Saṅgharāja (Pali: saṅgha "sangha, komunitas monastik" + rāja "raja, pemimpin"; Indonesia: Raja Sangha) adalah gelar yang diberikan di banyak negara Buddhis Theravāda kepada seorang biksu senior yang menjadi kepala tituler dari ordo-ordo monastik (nikāya), atau Saṅgha di seluruh negeri. Istilah ini sering diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai 'Patriarch' atau 'Supreme Patriarch'.

Gambaran umum

sunting

Jabatan saṅgharāja telah ditetapkan dengan berbagai metode di berbagai negara dan periode waktu. Dalam beberapa kasus, saṅgharāja ditentukan oleh senioritas monastik absolut; saṅgharāja adalah biksu yang telah menghabiskan masa vassa terbanyak sebagai biksu. Dalam kasus lain, pengangkatan kerajaan di suatu daerah juga dapat memainkan peranan—saṅgharāja dapat diangkat oleh raja yang menjabat, khususnya di negara-negara Asia Tenggara dengan sistem monarki yang terkait erat dengan agama Buddha Theravāda (Thailand, misalnya). Alternatifnya, saṅgharāja dapat dipilih secara semi-demokratis oleh para biksu atau umat awam (mirip dengan pemilihan kepala wihara di beberapa komunitas Theravāda).

Wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepada saṅgharāja juga dapat bervariasi secara signifikan. Secara tradisional, monastisisme Buddhis tidak memaksakan kewajiban kepatuhan tertentu kepada para biksu. Biksu mana pun dapat memberikan kritik terhadap biksu lain berkenaan dengan pelanggaran aturan disiplin, dan seorang biksu tidak terikat untuk mengikuti perintah atau anjuran biksu lain—bahkan biksu senior. Meski dalam praktiknya, rasa hormat yang diberikan kepada biksu senior dan standar masyarakat setempat sering kali memberikan dorongan signifikan bagi permintaan biksu senior untuk dipatuhi, meskipun tidak ada tuntutan tradisional atau tertulis untuk sikap seperti itu. Sebagian besar wihara–bahkan di daerah-daerah dengan saṅgharāja yang telah ditunjuk–tetap memiliki struktur pemerintahan sendiri atau, paling banyak, bergantung pada satu wihara yang lebih besar di wilayah yang sama.

Oleh karena itu, dalam beberapa kasus, saṅgharāja terutama merupakan tokoh figuran, titik fokus, dan juru bicara Buddhis, tetapi tidak disertai dengan wewenang tertentu. Bahkan tanpa wewenang atau tanggung jawab yang ditetapkan dengan jelas, seorang saṅgharāja sering kali dapat memengaruhi perubahan signifikan di negara Theravāda dengan menggunakan rasa hormat yang diberikan kepadanya dan jabatannya untuk memobilisasi para biksu dan umat awam demi perubahan sosial atau keagamaan. Preah Maha Ghosananda dari Kamboja merupakan contoh dari tipe saṅgharāja ini. Ia berperan sebagai seseorang yang pengaruhnya terhadap komunitas agama lokal jauh melampaui otoritas monastik apa pun yang mungkin dimilikinya.

Dalam kasus lain, saṅgharāja mungkin menjadi bagian dari hierarki nasional atau regional yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan isu-isu dengan kepentingan yang luasnya mencakupi saṅgha nasional. Patriark Tertinggi (Raja Sangha) Thailand beroperasi dalam cetakan ini, bekerja sama dengan pemerintahan sipil. Hirarki keagamaan pusat bertanggung jawab atas berbagai isu penting nasional dan regional, seperti kurikulum sekolah monastik, pembentukan bentuk-bentuk otoritatif untuk kitab suci dan ritual, serta isu-isu reformasi penting nasional, dengan menyerahkan sebagian besar keputusan lokal kepada kebijaksanaan wihara-wihara dan kepala wihara masing-masing (seperti penahbisan dan pendisiplinan biksu-biksu tertentu). Jabatan saṅgharaja saat ini tidak ada lagi di Sri Lanka karena tidak ada biksu yang ditunjuk untuk posisi ini dalam dua abad terakhir. Para sesepuh dengan gelar mahānāyaka yang bertindak sebagai kepala ordo dari tiga ordo utama, yakni Siam Nikāya, Amarapura Nikāya, dan Rāmañña Nikāya (dua ordo terakhir kini digabung sebagai Amarapura–Rāmañña Nikāya) dianggap sebagai biksu berpangkat tertinggi di Sri Lanka.

