Polusi plastik adalah akumulasi dari produk plastik yang ada di lingkungan yang berdampak buruk terhadap satwa liar, habitat satwa liar, dan manusia.[1][2] Plastik yang berperan sebagai polutan dikategorikan ke dalam mikro, meso, atau puing-puing makro, berdasarkan ukurannya.[3] Plastik berharga murah, tahan lama, dan hasilnya tingkat produksi plastik oleh manusia menjadi tinggi.[4] Namun, umumnya struktur kimia dari plastik membuat mereka tahan terhadap banyak proses alami degradasi dan akibatnya mereka lambat juga untuk didegradasi.[5] Bersama-sama, kedua faktor inilah yang menyebabkan tingginya tingkat pencemaran plastik di lingkungan.

Foto sampah plastik di Pulau Henderson
Plastik di Kebun Raya Bogor

Polusi plastik dapat mengenai tanah, saluran air dan lautan. Organisme yang hidup, terutama hewan laut, dapat dirugikan baik oleh efek mekanis, seperti terjerat di dalam objek plastik atau masalah yang terkait dengan menelan limbah plastik, atau melalui paparan terhadap bahan kimia di dalam plastik yang mengganggu fisiologi mereka. Manusiapun juga dipengaruhi oleh polusi plastik, seperti melalui gangguan dari berbagai mekanisme hormonal.

Pada 2018, terdapat sekitar 380 juta ton plastik telah diproduksi di seluruh dunia setiap tahun. Dari tahun 1950 hingga tahun 2018, diperkirakan terdapat 6,3 miliar ton plastik telah diproduksi di seluruh dunia, yang diperkirakan 9% telah didaur ulang dan diperkirakan juga 12% lainnya telah dibakar.[6] Di Inggris saja, lebih dari 5 juta ton plastik telah dikonsumsi setiap tahun, yang diperkirakan hanya seperempatnya yang telah didaur ulang, dan dengan sisanya akan dibuang ke landfill. Sejumlah besar sampah plastik yang dibuang ini pasti akan memasuki lingkungan, dengan adanya penelitian yang telah menunjukkan bahwa 90% tubuh burung laut mengandung sisa-sisa plastik.[7][8] Di beberapa daerah ada upaya-upaya yang cukup signifikan untuk mengurangi keunggulan polusi plastik, melalui pengurangan konsumsi plastik dan mempromosikan daur ulang plastik.[9]

Beberapa peneliti menyatakan bahwa pada tahun 2050 kemungkinan ada lebih banyak plastik daripada ikan di lautan berdasarkan pada beratnya.[10]

Jenis-jenis puing plastik sunting

Ada tiga bentuk utama dari plastik yang berkontribusi terhadap pencemaran plastik: mikroplastik, plastik mega dan makro. Mega dan mikro plastik telah diakumulasi dalam kepadatannya yang tertinggi terdapat di belahan bumi bagian utara, yang terkonsentrasi di sekitar pusat kota dan front air. Plastik dapat ditemukan di lepas pantai pada beberapa pulau karena arusnya yang membawa puing-puing. Keduanya mega dan makro-plastik dapat ditemukan dalam kemasan, alas kaki, dan barang-barang domestik lainnya yang telah dicuci dari kapal atau yang dibuang di tempat pembuangan sampah. Barang-barang yang berhubungan dengan ikan kemungkinan ditemukan di sekitar pulau-pulau terpencil.[11][12] Mereka juga dapat disebut dengan mikro, meso, dan puing-puing makro.

Puing-puing plastik dapat dikategorikan sebagai primer ataupun sekunder. Plastik primer masih dalam bentuk aslinya ketika dikumpulkan. Contohnya adalah tutup botol, puntung rokok, dan microbeads.[13] Di sisi lain, plastik sekunder adalah plastik yang lebih kecil yang dihasilkan dari degradasi plastik primer.[14]

Polutan organik yang persisten sunting

Diperkirakan ada sekitar 250 mt produksi global plastik per tahunnya. Kelimpahan tersebut telah ditemukan dan digunakan untuk mengangkut polutan organik yang persisten, yang juga dikenal sebagai POPs. Polutan-polutan ini telah dikaitkan dengan meningkatnya distribusi alga yang juga terkait dengan ''red tide''.[15]

