Pornografi balas dendam

menyebarkan gambar atau video seksual tanpa izin pihak yang bersangkutan, biasanya untuk tujuan pelecehan atau intimidasi

Pornografi balas dendam (bahasa Inggris: revenge porn, revenge pornography, atau non-consensual pornography) merupakan distribusi atau penyebaran gambar eksplisit secara daring dan terkadang luring, tanpa persetujuan, oleh mantan pasangan, pasangan, orang lain, atau peretas yang bertujuan untuk membalas dendam, mendapatkan hiburan, atau memperoleh keuntungan, seperti uang dan popularitas. Parlemen Britania Raya mendefinisikannya sebagai pengungkapan "foto atau film seksual pribadi (...) tanpa persetujuan dari individu yang muncul dalam foto atau film, dengan maksud menyebabkan penderitaan pada individu tersebut".[1] Pelaku biasanya laki-laki, sedangkan korbannya perempuan.[2]

Foto dan video seksual yang melibatkan pasangan/mantan pasangan biasanya sebelumnya dibuat berdasarkan persetujuan. Namun, ada juga yang diambil secara diam-diam atau tanpa sepengetahuan salah satu pihak. Kepemilikan dan berbagi koleksi pribadi antar pasangan umumnya dilandasi oleh kepercayaan. Pengungkapan atau penyebaran gambar terjadi saat relasi antara pasangan mulai renggang atau telah berakhir. Penyebaran koleksi seksual dapat dilakukan melalui gambar, elektronik dan fisik, daring dan luring, serta via pesan dan surat elektronik. Selain bertujuan mempermalukan korban, pengungkapan ini juga digunakan oleh pelaku sebagai alat untuk melecehkan, mengontrol, mengancam, dan memeras pasangan ataupun mantan pasangan.[1] Pornografi balas dendam dapat terjadi dalam hubungan lawan jenis dan sesama jenis,[3] orang dewasa maupun anak-anak dan remaja.[4] Tindakan ini merupakan bentuk kekerasan dan penyalahgunaan konten seksual, lebih tepatnya kekerasan berbasis gender siber.[2] Meski bukan fenomena baru, pornografi balas dendam turut didorong oleh semakin meluasnya penggunaan telepon pintar dan kemudahan akses internet.[2]

Selain oleh pasangan, penyebaran gambar seksual juga bisa dilakukan oleh orang lain, misalnya peretas, perekam tersembunyi, dan pencuri. Dua kasus yang pernah terjadi adalah penyebaran foto telanjang dan video intim para selebritas dan video dari kamera tersembunyi terhadap perempuan di kamar mandi umum.

Jenis pornografi balas dendam sunting

Menurut beberapa peneliti, ada dua jenis pornografi balas dendam yaitu pornografi tersamar dan pornografi remaja.[4]

Pornografi tersamar sunting

Ada dua jenis pornografi tersamar menurut asal pembuatannya, yaitu konten yang dibuat oleh pengguna (user-generated content) dan konten yang diadopsi dari pengguna (user-adopted content). Konten seksual yang dibuat oleh pengguna merupakan foto, video, dan teks seksual yang dibuat sendiri oleh pengguna ataupun dibuat oleh orang lain, misalnya pasangan, dan dengan persetujuan. Menyimpan foto korban dengan persetujuan juga tergolong kategori pertama ini. Sedangkan konten seksual yang diadopsi dari pengguna adalah semua tipe konten yang diperoleh dari korban dengan cara yang tidak sah. Foto yang diambil dari media sosial dan diedit dengan teknologi deepfake sehingga berubah menjadi gambar vulgar dan koleksi pribadi hasil curian merupakan contoh kategori kedua ini. Pelaku kemudian mengunggah konten-konten tersebut di media sosial dan terkadang melakukan impersonifikasi (berpura-pura menjadi korban). Disebut sebagai pornografi tersamar karena foto, video, dan teks yang diunggah tidak melanggar aturan dan kebijakan media sosial.[4]

Pornografi remaja sunting

Konten pornografi remaja biasanya ditemukan di situs-situs dewasa. Para pengelola situs biasanya mengklaim bahwa pemeran yang terlibat merupakan model profesional. Situs-situs ini memberi celah kepada kontributor untuk mengunggah foto dan video vulgar yang diperolehnya dari korban dengan segala cara. Perbedaannya dengan pornografi tersamar adalah para kontributor menyatakan dengan terang-terangan bahwa konten yang mereka unggah mengandung unsur pornografi dan diunggah di situs dewasa.[4] Di negara-negara yang memiliki masalah terkait penggunaan kamera tersembunyi untuk merekam aktivitas pribadi, seperti Korea Selatan, korbannya juga orang dewasa. Video yang dihasilkan dari kamera tersembunyi kemudian dibagikan di situs dewasa,[5] media sosial, atau di kelompok obrolan dengan audiens terbatas. Pelaku distribusi juga bisa menarik keuntungan finansial dari penyebaran konten seksual, mereka memasang tarif untuk publik yang ingin mengunduh gambar dan video versi lengkap. Pelaku juga bisa menggunakan gambar dan video untuk mengancam dan memeras korban. Beberapa situs khusus sempat dibuat untuk memfasilitasi pornografi balas dendam sebelum akhirnya mengalami penutupan, diantaranya myex.com.[3]

