Suku Melayu
Suku Melayu (bahasa Melayu: Orang Melayu, Jawi: أورڠ ملايو) adalah salah satu kelompok etnis di wilayah Austronesia yang menempati wilayah pesisir timur Sumatra, Semenanjung Malaka, dan beberapa wilayah di Kalimantan. Selain itu, kelompok etnis ini juga dapat dijumpai di pulau-pulau kecil yang tersebar diantara wilayah besar tersebut. Wilayah-wilayah persebaran ini seringkali disebut sebagai dunia Melayu. Wilayah-wilayah tersebut pada masa sekarang merupakan bagian dari negara Malaysia, Indonesia (Sumatra bagian timur dan selatan, serta pesisir pantai Kalimantan), bagian selatan Thailand (Pattani, Satun, Songkhla, Yala, dan Narathiwat), Singapura, dan Brunei Darussalam.
Orang Melayu اورڠ ملايو | |
---|---|
Jumlah populasi | |
± 27.000.000 | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Dunia Melayu | ca 27 juta |
Malaysia | 15.479.600 |
Indonesia | 8.753.791[1] |
Thailand | 2.150.950[2] |
Singapura | 811,209[3] |
Brunei | 314.560[4] |
Dunia Arab | ~50.000[5][6] |
Australia | 33.183[7] |
Britania Raya | ~33.000[8] |
Amerika Serikat | 29.431[9] |
Myanmar | ~27.000[10] |
Kanada | 16.920[11] |
Bahasa | |
Mayoritas Melayu | |
Agama | |
Mayoritas Islam | |
Kelompok etnik terkait | |
Bangsa Austronesia terkait | |
a Beberapa data mungkin menunjukkan bahwa resipien merupakan orang dengan ras/suku/genetika campuran, tetapi dapat berbicara dalam bahasa Melayu, sehingga mereka dimasukkan ke dalam data. |
Terdapat beberapa perbedaan unsur bahasa, kebudayaan, kesenian, dan keberagaman sosial diantara sub-kelompok turunan dari bangsa Melayu. Hal ini dikarenakan suku Melayu inti menyebar ke berbagai penjuru wilayah dunia Melayu, sehingga terjadi asimilasi sub-kelompok turunan Melayu dengan beberapa kelompok etnis daerah tertentu di wilayah Asia Tenggara Maritim. Secara historis, populasi suku Melayu merupakan turunan langsung dari orang-orang suku Austroasiatik Austronesia yang menuturkan bahasa-bahasa Melayik yang menjalin kontak dan perdagangan dengan kerajaan, kesultanan, ataupun pemukiman tertentu (terutama dengan kerajaan Brunei, Kedah, Langkasuka, Gangga Negara, Chi Tu, Nakhon Si Thammarat, Pahang, Melayu dan Sriwijaya.)[12][13]
Perkembangan dan pendirian Kesultanan Malaka pada abad ke-15 menyebabkan revolusi besar-besaran pada sejarah bangsa Melayu. Hal tersebut terjadi karena kesultanan tersebut membawa perubahan yang sangat signifikan pada tata kebudayaan dan kesultanan tersebut meraih kejayaan pada masa tersebut.
Menurut catatan sejarah, suku Melayu telah dikenal sebagai komunitas pedagang lintas perairan dengan karakteristik budaya yang dinamis.[14][15] Mereka dapat menyerap, berbagi, dan menyalurkan sekian banyak keunikan kebudayaan dari kelompok etnik lain, seperti kebudayaan Minang dan Aceh.