Efek pada Tumbuhan sunting

Distribusi puing-puing plastik itu sendiri sangat bervariasi sebagai akibat dari faktor-faktor tertentu seperti angin dan arus laut, garis pantai secara geografi, daerah perkotaan, dan juga rute perdagangan. Populasi manusia di daerah-daerah tertentu juga memainkan peran yang cukup besar dalam hal ini. Plastik lebih mungkin ditemukan di daerah yang tertutup seperti di Karibia. Hal ini berfungsi sebagai sarana distribusi organisme ke pantai terpencil yang bukanlah lingkungan asli mereka. Hal ini tentu saja berpotensi meningkatkan keragaman dan penyebaran organisme di daerah tertentu yang kurang beragam secara biologi. Plastik juga dapat menjadi vektor untuk kontaminan kimia seperti polutan organik yang persisten dan juga logam berat.[16]

Efek pada hewan sunting

Polusi plastik memiliki potensi untuk meracuni hewan, yang kemudian dapat mempengaruhi pasokan makanan untuk manusia.[17][18] Polusi plastik telah digambarkan sangat merugikan khususnya untuk mamalia laut besar, dijelaskan dalam buku Pengantar Biologi Kelautan sebagai ancaman terbesar terhadap mereka.[19] Beberapa spesies laut, seperti penyu laut, telah ditemukan mengandung proporsi plastik yang cukup besar di perut mereka.[20] Ketika hal ini terjadi, hewan biasanya akan kelaparan, karena saluran pencernaan mereka tersumbat.[21] Mamalia laut juga terkadang dapat terperangkap dalam produk plastik seperti jaring, yang tentu saja dapat membahayakan ataupun membunuh mereka.[22]

Efek pada manusia sunting

Karena penggunaan zat aditif kimia selama proses produksi plastik, plastik pastinya memiliki efek berbahaya yang dapat terbukti dengan menjadi karsinogenik atau mempromosikan gangguan endokrin. Beberapa zat aditif digunakan sebagai phthalate plasticizer dan flame retardants brominated.[23] Melalui biomonitoring, bahan kimia yang ada di dalam plastik, seperti BPA dan ftalat, telah diidentifikasi dalam populasi manusia. Manusia dapat terpapar bahan kimia ini melalui hidung, mulut, ataupun kulit. Meskipun tingkat paparannya bervariasi tergantung pada usia dan geografi, sebagian besar manusia telah mengalami paparan simultan terhadap bahan-bahan kimia ini. Rata-rata tingkat paparan harian masih berada di bawah tingkat yang dianggap tidak aman, tetapi harus lebih banyak diadakan penelitian mengenai efek paparan dosis rendah pada manusia.[24] Banyak yang tidak mengetahui seberapa parah manusia secara fisik dipengaruhi oleh bahan-bahan kimia ini. Beberapa bahan-bahan kimia yang digunakan dalam produksi plastik dapat menyebabkan dermatitis saat kontak dengan kulit manusia.[25] Dalam kebanyakan plastik, bahan kimia beracun ini hanya digunakan dalam jumlah yang sedikit, tetapi pengujian signifikan diperlukan untuk memastikan bahwa unsur-unsur beracun yang terkandung dalam plastik dengan bahan inert atau polimer.[26]

Hal ini juga dapat mempengaruhi manusia di mana ia dapat merusak pemandangan yang mengganggu keindahan lingkungan alam itu sendiri.[27]

Upaya pengurangan sunting

 
Barang-barang rumah tangga yang terbuat dari berbagai jenis plastik.

Upaya untuk mengurangi penggunaan plastik dan untuk mempromosikan [[daur ulang plastik] telah terlaksana. Beberapa supermarket menagih lebih untuk kantong plastik para pelanggan, dan di beberapa tempat bahan yang dapat digunakan kembali atau biodegradable digunakan untuk menggantikan plastik. Beberapa komunitas dan bisnis telah melarang beberapa barang plastik yang umum digunakan, seperti air minum kemasan dan kantong plastik.[28]

Aksi untuk menciptakan kesadaran sunting

Pada tanggal 11 April 2013 untuk menciptakan kesadaran, artis Maria Cristina Finucci mendirikan The Garbage Patch State di UNESCO [29] –Paris di depan Direktur Jenderal Irina Bokova. Pertama dari serangkaian peristiwa di bawah perlindungan UNESCO dan juga dari Kementerian Lingkungan Italia.[30] Organisasi internasional juga telah meningkatkan kesadaran akan polusi plastik.