Latar belakang sunting

Pornografi balas dendam sebagai fenomena sosial mulai mendapatkan perhatian internasional pada 2012-2013. Saat itu, Hunter Moore, seorang warga Amerika Serikat dan pendiri situs isanyoneup.com ditangkap dan diadili. Melalui situsnya yang ia dirikan pada 2010, Moore mendorong pengunjung laki-laki untuk membagikan foto telanjang perempuan. Foto juga harus disertai dengan informasi terkait nama, usia, lokasi, dan tautan ke akun media korban. Moore sempat terbebas dari ancaman pidana karena mengklaim kontennya merupakan kiriman pihak ketiga. Pada 2012, Moore didakwa karena meretas akun surel untuk mencuri foto. Pada Desember 2013, Moore kembali diproses hukum atas tuduhan kejahatan pencurian identitas dan konspirasi.[6]

Perdebatan mengenai istilah 'pornografi balas dendam' sunting

Sejumlah ilmuwan memandang penggunaan istilah 'pornografi balas dendam' sebagai hal yang kurang tepat. Menurut mereka, tidak semua pelaku termotivasi oleh balas dendam. Ada pelaku yang ingin mencari keuntungan finansial, popularitas, dan hiburan. Mereka biasanya tidak memiliki hubungan langsung dengan korban, misalnya peretas, perekam dengan kamera tersembunyi, dan orang-orang menyebarkan foto dan video dari perangkat hasil curian. Saat ini, pemerasan dengan menggunakan konten seksual masuk ke dalam kategori sekstorsi.

Selain itu, ada perbedaan nuansa dalam kata 'pornografi'. Istilah 'pornografi balas dendam' menyiratkan bahwa mengambil gambar sensual diri sendiri, terlibat dalam tindakan seksual, atau mengizinkan orang lain mengambil gambar dan video seksual adalah bentuk pornografi. Padahal, praktik memfoto dan memvideokan tindakan seksual eksplisit dalam konteks hubungan pribadi yang intim dan konsensual tidak dapat digolongkan sebagai membuat konten pornografi. Sebaliknya, tindakan mengungkap dan menyebarkan koleksi pribadi kepada orang lain selain audiens yang dituju adalah bagian dari membuat konten pornografi, karena mengubah konten pribadi menjadi hiburan seksual untuk publik.[3]

Penggunaan terminologi 'pornografi balas dendam' juga kurang disetujui karena terlalu berfokus pada motif pelaku, bukan kerugian yang ditanggung korban. Penggunaan istilah 'pornografi' dipandang meremehkan risiko dan kerugian bagi penyintas dan mengabaikan penyebab utama terjadinya pengambilan gambar tanpa persetujuan dan penyebaran gambar seksual pribadi, yaitu pelecehan dan kekerasan seksual. Sejumlah peneliti memandang kata 'pornografi' problematik dan menyudutkan korban yang mungkin saja diambil gambar/videonya tanpa persetujuannya dan sepengetahuannya. Penggunaan diksi tersebut juga mendorong masyarakat dan penegak hukum memandang korban sebagai pelaku kejahatan alih-alih berfokus pada mereka yang menyebarkan gambar. Beberapa peneliti akhirnya memasukkan pornografi balas dendam ke dalam payung besar tindak penyalahgunaan dan kekerasan seksual berbasis gambar (image-based sexual abuse). Kekerasan seksual berbasis gambar merupakan "seluruh spektrum perilaku membuat dan membagikan gambar seksual pribadi tanpa persetujuan".[7] Istilah ini dianggap lebih akurat dalam menggambarkan sifat, jangkauan, dan bahaya dari fenomena ini.[2]

Faktor penyebab sunting

Pornografi balas dendam dan pelecehan seksual daring lainnya merupakan manifestasi dari masalah-masalah sosial yang ada di dalam masyarakat, seperti budaya patriarki,[8] misogini, rasisme, dan homofobia.[6] Sebagaimana halnya di dunia nyata, perempuan lebih rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual di dunia maya. Kerentanan ini semakin meningkat pada perempuan dari latar belakang minoritas, seperti perempuan berkulit berwarna, perempuan queer, dan perempuan cacat.[6] Berdasarkan penelitian di AS, perempuan lebih berisiko ditekan oleh pasangan untuk mengirimkan foto telanjang dan menjadi korban pornografi balas dendam.[9]

