Purnawarman

Raja terbesar Tarumanegara

Purnawarman adalah Raja ke-3 sekaligus termahsyur dari Kerajaan Tarumanagara yang memerintah sejak tahun 395 - 434 M. Namanya dikenal dalam Prasasti Ciaruteun, Prasasti Jambu, dan Prasasti Tugu, serta diperkuat dengan Naskah Wangsakerta.

Purnawarman
Narèndraddhvajabhūténa
Ilustrasi Purnawarman
Raja Tarumanegara ke 3
Berkuasa(395 - 434)
PendahuluDharmayawarman
PenerusWisnuwarman
Informasi pribadi
Kelahiran16 Maret 372 M
Kematian23 November 434 M
WangsaDinasti Warman
Nama takhta
Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati
AyahDharmayawarman
Anak

Silsilah keluarga sunting

Purnawarman putra Rajaresi Darmayawarmanguru putra Jayasingawarman. Maharesi Jayasingawarman, pendiri kerajaan Tarumanagara adalah menantu Sang Prabu Dewawarman VIII, raja terakhir kerajaan Salakanagara. Kerajaan Salakanagara yang berkuasa dari 130-362 M (232 tahun) yang beribu kota di Rajatapura, Pandeglang sekarang. Dinasti Warman ini merupakan penerus Kerajaan Salakanagara. Purnawarman dilahirkan tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna tahun 294 Saka (16 Maret 372 Masehi).[butuh rujukan]

Pemerintahan sunting

Urusan politik sunting

Pengangkatan sebagai raja sunting

Dua tahun sebelum ayahnya wafat, ia diwisuda sebagai raja Tarumanagara ketiga, pada tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 317 Saka (12 Maret 395 Masehi) sampai tahun 356 Saka (395 434 Masehi). Ayahnya, Rajaresi Darmayawarman, mengundurkan diri dari tahta kerajaan, untuk hidup di pertapaan menempuh manurajasunya (bertapa setelah turun tahta sampai ajal tiba). Ayahnya, Rajaresi Darmayawarman dipusarakan di tepi kali Gomati.[butuh rujukan]

Pembangunan ibu kota kerajaan yang baru sunting

Di Naskah Wangsakerta, Purnawarman adalah raja ketiga Kerajaan Tarumanagara yang memerintah antara 395434. Ia membangun ibu kota kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai dan dinamainya Sundapura, (Kota Sunda). Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 M untuk menyebut ibu kota kerajaan yang didirikannya. Kelak nama Sunda ini menjadi sebutan etnik bagi suku yang mendiami bagian barat pulau Jawa.[butuh rujukan]

Perluasan wilayah kekuasaan sunting

Di naskah Wangsakerta juga disebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada, Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbalingga) di Jawa Tengah.[1] Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.[butuh rujukan]

Selama masa pemerintahannya, Purnawarman telah menaklukan kerajaan-kerajaan lain di Jawa Barat, yang belum tunduk kepada kekuasaan Tarumanagara. Semua musuh yang diserangnya, selalu dapat dikalahkan. la seorang pemberani, menguasai berbagai ilmu dan siasat berperang, yang menjadikan dirinya, sebagai seorang raja yang perkasa dan dahsyat (bhimaparakramoraja). Tidak ada satupun senjata musuh yang dapat melukainya, karena dalam perang, ia selalu mengenakan baju pelindung dari besi yang dipasangnya mulai dari kepala sampai ke kaki. la perkasa dan tangkas di medan perang, sehingga oleh lawan lawannya, digelari Harimau Tarumanagara (wyaghra ring tarumanagara).[butuh rujukan]

Maharaja Purnawarman, menjadi seorang raja yang sangat besar kekuasaannya di Jawa Barat. Sri Maharaja Purnawarman, ibarat raja matahari yang bersinar bagi raja raja sesamanya (panji segala raja). Tarurnanagara menjadi sebuah kerajaan yang sangat besar kekuasannya di Pulau Jawa. Tiap tahun, semua raja bawahannya selalu datang di Purasaba Sundapura, untuk berbakti dan mempersembahkan upeti kepada Sri Maharaja Purnawarman. Raja raja bawahan itu, datang ke ibu kota Sundapura, tiap tanggal 11 bagian terang bulan Caitra (Maret-April). Kemudian, dari tanggal 13 sampai tanggal 15, mereka berkumpul bersama sama keluarga kerajaan Tarumanagara, sambil menghadiri pesta yang dimeriahkan oleh tarian gadis-gadis cantik, dengan iringan suara gamelan yang merdu. Sang Maha raja menjamu tamu-tamunya dengan makanan dan minuman yang serba lezat (wesalehyamadhupanadi).[butuh rujukan]

