Sejarah Kota Banjarbaru

Sejarah Kota Banjarbaru adalah sejarah terbentuknya Kota Banjarbaru sebagai suatu wilayah kota administratif di Indonesia. Wilayah ini, dulunya adalah perbukitan di pinggiran Martapura yang dikenal dengan nama Gunung Apam. Daerah Gunung Apam dikenal sebagai daerah peristirahatan buruh-buruh penambang intan selepas menambang di Cempaka.

Pada era tahun 1950-an, Gubernur kalimantan Dr. Murjani dibantu seorang perencana D.A.W Van der Pijl merancang Banjarbaru sebagai Ibukota bagi provinsi Kalimantan, sampai akhirnya Kalimantan dimekarkan menjadi 4 provinsi pada tahun 1957. Namun pada perjalanan selanjutnya, perencanaan ini terhenti sampai pada perubahan status Kota Banjarbaru menjadi Kota Administratif.

Kota Banjarbaru berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999. Lahirnya undang-undang tersebut menandai berpisahnya Kota Banjarbaru dari Kabupaten Banjar yang selama ini merupakan daerah administrasi induk. Kota Banjarbaru yang sebelumnya berstatus sebagai Kota Administratif, sempat berpredikat sebagai kota administratif tertua di Indonesia.

Pelantikan Akhmad Fakhrulli sebagai pejabat Wali kota Kota Banjarbaru oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, di Jakarta, pada 27 April 1999, menandakan resminya alih status Banjarbaru dari Kota Administratif menjadi Kotamadya (kota). Perjuangan panjang berbagai pihak akhirnya sampai kepada “idaman antara” setelah Banjarbaru dengan berbagai status administratif dipimpin oleh Baharuddin (1966), A.G. Hanafiah (1970-1975), Abdul Moeis (1975-1981), Abdurrahman (1981-1983), Eddy Rosasi (1983-1984), Zamawi M. Aini (1984-1986), Yuliansyah (1986-1990), Raymullan (1990-1993), Hamidhan B (1993-1998) dan Akhmad Fakhrulli (1998-1999) yang menjadi wali kota administratif sekaligus pejabat wali kota dan Rudy Resnawan (2000) sebagai wali kota terpilih pertama.


Banjarbaru memperoleh status kota setelah menyandang status kota administratif terlama di Indonesia, 23 tahun, merupakan momen bersejarah. Adalah DPRD Kota Banjarbaru melalui pemilihan wali kotanya, memilih Rudy Resnawan sebagai wali kota pertama Kota Banjarbaru, menggantikan Fakhrulli sebagai wali kota transisional.

Sekalipun gerak pembangunan dimulai ketika Rudy menjabat wali kota, gagasannya sudah dicanangkan seiring dengan perkembangan Banjarbaru. Dalam rekaman sejarah, pengembangan dan “perjuangan” status Banjarbaru sebenarnya bukanlah sekadar menjadikannya sebagai kotamadia. Bukan hanya sebagai ibu kota Kalimantan Selatan, tetapi ibu kota Kalimantan sesuai dengan kondisi objektif tahun 1950-an ketika Kalimantan belum terbagi menjadi empat provinsi.

Gagasan sunting

Akibat kondisi alam apel pagi sering harus berpindah tempat, ditambah pula dengan pandangannya tentang Banjarmasin yang berawa dan bernyamuk banyak, memunculkan gagasan memindahkan ibu kota Kalimantan ke tempat yang ideal. Sebagai ahli kesehatan masyarakat, Murdjani berkesimpulan Banjarmasin kurang ideal sebagai pusat pemerintahan. Tanahnya yang berawa-rawa mengakibatkan air menggenang sepanjang musim yang memungkinkan timbulnya berbagai penyakit.

Banjarmasin sebagai Kota Air, Kota Perdagangan dan Kota identitas historis Urang Banjar tetap dipertahankan. Membangun ibu kota Kalimantan di Banjarbaru didasari pada pandangan pengembangan jauh ke depan.

Untuk merealisasikan gagasannya, mulailah dicari tempat yang ideal. Murdjani melakukan survei ke daerah-daerah di luar kota Banjarmasin. Berbagai lokasi dikunjungi dan diamati, namun Murdjani kurang berkenan karena lokasinya masih berawa-rawa. Akhirnya, sampailah ia di daerah bertanah padat, lokasi Banjarbaru sekarang. Pada pandangan pertama, hatinya telah tergadai pada Banjarbaru. Melalui sidang staf dan pimpinan, dibentuklah tim kajian kelayakan dipimpin D.A.W. Van der Peijl. Tim Peijl melakukan kajian awal. Dalam perancangannya, planologi Banjarbaru digarap bekerjasama dengan para pakar dari Institut Teknologi Bandung.

Peijl, Kepala Pekerjaan Umum Bagian Bangunan Kalimantan, merancang Banjarbaru bersamaan dengan kota Palangkaraya. Palangkaraya kini menjadi kota modern tertata apik. Banjarbaru, setelah 23 tahun berstatus kota administratif, baru mendapatkan status kotamadia.

Ketika Rudy Resnawan menjadi wali kota, dengan canangan Banjarbaru is Banjarbaru, membangun Banjarbaru dengan “kekuatan sendiri”.