Ruang-ruang daring sekarang umumnya telah terintegrasi erat dengan pekerjaan, pendidikan (sekolah dan kampus), dan relasi-relasi sosial yang dimiliki seseorang. Sehingga, batasan antara dunia luring dan daring semakin kabur. Akibatnya, pelecehan dan kekerasan yang terjadi di dunia 'nyata' sering terbawa ke dunia 'maya' dengan pelaku dan korban yang telah saling mengenal sebelumnya.[6] Selain itu, kekerasan pornografi balas dendam juga dipicu oleh kemampuan literasi digital yang rendah, terutama terkait perlindungan data pribadi, dan pengetahuan yang terbatas mengenai pendidikan seksual.[10]

Dampak pada korban sunting

Korban pornografi balas dendam dapat menderita tekanan kejiwaan seperti harga diri rendah, rasa tidak berdaya,[9] depresi, kecemasan, serta gangguan stres pascatrauma.[8] Akibat menanggung malu dan tertekan, korban juga berpotensi menderita gangguan jiwa berkepanjangan, mengucilkan diri dari lingkungan sosial, hingga melakukan bunuh diri. Sejumlah korban juga dilaporkan mengalami gangguan dalam relasi dengan keluarga, diberhentikan sementara dari pekerjaan hingga dipecat, dan menghadapi kesulitan untuk memperoleh pekerjaan baru. Korban yang lain memutuskan berhenti dari pekerjaan akibat rasa malu dan memutuskan mengganti nama.[9]

Lonjakan kasus selama pandemi Covid-19 sunting

Menurut media, kasus penyebaran foto dan video seksual tanpa persetujuan meningkat pesat selama pandemi Covid-19. Laporan dari sebuah saluran bantuan daring di Britania Raya menyebutkan bahwa ada 3146 kasus yang terjadi di 2020 dari yang sebelumnya 'hanya' 681 kasus pada 2019.[11]

Hukum dan perundang-undangan sunting

Afrika sunting

Di Afrika Selatan, menurut Undang-Undang Amendemen Film dan Publikasi 2019, mendistribusikan foto atau film seksual pribadi tanpa persetujuan dari individu yang difoto dan dengan maksud untuk menyakiti mereka adalah sebuah kejahatan. Hukumannya adalah denda hingga R150.000 dan/atau penjara hingga dua tahun, atau dua kali lipat jika korban dapat diidentifikasi dalam foto atau film.[12][13]

Kasus-kasus terkenal di beberapa negara sunting

Amerika Serikat sunting

Pada 2011, Christopher Chaney, seorang pria asal Florida, ditangkap oleh FBI karena meretas akun 50 selebritas. Ia mengunggah foto-foto telanjang korban, termasuk di antaranya foto Scarlett Johansson. Chaney didakwa dengan 26 tuduhan pencurian identitas, akses tidak sah ke komputer yang dilindungi, dan penyadapan. Ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.[14]

Korea Selatan sunting

Korea Selatan merupakan negara epidemi perekaman video pribadi dengan kamera tersembunyi. Korbannya rata-rata adalah para perempuan yang sedang berada di toilet umum, ruang ganti, kamar hotel, hingga di ruang-ruang pribadi di rumah mereka. Salah satu kasus pornografi balas dendam yang cukup terkenal melibatkan penyanyi dan penulis lagu Jung Joon-young. Tanpa persetujuan korban, ia merekam video seksualnya bersama beberapa wanita dan menyebarkannya di kelompok obrolan KakaoTalk.[15] Kasus lainnya adalah ancaman penyebaran foto intim dan pemerasan yang dilakukan kepada aktris Goo Hara oleh Choi Jong-bum, mantan pasangannya. Goo Hara mengakhiri hidupnya salah satunya karena perisakan yang ia alami setelah kasus ini terungkap ke publik.[16]

Indonesia sunting

Dua kasus pornografi balas dendam yang cukup mendapatkan perhatian masyarakat terjadi pada 2010 dan 2020. Keduanya melibatkan beberapa selebritas yang cukup populer.[17] Pada kasus pertama, Ariel (penyanyi) ditetapkan sebagai tersangka. Ia dikenai pasal UU ITE karena dipandang telah membuat video intimnya dapat diakses publik dengan mengunggahnya ke komputer di salah satu sanggar di Bandung.[17] Pada kasus kedua, Gisella Anastasia menjadi tersangka tanpa ditahan dengan dasar hukum Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.[18] Penetapan Gisella sebagai tersangka ini menimbulkan kontroversi karena korban menyatakan telah kehilangan telepon pintarnya tiga tahun sebelum pengungkapan terjadi. Video seksualnya diklaim sudah dihapus dari ponsel yang telah berpindah kepemilikan tersebut.[17]