Etimologi
suntingKata Melayu pada awalnya merupakan nama tempat (toponim), yang merujuk pada suatu lokasi di Sumatra. Setelah abad ke-15 istilah Melayu mulai digunakan untuk merujuk pada nama suku (etnonim).[16]
Sastra Sejarah Melayu, mengaitkan asal etimologis "Melayu" dengan sebuah sungai kecil bernama Sungai Melayu di Sumatra, Indonesia. Epos tersebut salah menyebutkan bahwa sungai tersebut mengalir ke Sungai Musi di Palembang, padahal kenyataannya ia mengalir ke Sungai Batang Hari di Jambi.[17] Beberapa orang berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari sebuah kata yang berasal dari bahasa Melayu, yakni "melaju" yang berasal dari awalan 'me' dan akar kata 'laju', yang menggambarkan kuatnya arus pada sungai tersebut.[18]
Sebagai nama tempat (toponim)
suntingIstilah "Melayu" dan pelafalan serupa sejak abad ke-15 merupakan sebuah toponim kuno yang pada umumnya mengacu pada daerah-daerah di selat Malaka.[19]
- Malaya Dwipa, "Malaya Dwipa", seperti yang tertera dalam bab 48 Bayupurana, wilayah Malaka merupakan sebuah provinsi di laut timur yang sangat kaya akan emas dan perak. Beberapa ahli juga memasukkan daerah Sumatra ke dalam istilah tersebut.[20] Akan tetapi, para ahli dari India menyakini bahwa istilah ini hanya merujuk pada semenanjung Melayu yang terdiri atas banyak pegunungan, sementara Sumatra lebih merujuk kepada penggambaran di dalam Suvarnadvipa. [21][22][23][24][25]
- Maleu-kolon – sebuah lokasi di Semenanjung Emas, yang tertera di dalam karya Klaudius Ptolemaeus (90–68 M), Geographia mencatat sebuah tanjung di Aurea Chersonesus (Semenanjung Melayu) yang bernama Maleu-kolon, yang diyakini berasal dari Bahasa Sanskerta, malayakolam atau malaikurram.[26] [27]
- Mo-lo-yu – seperti yang disebutkan oleh Yijing, seorang biarawan Buddha aliran Tiongkok dari dinasti Tang yang berkunjung ke Asia tenggara pada tahun 688–695. Menurut Yijing, kerajaan "Mo-Lo-Yu" berjarak 15 hari pelayaran dari Bogha (Palembang), ibu kota Sribhoga (Sriwijaya). Kerajaan tersebut juga berjarak 15 hari pelayaran dari Ka-Cha (Kedah), sehingga dapat dikarakan bahwa kerajaan Mo-Lo-Yu terletak di tengah-tengah jarak antara keduannya.[28] Teori populer mengaitkan keberadaan "Mo-Lo-Yu" dengan situs Candi Muaro Jambi di Sumatra,[29] akan tetapi letak Jambi sangat bertentangan dengan pernyaraan Yi Jinh yang menyatakan bahwa ia terletak di tengah-tengah Ka-Cha (Kedah) dengan Bogha (Palembang)". Diantara masa akhir dinasti Yuan (1271–1368) dengan masa awal dinasti Ming (1368–1644), kata Ma-La-Yu seringkali disebut di dalam teks-teks kuno Tiongkok untuk menyebutkan wilayah yang terletak di laut selatan. Meskipun begitu, ejaan untuk menyebutkan "Ma-La-Yu" berbeda-beda karena adanya pergantian dinasti ataupun intervensi pengguna bahasa-bahasa Tionghoa, akan tetapi "Bôk-lá-yù", "Mók-là-yū" (木剌由), Má-lì-yù-er (麻里予兒), Oō-laì-yu (巫来由) merupakan istilah yang sering digunakan menurut catatan tertulis dari biarawan Xuanzang) dan Wú-laī-yû (無来由).
Orang Gunung
suntingPada Bab 48 teks agama Hindu Vuya Purana yang berbahasa Sanskerta, kata Malayadvipa merujuk kepada sebuah provinsi di pulau yang kaya emas dan perak. Di sana berdiri bukit yang disebut dengan Malaya yang artinya sebuah gunung besar (Mahamalaya). Meskipun begitu banyak sarjana Barat, antara lain Sir Roland Braddell menyamakan Malayadvipa dengan Sumatra.[30] Sedangkan para sarjana India percaya bahwa itu merujuk pada beberapa gunung di Semenanjung Malaya.[31][32][33][34][35]
Kerajaan Malayu
suntingDari catatan Yi Jing, seorang pendeta Buddha dari Dinasti Tang, yang berkunjung ke Nusantara pada tahun 688–695, dia menyebutkan ada sebuah kerajaan yang dikenal dengan Mo-Lo-Yu (Melayu), yang berjarak 15 hari pelayaran dari Sriwijaya. Dari Ka-Cha (Kedah), jaraknya pun 15 hari pelayaran.[36] Berdasarkan catatan Yi Jing, kerajaan tersebut merupakan negara yang merdeka dan akhirnya ditaklukkan oleh Sriwijaya.