Legenda sunting

Pada waktu dicanangkan pertama kali, Banjarbaru sebagai ibu kota Kalimantan “belum apa-apa”. Menurut cerita tetuha, cikal-bakalnya Banjarbaru bermula dari Gunung Apam. Gunung Apam adalah “puncak” perbukitan di lintasan jalan Banjarmasin-Martapura, kira-kira di lokasi Bank BRI Banjarbaru sekarang. Di daerah itu belum ada permukiman. Di samping lintasan jalan darat, juga lintasan pencari (pendulang) intan tradisional di belakang Unlam Banjarbaru saat ini.

Lokasi strategis tersebut mengundang minat seorang penduduk membuka warung. Pewarung, yang tidak diketahui nama dan asalnya itu, membuka warung kecil-kecilan, menjual minuman teh dan kopi. Wadai (kue) pendampingnya adalah apam (serabi). Tak dinyana, wadai apam tersebut kemudian diperuntukkan menjadi nama daerah tersebut.

Konon, apam tersebut sangat lezatnya hingga digemari banyak orang. Pertama-tama konsumennya para pendulang intan dan sopir truk. Mereka melepas lelah sambil kongko-kongko. Kemudian penduduk dari Martapura dan daerah sekitarnya tidak ketinggalan memarakkan apam lezat tersebut.

Bersamaan dengan populernya “Warung Gaul” Gunung Apam, beberapa orang penduduk mengikuti jejak Si Pewarung Perintis. Lama-kelamaan banyak orang yang mendirikan rumah di sekitarnya. Sejak itu, terbentuklah perkampungan penduduk yang populer disebut Gunung Apam. Secara administratif, Gunung Apam termasuk wilayah anak Kampung Guntung Payung, Kampung Jawa, Kecamatan Martapura.

Pada perkembangannya, perkampungan itu makin ramai.

Sejarah sunting

Semasa Murdjani menjadi Gubernur Kalimantan (1950-1953), yang terobsesi memindahkan ibu kota Kalimantan ke daerah yang lebih ideal, memilih daerah di sekitar Gunung Apam. Kajian planologi segera dilakukan. Sampai akhir masa jabatannya (1953), walaupun secara administratif dan fisik baru pada tahap perancangan, pembangunan perkantoran dan perumahan pegawai Pemda Kalimantan dimulai.

Gagas Murdjani dapat disimak dari suatu pidato visionernya yang dapat dikatakan sebagai obsesinya:

Kira-kira lima ratus tahun yang lalu negeri Amerika Serikat, seperti kita kenal sekarang, hanya suatu impian yang indah. Akan tetapi berkat usaha orang-orang yang dapat melihat dalam jarak panjang, maka impian itu, telah menjadi kenyataan. Dan saya yakin, bahwa Indonesia pun akan dapat mewujudkan cita-cita pembukaan dan pembangunan Kalimantan.

Yang hendak dikatakannya adalah, membangun Banjarbaru dari awal bukanlah hal yang mustahil walaupun pada saat ini lebih terkesan sebagai “mimpi”. Yang diperlukan usaha bersama mewujudkannya. Tepatnya, Murdjani menyampaikan pesan, pembangunan itu, apalagi Banjarbaru yang dimulai dari awal harus direncanakan sebaik mungkin, dibangun bertahap dan berkelanjutan hingga terwujud suatu ibu kota yang ideal dan dapat dibanggakan karena tatanannya yang bagus dan menjadi kota modern.

Ketika R.T.A Milono menggantikan Murdjani, usaha pembangunan dilanjutkan. Secara resmi, dengan surat bernomor: Des-19930-41 tanggal 9 Juli 1954 diusulkan kepada Pemerintah Pusat agar Banjarbaru ditetapkan menjadi ibu kota Kalimantan. Sekalipun usaha pembangunan Banjarbaru dimulai dari awal menjadi sebuah kota ideal, dan kemudian Kalimantan dipecah menjadi empat (4) provinsi, sejarah tampaknya kurang berpihak.

Tuntutan berbagai pihak (masyarakat, eksekutif, dan legislatif) yang susulhmenyusul menghasilkan status Banjarbaru pada 11 November 1975 sebagai kota administratif.

Perjuangan Menjadi Ibu Kota sunting

Usaha menjadikan Banjarbaru menjadi ibu kota Kalimantan Selatan (sebelumnya ibu kota Kalimantan), yang digagas oleh dr. Murdjani, tidak pernah berhenti.

Lambang sunting

Pada Hari Jadi ke 22, 11 November 1997, digagaslah lambang Banjarbaru. Pembuatan lambang berkaitan erat dengan semakin dekatnya perubahan status dari kota administratif menjadi kotamadia. Direktorat Jenderal Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri telah melakukan pengamatan lapangan dan instansi terkait yang tergabung dalam Tim Tekhnis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah pada tanggal 10 April 1997 dengan kesimpulan, Kota Administratif Banjarbaru layak mendapatkan status kotamadia.

Melalui Surat Keputusan Nomor 04 Tahun 1997 tanggal 20 Agustus 1997 Wali Kota Administratif Banjarbaru membentuk panitia sayembara pembuatan lambang kota Banjarbaru. Sebagaimana dikatakan Drs. H. Hamidhan B, Wali Kota Administratif Banjarbaru, dalam buku Pembuatan Lambang Kota Banjarbaru: Proses pembuatan Lambang Kota Banjarbaru disusun secara sederhana, berisi sejarah berdirinya Kota Administratif Banjarbaru dan perkembangannya pada masa akan datang.