Urusan kesejahteraan rakyat sunting

Perbaikan irigasi Kali Gangga sunting

Untuk kesejahteraan hidup rakyatnya, ia sangat memperhatikan pemeliharaan aliran sungai. Tahun 410 Masehi, ia memperbaiki alur dan nyusuk (membendung) kali Gangga/ Gangganadi atau Setu Gangga di daerah Cirebon, yang waktu itu termasuk kawasan kerajaan Indraprahasta yang didirikan Maharesi Santanu tahun 363 M dan berakhir tahun 723 M (360 tahun) karena serbuan Maharaja Sanjaya Harisdarma.[2] Sungai yang bagian hilirnya, disebut Cisuba, ini mulai diperbaiki (diperdalam) dan diperindah tanggulnya, pada tanggal 12 bagian gelap bulan Margasira. Selesai pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 332 Saka. Sebagai tanda penyelesaian karyanya, Sang Purnawarrnan, mengadakan selamatan dengan pemberian hadiah harta (sangaskararthadaksina) kepada para Brahmana dan semua pihak yang ikut serta menggarap pekerjaan itu sampai selesai. Hadiah ini berupa: sapi 500 ekor, pakaian, kuda 20 ekor, gajah seekor, yang diberikan kepada raja Indraprahasta, serta jamuan rnakanan dan minuman yang lezat. Ribuan orang laki-laki dan perempuan, dari desa sekitarnya, ikut serta berkarya bakti di situ. Semua mereka itu, mendapat hadiah dari Sang Purnawarman.[butuh rujukan]

Perbaikan irigasi Kali Cupu sunting

Dua tahun kemudian, Sang Purnawarman, memperteguh dan memperindah alur kali Cupu yang terletak di kerajaan Cupunagara sungai tersebut, mengalir sampai di istana kerajaan. Pengerjaan, dimulai tanggal 4 bagian terang bulan Srawana (Juli/Agustus) sampai tanggal 13 bagian gelap bulan Srawana itu juga (14 hari) tahun 334 Saka (412 Masehi). Hadiah yang dianugerahkan Sang Purnawarman pada upacara selamatannya, ialah: sapi 400 ekor, pakaian, dan makanan lezat. Setiap orang, yang ikut serta mengerjakan saluran ini, mendapat hadiah dari raja. Baik di tepi kali Gangga di Indraprahasta maupun di tepi kali Cupu, Sang Maharaja Purnawarman membuat prasasti, yang ditulis pada batu, sebagai ciri telah selesainya pekerjaan itu dengan kata-kata berbunga (sarwa bhasana). Mengenai kebesarannya dan sifat sifatnya, yang diibaratkan Dewa Wisnu, melindungi segenap mahluk di burni dan di akhir kelak. Prasati itu, ditandai lukisan telapak tangan. Para petani merasa senang hatinya. Demikian pula para pedagang, yang biasa membawa perahu, dari muara ke desa-desa di sepanjang tepian sungai.[butuh rujukan]

Perbaikan irigasi Cimanuk atau Kali Manukrawa/ Sarasah sunting

Pada tanggal 11 bagian gelap bulan Kartika (Oktober/November) sampai tanggal 14 bagian terang bulan Margasira (Desember/Januari) tahun 335 Saka (413 Masehi), Sang Purnawarman, memperindah dan memperteguh alur kali Sarasah atau kali Manukrawa. Waktu dilangsungkan upacara selamatan, Sang Purnawarman sedang sakit, sehingga terpaksa ia mengutus Mahamantri Cakrawarman untuk mewakilinya. Sang Mahamantri, disertai beberapa orang Menteri Kerajaan, Panglima Angkatan Laut, Sang Tanda, Sang Juru, Sang Adyaksa, beserta pengiring lengkap, datang di ternpat upacara dengan menaiki perahu besar. Hadiah yang dianugerahkan adalah: sapi 400 ekor, kerbau (mahisa) 80 ekor, pakaian bagi para Brahmana, kuda 10 ekor, sebuah bendera Tarumaragara, sebuah patung Wisnu, dan bahan makanan. Setiap orang, yang ikut serta dalam pekerjaan ini, memperoleh hadian dari Sang Maharaja Purnawarman. Para petani menjadi senang hatinya, karena ladang milik mereka menjadi subur tanahnya, dengan mendapat pengairan (kaunuayan) dari sungai tersebut. Dengan demikian, tidak akan menderita kekeringan dalarn musim kemarau.[butuh rujukan]