Berdasarkan Prasasti Padang Roco (1286) di Sumatera Barat, ditemukan kata-kata bhumi malayu dengan ibu kotanya di Dharmasraya. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Malayu dan Sriwijaya yang telah ada di Sumatra sejak abad ke-7. Kemudian Adityawarman memindahkan ibu kota kerajaan ini ke wilayah pedalaman di Pagaruyung.
Petualang Venesia yang terkenal, Marco Polo dalam bukunya Travels of Marco Polo menyebutkan tentang Malauir yang berlokasi di bagian selatan Semenanjung Melayu. Kata "Melayu" dipopulerkan oleh Kesultanan Malaka yang digunakan untuk membenturkan kultur Malaka dengan kultur asing yakni Jawa dan Thai.[16] Dalam perjalanannya, Malaka tidak hanya tercatat sebagai pusat perdagangan yang dominan, namun juga sebagai pusat peradaban Melayu yang berpengaruh luas.[37]
Sebagai nama suku (etnonim)
suntingSastra Melayu Klasik menggambarkan suku Melayu dengan arti lebih sempit daripada interpretasi modern. Hikayat Hang Tuah (sekitar tahun 1700, manuskrip sekitar 1849) hanya mengidentifikasi suku Melayu sebagai subjek Kesultanan Malaka; Brunei pada waktu itu tidak dianggap Melayu. Hikayat Patani (sekitar 1876) tidak menyebut Patani dan Brunei sebagai Melayu, istilah itu hanya digunakan untuk Johor. Kedah tidak dimasukkan sebagai suku Melayu dalam Hikayat Kedah/Hikayat Merong Mahawangsa (sekitar 1821). Hikayat Aceh (sekitar 1625, manuskrip yang ada sekitar 1675) menghubungkan etnis Melayu dengan Johor, tapi tidak menyebut Aceh atau Deli sebagai Melayu.[38][39]
Asal-usul
suntingProto-Melayu
suntingMelayu asli atau yang juga dijuluki sebagai Melayu purba atau Proto-Melayu, adalah sekelompok suku dan bangsa yang memiliki asal-usul Austronesia dan diperkirakan telah bermigrasi menuju Kepulauan Melayu dalam kurun waktu periode yang cukup lama, yakni antara tahun 2500 sampai 1500 sebelum Masehi.[40] Masih terdapat sisa-sisa keturunan Proto-Melayu yang masih terlihat kental hingga saat ini, salah satunya adalah suku Moken, Jakun, Orang Kuala, Temuan, dan Orang Kanaq.[41] The Encyclopedia of Malaysia: Early History (bahasa Indonesia: Ensiklopedia Malaysia: Sejarah pada Masa Awal) menyebutkan tiga teori mengenai asal-usul bangsa Melayu yang telah dikenal:
- Teori Yunnan (diterbitkan tahun 1889) menjelaskan bahwa bangsa Proto-Melayu ber melalui sepanjang aliran sungai Mekong. Teori Proto-Melayu yang dikemukakan oleh Yunnan tersebut didukung oleh R.H Geldern, J.H.C Kern, J.R Foster, J.R Logen, Slamet Muljana dan Asmah Haji Umar. Bukti lain yang mendukung teori ini antara lain: alat-alat batu yang ditemukan di Kepulauan Melayu dianalogikan dengan alat-alat Asia Tengah, kesamaan adat Melayu dan adat di daerah Assam.