Arti dan Makna Lambang sunting

  1. Bentuk bingkai seperti perisai menggambarkan sebagai alat pelindung dalam mencapai cita-cita luhur Bangsa Indonesia (Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia) dan Pembangunan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
  2. Bintang bersudut lima adalah Pancasila sebagai Dasar Falsafah dan Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
  3. Tulisan BANJARBARU adalah nama Kota Administratif Banjarbaru (kini Kota Banjarbaru, Pen.).
  4. Petak/Kotak yang terdapat pada pilar kiri dan kanan masing-masing berjumlah 11 buah. Pilar dan petak menggambarkan tanggal dan bulan serta tahun berdirinya Kota Administratif Banjarbaru, yaitu tanggal 11 dan bulan November. Sedangkan jumlah petak pada pilar kiri dan kanan adalah 22 menggambarkan tahun berdirinya Kota Adminitratif Banjarbaru, yaitu 1975 (1+9+7+5=22).
  5. Pilar kiri dan kanan juga menggambarkan Banjarbaru sebagai jalur masuk (transportasi) ke Kalimantan Selatan. Sebagaimana terdapatnya Bandar Udara Syamsuddin Noor di Kecamatan Landasan Ulin Kota Administratif Banjarbaru.
  6. Alat linggangan adalah menggambarkan pendulangan Intan Tradisional Cempaka yang terdapat di Kecamatan Cempaka dan merupakan objek wisata budaya, dan sejarah di Kota Administratif Banjarbaru.
  7. Museum Negeri Provinsi Kalimantan Selatan Lambung Mangkurat (sebagai objek wisata, sejarah, dan budaya) yang diapit rumah menggambarkan Kota Administratif Banjarbaru sebagai Pusat Pemerintahan dan Pusat Permukiman.
  8. Buku adalah menggambarkan Banjarbaru sebagai Kota Pelajar dan Pusat Pendidikan, karena terdapatnya prasarana dan sarana penunjang pendidikan yang memadai dari berbagai disiplin ilmu.
  9. Roda (gir) menggambarkan roda industri dan perdagangan, karena di Kota Administratif Banjarbaru sangat potensial menjadi Daerah Industri dan Perdagangan.
  10. Pita berwarna hijau yang bertuliskan motto Kota Administratif Banjarbaru sebagai Pusat Pemerintahan, Pusat Pendidikan, Pusat Industri, dan Pusat Permukiman, merupakan daerah/wilayah yang Indah, Aman, dan Nyaman untuk mencapai kesejahteraan.
  11. Warna yang digunakan, terdiri dari 5 (lima) warna utama:
    • Warna kuning : Keluhuran, keagungan
    • Warna putih : Kesucian
    • Warna coklat : Keilmuan, keulamaan, keteguhan dan ketangguhan
    • Warna hijau : Kesuburan, kehijauan, kerezekian
    • Warna hitam : Kerohanian, keimanan, keteguhan hati.

Moto sunting

Moto Gawi Sabarataan memiliki makna, ditinjau dari:

  • Aspek kerukunan dan persatuan, menggambarkan suatu kegiatan yang dilaksanakan secara bersama-sama (Pemerintah dan masyarakat) dengan setiap unsur menyadari tugas dan tanggung jawabnya.
  • Aspek masa depan, secara operasional dapat memacu motivasi mencapai masa depan yang lebih baik.
  • Ditinjau dari etos kerja, menjadi inspirasi masyarakat Banjarbaru untuk bekerja/berkarya sesuai dengan tugas pokok dan peran masing-masing.
  • Pernyataan tekad dan semangat seluruh lapisan masyarakat beserta pemerintah untuk membangun dengan potensi yang ada dalam rangka mewujudkan kehidupan adil, makmur, dan sejahtera di bawah lindungan dan rida Tuhan Yang Maha Esa.
  • Segi ajaran agama manusia adalah pemegang amanat Tuhan sebagai penguasa yang harus memakmurkan bumi dan menjaga kelestariannya sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing.

Perjuangan menjadi Kotamadya sunting

Perjuangan dan persiapan menjadikan Banjarbaru sebagai kotamadia, seolah telah menjadi bagian terlekad setiap Wali Kota Administratif Banjarbaru. Berdasarkan apa-apa yang telah dilakukan wali kota terdahulu.

Persiapan fisik dan nonfisik dilakukan bersamaan dengan tugas rutin pemerintahan dalam usaha dan upaya meraih status kotamadia. Persiapan dan “pembenahan” aparat pemerintahan dilakukan serempak dengan upaya “meyakinkan” Pemerintah Atas (Pemda Banjar, Kalsel dan Pemerintah Pusat). Penggalian dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), juga dilakukan lobi-lobi ke Pusat (Jakarta).

Dirjen PUOD Depdagri pun melakukan pengamatan dengan hasil rekomendasi Banjarbaru patut menjadi kotamadia. Hasil kunjungan anggota DPR RI pun berkesimpulan menguatkan hasil pengamatan Dirjen PUOD.

Sampai Hamidhan B. mengakhiri jabatannya sebagai Wali Kota Administratif Banjarbaru, Banjarbaru masih berstatus kota administratif.

Ketika Akhmad Fakhrulli dilantik menggantikan Hamidhan B., sebagai Wali Kota Administratif Banjarbaru, 26 Desember 1998, Gubernur Hasan Aman mengamanatkan, agar status kotamadia segera terwujud. Tentu saja hal tersebut merupakan tantangan yang cukup berat bagi Akhmad Fakhrulli. Fakhrulli memfokuskan perhatiannya terhadap perjuangan itu. Pada akhirnya Fakhrulli berhasil.