Perbaikan irigasi Kali Gomati dan Kali Candrabaga sunting

Kemudian, Sang Purnawarman, memperbaiki, memperindah serta memperteguh alur kali Gomati dan Candrabaga. Ada pun kali Candrabaga itu, beberapa puluh tahun sebelumnya, telah diperbaiki, diperindah serta diperteguh alurnya oleh Sang Rajadirajaguru, kakek Sang Purnawarman. Jadi, Sang Maharaja Purnawarman, mengerjakan hal itu untuk kedua kalinya. Pengerjaan kali Gomati dan Candrabaga ini, berlangsung sejak tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna, sampai tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 339 Saka (417 Masehi). Ribuan penduduk, laki laki dan perempuan, dari desa-desa sekitarnya, berkarya bakti siang malam, dengan membawa berbagai perkakas. Mereka itu, berjajar memanjang di tepi sungai, sambung menyambung tidak terputus, tanpa saling mengganggu pekerjaan masing-masing.[butuh rujukan]

Selanjutnya, Sang Purnawarman mengadakan selamatan dan memberi hadiah harta, kepada para Brahmana. Perinciannya: sapi (ghoh) 1.000 ekor, pakaian serta makanan lezat. Sedangkan para pemuka dari daerah, ada yang diberi hadiah kerbau (mahisa), ada yang diberi hadiah perhiasan emas dan perak, ada yang diberi hadiah kuda dan bermacam macam hadiah lainnya lagi. Di situ, Sang Maharaja, membuat prasasti yang ditulis pada batu.[butuh rujukan]

Memperdalam sungai Citarum sunting

Pada tangal 3 bagian gelap bulan Jesta (Mei/Juni), sampai tanggal 12 bagian terang bulan Asada (Juni/Juli) tahun 341 Saka (419 Masehi), Sang Purnawarman, memperbaiki, memperteguh alur dan memperdalam Citarum, sungai terbesar di kerajaan Taruma (di Jawa Barat). Selamatan dan hadiah harta, dilaksanakan setelah pekerjaan itu selesai. Hadiah berupa sapi 800 ekor, pakaian, makanan lezat, kerbau 20 ekor dan hadiah hadiah lainnya. Kemudian, para Brahmana memberkati Maharaja Tarumanagara Sang Purnawarman.[butuh rujukan]

Dahulu, ketika Tarumanagara diperintah oleh Sang Rajadirajaguru dan Rajaresi Darmayawarmanguru, kerajaan ini tidak seberapa. Tetapi, setelah Maharaja Purnawarman menjadi raja Tarumanagara, angkatan perangnya diperbesar serta lengkap persenjataannya. Demikian pula halnya Angkatan Laut, diperbesar dan diperkuat. Karena itu, pasukan Tarumanagara, selalu memenangkan pertempuran.[butuh rujukan]

Setelah kerajaan Tarumanagara menjadi besar dan kuat, Sang Purnawarman dinobatkan menjadi Maharaja, dengan gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati, la pun seorang pemuja Batara Indra, apabila hendak pergi menyerang musuhnya. Karena itulah, ia disebut Sang Purandara Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng).[butuh rujukan]

Sejak tanggal 3 bagian gelap bulan Maga (Januari/Februari) tahun 321 Saka (399 Masehi) sampai tahun 325 Saka (403 Masehi), Sang Purnawarman melancarkan perang terhadap bajak laut, yang merajalela di perairan barat dan utara. Pembersihan terhadap kaum perompak ini, dimulai ketika seorang menteri kerajaan Taruma bersama 7 orang pengiringnya, ditawan kemudian dibunuh oleh perompak. Perang pertama dengan kaum perompak ini, terjadi di perairan Ujung Kulon. Angkatan Laut Tarumanagara, dipimpin langsung oleh Sang Purnawarman:[butuh rujukan]