Setiap tahun, pada tanggal 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Dunia untuk meningkatkan kesadaran dan meningkatkan tindakan pemerintah dalam masalah lingkungan yang mendesak ini. Pada tahun 2018, India adalah tuan rumah untuk Hari Lingkungan Dunia dan temanya kali ini adalah ‘Beat Plastic Pollution’ yang berfokus pada plastik sekali pakai. Menteri Lingkungan Hidup, Hutan, dan Perubahan Iklim India mengundang orang-orang untuk mengurus Tanggung Jawab Sosial Hijau mereka dan mendesak mereka untuk mengambil Akta Baik Hijau dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Lihat juga sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ "Plastic pollution". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 1 August 2013. 
  2. ^ Laura Parker (June 2018). "We Depend on Plastic. Now We're Drowning in It". NationalGeographic.com. Diakses tanggal 25 June 2018. 
  3. ^ Hammer, J; Kraak, MH; Parsons, JR (2012). "Plastics in the marine environment: the dark side of a modern gift". Reviews of environmental contamination and toxicology. 220: 1–44. doi:10.1007/978-1-4614-3414-6_1. 
  4. ^ Hester, Ronald E.; Harrison, R. M. (editors) (2011). Marine Pollution and Human Health. Royal Society of Chemistry. pp. 84-85. ISBN 184973240X
  5. ^ Lytle, Claire Le Guern. "Plastic Pollution". Coastal Care. Diakses tanggal 19 February 2015. 
  6. ^ "The known unknowns of plastic pollution". The Economist. 3 March 2018. Diakses tanggal 17 June 2018. 
  7. ^ Nomadic, Global. "Turning rubbish into money – environmental innovation leads the way". 
  8. ^ Mathieu-Denoncourt, Justine; Wallace, Sarah J.; de Solla, Shane R.; Langlois, Valerie S. (November 2014). "Plasticizer endocrine disruption: Highlighting developmental and reproductive effects in mammals and non-mammalian aquatic species". General and Comparative Endocrinology. doi:10.1016/j.ygcen.2014.11.003. 
  9. ^ Walker, T.R., Xanthos, D. (2018) A call for Canada to move toward zero plastic waste by reducing and recycling single-use plastics. Resources, Conservation & Recycling. DOI: https://doi.org/10.1016/j.resconrec.2018.02.014.
  10. ^ Sutter, John D. (12 December 2016). "How to stop the sixth mass extinction". CNN. Diakses tanggal 18 September 2017. 
  11. ^ Walker, T. R., Reid, K., Arnould, J. P., Croxall, J. P. (1997). Marine debris surveys at Bird Island, South Georgia 1990–1995. Marine Pollution Bulletin, 34(1), 61-65. https://doi.org/10.1016/S0025-326X(96)00053-7
  12. ^ name="Barnes"
  13. ^ Pettipas, S., Bernier, M., Walker, T. R. (2016). A Canadian policy framework to mitigate plastic marine pollution. Marine Policy, 68, 117-122. https://doi.org/10.1016/j.marpol.2016.02.025
  14. ^ Driedger, Alexander G.J.; Dürr, Hans H.; Mitchell, Kristen; Van Cappellen, Philippe (March 2015). "Plastic debris in the Laurentian Great Lakes: A review". Journal of Great Lakes Research. 41 (1): 9–19. doi:10.1016/j.jglr.2014.12.020. 
  15. ^ name="Barnes">Barnes, D. K. A.; Galgani, F.; Thompson, R. C.; Barlaz, M. (14 June 2009). "Accumulation and fragmentation of plastic debris in global environments". Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences. 364 (1526): 1985–1998. doi:10.1098/rstb.2008.0205. PMC 2873009 . PMID 19528051. 
  16. ^ name="Barnes"
  17. ^ name="Chiras">Daniel D. Chiras (2004). Environmental Science: Creating a Sustainable Future. Jones & Bartlett Learning. pp. 517-518. ISBN 0763735698
  18. ^ Knight 2012, p. 5.
  19. ^ Karleskint, George; (et al.) (2009).Introduction to Marine Biology. Cengage Learning. p. 536. ISBN 0495561975
  20. ^ name="Chiras"
  21. ^ name="Chiras"
  22. ^ name="Chiras"
  23. ^ name="Barnes"
  24. ^ name="plastics environment human health">Thompson, R. C.; Moore, C. J.; vom Saal, F. S.; Swan, S. H. (14 June 2009). "Plastics, the environment and human health: current consensus and future trends". Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences. 364 (1526): 2153–2166. doi:10.1098/rstb.2009.0053. PMC 2873021 . PMID 19528062. 
  25. ^ name="Brydson">Brydson, J. A. (1999). Plastics Materials. Butterworth-Heinemann. pp. 103-104. ISBN 0750641320
  26. ^ name="Brydson"
  27. ^ (1973). Polyvinyl Chloride Liquor Bottles: Environmental Impact Statement. United States. Department of the Treasury (contributor).
  28. ^ Malkin, Bonnie (8 July 2009). "Australian town bans bottled water". The Daily Telegraph. Diakses tanggal 1 August 2013. 
  29. ^ "The garbage patch territory turns into a new state - United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization". unesco.org. 
  30. ^ "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 July 2014. Diakses tanggal 3 November 2014.