Sebagai Kepala Perwakilan Pemda Kalsel di Jakarta, Fakhrulli selalu memonitor perkembangan Banjarbaru. Ketika tanpa diduga dipercaya (menurut pengakuannya) sebagai wali kota, bekalnya dirasa cukup. (Sebagai catatan: Akhmad Fakhrulli, sesuai “berita” yang beredar di masyarakat, tidak disebut-sebut sebagai calon wali kota).

Jaringan persahabatannya semasa bertugas di Jakarta, dimanfaatkan maksimal. Ia melakukan lobi-lobi intensif. Kantor Depdagri sampai Gedung DPR, menjadi sasarannya dalam memperjuangkan status Banjarbaru.

Alhasil, 11 anggota Komisi II DPR RI pada tanggal 27 Februari 1999, melakukan kunjungan kerja meninjau kesiapan Banjarbaru dalam rangka menyahuti usulan peningkatan status Banjarbaru, dalam rangkaian proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembentukan Kotamadia Banjarbaru.

Undang-undang tentang Banjarbaru menjadi Daerah Tingkat II, UU RI nomor 9 Tahun 1999,

Seluruh komponen masyarakat penuntut kotamadia Banjarbaru, dipadukan dalam rangkaian renungan dan bersyukur ria, . Di mesjid, surau, dan musholla se-antero Banjarbaru dilakukan salat syukur. Dalam pertemuan seusai salat syukur di kediaman wali kota, Fakhrulli berujar:

Berhasilnya Banjarbaru sebagai kotamadia bukanlah karena saya. Tetapi, karena pian-pian. Inilah hasil perjuangan panjang kita semua. Inilah hadiah buat pian-pian (para tokoh penuntut kotamadia Banjarbaru. Pen.).

Fakhrulli mengatakan:

Pembangunan Banjarbaru ke depan adalah: dari, oleh, dan untuk masyarakat yang dalam pelaksanaannya bahu-membahu dengan Pemerintah Kota Banjarbaru. Orientasi masyarakat itulah yang menjadi visi pembangunan Banjarbaru.

Banjarbaru: Nama Sementara yang Melekat sunting

Sebagaimana telah diintroduksi, Gubernur Kalimantan dr. Murdjani menggagas pembangunan ibu kota Kalimantan di daerah yang kini kita kenal sebagai Banjarbaru. Pada tahun 1953 di daerah “kosong” tersebut mulai dibangun kantor-kantor pemerintahan untuk dinas-dinas, jawatan-jawatan tingkat provinsi, dan perumahan pegawai pemerintah.

Pembangunan dilakukan tanpa anggaran khusus seba- gaimana layaknya persiapan sebuah ibu kota provinsi. Oleh karena itu, pembangunannya dilakukan sedikit demi sedikit. “Modal dasar” pembangunan hanya beleid dan kebulatan tekad Gubernur Kalimantan. Bahkan saat itu apa nama kota “calon” ibu kota Kalimantan itu pun belum terpikirkan. Dari penelusuran heuristic, tidak didapat secara pasti tentang oleh siapa dan kapan dicetuskan pertama kali nama Banjarbaru. Dan, nama Banjarbaru “dipakai” dalam kondisi emerjensial-konteksual.

Konon, pada saat persiapan perancangan kota, D.A.W Van Der Peijl kebingungan tentang nama yang harus ditulisnya pada peta kota. Secara naluriah ditulisnya Bandjar Baru. Nama itu pulalah yang dikatakannya ketika ditanya Pemerintah Pusat perihal dimana dan apa nama ibu kota Kalimantan yang baru.

Harap diingat sekalipun Peijl adalah turunan Belanda, setelah lama tinggal di Kalimantan (baca: Banjar), ia melarutkan diri sebagai Urang Banjar. Dedikasi dan kontribusinya terhadap pembangunan Kalimantan tidak perlu diragukan lagi. Bahkan ada yang mengatakan, Peijl adalah pemangku budaya Banjar yang konsern, komitmennya sangat besar.

Karena itu, penulisan spontannya tentang nama Banjarbaru bagi calon ibu kota Kalimantan, dikaitkan dengan gagasan kota baru bagi Urang Banjar, yaitu Bandjar Baru. Banjarmasin sebagai Kota Historis Urang Banjar tidak diganggu-gugat. Banjarbaru adalah perwujudan obsesi ke depan kota modern Urang Banjar.

Jadi, Peijl dan timnya sangat sadar, bahwa Banjarmasin adalah kota yang sarat dengan muatan historis dan merupakan salah satu identitas historis Urang Banjar. Banjarbaru adalah kota yang dirancang untuk menjawab tuntutan masa depan. Sebuah pandangan yang sangat visioner.

Nama kota Banjarbaru pada awalnya bukanlah nama permanen. Penamaan Banjarbaru didorong atas desakan situasional dalam pencantuman nama pada peta awal Banjarbaru dan kemudahan dalam surat-menyurat aktivitas pemerintahan. Nama “permanen” belum terpikirkan.

Dengan kata lain, penamaan “Banjarbaru” hanyalah nama sementara, sangat tentatif, tetapi ternyata hingga saat ini tetap melekat. Tidak satupun keberatan diajukan oleh siapa pun. Banjarbaru kini telah menjadi nama permanen.

