Saputangan atau selampai adalah selembar kain (cita) berbentuk persegi yang digunakan untuk kebersihan pribadi, antara lain mengelap tangan, menutup mulut ketika batuk, dan bersin, membersihkan bagian luar mulut, dan membuang ingus. Saputangan bisa digunakan berkali-kali, bila sudah kotor bisa dicuci, dikeringkan, disetrika, dan dipakai kembali. Biasanya saputangan lebih sering dibawa dan digunakan oleh orang dewasa, anak-anak, dan beberapa orang yang menderita penyakit sinusitis, rinitis, dan beberapa penyakit pernapasan lainnya yang memerlukan saputangan untuk membuang ingusnya. Ingus memang bukan sesuatu yang mudah di kala pilek, karena ingus dapat menyumbat hidung dan bahkan keluar dengan sendirinya. Saputangan mudah dibawa ke mana-mana, dimasukkan saku, dan tas, praktis, dan cocok untuk segala umur.

Saputangan

Sejarah sunting

Richard II dari Inggris dikatakan sebagai orang yang pertama kali menggunakan saputangan. Dalam catatan harian rumah tangga kerajaaan (household rolls) ditulis tentang "sepotong kecil kain yang dipakai baginda raja untuk menyapu dan membersihkan hidungnya." Catatan tersebut merupakan dokumen tertua yang menjelaskan penggunaan saputangan untuk membuang ingus.

Saputangan sebenarnya sudah disebut-sebut dalam syair karya Catulus (85-87 SM). Tidak seperti saat ini, alat pengusap keringat kala itu terbuat dari jalinan rumput. Memasuki abad pertama sebelum masehi, barulah saputangan terbuat dari kain linen. Meski sederhana, hanya golongan masyarakat kelas atas yang sanggup memilikinya. Itu sebabnya saputangan diperlakukan dengan sangat istimewa dan untuk pemakaiannya yang eksklusif.

Memasuki abad ke-14, sudah banyak masyarakat di Eropa yang menyadari saputangan sebagai bagian tak terpisahkan dari gaya busana. Terutama di Italia, tempat pertama kali ide saputangan muncul dari seorang wanita Venesia, yang memotong-motong rami menjadi bentuk bujur sangkar dan menghiasinya dengan renda. Kala itu saputangan bertambah fungsinya sebagai sarana bertutur sapa di antara masyarakat kelas atas dengan cara melambai-lambaikannya. Sementara di gedung teater ia dilambai-lambaikan untuk memberi sambutan hangat kepada para pemainnya.

Dari Italia saputangan menyebar ke seantero Prancis. Para bangsawan di bawah Raja Henry II memiliki andil besar dalam penyebarannya. Waktu itu saputangan sudah berbahan dasar sangat mahal, berhiaskan bordir sedemikian rupa sehingga sangat menarik dan menjadi barang mewah.

Fungsinya menjadi agak berbeda ketika cerutu diperkenalkan di Eropa abad ke-17. Mengisap cerutu menjadi kebiasaan yang sangat elegan. Sayangnya, mengisap cerutu dapat meninggalkan noda cokelat di hidung yang sangat mengganggu penampilan. Di sinilah terjadi perkembangan dengan munculnya saputangan ukuran besar berwarna gelap. Suatu hari pada abad ke-18 di Versailles, Maria Antoinette menyatakan, saputangan berbentuk bujur sangkar lebih tepat dan lebih mudah dibawa ke mana-mana. Bahkan Raja Louis XVI sampai mengeluarkan peraturan tentang ukuran bujur sangkar untuk semua saputangan yang dibuat di lingkungan istana.

Baru pada abad ke-19 saputangan sampai di Jerman. Namun baru beredar di kalangan bangsawan dan keturunan kerajaan. Saputangan juga menjadi hadiah umum dari pria yang menaruh hati kepada seorang wanita, atau sebaliknya. Dalam abad ini pula saputangan menjadi pelengkap wajib dalam gaya busana. .[1]

Jenis sunting

Harga saputangan berbeda-beda menurut jenis kain yang dipakai. Kain katun, katun sintetis, sutera, atau linen termasuk jenis-jenis kain yang biasa dipakai sebagai saputangan. Saputangan ada beberapa jenis, yaitu saputangan pria, saputangan wanita yang dihiasi renda, dan ada pula saputangan handuk, berbentuk persegi, memiliki tekstur seperti handuk dengan daya serap lebih tinggi, biasanya saputangan handuk memiliki warna atau gambar yang menarik dan lebih sering digunakan anak-anak.

Referensi sunting

  1. ^ Barbara Tuchman. A Distant Mirror, A.A.Knopf, New York (1978) p.444

Pranala luar sunting