Rentjong Atjeh adalah film aksi Hindia Belanda tahun 1940 yang disutradarai The Teng Chun yang mengisahkan sekelompok orang yang hendak balas dendam kepada para perompak di Selat Malaka. Film ini dibintangi Ferry Kock, Dewi Mada, Bissoe, Mohammad Mochtar, dan Hadidjah. Film ini dibuat dekat pesisir Batavia (sekarang Jakarta) dan memakai kembali rekaman film The sebelumnya, Alang-Alang (1939). Rentjong Atjeh, sebagian terinspirasi oleh film-film Tarzan, sukses di pasaran dan sekarang hilang dari peredaran.

Rentjong Atjeh
Poster
SutradaraThe Teng Chun
ProduserThe Teng Chun
Ditulis olehFerry Kock
Pemeran
  • Ferry Kock
  • Dewi Mada
  • Bissoe
  • Mohammad Mochtar
  • Hadidjah
Penata musikMas Sardi
SinematograferThe Teng Hwi
Perusahaan
produksi
Java Industrial Film
Tanggal rilis
  • 1940 (1940) (Hindia Belanda)
NegaraHindia Belanda
BahasaMelayu
Artikel ini tersedia dalam versi lisan
Dengarkan versi lisan dari artikel ini (7 menit)
noicon
Ikon Wikipedia Lisan
Berkas suara ini dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal 23 Juli 2021 (2021-07-23), sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.

Alur

Perompak mulai menjelajahi Selat Malaka, merampok kapal, dan membunuh awak dan penumpangnya. Di sebuah kapal, tiga anak selamat: Maryam (Dewi Mada), yang ditangkap dan dipaksa tinggal bersama kapten perompak (Bissoe), dan kakak beradik Daud (Mohammad Mochtar) dan Rusna (Hadidjah), yang kabur ke hutan. Lima belas tahun kemudian, Rusna bertemu Ali (Ferry Kock), seorang tentara yang jatuh cinta dengannya. Sementara itu, Daud jatuh cinta dengan Maryam, yang bekerja sebagai penari untuk kapten perompak. Ali dan Daud menyerbu kapal perompak dan membunuh awaknya. Ali membunuh kapten dengan rencongnya (belati Aceh). Mereka akhirnya hidup damai tanpa gangguan perompak.[1][2]

Produksi

Rentjong Atjeh ditulis oleh Ferry Kock, mantan anggota kelompok sandiwara Dardanella yang baru saja pulang dari Amerika Serikat. Istrinya, Dewi Mada, membintangi film ini bersama aktor-aktor lain seperti Kock, Mohammad Mochtar, Hadidjah, dan Bissoe. Munculnya Kock dan Mada kelak meneruskan tren perpindahan personel sandiwara ke dunia perfilman pasca suksesnya Terang Boelan (1937) yang disutradarai Albert Balink. Beberapa orang yang pindah ke industri perfilman meliputi Andjar dan Ratna Asmara, Fifi Young dan suaminya, Njoo Cheong Seng.[1][3][4]

The Teng Chun, pemilik Java Industrial Film (JIF), menjadi produser sekaligus sutradaranya. Kock awalnya diminta menyutradarai film ini, namun tidak mampu.[5] Saudara-saudara The juga mengerjakan film ini: The Teng Liong menjadi pengarah suara, sedangkan The Teng Hwi menjadi sinematografernya.[6][7] Mas Sardi menulis dan menggubah beberapa lagu untuk film ini, termasuk "Oh Ajah dan Iboekoe" dan "Akoe Ta' Sangka".[6][8]

 
Ferry Kock menggigit rencong. Adegan ini terinspirasi oleh film-film Tarzan kontemporer.

Film ini direkam dengan kamera hitam putih.[1] Ketika pemerintah Hindia Belanda mempersiapkan perang melawan Jepang setelah invasi Jerman ke Belanda, The tidak diizinkan merekam adegan di laut. Adegan yang menampilkan para perompak tersebut direkam di pesisir teluk Batavia (sekarang Jakarta). Adegan-adegan lain diambil dari rekaman usang film sebelumnya, Alang-Alang (1939).[5] Sejumlah adegan terinspirasi oleh film-film Hollywood. Sebuah adegan ketika tokoh yang diperankan Ferry Kock menggigit rencong sambil bertempur terinspirasi oleh sebuah adegan dalam film-film Tarzan.[2] Alang-Alang dan film Poetri Rimba juga terinspirasi oleh seri Tarzan.[9]

Rilis

Rentjong Atjeh tayang perdana pada tahun 1940 di Sampoerna Theater, Surabaya. Sebelumnya, alur film ini diserialkan dan musik lagunya diterbitkan dalam bentuk buku promosi.[10] Film ini juga ditayangkan di Malaya Britania dan diiklankan sebagai "drama sejarah Melayu besar pertama".[11]

Film ini meraih sukses di pasaran. Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran menyebut kesuksesan ini bisa diraih berkat kemampuan pemasaran Andjar Asmara.[5] Selepas film ini, JIF rutin menerbitkan majalah promosi berjudul JIF Journal yang berisikan informasi tentang film-film mendatang.[10]

Film ini bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya.[12] Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[13]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b c Filmindonesia.or.id, Rentjong Atjeh.
  2. ^ a b Biran 2009, hlm. 256–257.
  3. ^ Said 1982, hlm. 27.
  4. ^ Biran 2009, hlm. 169.
  5. ^ a b c Biran 2009, hlm. 210.
  6. ^ a b Filmindonesia.or.id, Kredit Lengkap.
  7. ^ Biran 2009, hlm. 150.
  8. ^ Biran 2009, hlm. 211.
  9. ^ Said 1982, hlm. 30.
  10. ^ a b Biran 2009, hlm. 211–212.
  11. ^ Barnard 2010, hlm. 66.
  12. ^ Heider 1991, hlm. 14.
  13. ^ Biran 2009, hlm. 351.

Daftar pustaka

Pranala luar