Referensi sunting

  1. ^ a b Bothamley, Sarah; Tully, Ruth J. (2017-01-01). "Understanding revenge pornography: public perceptions of revenge pornography and victim blaming". Journal of Aggression, Conflict and Peace Research. 10 (1): 1–10. doi:10.1108/JACPR-09-2016-0253. ISSN 1759-6599. 
  2. ^ a b c d McGlynn, Clare; Rackley, Erika (2017). "Image-Based Sexual Abuse". Oxford Journal of Legal Studies. 37 (3): 534–561. doi:10.1093/ojls/gqw033. ISSN 0143-6503. 
  3. ^ a b c Hearn, Jeff; Hall, Matthew (2019-09-01). "'This is my cheating ex': Gender and sexuality in revenge porn". Sexualities (dalam bahasa Inggris). 22 (5-6): 860–882. doi:10.1177/1363460718779965. ISSN 1363-4607. 
  4. ^ a b c d Halder, Debarati; Jaishankar, K. (2013/ed). "Revenge Porn by Teens in the United States and India: A Socio-Legal Analysis". International Annals of Criminology (dalam bahasa Inggris). 51 (1-2): 85–111. doi:10.1017/S0003445200000076. ISSN 0003-4452. 
  5. ^ Yi, Beh Lih (2020-01-13). "Untouched yet ruined: The toll of South Korea's spy-cam epidemic". The Japan Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-08-20. 
  6. ^ a b c d Fairbairn, Jordan (2015). "Rape Threats and Revenge Porn: Defining Sexual Violence in the Digital Age". Dalam Bailey, Jane; Steeves, Valerie. EGirls, ECitizens: Putting Technology, Theory and Policy into Dialogue with Girls’ and Young Women’s Voices. Putting Technology, Theory and Policy into Dialogue with Girls’ and Young Women’s Voices. University of Ottawa Press. hlm. 229–252. 
  7. ^ O’Connell, Aislinn (2019-11-22). "Image rights and image wrongs: image-based sexual abuse and online takedown". Journal of Intellectual Property Law & Practice. 15 (1): 55–65. doi:10.1093/jiplp/jpz150. ISSN 1747-1532. 
  8. ^ a b Sugiyanto, Okamaisya (2021-07-26). "Perempuan dan Revenge Porn: Konstruksi Sosial Terhadap Perempuan Indonesia dari Preskpektif Viktimologi". Jurnal Wanita dan Keluarga (dalam bahasa Inggris). 2 (1): 22–31. doi:10.22146/jwk.2240. ISSN 2746-430X. 
  9. ^ a b c Kamal, Mudasir; Newman, William J. (2016-09-01). "Revenge Pornography: Mental Health Implications and Related Legislation". Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law Online (dalam bahasa Inggris). 44 (3): 359–367. ISSN 1093-6793. PMID 27644870. 
  10. ^ Febrianna, Alfida; Ayu, Nadia (2021-07-07). "Kasus Jual Beli Revenge Porn, Korban Dieksploitasi dan Belum Terlindungi Hukum". Ketik Unpad. Diakses tanggal 2021-08-22. 
  11. ^ Ravindran, Alberto R. Aguiar, Jeevan. "Sextortion and revenge porn cases have spiked during the pandemic, experts say". Insider (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-06. 
  12. ^ Sefularo, Masechaba (5 October 2019). "Revenge porn now criminalised and carries hefty fine or jail time". Eyewitness News. Diakses tanggal 14 November 2019. 
  13. ^ Films and Publications Amendment Act, No. 11 of 2019, sections 19 (inserting section 18F in the principal act) and 27 (inserting section 24E in the principal act).
  14. ^ Griffith, Janelle (2015-01-09). "Revenge porn: Well-known celebrity victims". NJ.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-08-22. 
  15. ^ Dong Sun-hwa (2019-03-15). "'You raped her': read texts of K-pop idols accused of sharing sex videos". South China Morning Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-08-22. 
  16. ^ Muhfaqdilla, Dwana (2020-07-03). "Lakukan Revenge Porn, Mantan Pacar Goo Hara Resmi Dipenjara". Akurat.co. Diakses tanggal 2021-08-23. 
  17. ^ a b c Rahman, Abdul (2021-01-02). "Analisis Roy Suryo soal Perbedaan Kasus Video Seks Gisel dan Ariel". JawaPos.com. Diakses tanggal 2021-08-22. 
  18. ^ Habibie, Nur (2020-12-29). "Jadi Tersangka, Gisel Dijerat UU Pornografi dengan Ancaman Hukuman Minimal 6 Bulan". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-08-22.