Pertempuran Lima Hari Lima Malam (Palembang)

Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan peristiwa perlawanan tentara Indonesia (TRI) terhadap serangan pasukan tentara Belanda (NICA) yang terjadi selama lima hari berturut-turut sejak tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.[1] Upaya Belanda untuk menguasai kembali Indonesia ditempuh dengan tiga cara yaitu aksi militer, melakukan pembentukan negara boneka, dan menjaga agar Indonesia tetap berada di bawah kekuasaan mereka. Palembang adalah salah satu wilayah strategis Indonesia yang menjadi tujuan Belanda untuk kembali mereka kuasai karena kekayaan alamnya serta potensi Palembang sebagai pusat pemerintahan, kekuatan militer, dan kegiatan politik maupun ekonomi di Sumatera Selatan. Sementara itu bagi rakyat Palembang, pertempuran ini menjadi momentum perjuangan mereka untuk mempertahankan tanahnya agar tindakan penjajahan tidak terulang kembali pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia.[2]

Serangan yang terjadi di Kota Palembang menyebabkan beberapa penduduk mengungsi pada Januari 1947

Awal mula sunting

Setelah meredanya perang dunia kedua, tentara sekutu melakukan ekspansi ke berbagai wilayah bekas jajahan tentara Jepang di Indonesia termasuk diantaranya adalah Palembang, yang berhasil dicapai pada tanggal 12 Oktober 1945 di bawah komando Letnan Jenderal Carmichael bersama para tentara Belanda (NICA). Pasukan sekutu ini juga melindungi kedatangan tentara Belanda yang semakin hari jumlah pasukan mereka bertambah banyak, terlebih ketika sekutu meninggalkan Palembang pada Maret 1946, mereka menyerahkan kedudukannya di Kota Palembang kepada tentara Belanda.[1]

Konflik awal terjadi ketika Belanda menginginkan agar Kota Palembang dapat dikosongkan segera, namun permintaan tersebut ditolak oleh seluruh rakyat Palembang sehingga berakhir dengan baku tembak pada 1 Januari 1947 di Palembang Ilir dan menyerang markas Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) di Jalan Tengkuruk. Beberapa tokoh penting yang memimpin jalannya pertempuran dari pihak tentara dan pejuang Indonesia diantaranya adalah Kolonel Maludin Simbolon, Letnan Kolonel Bambang Utoyo, Mayor Rasyad Nawawi,Kapten Alamsyah.[2]

Lini pertempuran sunting

Pusat pertahanan terkuat Belanda berada di Benteng Kuto Besak, Rumah Sakit Charitas dan Bagus Kuning (Plaju), Sementara kekuatan pejuang Palembang tersebar merata di setiap tempat-tempat pertahanan Belanda. Pada hari pertama setelah insiden penembakan di Jalan Tengkuruk, Para pejuang Palembang menyerbu dan mengepung pasukan Belanda yang bertahan di semua sektor yang telah mereka kuasai sebelumnya. Pertempuran berakhir hingga pukul lima sore, tetapi menjelang malam pasukan Belanda kembali menggempur menggunakan senjata lapis baja yang mengakibatkan beberapa tempat strategis dikuasai oleh Belanda seperti, kantor telegrap, kantor residen, kantor walikota, dan kantor pos.[2][3]

Menyusul pada hari kedua dan ketiga Belanda kembali menyerbu pusat pertahanan tentara dan para pejuang di area Masjid Agung Palembang, namun berhasil dihalau oleh Pasukan Batalyon Geni bersama sejumlah tokoh masyarakat. Sementara itu dari arah Talang Betutu, pasukan bantuan Belanda yang hendak bergabung ke Masjid Agung berhasil disergap oleh pejuang Palembang yang dipimpin Lettu Wahid Luddien. Pertempuran terus berlanjut dengan menyisakan kehancuran sebagian besar Kota Palembang. Pada hari keempat bala bantuan untuk pejuang Palembang tiba dari Lampung dibawah komando Mayor Noerdin Pandji dan dari Lahat yang dipimpin oleh Letjen Harun Sohar.[4][3]

Akhir pertempuran sunting

Menjelang hari kelima pertempuran, setelah kekurangan pasokan logistik dan amunisi, kedua belah pihak mengadakan pertemuan antar pimpinan sipil dan militer mereka yang memutuskan untuk melakukan gencatan senjata. Indonesia mengirim Dr. Adnan Kapau Gani sebagai utusan dari pemerintah pusat untuk melakukan perundingan dengan pihak Belanda. Hasil perundingan menyepakati bahwa dari pihak Indonesia, pasukan TRI dan pejuang lainnya akan mundur sejauh 20 km dari pusat kota dan hanya menyisakan ALRI, polisi dan pemerintahan sipil agar tetap berada di Kota Palembang. Sementara dari pihak Belanda, batas pos-pos mereka hanya boleh didirikan sejauh 14 km dari pusat kota. Gencatan senjata tersebut mulai berlaku sejak tanggal 6 Januari 1947.[3]

Referensi sunting

  1. ^ a b "Sejarah pertempuran 5 hari 5 malam di Palembang". Tanjung News. 2014-02-12. Diakses tanggal 2020-10-21. 
  2. ^ a b c BeritaPagi (2019-03-17). "Sekitar Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang". BERITAPAGI. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-24. Diakses tanggal 2020-10-21. 
  3. ^ a b c Darmawan, Budi. "Selama 5 hari Inilah Sejarah Pertempuran 5 hari 5 malam Di Palembang". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2020-10-21. 
  4. ^ "Sejarah Singkat Perang Lima Hari Lima Malam Palembang". Jurnal Sumatra (dalam bahasa Inggris). 2018-07-27. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-29. Diakses tanggal 2020-10-22.