Banjarbaru: Cobaan Sejak Dini sunting

Setelah nama Banjarbaru ditorehkan oleh Peijl, tidak ada gagasan atau usaha yang berarti untuk mengubahnya. Tidak ada yang menyadari bahwa nama Banjarbaru pada awalnya bersifat tentatif. Artinya, kalau ada nama yang dianggap lebih tepat oleh masyarakat, terbuka peluang untuk mengubahnya. Atau, memang nama Banjarbaru itu sejatinya sudah sangat tepat?. Wallahualam bissawab.

Yang pasti, secara resmi, Gubernur Murdjani melalui surat tertanggal 9 Juli 1954 No. Des-1930-4-1, jelas-jelas mengusulkan kepada Mendagri, agar menyetujui pemindahan ibu kota Kalimantan dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Dengan demikian, secara formal nama Banjarbaru “telah resmi” dan “baku”. Masyarakat pun tidak mempersoalkan. Hal tersebut ditandai dengan alamat yang dipakai, Banjarbaru, baik untuk sekadar menjawab pertanyaan: di mana tinggal?, dan atau alamat yang ditulis dalam surat-menyurat.

Ketetapan tekad memindahkan ibu kota Kalimantan ke Banjarbaru tampaknya sejak awal sudah memberi tanda akan berlama-lama. Restu Pemerintah Pusat belum dimiliki, situasi di Kalimantan mengalami perubahan-perubahan yang cepat. Tekad pemindahan itu masih memerlukan berbagai negosiasi yang tidak pernah berakhir.

Ketika Murdjani mengakhiri jabatannya tahun 1953 dan digantikan RTA Milono, provinsi Kalimantan dimekarkan menjadi empat provinsi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Hal ini merupakan jawaban Pemerintah Pusat atas aspirasi masyarakat di Kalimantan Barat, Timur, dan Tengah yang menuntut daerahnya sebagai provinsi tersendiri. Kalimantan terbelah dalam kerangka demi akselerasi pembangunan.

Tuntutan tersebut, sangat beralasan. Luasnya wilayah dan potensi yang dimiliki dipahami sangat mendukung sebagai provinsi sendiri. Apalagi pada masa itu, hubungan komunikasi dan transportasi, sangat minim. Hubungan antara Pontianak, Samarinda, dan Palangkaraya dengan Banjarmasin sangat sulit.

Akibatnya, roda pemerintahan “kurang lancar” yang berdampak kurang efektifnya pelaksanaan pemerintahan. Harap maklum, luas Kalimantan 52 kali pulau Jawa. Pemekaran tersebut, bagaimanapun, berdampak terhadap rencana membangun ibu kota Kalimantan yang baru di Banjarbaru. Pemekaran wilayah memerlukan biaya cukup besar. Anggaran belanja provinsi Kalimantan harus dibagi-bagi ke provinsi-provinsi baru, dan pembangunan Banjarbaru tidak mungkin diprioritaskan.

Meskipun demikian, cita-cita menjadikan Banjarbaru sebagai pusat pemerintahan (Kalimantan Selatan) tidak surut. Hal ini terbukti, DPRD Tingkat I Kalsel, melalui resolusi 10 Desember 1958, No. 26a/DPRD-58, mendesak Pemerintah Pusat supaya dalam waktu singkat segera menetapkan Kota Banjarbaru sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan.

Rupanya Pemerintah Pusat belum “tergugah”. Sampai Milono digantikan Syarkawi, dan H. Maksid kemudian Aberani Sulaiman menjadi Gubernur Kalimantan Selatan, perjuangan tidak sunyi-sunyinya. Pada masa Aberani Sulaiman terdapat kemajuan, Banjarbaru mendapatkan status Kota Administratif (Kotatif) dan diresmikan 17 Agustus 1968. Kemajuan itu tampaknya mangalami involusi beberapa dasawarsa.

Banjarbaru: Rekor Kota Administratif sunting

Berkenaan dengan usul Gubernur dr. Murdjani dan Resolusi DPRD Tingkat I Kalimantan Selatan kepada Pemerintah Pusat untuk pemindahan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru belum mendapat perhatian, Gubernur Kalimantan Selatan memandang perlu untuk menetapkan status kecamatan bagi Banjarbaru dengan kampung-kampung yang berada di sekitarnya.

Berdasarkan SK Gubernur KDH Provinsi Kalimantan Selatan tanggal 29 Mei No. 10/Pem-570-3-3 dibentuklah kecamatan Banjarbaru yang meliputi 7 desa:

  1. Desa Landasan Ulin
  2. Desa Guntung Payung
  3. Desa Lok Tabat
  4. Desa Banjarbaru
  5. Desa Sei Ulin/Sei Besar
  6. Desa Cempaka
  7. Desa Bangkal

Pada saat itu penduduk ketujuh desa tersebut kurang lebih 25.000 jiwa. Itu dapat dikatakan, Banjarbaru yang “dicalonkan” sebagai ibu kota Kalimantan Selatan (setelah gagal jadi ibu kota Kalimantan), betul-betul dimulai dari awal.

Pada tahun 1964 DPRD-GR Tingkat I Kalimantan Selatan dalam suatu sidangnya memutuskan untuk memberi wewenang kepada Gubernur Kalimantan Selatan membentuk panitia yang bertugas mengumpul data-data yang sesuai untuk meningkatkan Kecamatan Banjarbaru menjadi daerah tingkat II Kotapraja (sekarang kotamadia).