- Teori Taiwan (diterbitkan pada tahun 1997) menjelaskan bahwa migrasi dilakukan sekelompok orang dari Tiongkok Selatan sudah terjadi semenjak 6.000 tahun yang lalu. Beberapa diantaranya bermigrasi ke Taiwan (pribumi Taiwan), dan kemudian ke Filipina dan kemudian ke Kalimantan (kira-kira 4.500 tahun yang lalu) (pada masa sekarang, keturunan langsung yang dapat ditemui adalah Dayak dan kelompok lainnya). Kemudian, beberapa diantaranya berpisah lagi menuju wilayah lain seperti Sulawesi dan yang lainnya berkembang ke Jawa, dan Sumatera. Migrasi tersebut menyebabkan semua suku-suku turunan berbicara dalam bahasa-bahasa yang termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Migrasi terakhir adalah ke Semenanjung Malaya sekitar 3.000 tahun yang lalu. Sebuah sub-kelompok dari Kalimantan bermigrasi ke Champa (pada masa kini merupakan bagian dari wilayah Vietnam bagian Tengah dan Selatan) sekitar 4.500 tahun yang lalu. Ada juga jejak migrasi Dong Son dan Hoabinh dari Vietnam dan Kamboja.[42]
Deutro-Melayu
suntingDeuter-Melayu merupakan istilah yang mengacu pada orang-orang zaman besi yang sebagian besar merupakan turunan dari bangsa Austronesia yang memiliki teknik pertanian yang lebih maju dan pengetahuan baru tentang logam.[43][44][45] Tidak seperti pendahulu mereka, orang-orang Deutro-Melayu sudah tidak melakukan sistem nomaden. Mereka menetap dan mendirikan kampung yang berfungsi sebagai unit utama dalam masyarakat. Kampung-kampung ini biasanya terletak di tepi sungai atau daerah pesisir. Pada akhir abad terakhir SM, kampung-kampung ini mulai melakukan perdagangan dengan dunia luar.[46] Masyarakat Deutro-Melayu dianggap sebagai nenek moyang langsung dari bangsa Melayu yang ada pada saat ini.[47]
Penyebaran dari wilayah Sundaland
suntingSebuah teori yang lebih baru menyatakan bahwa penduduk Proto-Melayu Asia Tenggara Maritim tidak berasal dari Asia daratan, melainkan para penduduk tersebut memang sudah ada sejak zaman es di semenanjung Melayu, kepulauan tetangga Indonesia, dan paparan daratan yang luas (Sundaland). Penduduk di wilayah tersebut berkembang secara lokal dari pemukim manusia pertama dan menyebar hingga ke Asia daratan. Pendukung teori ini berpendapat bahwa persebaran ini memberikan penjelasan yang jauh lebih sulit daripada bukti linguistik, arkeologi, dan antropologis daripada model teori persebaran yang sebelumnya, khususnya model Taiwan.[48] Teori ini juga mendapat dukungan dari bukti genetik yang ditemukan oleh Organisasi Genom Manusia yang menunjukkan bahwa penduduk di Asia Daratan berasal dari satu jalur migrasi tunggal melalui Asia Tenggara. Rute ini kemudian dianggap sebagai daerah Melayu modern. Persebaran itu sendiri mungkin didorong oleh naiknya permukaan laut pada akhir Zaman Es.[49][50]
Pemrakarsa Stephen Oppenheimer telah lebih lanjut berteori bahwa persebaran penduduk dari wilayah yang mulai tergenang terjadi dalam tiga gelombang cepat karena naiknya permukaan laut pada akhir Zaman Es. Persebaran ini juga turut menyebarkan kebudayaan, mitologi, dan teknologi bukan hanya ke daratan Asia Tenggara, tetapi sampai India, Asia Tengah, dan Mediterania melalui para penduduk diaspora.[51][52][53]
Bukti genetik
