Ritual pemotongan kepala ayam


Ritual pemotongan ayam adalah ritual dalam budaya Taiwan yang menjadi salah satu pilihan penyelesaian untuk perselisihan yang rumit dan menganduk aspek emosional yang belum diselesaikan di pengadilan tradisional atau melalui mediasi pribadi. Ritual pemotongan ayam dikaitkan dengan sifat kejujuran masyarakat Taiwan dan lebih dari sekedar simbol integritas daripada aktualitas di Taiwan zaman sekarang

Sejarah sunting

Ritual memenggal ayam memiliki akar sejarah di dalam tradisi hukum di Provinsi Fujian China, yang mana lebih dari 70% warga Taiwan dapat melacak asal leluhur mereka.[1]

Dalam masyarakat feodal Fujian, orang-orang yang dicurigai mencuri dibawa ke hadapan para hakim dan dipaksa untuk menyatakan sumpah tidak bersalah.[2] Seseorang yang bersembunyi di balik gambar hakim kemudian akan menunjuk terdakwa yang seharusnya akan merajuk dan mengaku jika mereka bersalah.[2]

Pengadilan ini juga sering dilakukan di hadapan gambar dewa sebagai cara untuk memaksa seseorang untuk jujur. Pengelola kuil bahkan terkadang bertindak sebagai hakim.[3] Tradisi dari Fujian ini telah tertanam dalam budaya Taiwan dan banyak aspek lain dari tradisi tersebut terwujud ke dalam ritual pemenggalan ayam Taiwan, terutama penggunaan sumpah tidak bersalah (赌咒, duzhou atau "pembuatan sumpah" - secara harfiah berarti berjudi pada sebuah sumpah) dan menggunakan nama dewa-dewa lokal untuk mendorong orang agar takut melanggar sumpah mereka.[4]

Dalam arti yang lebih luas, sejarah ritual pemotongan ayam mewakili peran penting yang dimiliki oleh agama masyarakat Taiwan; dan ketika sistem hukum Taiwan tidak dirasa cukup maka warga akan beralih ke dewa lokal kepercayaan mereka.

Terkait kepastian dari tanggal pertama dilakukannya ritual pemotongan kepala ayam di Taiwan tidak diketahui, namun ritual tersebut sering dilakukan sepanjang abad ke-19 dan bersifat umum selama pemerintahan Jepang di Taiwan pada paruh pertama abad ke-20. Namun, tingkat ritual pemenggalan ayam menurun ketika Taiwan dengan cepat dimodernisasi di paruh akhir abad ke-20.

Ritual sunting

Ketika mediasi pribadi tidak berhasil dan sistem hukum Taiwan telah dilewati atau gagal untuk menyelesaikan perselisihan yang rumit, ritual pemotongan ayam digunakan sebagai penyelesaian sengketa .

Ritual pemenggalan ayam yang sebenarnya melibatkan dua individu yang berselisih satu sama lain atas perselisihan yang mungkin bersifat pribadi atau menyangkut hukum. Keduanya membawa seekor ayam ke kuil mereka yang seringnya menjadi kuil Dewa Kota setempat ; orang tersebut kemudian menyatakan sumpah tidak bersalah sambil berdiri di hadapan Dewa mereka.[5]

Sumpah tidak bersalah biasanya mencakup keterangan singkat tentang di mana mereka tinggal, usia mereka, deskripsi versi mereka tentang peristiwa yang dipermasalahkan dan pernyataan yang menyatakan bahwa orang tersebut tidak bersalah dan memprotes bahwa mereka adalah orang yang terhormat.[6] Namun akhirnya orang tersebut akan membuat kutukan dan diyakini akan membawa kemalangan besar yang terjadi pada mereka atau keluarga mereka jika mereka berbohong dalam sumpah.[7]

Ritual pemenggalan ayam memiliki berbagai konsekuensi, tetapi umumnya lebih banyak membantu menyelesaikan kesalahpahaman.

Contoh sunting

Akademisi hukum Jepang Masuda Fukutaro, mencatat contoh penyelesaian sengketa yang berhasil melalui ritual ada di kotapraja Dongshan, sebelum Perang Dunia Kedua, Taiwan, selama pemerintahan Jepang.[8] Seorang individu, Wang Buren, meminjam 50 yuan dari temannya, Chen Youyi, tetapi tidak mengembalikan uang itu kepada istri Chen setelah Chen meninggal. Sebaliknya dia menegaskan bahwa dia sudah membayarnya. Istrinya Chen diberitahu oleh pengadilan setempat bahwa karena suaminya tidak menyimpan tanda terima pinjaman, dia tidak dapat membawa masalah itu ke pengadilan. Dia putus asa dan memaksa Wang untuk melakukan ritual pemenggalan ayam bersamanya di kuil dewa kota di Dongshan untuk menentukan siapa yang mengatakan yang sebenarnya.[8] Dua puluh hari setelah menyatakan sumpah tidak bersalah, Wang terlihat mengoceh dan berlari dengan gila di jalan-jalan dan mengatakan bahwa dia akan dengan senang hati memberikan 100 yuan kepada istrinya Chen untuk menyelesaikan masalah ini.[9] Dengan cara ini, ritual memenggal ayam berhasil memaksa pihak yang bersalah untuk mengakui kesalahannya dan dengan demikian menyelesaikan masalah.