Saṅgharāja di Burma

sunting
Pemilihan thathanapaing pada tahun 1902 diadakan di pusat ordo Thudhamma Nikāya dan Pahtan Zayats dekat Bukit Mandalay.

Di Burma pra-kolonial, saṅgharāja dikenal sebagai thathanabaing (သာသနာပိုင်, secara harfiah berarti 'Penjaga Sāsana') atau secara formal mahāsaṅgharājā (မဟာသံဃာရာဇာ), biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Primate', 'Archbishop', atau Supreme Patriarch'.[1] Thathanabaing Burma menjabat sebagai kepala ordo biksu di Burma pra-kolonial, hingga dihapuskan pada tahun 1938 oleh otoritas Inggris di Burma kolonial. Penetapan Patriarki Tertinggi (Raja Sangha) dimulai lagi sejak tahun 1980. Saat ini, Patriark Tertinggi ke-5 Myanmar adalah Thanlyin Mingyaung Sayadaw.

Saṅgharāja di Sri Lanka

sunting

Di Sri Lanka, dari Kerajaan Polonnaruwa (abad ke-13) gelar saṅgharāja diinisiasi oleh raja Parakramabahu yang Agung. Pada awalnya, gelar saṅgharāja ini juga dikenal sebagai mahasami, kepala komunitas sangha di seluruh negeri. Biksu Sri Lanka pertama yang menyandang gelar ini adalah Dimbulagala Maha Kassapa Maha Thero. Namun, beberapa sumber menyatakan bahwa Thotagamuwe Sri Rahula Thera dianugerahkan posisi saṅgharāja oleh Raja Parakramabahu VI sebagai saṅgharāja pertama Sri Lanka. Welivita Sri Saranankara Thero, yang ditunjuk pada posisi ini oleh Raja Kirthi Sri Rajasinghe pada tahun 1753, merupakan saṅgharāja terakhir Sri Lanka.

Saṅgharāja di Kamboja

sunting

Di Kamboja dan bekas kerajaan Khmer, saṅgharāja (Khmer: សង្ឃរាជ, sangkhareach) adalah seorang biksu senior yang ditunjuk oleh raja yang memimpin salah satu persaudaraan wihara di negara tersebut. Dari periode antara tahun 1855 hingga awal era Khmer Merah, terdapat satu saṅgharāja untuk ordo Dhammayuttika Nikāya Kamboja, dan satu lagi untuk ordo Mahā Nikāya. Oleh karena ordo Dhammayuttika memiliki hubungan yang lebih dekat dengan takhta kerajaan, ordo ini secara resmi memiliki keunggulan di Kamboja meskipun hanya merupakan mayoritas kecil dari para biksu Khmer.

Selama periode Khmer Merah, peran saṅgharāja pada dasarnya lenyap karena agama Buddha secara resmi ditindas terlebih dahulu oleh pemerintahan Khmer Merah. Republik Rakyat Kampuchea yang didukung Vietnam mulai mengubah pendiriannya untuk mendapatkan dukungan rakyat yang lebih luas atas kekuasaannya, dan Tep Vong yang terhormat diangkat menjadi saṅgharāja baru oleh pemerintah pada tahun 1981, dengan kedua nikaya digabungkan menjadi satu ordo yang bersatu.[2]

Sekembalinya dari pengasingan pada tahun 1991, Raja Sihanouk mengangkat Bour Kry sebagai saṅgharāja dari ordo Dhammayuttika sehingga mengembalikan Kamboja ke sistem dua patriark.[3] Oleh karena monarki tidak lagi memiliki status pemerintahan di Kamboja, kedua persaudaraan atau ordo tersebut sekarang secara resmi setara.[3] Gelar resmi lengkap dari Patriark Tertinggi (Raja Sangha) ordo Mahā Nikāya adalah Samdech Preah Sumedhādhipati, sedangkan gelar resmi lengkap dari Patriark Tertinggi (Raja Sangha) ordo Dhammayuttika Nikāya adalah Samdech Preah Sugandhādhipati.[4]