suntingSuku Melayu adalah sebuah kelompok etnis yang menuturkan bahasa-bahasa Austronesia dan mendiami wilayah Asia Tenggara Maritim dan Semenanjung Melayu. Sebuah penelitian yang diadakan pada tahun 2021 menyimpulkan bahwa garis keturunan Basal-Asia Timur yang khas (biasanya juga disebut sebagai "Garis keturunan Asia Timur dan Tenggara"; bahasa Inggris: East- and Southeast Asian lineage (ESEA)), yang merupakan nenek moyang orang Asia Timur dan Asia Tenggara pada masa sekarang, Polinesia, dan Siberia, berasal dari Asia Tenggara Daratan pada kurun waktu sekitar 50.000 SM. Kemudian masing-masing dari mereka menyebar melalui beberapa gelombang migrasi ke arah selatan dan utara. Leluhur Basal-Asia Timur, serta nenek moyang Austroasiatik terkait kemudian menyebar ke Asia Tenggara Maritim sebelum ekspansi dataran Austronesia. Penutur Austronesia sendiri diperkirakan telah tiba di Taiwan dan Filipina utara antara kurun waktu 10.000 SM hingga 7.000 SM dari pesisir selatan Tiongkok, dan menyebar dari sana ke seluruh Asia Tenggara Maritim. Para peneliti menyimpulkan bahwa persebaran bangsa Austronesia ke Asia Tenggara Maritim dan Polinesia lebih cenderung berasal dari wilayah Filipina daripada Taiwan, sehingga orang-orang berbahasa Austronesia modern, seperti suku Melayu, sebagian besar memiliki nenek moyang Basal-Timur Asia dari periode paling awal dengan tanpa banyak campuran ras seiring berjalannya waktu.[54][55]
Sejarah
suntingPengaruh India
suntingTidak ada bukti pasti yang menunjukkan kapan tepatnya pelayaran pertama dari India melintasi Teluk Benggala, tetapi perkiraan konservatif menempatkan kedatangan awal di pantai-pantai Melayu setidaknya 2.000 tahun yang lalu. Penemuan sisa-sisa dermaga, situs peleburan besi, dan monumen bata tanah liat yang berasal dari tahun 110 Masehi di Lembah Bujang, menunjukkan bahwa jalur perdagangan maritim dengan kerajaan-kerajaan Tamil di India Selatan telah terjalin sejak abad kedua.[56]
Pertumbuhan perdagangan dengan India membawa masyarakat pesisir di sebagian besar kawasan maritim Asia Tenggara ke dalam kontak dengan agama-agama besar seperti Hinduisme dan Buddhisme. Di seluruh wilayah ini, pengaruh terbesar diberikan oleh India, yang memperkenalkan arsitektur, seni pahat, penulisan, monarki, agama, besi, kapas, dan berbagai elemen budaya tinggi lainnya. Agama-agama India, tradisi budaya, dan Sanskerta mulai menyebar ke seluruh wilayah. Kuil Hindu dibangun dengan gaya India, para raja lokal mulai menyebut diri mereka sebagai "raja", dan unsur-unsur pemerintahan India yang lebih diinginkan diadopsi.[57]
Awal Masehi menandai munculnya kerajaan-kerajaan Melayu di wilayah pesisir Sumatra dan Semenanjung Melayu; seperti Sriwijaya, Kerajaan Nakhon Si Thammarat, Gangga Negara, Langkasuka, Kedah, Pahang, Kerajaan Melayu dan Chi Tu. Antara abad ke-7 dan ke-13, banyak dari kerajaan-kerajaan kecil yang makmur di semenanjung dan Sumatra ini menjadi bagian dari mandala Sriwijaya,[58] sebuah konfederasi besar negara-kota yang berpusat di Sumatra.[59][60][59] Pada awal periode ini, penyebutan pertama yang diketahui tentang kata "Melayu" ditemukan dalam sumber-sumber Tiongkok pada tahun 644 Masehi. Kemudian pada pertengahan abad ke-14, kata Melayu telah diakui sebagai kelompok orang yang berbagi warisan, adat istiadat, dan bahasa yang sama.[61]
Pengaruh Sriwijaya menyebar ke seluruh wilayah pesisir Sumatra, Semenanjung Melayu, bagian barat Jawa dan barat Kalimantan, serta seluruh Kepulauan Melayu. Mendapat dukungan dari India dan Tiongkok, kekayaan Sriwijaya sebagian besar diperoleh melalui perdagangan. Pada puncaknya, Bahasa Melayu Kuno digunakan sebagai bahasa resminya dan menjadi bahasa pengantar di wilayah tersebut, menggantikan Sanskerta, bahasa Hinduisme.[57] Era Sriwijaya dianggap sebagai masa keemasan budaya Melayu.
