Ouw Peh Tjoa, juga dikenal dengan judul Melayu Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (Dua Siluman Ular Putih dan Hitam), adalah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1934. Film ini disutradarai dan diproduseri The Teng Chun. Diadaptasi dari Legenda Siluman Ular Putih, sebuah cerita rakyat Tiongkok, film ini mengisahkan seekor ular ajaib yang hidup sebagai manusia tetapi akhirnya mati. Film yang kemungkinan hilang ini memiliki satu sekuel, Anaknja Siloeman Oeler Poeti (Anaknya Siluman Ular Putih), yang dirilis tahun 1936.

Ouw Peh Tjoa
A black-and-white one sheet
SutradaraThe Teng Chun
ProduserThe Teng Chun
SinematograferThe Teng Chun
Perusahaan
produksi
Cino Motion Pictures
Tanggal rilis
  • 1934 (1934) (Hindia Belanda)
NegaraHindia Belanda
BahasaMelayu

Alur

Setelah bermeditasi selama beberapa ratus tahun, seekor ular putih ajaib berubah menjadi wanita jelita. Pesaingnya, ular hitam, juga melakukan hal yang sama. Keduanya bersaing memperebutkan hati Khouw Han Boen. Akhirnya Khouw setuju menikahi (bekas) ular putih, tetapi setelah identitas aslinya terkuak ia berusaha membatalkan pernikahan mereka. Si wanita ular menangis dan memberitahu bos Khouw bahwa mereka akan menikah. Khow lantas terpaksa menikahinya.

Seiring waktu berlalu, Khouw melihat istrinya perlahan berubah menjadi ular. Walaupun begitu, ia selalu berhasil meyakinkan suaminya. Khouw semakin jatuh cinta dengannya dan pernikahan mereka berlangsung bahagia. Setelah beberapa bulan, Khouw didekati seorang suhu besar, Hoat Hae Sian Soe, yang kemudian berupaya membunuh si wanita ular ini. Ia kabur sambil dikejar-kejar suhu besar tadi.

Sang suhu besar menangkap sang ular dan bersiap membunuhnya, tetapi dihentikan oleh dewi Kwan Im, yang memberitahunya bahwa sang ular sedang hamil dan karena itu tidak boleh dibunuh. Sebulan setelah ular tadi melahirkan, sang suhu datang lagi. Wanita ular ini menyerahkan anaknya ke Khouw, lalu pasrah pada nasib. Ia dimasukkan ke toples ajaib dan dibawa pergi.[1]

Produksi

Ouw Peh Tjoa disutradarai dan diproduseri The Teng Chun untuk perusahaannya, Cino Motion Pictures.[2] Sejak Sam Pek Eng Tay yang didasarkan pada legenda Sampek Engtay dirilis tahun 1931, The merilis beberapa film berbasis legenda dan cerita rakyat Tiongkok, termasuk Pat Bie To (1932) dan Pat Kiam Hiap (1933).[3] Film-film yang menonjolkan silat ini sukses secara komersial dan memungkinkan The Teng Chun mendominasi industri perfilman Hindia Belanda.[4]

Para pemeran film hitam putih ini tidak tercatat. Dialognya yang direkam sutradara sekaligus produser film ini dibawakan dalam bahasa Melayu.[2]

Rilis dan tanggapan

Menurut The dalam wawancara tahun 1970-an, Ouw Peh Tjoa dirilis tahun 1934.[4] Iklan-iklan surat kabar menunjukkan film ini ditayangkan pada Februari 1935.[5] Film ini lebih ditargetkan pada penonton etnis Tionghoa.[4] Iklan filmnya mencantumkan dialog berbahasa Melayu[2] dan menyebut film ini "penuh dengan keheranan ramai dengan perkelahian rupa-rupa jimat ajaib".[a][6] Film ini diekspor ke Singapura, bagian dari Negeri-Negeri Selat, yang sebagian besar penduduknya adalah orang Tionghoa.[7]

Kesuksesan Ouw Peh Tjoa memungkinkan The mengimpor perlengkapan baru untuk studionya (berganti nama menjadi Java Industrial Film) yang kelak dipakai untuk film-film selanjutnya.[8] Pada tahun 1936, film ini dibuatkan sekuelnya, Anaknja Siloeman Oeler Poeti. The terus merilis film yang didasarkan pada legenda Tiongkok sampai 1937, satu tahun setelah Pareh besutan Albert Balink mengubah persepsi dalam negeri tentang alur film yang menguntungkan. Film-film terakhir The mengadaptasi cerita yang cocok dengan penduduk pribumi Hindia Belanda dan berfokus pada peristiwa kehidupan sehari-hari.[4]

Penayangan Ouw Peh Tjoa terus berlanjut sampai setidaknya tahun 1953.[9] Film ini bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya.[10] Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[11]

Catatan penjelas

  1. ^ Teks asli: "Penoe dengan keheranan rame dengan perkelahian roepa-roepa popwee adjaib."

Catatan kaki

Kutipan

Pranala luar