Sastra Jawa-Sunda
Sastra Jawa-Sunda adalah hasil karya sastra Sunda, baik yang berhubungan dengan Sunda maupun tidak, tetapi ditulis menggunakan bahasa Jawa oleh orang Sunda.
Pengantar
suntingOrang Sunda yang menghuni bagian barat pulau Jawa sudah secara dini mengenal aksara. Prasasti-prasasti dinasti Tarumanagara yang diketemukan, ditarikhkan berasal dari abad ke-5 Masehi. Prasasti-prasasti ini ditulis dalam bahasa Sanskerta. Lama-kelamaan kemudian orang-orang Sunda pun menuliskan karya sastra mereka menggunakan bahasa Sunda kuno.
Pengaruh budaya Jawa
suntingAntara bagian barat pulau Jawa, tempat tinggal suku Sunda dan bagian timur, tempat tinggal suku Jawa yang sejati, sejak zaman dahulu kala sudah terjadi hubungan secara intensif. Sebenarnya batas timur budaya Sunda pada abad ke-5 Masehi diperkirakan berada kurang lebih di garis antara daerah yang sekarang disebut Kendal dan Dieng dan sekarang terletak di provinsi Jawa Tengah.[butuh rujukan] Namun akibat ekspansi sukubangsa Jawa menuju ke barat, perbatasan antara budaya Sunda dan budaya Jawa berada lebih ke barat yaitu di sekitar Indramayu, Cirebon sampai ke Cilacap. [butuh rujukan] Kemudian ada pula beberapa enklave di Jawa, terutama di Banten dan beberapa desa di Karawang.[butuh rujukan]
Pengaruh-pengaruh budaya Jawa juga sudah terlihat dalam karya-karya sastra Sunda Kuno. Ditemukan ada beberapa kata-kata serapan dari bahasa Jawa (Kuno) dan beberapa karya sastra Jawa Kuna banyak pula yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Sunda Kuno. Bahkan naskah tertua sastra Jawa Kuno berasal dari daerah Sunda di Jawa Barat. Misalkan naskah kakawin Arjunawiwaha yang tertua dan sekaligus naskah lontar (atau sebenarnya nipah) tertua pula berasal dari daerah sekitar Bandung. Naskah ini sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional RI dan bertarikhkan tahun 1334 Masehi. Selain Arjunawiwaha masih ada karya-karya sastra Jawa Kuno yang berasal dari daerah Sunda, seperti misalkan Kunjarakarna.
Namun pengaruh yang efeknya lebih terasa dan lestari terjadi pada abad ke-16 dengan penyebaran agama Islam di pulau Jawa serta ekspansi kerajaan Mataram II yang dipimpin oleh Sultan Agung. Sultan Agung ingin mempersatukan pulau Jawa dan sekitarnya dalam kerangka negara kesatuan Mataram. Meski hegemoni Mataram atas Jawa Barat berakhir pada tahun 1705, pengaruh budaya Jawa tidaklah berakhir, justru malah diperkuat dengan ditetapkannya bahasa Jawa sebagai bahasa resmi pemerintahan di Jawa Barat dan diputuskannya pemakaian sistem pembagian administratif Jawa. Pembagian administratif model Jawa ini adalah pembagian daerah kepada kabupaten-kabupaten yang berbeda-beda.
Bahasa Jawa dipakai oleh para cendekiawan Sunda. Bahasa Jawanya disebut "basa Jawareh (basa Jawa sawareh)". Hal tersebut dikarenakan bahasa Jawanya telah dipengaruhi oleh kata-kata dari bahasa Sunda.
.....Nganti suwe basa Jawa dadi basane para pintêr ing tanah Pêsundhan. Sêrate para bupati mêsthi nganggo aksara lan basa Jawa. Nanging basane Jawa iku nganggo dicampuri têmbung Sundha, lan dijênêngake basa Jawarèh (= Jawa sawarèh = Jawa mung saperangan).....
Terjemahan bebas: Telah lama bahasa Jawa menjadi bahasa para cendikiawan di tanah Pasundan. Tulisannya para bupati pasti memakai huruf dan bahasa Jawa. Akan tetapi, bahasa Jawa tersebut dicampur kata-kata dari bahasa Sunda, dan bahasa tersebut dinamai bahasa Jawareh (Jawa separuh)....
Dikutip dari Babad Tanah Jawi lan Sakiwa-tengenipun. Dikarang oleh L. Van Rijckevorsel, seorang direktur Normaalschool Ambarawa.
