Pengeboman Masjid Istiqlal 1999

Sebuah ledakan bom terjadi di Masjid Istiqlal, Jakarta pada 19 April 1999.

Pengeboman sunting

Pengeboman ini menjadi peristiwa kedua setelah kali pertama pada 14 April 1978, yang baru saja terjadi setelah diresmikan pada 22 Februari 1978. Pengeboman ini meretakkan tembok dan memecahkan kaca beberapa kantor di kompleks Masjid Istiqlal, termasuk kantor Majelis Ulama Indonesia.

Penyelidikan sunting

Pada 6 Mei, polisi sudah meminta keterangan dari 24 saksi dan menyatakan belum melihat kaitan antara peledakan ini dengan peledakan Plaza Hayam Wuruk dan perampokan Bank Central Asia di Jakarta Barat. Kompas melaporkan tiga pelaku pengeboman sudah ditangkap pada 8 Mei, sementara pelaku lainnya yang sudah diketahui identitasnya sedang dalam pengejaran, tetapi kepolisian membantah laporan tersebut. Dua dari tiga pelaku tersebut berada di dalam kompleks masjid ketika terjadi ledakan, manakala sisanya berada di luar.[1]

Tanggapan sunting

Presiden B. J. Habibie menyebut ledakan ini merupakan tindakan pengacau yang menginginkan ketidakstabilan politik berupa konflik antaretnis dan antaragama agar pemilihan umum tidak terlaksana, sehingga meminta umat Islam tidak terpancing atas kejadian itu. Menhankam/Panglima TNI Wiranto menyebut peledakan ini dilakukan untuk menghancurkan kepercayaan dunia pada Indonesia. Menteri Agama Malik Fajar dan Wakil Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Hartono Mardjono mengatakan peledakan itu sendiri tidak ditujukan untuk melawan umat Islam, tetapi lebih kepada upaya pancingan agar umat Islam bereaksi keras. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia meminta umat tidak terpancing dengan provokasi yang hendak memecah belah persatuan. Sekretaris Eksekutif Badan Pengelola Masjid Istiqlal Adang Syafaat dan Gubernur Jakarta Sutiyoso meminta agar media massa tidak membuat pemberitaan yang provokatif. Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Noegroho Djajoesman meminta umat Islam untuk waspada dan tidak mudah terhasut. Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional Amien Rais menyebut ada usaha-usaha terancang dari kelompok-kelompok untuk menggagalkan pemilu hingga mengganggu keamanan negara, seraya menambahkan pengeboman itu tidak berdiri sendiri dan berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya.[2][3][4]

Referensi sunting