Saṅgharāja di Thailand

sunting

Saṅgharāja (Thai: พระสังฆราช; RTGS: Phra Sangkharat) Thailand secara tradisional ditunjuk oleh raja, Rama I, yang menunjuknya sebagai orang pertama di zaman modern pada tahun 1782. Semenjak disahkannya Undang-Undang Sangha tahun 1902 pada masa pemerintahan Rama V, jabatan tersebut cenderung bergantian di antara para biksu yang ditahbiskan dari ordo mayoritas Mahā Nikāya, dan dari ordo minoritas Dhammayuttika Nikāya. Ordo Dhammayuttika Nikāya dimulai sebagai gerakan reformasi dalam ordo Mahā Nikāya, yang didirikan oleh Pangeran Mongkut, saat ia menjadi kepala wihara dengan nama penahbisan Vajirañāṇo, sebelum meninggalkan kehidupan monastik untuk naik takhta sebagai Rama IV.

Saṅgharāja di Laos

sunting

Saṅgharāja Laos secara tradisional ditunjuk oleh Raja Laos (dari Kerajaan Luang Phrabang).

Saṅgharāja modern

sunting
  • Sayadaw Phyagyi Ashin Cantimabhivamsa, saṅgharāja Myanmar saat ini
  • Somdet Phra Ariyavongsagatanana, saṅgharāja Thailand saat ini
  • Preah Maha Ghosananda, (ordo Mahā Nikāya) mendiang saṅgharāja Kamboja*
  • Samdech Preah Sugandhādhipati Bour Kry, saṅgharāja saat ini dari ordo Dhammayuttika Nikāya Kamboja
  • Samdech Preah Sumedhādhipati Non Nget, saṅgharāja ordo Mahā Nikāya Kamboja saat ini
  • Samdech Preah Agga Mahā Sangharājādhipati Tep Vong, agga saṅgharāja saat ini di Kamboja[5]

Pada tahun 1988, Maha Ghosananda dipilih sebagai Patriark Tertinggi (Raja Sangha) oleh sekelompok biksu yang diasingkan di Paris, tetapi status ini tidak diakui secara resmi di Kamboja.[6] Selama periode yang sama, Tep Vong memegang jabatan yang sama dalam sangha Kamboja yang bersatu, dan setelah tahun 1991 sebagai Patriark Tertinggi ordo Mahā Nikāya.

Lihat pula

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ Twomey 1904.
  2. ^ Harris 2001a, hlm. 75.
  3. ^ a b Harris 2001a, hlm. 77.
  4. ^ Harris 2001a, hlm. 74.
  5. ^ Chandara 2006.
  6. ^ Harris 2001a, hlm. 70.

Bibliografi

sunting
  • Bennett, Charles Henry Allan (November 1904), "The Thathanabaing", Buddhism: A Quarterly Illustrated Review, 1 (4), Rangoon: International Buddhist Society: 177–208
  • Aung San Suu Kyi (2010), Freedom from Fear, Penguin, ISBN 978-1-101-56400-4 Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Chandara, Lor (25 Mei 2006), "Buddhist Head Becomes Great Supreme Patriarch", The Cambodia Daily, diakses tanggal 7 November 2013
  • Ghosh, Parimal (2000), Brave Men of the Hills, University of Hawaii Press, ISBN 978-0-8248-2207-1 Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Kaviratne, W.T.J.S. (2 Februari 2014), "Thotagamuwe Sri Rahula Thero – Scholar monk par excellence", Amazing Lanka
  • Harris, Ian (2001), Buddhism and Politics in Twentieth-century Asia, Continuum International Publishing Group, ISBN 0-8264-5178-0 Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Harris, Ian (Agustus 2001a), "Sangha Groupings in Cambodia", Buddhist Studies Review, 18 (I), UK Association for Buddhist Studies: 65–72
  • James, Helen (2005), Governance and Civil Society in Myanmar, Psychology Press, hlm. 81–84 Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Long, Edward E. (Januari 1906), "Order of the Yellow Robe", Broad Views, 5 (25), Gay & Bird
  • Scott, J. George (1900), Gazetteer of Upper Burma and the Shan states (PDF), vol. 2, Superintendent, Government Printing Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Twomey, D.H.R. (Januari 1904), "The Thathanabaing, Head of the Buddhist Monks of Burma", The Imperial and Asiatic Quarterly Review, XVII (33/34), Oriental Institute: 326–335