Resolusi DPRD-GR Kalimantan Selatan tertanggal 27 Juli 1964 No. 18a/DPRD-GR/KPT/1964, mendesak Pemerintah Pusat agar segera merealisasikan Banjarbaru sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Resolusi DPR-GR Kalimantan Selatan tentu saja mendapat respon berbagai pihak, terutama masyarakat Banjarbaru. Dengan segara masyarakat Banjarbaru membentuk Panitia Penuntut terbentuknya Kotamadia Banjarbaru yang didukung oleh seluruh unsur dan organisasi kemasyarakatan. Panitia Penuntut tersebut adalah:

PIMPINAN

  1. Ketua I : A.M. Abd. Gais (Perseorangan)
  2. Ketua II : Abubakar Ali (G.P. Anshor)
  3. Ketua III : M. Hasfiany Shasby (Muhammadijah)
  4. Penulis I : A. Fadhilah (PNI)
  5. Penulis II : Djar’ie (IPNU)
  6. Bendahara : Abd. Ganie (KAMI)

PEMBANTU PARPOL

  1. Sukardi Djapari (PNI)
  2. H.S.M Ismail (NU)
  3. A. Kadir Munsji (Madjelis Wk. NU)

PEMBANTU ORMAS

  1. A.O. Pudjosanyoto (Angkatan 45)
  2. Ubangi (Veteran)
  3. Tarsan Noor (Djamus)
  4. H. Basri (Madjelis Ulama)
  5. Hasan Budin (Muhammadijah)
  6. Soedarsan (Maarif NU)
  7. Jantje Umboh (PPPKI)
  8. Hanafiah Abdullah (Pemuda Muhammadijah)
  9. Saaludin (PII)
  10. Djunaidi (IPBB)
  11. A. Sabran (Sarbumi)
  12. Ibu Sabariah Joenoes (DPW GW Marhaen)
  13. Ibu Soelaiman (GE Marhaen)
  14. Ibu Bastian (Muslimat NU)
  15. Ibu Sitanggang (Perwari)
  16. Ibu Mindarso (Persit)
  17. Gt. Zamrud Jasin (Aisjiah)
  18. Ibu Sitompul (Bhajangkari)
  19. Ibu Saleh (Persatuan Wanita Pertanian)
  20. Ibu Mastaniah (Fatajat NU)
  21. Gt. Mundji (Pertani)
  22. Thamrin B.Sc. (Pertanu)
  23. H.S.M. Ismail (Lesbumi)
  24. R.M. Herusupadi (L.K.N.)
  25. Ir. Tuhadji (I.S.R.I.)
  26. Djailani (I.P.P.K.U.)
  27. Hasjimi Shasby (Ikatan Pemuda Muhammadijah)
  28. Esmet Enono (G.M.N.I)
  29. M. Joenoes (Senat Fakultas Pertanian)
  30. Achmad Djailani (Senat Fakultas Perikanan)
  31. Riwong Tumon (Senat Fakultas Kehutanan)
  32. Fadlansjah (Senat Fakultas Tehnik)
  33. Murhadji (I.M.M)
  34. S. Almir (Gasbiindo)
  35. Muljadi Joesoep (KAMI)
  36. Kasnariansyah (KAPPI)
  37. Ibu Tatung (PGRI)
  38. Addimaswardi (SKDN)
  39. Ibu Agus Ibrahim (GOW)
  40. M. Hamdi Hamdan (SKDN)
  41. A. Manap Chandra (SKDN)
  42. Linda Buniran (Natsjiatul Aisjiah)
  43. Lasmiati Saleh (IPPNU)
  44. Bachdar Djohan (PMII)
  45. M. Jusran M. (KB Marhaen)
  46. Rahmadi HT (HMI)

Begitu Panitia Penuntut Kotamadia Banjarbaru terbentuk, tanggal 6 Oktober 1965, panitia mendesak agar pemerintah:

  • Meningkatkan status Banjarbaru menjadi daerah tingkat II/kotapraja (sekarang kotamadia).
  • Mendesak direalisirnya kota Banjarbaru menjadi ibu kota provinsi Kalimantan Selatan.

Menyahuti tuntutan masyarakat yang makin kencang agar terealisirnya Banjarbaru sebagai kotamadia sekaligus ibu kota Kalimantan Selatan, DPRD-GR Tingkat II Banjar di Martapura merespon dengan mengajukan sebuah resolusi tertanggal 12 Oktober 1965 No. 58./DPRD-GR/Res/1965, mendesak Pemerintah Pusat segera memindahkan ibu kota Kalsel ke Banjarbaru.

Untuk merespon berbagai tuntutan masyarakat, Mendagri Dr. Sumarno pada tanggal 20 Juni 1965 mengadakan kunjungan kerja ke Banjarbaru. Sebagai “Pejabat Pusat”, Soemarno melakukan peninjauan “menyeluruh” terhadap kondisi objektif Kota Banjarbaru dan daerah sekitarnya. Kesimpulannya, Kota Banjarbaru layak dan pada prinsipnya menyetujui peningkatkan statusnya dari Kecamatan Banjarbaru menjadi Kotamadia Banjarbaru.

