah.[3] Sampai tahun 1926, lulusan dari Seminari Depok mengisi lapangan Pekabaran Injil di seluruh Indonesia dengan tenaga-tenaga pribumi.[2]

Beberapa tamatan Seminari Depok sunting

  • Laban Djalimoen, menjadi pembantu di Lebak, Cirebon dan Tasikmalaya.[5]
  • Abedmega Kaidoen, menjadi pembantu di Garut.[5]
  • Naftali, menjadi pembantu di Gunung Puteri.[5]
  • Matias Sairin, menjadi guru sekolah di Pondok Melati, Kampung Sawah dan Cakung.[5]

Penutupan Seminari Depok sunting

Akhirnya pada tahun 1926, seminari ini ditutup dengan alasan bahwa telah muncul sejumlah sekolah pendidikan guru sekolah dan pengabar Injil di berbagai daerah di luar Jawa.[2] Berdirinya berbagai seminari itu berdampak pada menurunnya jumlah murid yang masuk ke seminari ini.[3] Alasan lainnya adalah gerakan dari pusat (seminari Depok) ke berbagai daerah terjadi atas pertimbangan lokasi gereja dan bakal gereja serta kepentingan denomonasi, keadaan geografis yang semuanya digabungkan dengan masalah keuangan.[6] Seminari Depok kemudian dilanjutkan dengan didirikannya Hogere Theologische School sebagai suatu bentuk pendidikan pusat yang melayani semua gereja di Indonesia.[6] Sekolah ini didirikan pada hari Kamis, 9 Agustus 1934 di Bogor (Buitenzorg).[6] Sekolah ini kemudian dipindahkan ke Jakarta pada tahun 1936. Tahun 1954 nama sekolah ini berubah menjadi Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.[7]

Referensi sunting

  1. ^ a b c (Indonesia)Jan-Karel Kwisthout.2007. "Sporen Uit het Verleden van Depok". Eerste druk: Uitgave in eigen beheer.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l (Indonesia)Th.van den End.2008. “Ragi Carita 2”.Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  3. ^ a b c d e f g h (Indonesia)S. Wismoady Wahono, dkk, Tabah Melangkah (Ulang Tahun ke-50 STT Jakarta). Jakarta: STT Jakarta, 1984.
  4. ^ a b c (Indonesia)S.C. Graaf van Randwijck. “Oegstgeest: Kebijaksanaan Lembaga-lembaga Pekabaran Injil yang Bekerjasama 1897-1942”. Jakarta: BPK Gunung Mulia.1989.
  5. ^ a b c d e f (Indonesia)Th. van den End. “Sumber-sumber Zending Tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-1963”. Jakarta: BPK Gunung Mulia.2006.
  6. ^ a b c d e (Indonesia)Peter D.Latuihamallo. “Hogere Theologische School”. Jakarta: BPK Gunung Mulia.2004.
  7. ^ Katalog Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Jakarta: UPI STT Jakarta, 2004.