Rumah Pengasingan Bung Hatta

rumah di Maluku Tengah, Maluku, Indonesia

Rumah Pengasingan Bung Hatta merupakan tempat Mohammad Hatta menjalani hukuman pengasingan sebagai tahanan politik selama 6 tahun (1936–1942) di Banda Naira, kini di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Ia bersama dengan tokoh nasional lain bernama Sutan Sjahrir juga diasingkan dekat rumah pengasingan Bung Hatta yang sekarang dikenal sebagai Rumah Pengasingan Bung Sjahrir.[1]

Rumah Pengasingan Bung Hatta
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Rumah Pengasingan Bung Hatta di Banda Naira
Cagar budaya Indonesia
PeringkatNasional
KategoriBangunan
No. RegnasCB.50
Lokasi
keberadaan
Kabupaten Maluku Tengah, Maluku
No. SK210/M/2015
Tanggal SK5 November 2015
Tingkat SKMenteri
PemilikYayasan Warisan Budaya Banda
PengelolaYayasan Warisan Budaya Banda
Koordinat4°31′39″S 129°54′00″E / 4.5273921°S 129.8998832°E / -4.5273921; 129.8998832
Rumah Pengasingan Bung Hatta di Maluku
Rumah Pengasingan Bung Hatta
Rumah Pengasingan Bung Hatta
Lokasi Rumah Pengasingan Bung Hatta di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku

Pada tahun 2008, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menetapkan bangunan Rumah Pengasingan Bung Hatta sebagai cagar budaya dari provinsi Maluku dengan SK Menteri Nomor PM.31/PW.007/MKP/2008.[2] Sampai saat ini, bangunan bercat putih yang berlokasi di jalan dr. Rehatta di kawasan Nusantara ini telah menjadi museum sebagai objek wisata sejarah utama di Banda Naira.[3]

Sejarah sunting

Pada tanggal 11 Februari 1936, Bung Hatta dan Bung Sjahrir tiba di pulau Banda Neira untuk diasingkan sebagai tahanan politik oleh pihak kolonial Belanda. Menurut pengakuan putri pertama Bung Hatta, Meutia Hatta menjelaskan alasan pihak kolonial Belanda sengaja mengasingkan mereka di tempat yang indah ini (Banda Neira) agar sikap mereka melunak pada pemerintah akan tetapi usaha itu gagal.[4] Dikarenakan mereka belum mendapatkan rumah sebagai tempat tinggal disana, keduanya memutuskan untuk sementara tinggal di kediaman Iwa Koesoemasoemantri disana.

Seminggu kemudian, mereka memutuskan untuk pindah ke rumah kosong dari seorang tuan tanah (perkenier) dengan harga sewa seharga f.12,50 (setara Rp 70.000) sebulan.[2] Menurut penuturan putri kedua Bung Hatta, Gemala Hatta menuturkan bahwa rumah tersebut diberi harga murah karena sudah lama kosong dan berhantu tetapi ayahnya tidak ambil pusing dan tetap menyewa rumah tersebut.[5] Setelah beberapa bulan akhirnya Bung Sjahrir memutuskan untuk pisah dan tinggal di rumah yang tidak jauh dari rumah pengasingan Bung Hatta yang sekarang dikenal sebagai Rumah Pengasingan Bung Sjahrir. pada tahun 1944 bangunan rumah pengasingan ini dibangun ulang karena hancur dibom oleh sekutu pada masa Perang Dunia kedua.[2]

Di tempat inilah keduanya bertemu dengan seorang tokoh yang nantinya menjadi sejarawan merangkap diplomat kebanggan Banda Neira bernama Des Alwi yang kala itu masih bersekolah kelas 2 di ELS (Europesche Lagere School).[6] Karena kedekatannya, Des Alwi memanggil Bung Hatta dengan sebutan om kacamata dan Bung Sjahrir sampai akhirnya diangkat oleh mereka berdua sebagai anak dan disekolahkan sampai ke luar negeri.[1] Sebelumnya, Bung Hatta diasingkan oleh pihak kolonial Belanda di Boven Digoel, Papua pada tahun 1935 selama setahun. Setelah enam tahun diasingkan disini, Bung Hatta bersama Bung Sjahrir kemudian diasingkan ke Rumah Pengasingan Hatta - Sjahrir di kota Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 1 Februari 1942 dalam rangka mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.[7]

Masa pengasingan Bung Hatta dan Bung Sjahrir berakhir pada awal tahun 1942 ketika sebuah pesawat amfibi Catalina datang untuk menjemput mereka berdua. Ketika proses pengangkutan ternyata pesawat kelebihan beban, terpaksa akhirnya Bung Hatta merelakan dua peti buku ditinggal dan dititipkan kepada Des Alwi di Banda Neira.[5]

Pada tahun 1972, setelah tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, Bung Hatta sempat kembali mengunjungi rumah ini. Ia disambut bagai anak asli dari pulau tersebut. Banyak pula warga yang menangis ketika Hatta pulang kembali ke Jakarta sama seperti ketika waktu Februari 1942 lalu ketika Bung Hatta dan Bung Sjahrir mengakhiri masa pengasingan di sana.[1]