Puluhan kapal perang (armada laut) Tarumanagara, mengepung dua buah kapal perompak, di tengah laut. Dari 80 orang perompak, sebahagian terbunuh dalam perang. Sisanya, sebanyak 52 orang dapat ditawan. Seorang demi seorang; perompak yang ditawan itu, dibunuh dengan berbagai cara, dan semua mayatnya dibuang ke tengah laut. Demikian marahnya Sang Purnawarman terhadap kaum perompak. Sehingga, ia tidak pernah mengampuni seorang pun, di antara mereka.

Telah lama, perairan Pulau Jawa sebelah utara, barat dan timur, dikuasai kaum perompak. Jumlah mereka tidak terhitung dan tersebar di lautan. Semua kapal diganggu. Semua barang yang ada di dalamnya, dipinta atau dirampas. Banyak kapal perompak berkeliaran di perairan Jawa Barat. Tak ada yang berani mamasuki atau melewati perairan ini, karena sepenuhnya telah dikuasai kaum perompak yang ganas dan kejam. Setelah Sang Purnawarman berhasil membasmi semua perompak, barulah keadaan menjadi aman, dan penduduk Tarumanagara merasa senang. Perairan utara Pulau Jawa telah bersih dari gangguan perompak. Tak terhitung jumlah perompak yang ditangkap dan dijatuhi hukuman.[butuh rujukan]

Peninggalan bersejarah sunting

Lambang kerajaan sunting

Demikian pula di tempat tempat lain, Sang Purnawarman, banyak membuat prasasti batu, yang dilengkapi dengan patung pribadinya, lukisan telapak kakinya, lukisan telapak kaki tunggangannya, yaitu gajah yang bernama Sang Erawata. Demikian pula ada yang ditandai dengan lukisan brahmara (kumbang atau lebah), sanghyang tapak, bunga teratai, harimau dan sebagainya, dengan tulisan pada batunya. Di tempat tempat pemujaan (pretakaryam) yang telah selesai dibangun, dilukiskan bendera Tarumanagara dan jasa-jasa Sang Maharaja. Semua itu, ditulis pada prasasti batu, di sepanjang tepi sungai di beberapa daerah.[butuh rujukan]

Bendera Kerajaan sunting

Adapun bendera kerajaan Taruma, berupa bunga teratai di atas kepala (gajah) Erawata. Sedangkan materai raja (rajatanda), adalah lempengan (daun) emas berbentuk brahmara (lebah atau kumbang). Bendera Angkatan Lautnya, berlukiskan naga (nagadhuajarupa), yang dikibarkan pada tiap kapal perang Tarumanagara. Ada lagi bendera bendera yang berlukiskan senjata milik satuan satuan tempur. Kerajaan kerajaan bawahan Taruma, mempunyai bendera, berlukiskan berbagai macam binatang.[butuh rujukan]

Sang Purnawarman adalah pemuja Wisnu.[3] Akan tetapi, penduduk, ada juga yang memuja Batara Sangkara (Siwa) dan Brahma. Penganut Budha, tidak seberapa banyak. Kecuali di Pulau Sumatra. Penduduk pribumi, kebanyakan tetap memuja roh leluhur (pitarapuja), menurut adat yang diwarisi nenek moyangnya. Sang Purnawarman, menyusun bermacam-macam pustaka yang berisi: Undang undang kerajaan; Peraturan Ketentaraan; Siasat Perang; Keadaan Daerah Daerah di Jawa Barat; Silsilah Dinasti Warman; Kumpulan Maklumat Kerajaan dan lain lain.[butuh rujukan]

Prasasti Cidanghiang sunting

Prasasti Cidanghiang ditemukan di Desa Lebak Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang pada tahun 1947. Tulisannya menggunakan bahasa Sanskerta dengan aksara Pallawa dalam bahasa Sanskerta. Isinya berupa pengagungan keberanian raja bernama Purnawarman. Penyampaiannya hanya dalam 2 baris kalimat yang berbentuk puisi.[4] Isinya sebagai berikut:[butuh rujukan]

vikrantayam vanipateh prabbhuh satyaparakramah narendraddhvajabutena crimatah pumnavarmmanah

Terjemahannya: (Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termashur Purnawarman (Danasasmita, 1984: 3 1).

