Putu Fajar Arcana (lahir 10 Juli 1965) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia asal Bali. Memulai debutnya sebagai penulis sejak menempuh pendidikan di jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Udayana. Dia adalah salah satu redaktur di harian Kompas.[1][2]

Putu Fajar Arcana
Berkas:Putu Fajar Arcana.jpg
Putu Fajar Arcana
Lahir(1965-07-10)10 Juli 1965
Negara, Bali Barat, Bali
PekerjaanSastrawan
Tahun aktif1989 - sekarang

Latar belakang sunting

Putu Fajar Arcana lahir dan besar di Negara, Bali Barat, Bali. Ia adalah putra pasangan I Ketut Nomor dan Ni Nyoman Loten. Mulai serius menekuni dunia tulis menulis ketika ia berkuliah di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Udayana. Tahun 1989, ia mulai menekuni dunia jurnalistik. Pernah menjadi wartawan mingguan Karya Bhakti Denpasar, harian Nusa Tenggara Denpasar, tabloid Ekbis Denpasar dan majalah Tempo. Kemampuannya di bidang sastra semakin terasah ketika ia bertemu dengan penyair Umbu Landu Paranggi saat bekerja di harian Kompas sebagai koresponden Bali.[3]

Di luar dunia jurnalistik, ia pernah menjadi koordinator Sanggar Minum Kopi (SMK) Bali pada awal 1990-an, yang secara rutin menyelenggarakan Lomba Penulisan Puisi se-Indonesia, serta Lomba Baca Puisi se-Bali. Juga pernah aktif di Kelompok Sapu Lidi dan menjadi penggagas kelahiran Yayasan CAK Denpasar yang menerbitkan Jurnal CAK sampai kini, serta menjadi pendiri Warung Budaya di Taman Budaya Denpasar, tahun 1998. Ia juga kerap berkeliling untuk menjadi juri serta membangkitkan kehidupan sastra di daerah-daerah seputar Bali.[4]

Karya sunting

Sebagai penulis ia telah melahirkan banyak karya, antara lain kumpulan puisi tunggalnya terbit tahun 1997, berjudul Bilik Cahaya, The Ginseng (1993), Dari Negeri Poci III (1994), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Amsal Sebuah Patung (1996), Bonsai’s Morning (1996), Kembang Rampai Puisi Bali (1999), Menagerie IV (2000), Bali The Morning After (2000), Gelak Esei dan Ombak Sajak (2000) Malaikat Biru Kota Hobart (2004), Mahaduka Aceh (2004) serta Manusia Gilimanuk (2012). Karya cerpennya termuat dalam Antologi Para Penari (2002), Bunga Jepun (2003) dan Samsara (2005). Esai-esainya yang mengkritisi Bali sebagai tanah kelahirannya terkumpul dalam Surat Merah untuk Bali (2007). Ia juga meluncurkan novel Gandamayu di Bentara Budaya Bali pada tahun 2012, yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Novel ini berangkat dari kisah perempuan dalam mitolog, yang merupakan interpretasinya atas wiracarita Mahabarata, terkait figur pendamping Siwa yang paradoks, yakni Dewi Durga yang menyeramkan di bawah pengaruh amarah dan menjelma menjadi Dewi Uma yang lembut penuh kasih. Karya cerpennya Rumah Makam masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2003, Waktu Nayla. Tahun 2004, cerpennya kembali termasuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas, Sepi pun Menari di Tepi Hari. Ia pun termasuk satu dari tujuh penyair Bali yang diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk mengikuti Cakrawala Sastra Indonesia 2004 di Taman Ismail Marzuki Jakarta.[5]

Kini ia bekerja sebagai wartawan Kompas di Jakarta. Ia juga menjadi editor untuk beberapa buku terbitan Penerbit Buku Kompas. Perjalanan jurnalistiknya selama ini telah mengantarnya mencapai kota-kota di dunia seperti Athena, Yunani (2003), Paris, Prancis (2003/2007), Brussel, Belgia (2007), Koln, Jerman (2007), Luksemburg (2007), Singapura (2003/2004/2007), Bangkok, Thailand (2004), Rusia dan India.[6]

Penghargaan sunting

Atas dedikasinya yang besar dalam dunia sastra, ia tercatat pernah beberapa kali meraih penghargaan diantaranya, naskah sinetronnya keluar sebagai pemenang Sepuluh Terbaik tahun 1993 di Bali. Puisinya, Manusia Gilimanuk menjadi nominator peraih Borobudur Award tahun 1996, 10 cerpenis Terbaik dalam Lomba Menulis Cerpen se-Indonesia yang diselenggarakan Bali Post Denpasar (2002), pemenang utama Lomba Menulis Cerpen se-Indonesia yang diadakan di Kota Batu, Jawa Timur, pada tahun yang sama. Mendapatkan penghargaan Widya Pataka untuk bukunya Manusia Gilimanuk dari Pemerintah Daerah Bali (2012). Naskah monolognya berjudul Pidato termaktub dalam 12 naskah terbaik dalam lomba Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi 2004. Selain menerima penghargaan, ia juga menerima hadiah berupa uang biaya cetak buku senilai Rp. 10 juta.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Website resmi Taman Ismail Marzuki Diarsipkan 2015-02-27 di Wayback Machine., diakses 27 Februari 2015
  2. ^ Website resmi harian umum Kompas , diakses 27 Februari 2015
  3. ^ Gramedia Pustaka Utama Diarsipkan 2015-09-24 di Wayback Machine., diakses 27 Februari 2015
  4. ^ Buku Kompas Diarsipkan 2015-02-27 di Wayback Machine., diakses 27 Februari 2015
  5. ^ Amazone: Bunga Jepun-Putu Fajar Arcana, diakses 27 Februari 2015
  6. ^ ID Writers: Putu Fajar Arcana, diakses 27 Februari 2015