Kasus lain menyebutkan terdapat sebuah rumah milik seorang pria kaya yang dirampok dan dia menyalahkan asistennya yang menyangkal semua tuduhan kejahatan tersebut. Asisten tersebut kemudian membawa seekor ayam jantan putih ke Dewa kota setempat untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah.[10] Selama ritual berlangsung, dia bersumpah bahwa dia rela mati jika dia memang bersalah. Akibatnya, pelaku sebenarnya sangat takut akan nyawanya sehingga dia mengembalikan apa yang telah dia curi.

Dalam kedua kasus tersebut, ritual memenggal ayam memaksa pihak yang bersalah untuk mengaku dan dengan demikian membantu menyelesaikan perselisihan dengan sukses.

Simbolisme sunting

Ritual pemenggalan ayam di Taiwan sering kali berujung pada penyelesaian perselisihan dikarenakan niat apa yang dimaksudkan.

Ritual memenggal ayam Taiwan sangat sarat dengan simbolisme. Ayam dianggap sebagai representasi manusia yang memenggalnya. Implikasi dari pemenggalan kepala ayam adalah bahwa manusia akan rela mati atau kehilangan integritasnya jika sumpahnya palsu. Masyarakat tradisional Taiwan yang takut akan dewa seperti itu memiliki kekuatan yang mendalam dalam imajinasi budaya masyarakat.

Alasan menggunakan ayam dalam ritual ini bersifat simbolis dan praktis. Ayam melambangkan matahari (陽) dan kekuatan positif kehidupan dan vitalitas dalam budaya Cina dan Taiwan. Namun, umumnya dipahami bahwa alasan utama ayam digunakan adalah karena ayam sangat murah dan berlimpah di Cina Selatan dan Taiwan. Dengan demikian, orang biasa dapat dengan mudah memenggal seekor ayam tanpa banyak pikir tetapi juga dengan mudah membelinya dari tukang daging lokal mereka.[11]

Politik sunting

Karena sifatnya yang berdarah, ritual memenggal ayam jarang dilakukan di Taiwan modern.[7]

Namun, banyak politisi membuat sumpah tidak bersalah di kuil-kuil lokal untuk meningkatkan peluang mereka untuk terpilih. Pada musim semi 2001 politisi Taiwan, Yan Qingbiao dituduh melakukan pemerasan dan percobaan pembunuhan. Dia membuat sumpah yang menyatakan bahwa dia adalah orang yang berintegritas dan tidak bersalah atas kesalahan apa pun di salah satu kuil paling terkenal di Taiwan, Zhenlan Gong.[12] Keyakinan ini berfungsi untuk memperkuat modal politiknya dengan tampilan dramatis dan membuat pemilihnya percaya bahwa dia memanglah orang yang jujur dan baik.

Ritual memenggal ayam kadang-kadang disebut secara metaforis dalam politik Taiwan modern. Ketika James Soong, dituduh menggelapkan dana dari Partai Kuomintang (KMT) miliknya sendiri, ia digambarkan melakukan ritual memenggal ayam untuk membuktikan ketidakbersalahannya dalam sebuah kartun oleh Liberty Times .[13] Kartun ini dengan keras mencemooh Soong karena dia adalah anggota elit kebarat-baratan dan tidak mau terlibat dalam ritual tradisional seperti itu. Kartun tersebut juga menunjukkan bagaimana ritual ayam yang dipenggal masih diingat kuat di benak masyarakat Taiwan.

Dengan cara ini, ritual pemenggalan ayam digunakan dalam pengertian alegoris di Taiwan modern, sebagian besar di bidang politik, dan hanya sedikit ayam yang benar-benar dipenggal. Kehormatan dan ketulusan yang secara historis melekat pada ritual pemotongan ayam tetap menjadi kekuatan kuat dalam masyarakat Taiwan.

Lihat Juga sunting

Catatan Kaki sunting

Referensi sunting

  • Overmyer, D. L., ed. (2003). Religion in China Today. The China Quarterly Special Issues New Series. 3. Cambridge: Cambridge University Press. 
  • De Groot, J. M. G. (1964). The Religious System of China: its ancient forms, evolution, history and present aspect, manners, customs and social institutions connected therewith. I. Amsterdam: Literature House. ISBN 1314345567. 
  • Jordan, D. K.; Morris, A. D.; Moskowitz, M. L., ed. (2004). The Minor Arts of Daily Life: Popular Culture in Taiwan. Hawai’i: University of Hawai’i Press. ISBN 0824828003. 
  • Ma, Laurence J. C.; Cartier, Carolyn L. (2003). The Chinese Diaspora: Space, Place, Mobility and Identity. Maryland: Rowman & Littlefield. ISBN 074251756X. 
  • Katz, P. R. (2009). Divine Justice: Religion and the Development of Chinese Legal Culture. New York: Academia Sinica. ISBN 978-0415574334.