Prasasti ini terletak di aliran Sungai Cidangiang yang bermuara ke Teluk Lada perairan Selat Sunda. Kemungkinan besar, kawanan perompak di wilayah Ujung Kulon yang ditumpas habis oleh Sang Purnawarman, bercokol di perairan Teluk Lada ini. Prasasti tersebut merupakan tanda penghargaan kemenangan kepada masyarakat setempat atas kepatriotan masyarakat sekitar sungai Cidangiang, sebagaimana yang sering dilakukan oleh Sang Purnawarman.[butuh rujukan]

Dipilihnya tepi Sungai Cidangiang, sebagai lokasi ditempatkannya prasasti, karena sebutan Cidangiang sendiri menunjukkan adanya indikasi masa silam, bahwa Ci Dang Hiyang memiliki nilai spiritual dalarn sistem religi Sunda.[butuh rujukan]

Adik Sang Purnawarman, bernama Cakrawarman, menjadi Panglima Perang. Sedangkan pamannya dari pihak ayah, bernama Nagawarman, menjadi Panglima Angkatan Laut (Senapati Sarwajala). Sang Nagawarman, sering pergi sebagai duta Sang Purnawarman ke negeri seberang, untuk mempererat persahabatan. la pernah mengunjungi Semenanjung, negeri Syangka, Yawana, Cambay (di India), Sopala, Bakulapura, Cina, Sumatra dan lain lain.[butuh rujukan]

Meninggal sunting

Sri Maharaja Purnawarman, wafat pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 356 Saka (24 November 434 Masehi) dalam usia 62 tahun. Ia dipusarakan di tepi Citarum, sehingga mendapat sebutan Sang Lumah Ing Tarumanadi (yang dipusarakan di Citarum).[butuh rujukan]

Pada saat Sri Maharaja Purnawarman wafat, kerajaan kerajaan yang menjadi bawahannya, adalah sebagai berikut: Salakanagara (Pandeglang), Cupunagara (Subang), Nusa Sabay, Purwanagara, Ujung Kulon (Pandeglang), Gunung Kidul, Purwalingga (Purbalingga), Agrabinta (Cianjur), Sabara, Bumi Sagandu, Paladu, Kosala (Lebak), Legon (Cilegon), Indraprahasta (Cirebon), Manukrawa (Cimanuk), Malabar (Bandung), Sindang Jero, Purwakerta (Purwakarta), Wanagiri, Galuh Wetan (Ciamis), Cangkuang (Garut), Sagara Kidul, Gunung Cupu, Alengka, Gunung Manik (Manikprawata), Gunung Kubang (Garut), Karang Sindulang, Gunung Bitung (Majalengka), Tanjung Kalapa (Jakarta Utara), Pakuan Sumurwangi, Kalapa Girang (Jakarta Selatan), Sagara Pasir, Rangkas (Lebak), Pura Dalem (Karawang), Linggadewata, Tanjung Camara (Pandeglang), Wanadatar, Setyaraja, Jati Ageung, Wanajati, Dua Kalapa, Pasir Muhara, Pasir Sanggarung (Cisanggarung), Indihiyang (Tasikmalaya).[butuh rujukan]

Referensi sunting

  1. ^ Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162)
  2. ^ http://sundalawas.blogspot.co.id/2015/08/kerajaan-indraprahasta_32.html
  3. ^ Ridwan, I., dkk. (November 2021). Muhibah, Siti, ed. Studi Kebantenan dalam Catatan Sejarah (PDF). Tangerang: Media Edukasi Indonesia. hlm. 68. ISBN 978-623-6497-50-0. 
  4. ^ BPS Provinsi Banten (2019). Pariwisata Banten dalam Angka Tahun 2019 (PDF). Dinas Pariwisata Provinsi Banten. hlm. 47. 

Bacaan lanjutan sunting

  • Ayatrohaedi. 2005. SUNDAKALA Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Bandung: Pustaka Jaya
  • Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Dharmayawarman
Raja Tarumanagara
(395434)
Diteruskan oleh:
Wisnuwarman