Ketikan Aberani Sulaiman menjadi Gubernur Kalimantan Selatan, setelah menelaah laporan panitia pengumpul data-data untuk pembentukan Kotapraja Banjarbaru tanggal 7 November 1964, dan memperhatikan dan mempelajari resolusi-resolusi yang telah diajukan Gubernur Kalimantan terdahulu, pada tanggal 16 Februari 1966 berdasarkan Surat Keputusan No. 58/I-1-101-110 menetapkan membentuk Kantor Persiapan Kotamadia Banjarbaru. Pada tanggal 21 Mei 1966 Kantor Persiapan Kotamadia Banjarbaru diresmikan Gubernur Aberani Sulaiman dan menetapkan Baharuddin sebagai Kepala Kantor Persiapan yang juga merangkap sebagai Camat Kecamatan Banjarbaru.

Bersamaan dengan itu, masyarakat Banjarbaru mengeluarkan Pernjataan Bersama Masyarakat Bandjarbaru: Dengan mengutjapkan syukur ke hadirat Tuhan Jang Maha Esa atas karunia-Nya jang dilimpahkan kepada kita bersama dengan memberikan wudjud ke arah realisasi tuntutan hati nurani masjarakat Bandjarbaru untuk menjadikan Bandjarbaru ini mendjadi suatu Kotamadya, maka kami sebagai potensi riil jang hidup di daerah ini mejakinkan kepada diri kami sendiri dan dengan kebulatan hati kami menjatakan pendirian sebagai berikut:

  1. Menjatakan kesediaan kami untuk bekerdja, berusaha dan melaksanakan sesuatu untuk perwudjudan pembangunan Kotamadya Bandjarbaru, dalam bentuk dan ini jang sebenarnja.
  2. Menjatakan kesediaan pembaktian kami atas dasar kegotong-royongan membina kesatuan dan persatuan di dalam daerah ini, demi segera terlaksananja Kotamadya Bandjarbaru jang kami tjita2-kan.
  3. Sesuai dengan tekad kami tersebut di atas, sekali lagi kami mengharap perhatian dan kesungguhan dari Pemerintah, agar dalam waktu jang segera mungkin dapat menetapkan Bandjarbaru ini men-djadi Kotamadya

Bandjarbaru, 21 Mei 1966 Atas nama masjarakat Bandjarbaru

  • Baharuddin, B.A (Kepala Kantor Persiapan)
  • S.D. Hadiwaloejo (Tjatur Tunggal Ketjamatan)
  • S. Hasyim B.A (Panitya Penuntut Kotamadya Bandjarbaru)
  • H. Syahmudar Uchtary (Partai N.U. beserta ormas2nya)
  • Basuni Moctar (Partai PNI/Front Marhaenis beserta ormas2nya)
  • M. Hasfiany Shasby (Muhammadijah beserta ormas2nya)
  • Nj. Agoes Iberahim (G.O.W Tjab. Bandjarbaru)
  • Sipawarto (P.G.R.I Tjabang Bandjarbaru)
  • Ubangi (Legiun Veteran Bandjarbaru)
  • H.A. Sjasruni (Atas nama Pamong Desa)
  • Drs. Sugianto (S.K.D.N.Tjabang Bandjarbaru)

Atas permintaan dan desakan dari panitia penuntut kotamadia Banjarbaru, disertai understanding dari Bupati dan DPRD Kabupaten Banjar, pada sidang DPRD Kabupaten Banjar tanggal 1 Desember 1966 telah dibuat suatu resolusi No. 19/Res/794-3/66 yang memutuskan:

  1. Menyetujui dan mendukung sepenuhnya agar Kecamatan Banjarbaru ditingkatkan menjadi Kotamadia.
  2. Mendesak agar ibu kota Prop Kalsel segera dipindahkan dari Banjarmasin ke Banjarbaru.

Setelah kantor persiapan kotamadia Banjarbaru berumur hampir 2 tahun disertai persiapan segala usaha kearah terbentuknya kotamadia, disadari bahwa salah satu syarat pokok berotonomi belum dapat dipenuhi yaitu penghasilan keuangan daerah.

Sesuai dengan status kotamadia yang ingin dicapai, kemampuan keuangan ini baru bisa diatasi kalau Kota Banjarbaru sudah mulai berkembang, baik di bidang perdagangan, industri dan lain-lain. Setelah Panitia Penuntut Kotamadia melakukan musyawarah, diambil keputusan untuk memperjuangkan Banjarbaru pada tarap pertama status Kotamadia Adminstratif.

Dengan status Kota Administratif, maka Banjarbaru langsung menjadi eselon pemerintah dengan Provinsi Kalimantan Selatan dan pembiayaan Kota Banjarbaru langsung pula ditanggulangi oleh Pemerintah Tingkat I Kalimantan Selatan.

Keputusan tersebut disampaikan Panitia Penuntut dengan sebuah pernyataan pada Hari Ultah ke-2 Kantor Persiapan Kotamadia Banjarbaru, 21 Mei 1968 kepada Gubernur Kalimantan Selatan. Oleh Kepala Kantor Persiapan Kotamadia Banjarbaru diajukan pada Rapat Kerja Daerah Kabupaten Banjar pada tanggal 16-18 Maret 1968 dimana Rakerda menyetujui dan membuat pernyataan agar daerah Banjarbaru pada tahun 1968 ini juga menjadi Kota Administratif.

