Peristiwa Tiga Maret

Peristiwa Tiga Maret adalah sebuah upaya pemberontakan terhadap pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera Barat pada masa Revolusi Nasional Indonesia oleh para militan Islam. Pemberontakan ini gagal dan para pemimpinnya ditangkap.

Peristiwa Tiga Maret
Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia
Tanggal3 Maret 1947
LokasiBukittinggi dan beberapa kota di Sumatera Barat
Hasil

Kemenangan Republik

  • Para pemimpin kudeta ditangkap
Pihak terlibat
Indonesia Indonesia militan Islam
Tokoh dan pemimpin
Ismail Lengah Saalah Yusuf Sutan Mangkuto
Adam B.B.
Korban
1 tewas 1 luka-luka

Peristiwa ini ditandai pertempuran bersenjata pada 3 Maret 1947 di Bukittinggi, pusat Keresidenan Sumatera Barat antara beberapa orang TNI dan pejuang laskar. Di luar kota, para pemberontak berhasil menangkap beberapa pejabat sipil. Di antara tokoh pemberontakan yakni organisatoris Muhammadiyah Saalah Yusuf Sutan Mangkuto dan ulama Padang Panjang Adam B.B. bersama sejumlah tokoh laskar Islam Hizbullah, Sabilillah, dan Lasjmi. Adapun di antara tokoh yang ditangkap oleh para pemberontak yakni Roesad Datuk Perpatih Baringek, Eni Karim, dan Anwar Sutan Saidi.[1]

Pasca-kegagalan pemberontakan, para pemimpin pemberontakan ditangkap dan ditahan dalam penjara. Hamka ikut ambil bagian menjadi pembela dalam persidangan di depan hakim pengadilan.

Latar Belakang

sunting

Pada fase awal Revolusi Nasional Indonesia, penduduk Sumatera Barat merasa bahwa penguasa Republik Indonesia belum cukup radikal dalam melakukan tindakan terhadap Belanda.[2] Pemilihan umum lokal pada pertengahan 1946 menunjukkan keberhasilan yang signifikan bagi kandidat yang telah menolak untuk bekerja dengan pemerintah Belanda dan Jepang pada era pra-kemerdekaan, dan anggota Partai Masyumi sebagian besar mengambil kendali pemerintahan desa lokal dari para pemimpin tradisional.[3] Pada bulan November 1946, Perjanjian Linggarjati ditandatangani, yang di Sumatera Barat berarti bahwa unit-unit tentara Indonesia harus ditarik dari Kota Padang, keputusan yang tidak disukai oleh penduduk setempat.[3] Kemarahan ini diperparah oleh keluhan para prajurit di garis depan terhadap para administrator sipil dan perwira mereka, selain kurangnya perwakilan Masyumi dalam pemerintahan karesidenan dan fakta bahwa perbekalan militer dialokasikan hampir secara eksklusif untuk unit-unit tentara resmi sementara kelompok-kelompok milisi tidak menerima apa-apa secara efektif.[3][4]

Peristiwa

sunting

Pada tanggal 3 Maret 1947 terjadi pemberontakan yang berpusat di markas pemerintahan di Bukittinggi disamping beberapa kota lainnya.[3] Pasukan yang terlibat di Bukittinggi terutama adalah milisi Hizbullah yang ditarik dari Solok, Padang Panjang dan Payakumbuh, yang dimobilisasi dini hari itu.[4] Tujuan utama pemberontakan adalah untuk merebut kekuasaan dari pemerintah Republik, dan untuk menculik kepala pemerintahan di sana—residen sipil Rasyid dan komandan tentara Ismail Lengah.[3] Kedua pemimpin telah disiagakan untuk pemberontakan seminggu sebelumnya dan dilindungi dengan baik, dan telah terlebih dahulu menghubungi ulama lokal untuk meyakinkan mereka agar tidak mengambil bagian dalam pemberontakan.[5][1]

Karena pengetahuan sebelumnya, para pemimpin militer Republik telah menyusun rencana operasional yang mendikte kebijakan kekerasan minimal untuk mencegah kerugian.[6] Orang-orang Hizbullah dicegat dan dikepung,[6] setelah hanya beberapa jam pertempuran ringan, milisi menyerah sebelum mencapai pusat Bukittinggi.[7] Mereka dilucuti, dan beberapa pria yang berusaha melarikan diri dengan cara membaur dengan warga sipil tidak dikejar.[6] Di luar Bukittinggi, para pemberontak berhasil menangkap beberapa pejabat sipil (seperti calon menteri Eny Karim),[1] tetapi keesokan harinya para pemimpin utama kudeta telah ditangkap.[7] Di Bukittinggi, seorang tentara biasa tewas dan salah satu pemberontak terluka.[7]

Akibat

sunting

Para pemberontak yang ditangkap dipenjarakan, tetapi setelah beberapa hari mereka dibebaskan dan dipulangkan oleh pemerintah dengan membawa uang dan pakaian.[7] Para pemimpin kudeta diadili, dengan dua pemimpin utama masing-masing dijatuhi hukuman satu tahun penjara dan hukuman pembebasan bersyarat.[8] Pemimpin Masyumi Mohammad Natsir (yang berasal dari Sumatera Barat) melakukan perjalanan ke Bukittinggi memimpin delegasi Masyumi untuk menyelidiki insiden tersebut, menyimpulkan bahwa Partai Masyumi sendiri tidak terlibat dalam insiden tersebut, meskipun melibatkan sejumlah anggotanya.[7]

Para pemimpin pemerintah pusat Indonesia mengubah sikap mereka terhadap Sumatera Barat setelah insiden tersebut.[9] Pemerintah daerah memutuskan bahwa milisi Islam harus dimasukkan ke dalam struktur komando militer, dan mereka diintegrasikan dalam proses yang diselesaikan akhir tahun itu.[10]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c Bahar 2015, hlm. 117.
  2. ^ Kahin 1999, hlm. 122.
  3. ^ a b c d e Kahin 1999, hlm. 123.
  4. ^ a b Bahar 2015, hlm. 116.
  5. ^ Kahin 1999, hlm. 124.
  6. ^ a b c Bahar 2015, hlm. 118.
  7. ^ a b c d e Kahin 1999, hlm. 125.
  8. ^ Bahar 2015, hlm. 119.
  9. ^ Kahin 1999, hlm. 126.
  10. ^ Kahin 1999, hlm. 127.

Daftar pustaka

sunting