Awalnya rumah pengasingan ini dirawat oleh seorang laki-laki bernama Decky Baadila atas amanat dan bantuan dari Des Alwi yang kerap dipanggil Om Des oleh orang sana. Setelah Decky meninggal pada tahun 1984, tanggung jawab pemeliharaan rumah tersebut akhirnya jatuh pada adik kandung perempuannya yang bernama Emi Baadila yang kerap dipanggil Oma Emi dengan bantuan upah bulanan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Ternate sebagai biaya penunjang perawatan.[8]

Sekolah Sore sunting

Semasa dalam masa pengasingan Bung Hatta dan Bung Sjahrir membuka sekolah sore yang tepatnya berada di paviliun selatan bangunan ini. Sekolah yang berbentu kelas kecil ini terdiri dari tujuh bangku dan meja belajar model lama menghadap sebuah papan tulis kayu. Dalam sekolah sore ini Bung Hatta dan Bung Sjahrir mengajari anak-anak Banda pelajaran aritmetika hingga bahasa Inggris. Syahrir mengajar anak-anak kecil, sedangkan Hatta mengajar anak yang lebih besar.

Dalam rangka menanamkan nilai patriotisme dan nasionalisme, Bung Hatta pernah mengajak anak-anak mengecat perahu dengan warna merah-putih. Sedangkan Syahrir kerap mengajak anak-anak naik perahu ke Pulau Pisang, yang berjarak beberapa kilometer dari Neira sambil mengajari mereka bernyanyi Indonesia Raya. Mereka berdua juga mengajarkan bahwa Teuku Umar dan Diponegoro adalah pahlawan yang berjuang melawan penjajah, bukan pemberontak. Suatu hari, Bung Hatta pernah kedapatan mengecat perahu dengan warna merah-putih tanpa warna biru satu titikpun oleh seorang Belanda yang merupakan pejabat disana. Tapi Bung Hatta berdalih, “Tuan kan tahu sendiri, laut sudah berwarna biru.” Si Belanda tersebut lantas pergi tanpa mengindahkan dalihnya.[9]

Untuk mengenang jasa besar mereka berdua, pulau Pisang diganti namanya menjadi Pulau Sjahrir sementara pulau yang terletak di tenggara Pulau Banda dinamai menjadi Pulau Hatta.[9]

Bagian Bangunan sunting

Rumah utama sunting

Rumah utama dari rumah pengasingan ini memiliki sebuah selasar depan seluas 29,25 m² dan selasar belakang seluas 42,25 m², sebuah ruang tamu seluas 36 m², sebuah ruang makan seluas 17,6 m², dan tiga ruang tidur yang masing-masing luas terdiri dari 22,5 m², 19,8 m², dan 19,8 m². Atap bangunan ini masih berupa atap seng berbentuk perisai kuda-kuda dari kayu dengan plafon berupa papan kayu yang ditahan oleh balok kayu. Lantai bangunan ini masih berupa ubin terakota berwarna merah bata dengan ukuran bervariasi. Di bangunan inilah terdapat barang-barang peninggalan Bung Hatta seperti, kacamata, meja kerja, mesin tik, kursi santai, dan lemari berisi sepatu dan pakaiannya.

Paviliun Samping (Paviliun Timur) sunting

Bangunan ini memiliki atap seng berbentuk perisai kuda-kuda dari kayu dengan plafon berupa papan kayu yang ditahan oleh balok kayu. Lantainya masih sama dengan lantai rumah utama yaitu berupa ubin terakota berwarna merah bata dengan ukuran bervariasi. Dua ruangan depan lantainya terbuat dari batu alam berwarna abu-abu sedangkan dua ruangan belakang lantainya terbuat dari semen polos berwarna abu-abu.

Paviliun Belakang (Paviliun Selatan/Sekolah Sore) sunting

Di bangunan inilah Bung Hatta dan Bung Sjahrir membuka sekolah sore bagi anak-anak di Banda Neira. Untuk bagian bangunan sama persis seperti rumah utama tetapi yang membedakan adalah adanya deretan bangku dan papan tulis sebagai tempat mengajar serta tempayan besar berisi air untuk minum.

Referensi sunting

  1. ^ a b c Asdhiana, I Made (ed.). "Mengunjungi Naira, Mengenang Hatta-Sjahrir". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  2. ^ a b c "Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya". cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-27. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  3. ^ GATRAcom. "Gatracom - Rumah Pengasingan Bung Hatta Di Indahnya Banda Neira". www.gatra.com. Diakses tanggal 2019-03-22. [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ Pruwanto (2013-12-20). Pruwanto, ed. "Banda Naira, Tempat Indah Pembuangan Hatta-Sjahrir". Tempo.co. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  5. ^ a b "Tiba di Banda, Bung Hatta Tempati Rumah Hantu". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  6. ^ "Des Alwi: Jadi Anak Revolusi Berkat Hatta & Sjahrir - Semua Halaman - Intisari.Grid.ID". intisari.grid.id. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  7. ^ "Rumah Pengasingan Hatta dan Syahrir Jadi Saksi Perjuangan". Republika Online. 2018-11-11. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  8. ^ "Kisah si Penjaga Rumah Pengasingan Bung Hatta di Banda Neira". ADIITOO. 2017-09-30. Diakses tanggal 2019-03-22. 
  9. ^ a b Wansyah, Adeir. "Ke Rumah Pengasingan Hatta dan Syahrir di Banda Neira". Ulinulin. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-27. Diakses tanggal 2019-03-22.