Sastra Jawa-Sunda
suntingDengan runtuhnya Pajajaran, kerajaan Hindu-Sunda terakhir, oleh Banten pada tahun 1579, bermulalah sejarah baru untuk kesustraan Sunda. Mirip dengan situasi di Bali dan mungkin juga Madura setelah ditaklukkan oleh Majapahit, di Sunda orang-orang berhenti menulis karya sastra mereka menggunakan bahasa Sunda dan aksara Sunda kuno. Mereka mulai menulis dalam bahasa Jawa menggunakan aksara Jawa dan aksara pegon. Bahasa Sunda kelak mulai dipergunakan lagi untuk menulis pada pertengahan abad ke-19 dengan pudarnya pengaruh Mataram dan menguatnya pengaruh pemerintahan Hindia Belanda. Bahkan pemerintah kolonial justru yang menggalakkan pemakaian bahasa Sunda dalam medium tertulis. Pemerintah koloni kala itu ingin meneliti budaya Sunda secara lebih mendalam.
Sastra Jawa-Sunda bisa dibagi menjadi tiga berdasarkan daerah asal yaitu: Banten, Indramayu dan Cirebon, dan Priangan.
Ciri khas sastra Jawa-Sunda
suntingBahasa Jawa yang dipergunakan untuk menuliskan karya sastra Jawa-Sunda secara umum biasanya adalah dialek bahasa Jawa khas Cirebon. Salah satu ciri khas dialek ini adalah tidak adanya perbedaan antara fonem retrofleks dan dental., mirip dengan bahasa Jawa yang dipergunakan dalam kesusastraan Jawa-Bali pula. Sehingga semua fonem /t./ atau /th/ dan /d./ atau /dh/ dilafazkan dan ditulis sebagai /t/ atau /d/ dental.
Kemudian dalam aksara Jawa yang dipergunakan oleh orang Sunda ada sedikit perbedaan ejaan. Aksara swara atau vokal /o/ yang biasanya ditulis dengan menggunakan dua tanda diakritik, taling dan tarung, oleh orang Sunda hanya ditulis dengan tarung saja. Sehingga sebenarnya yang ditulis bukan vokal /o/ namun /a:/ (a panjang). Oleh orang Sunda aksara Jawa-Sunda disebut Cacarakan.
Sastra Jawa biasa ditulis dalam bentuk syair atau tembang, yang ditulis dalam bentuk prosa atau gancaran lebih sedikit jumlahnya dan biasa tidak dianggap sastra. Dari bermacam-macam jenis metrum Jawa, yang dikenal di Sunda hanyalah Kinanti, Sinom, Asmarandana dan Dangdanggula.
Daftar karya sastra Sunda-Jawa
suntingDi bawah ini disajikan daftar karya sastra dalam bahasa Jawa yang berasal dari daerah kebudayaan Sunda. Daftar ini tidak lengkap, apabila para pembaca mengenal karya sastra lainnya dalam bahasa Jawa namun berasal dari daerah Sunda, silakan menambahkannya pada daftar ini.
- Babad Cerbon
- Cariosan Prabu Siliwangi
- Carita Ratu Galuh
- Carita Purwaka Caruban Nagari
- Wirid Nur Muhammad
- Kitab Waruga Jagat
- Layang Syekh Gawaran
- Pustaka Raja Purwa
- Sajarah Banten
- Suluk Wuyung Aya
- Wahosan Tumpawarang
- Wawacan Angling Darma
- Wawacan Syekh Baginda Mardan
- Kitab Pramayoga/jipta Sara
Karya Sastra Sunda-Jawa yang agak kontroversial
suntingPada awal dasawarsa 1970-an di daerah Cirebon, ditemukan dua naskah yang berisikan teks Pustaka Nagarakretabhumi dan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara (bagian dari kumpulan naskah yang dikenal juga dengan naskah Wangsakerta) dalam bahasa Jawa Kuna. Kala itu penemuan ini cukup menggemparkan, ada teks Jawa Kuno yang tidak dikenal berasal dari Jawa Barat. Namun setelah diteliti lebih lanjut, hasilnya lebih menggemparkan lagi, sebab diduga keras kedua teks yang memuat 'sejarah' ini merupakan karangan modern.
Namun biar bagaimanapun juga, kedua teks ini harus dianggap sebagai contoh ekspresi kesusastraan dalam bahasa Jawa (Kuno) dan berasal dari paruh kedua abad ke-20. Ditilik dari sudut pandang terakhir ini, hal ini sungguh menarik. Karena selain isinya menarik, gaya bahasanya bisa dikatakan cukup bagus pula.
Referensi
sunting- Edi S. Ekajati, 1996, ‘Cultural Plurality: The Sundanese of West Java’, di Illuminations. The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta: Yayasan Lontar.
- Edi S. Ekadjati dan Undang A. Darsa, 1999, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 5A. Jawa Barat. Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan École Française d’Extrême-Orient.