Bupati Kabupaten Banjar dengan suratnya tanggal 12 Juni 1968 No. I-A-1-1/3-68 kepada Gubernur Kalimantan Selatan mendukung tuntutan Panitia Penuntut tentang status Kotamadia Administratif Banjarbaru.

Gubernur Kalimantan Selatan, setelah menanggapi segala pernyataan dan perkembangan Persiapan Kotamadia Banjarbaru, dengan suratnya tanggal 26 Juli 1968 No. I-1-205-445 meminta pendapat serta pertimbangan dari DPRD Kalimantan Selatan tentang peningkatan Banjarbaru menjadi Kota Administratif.

DPRD Kalimantan Selatan menyetujui peningkatan status Banjarbaru sebagai Kota Administratif dengan Surat Keputusan tanggal 29 Juli 1968 No. 12/DPRD/KPT VII/1968. Berdasarkan persetujuan DPRD Kalimantan Selatan tersebut, Gubernur Kalimantan Selatan mengeluarkan Surat Keputusan tanggal 12 Agustus 1968 No. 57/I-1-205-612 tentang ditingkatkan Banjarbaru menjadi Kota Administratif.

Pada tanggal 17 Agustus 1968 bertempat di Banjarbaru oleh Bupati Kabupaten Banjar, diserahkan wewenang urusan pemda dan pemerintahan umum daerah Banjarbaru kepada Gubernur Kalimantan Selatan. Dengan demikian Kota Administratif Banjarbaru langsung diurus oleh Pemda Kalimantan Selatan. Tujuannya, agar mempermudah dan mempercepat pembinaan Kota Banjarbaru sebagai ibu kota Kalimantan Selatan. Masalah kenyataannya, setelah “ditangani” sekian Gubernur, sekian Bupati, dan 11 Wali Kota Administratif, barulah 23 tahun kemudian Banjarbaru baru berubah status menjadi kotamadia dengan “mimpi” sebagai ibu kota Kalimantan Selatan, itu tentu soal lain. Yang pasti, itulah kenyataan sejarah. Dan, hampir dapat dipastikan, bahwa setiap pejabat pasti merasakan dia sudah berbuat yang “terbaik”. Ini lelucon Abad Lalu.

Sebenarnya, Aberani Sulaiman dengan pidato berapi-api pernah menjanjikan: Selambat-lambatnya pada akhir tahun 1973, ibu kota provinsi Kalsel akan berpindah tempat dari Banjarmasin ke Banjarbaru.

Terlepas dari buaian semangat, untuk memimpin pelaksanaan pemerintahan Kota Administratif Banjarbaru, Gubernur Kalimantan Selatan menetapkan Baharuddin sebagai Kepala Kantor Persiapan Kotamadia Banjarbaru menjadi Pd. Wali Kota yang dapat bertindak atas nama Gubernur Kalimantan Selatan.

Sebagai Pembantu Wali Kota, a.n. Gubernur Kalimantan Selatan, tanggal 30 April 1969, berdasarkan SK No. I-1-1210, dibentuk Badan Penasihat Wali Kota yang terdiri dari:

  • A. Fadhillah, dari PNI sebagai anggota bidang Pemerintahan-Politik
  • M. Thamrin, B.Sc dari Partai NU sebagai anggota bidang Ekonomi-Pembangunan
  • R. Soeratman S. dari Partai Muslimin Indonesia sebagai anggota bidang Keuangan
  • A.M. Abdul Gais, dari Panitia Penuntut Kotamadia Banjarbaru sebagai anggota bidang Kesejahteraan Rakyat.
  • Kapt. A. Radiany, dari Sekber Golkar sebagai anggota bidang Pertahanan-Keamanan.

Pada tanggal 5 September 1968, Aberani Sulaiman meletakkan jabatannya sebagai Gubernur Kalimantan Selatan yang kemudian oleh pemerintah pusat ditunjuk M. Jamani sebagai Pejabat Gubernur Kalimantan Selatan. Pada masa Jamani, untuk melengkapi dan mendorong kegiatan para pemuda dibangun gedung Pemuda Kalimantan Selatan yang dibangun di Banjarbaru. Kemudian, diresmikanlah Kota Administratif Banjarbaru dengan pembentukan tiga kantor penghubung yaitu:

  1. Di Landasan Ulin, meliputi Landasan Ulin dan Desa Guntung Payung.
  2. Di Banjarbaru,meliputi Desa Loktabat, Banjarbaru Kota dan Desa Sungai Ulin/Sei Besar.
  3. Di Cempaka, meliputi Desa Cempaka/Sungai Tiung dan Desa Bangkal.

Sebagaimana telah diintrodusir pada awal bagian ini, setelah 23 tahun, setelah perjuangan panjang, dengan dilantiknya Akhmad Fakhrulli sebagai pejabat Wali Kota Banjarbaru oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid di Jakarta, 27 April 1999, Banjarbaru resmi menjadi Kotamadia (kota).

Ahkmad Fakhrulli yang berhasil “menggoalkan” Banjarbaru menjadi kotamadia, ternyata menjadi wali kota Banjarbaru hanya sekitar setahun. Sebab, DPRD Banjarbaru yang dibentuk semasa jabatan Fakhrulli melalui pemilihan demokratis pertama, memilih Rudy Resnawan menjadi wali kota pertama Banjarbaru, 12 April 2000. Dan era baru Banjarbaru baru dimulai.

Rujukan sunting

  • Banjarbaru; Ersis Warmansyah Abbas, 2002