Namun, kejayaan Sriwijaya mulai menurun setelah serangkaian serangan oleh Dinasti Chola Tamil pada abad ke-11. Setelah jatuhnya Sriwijaya pada tahun 1025 Masehi, Kerajaan Melayu Jambi di Sumatra menjadi kerajaan Melayu yang paling dominan di wilayah tersebut.[62] Pada akhir abad ke-13, sisa-sisa kerajaan Melayu di Sumatra akhirnya dihancurkan oleh para penyerbu orang Jawa selama ekspedisi Pamalayu (Pamalayu berarti "perang melawan orang Melayu").[63]
Pada tahun 1299, dengan dukungan dari Orang laut yang setia kepada kekaisaran, seorang pangeran Melayu dari Palembang, Sang Nila Utama mendirikan Kerajaan Singapura di Temasek.[64] Dinastinya memerintah kerajaan pulau tersebut hingga akhir abad ke-14, ketika kerajaan Melayu sekali lagi menghadapi serangan dari para penyerbu Jawa. Pada tahun 1400, cicitnya, Parameswara, bergerak ke utara dan mendirikan Kesultanan Malaka.[65] Kerajaan baru ini menggantikan Sriwijaya dan mewarisi banyak tradisi kerajaan dan budaya, termasuk sebagian besar wilayah pendahulunya.[66][67][68]
Di utara semenanjung, kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh runtuhnya Sriwijaya diisi oleh pertumbuhan kerajaan Tambralingga pada abad ke-12. Antara abad ke-13 hingga awal abad ke-14, kerajaan ini berhasil menguasai sebagian besar Semenanjung Melayu di bawah kendalinya. Kampanye yang dipimpin oleh Chandrabhanu (1230–1263) berhasil merebut Kerajaan Jaffna di Sri Lanka antara tahun 1247 hingga 1258. Dia akhirnya dikalahkan oleh pasukan dari Dinasti Pandya di Tamil Nadu pada tahun 1263 dan dibunuh oleh saudara Kaisar Jatavarman Sundara Pandyan.[69] Penyerbuan ini merupakan peristiwa luar biasa dalam sejarah Asia Tenggara, karena merupakan satu-satunya ekspedisi maritim bersenjata di luar wilayah tersebut.
Sistem politik Melayu juga menyebar di luar wilayah tradisional Sumatra-Semenanjung selama era ini. Masa ini ditandai dengan eksplorasi dan migrasi orang Melayu untuk mendirikan kerajaan-kerajaan di luar wilayah Sriwijaya tradisional. Beberapa contohnya adalah penobatan seorang pangeran Tambralingga untuk memerintah Kerajaan Lavo di Thailand Tengah saat ini, pendirian Kerajaan Cebu di Visayas, dan pendirian Kerajaan Tanjungpura di Kalimantan Barat, Borneo. Ekspansi ini juga membentuk perkembangan etnogenesis dari suku Aceh dan suku Banjar, serta memperluas ethos Melayu yang dipengaruhi India di wilayah tersebut.
Islamisasi
suntingPeriode abad ke-12 hingga ke-15 menyaksikan kedatangan Islam dan kebangkitan kota pelabuhan besar Melaka di pesisir barat daya Semenanjung Melayu[70] — dua perkembangan besar yang mengubah arah sejarah Melayu.
Kepercayaan Islam tiba di wilayah yang sekarang dikenal sebagai negara bagian Kedah, Perak, Kelantan, dan Terengganu, sekitar abad ke-12.[71] Bukti arkeologis paling awal dari Islam di Semenanjung Melayu adalah Batu Bersurat Terengganu dari abad ke-14 yang ditemukan di negara bagian Terengganu, Malaysia.[70]
Pada abad ke-15, Kesultanan Melaka, yang hegemoninya meluas ke sebagian besar wilayah barat Kepulauan Melayu, telah menjadi pusat Islamisasi di timur. Sebagai agama Kesultanan Melaka, Islam membawa banyak transformasi besar ke dalam masyarakat dan budaya Melaka, serta menjadi instrumen utama dalam evolusi identitas Melayu bersama. Era Melaka menunjukkan eratnya hubungan Islam dengan masyarakat Melayu dan bagaimana ia berkembang menjadi penanda definitif identitas Melayu.[13][72][73][74] Seiring waktu, idiom budaya Melayu yang umum ini berkembang menjadi ciri khas sebagian besar Kepulauan Melayu melalui proses Malayisasi. Ekspansi pengaruh Melaka melalui perdagangan dan Dakwah membawa serta bahasa Melayu Klasik,[75] kepercayaan Islam,[76] dan budaya Melayu Muslim;[77] tiga nilai inti dari Kemelayuan ("Ke-Melayu-an").[78]
Pada tahun 1511, ibu kota Melaka jatuh ke tangan penakluk Portugis. Namun, Melaka tetap menjadi prototipe kelembagaan: sebuah paradigma kenegaraan dan titik referensi budaya bagi kerajaan penerus seperti Kesultanan Johor (1528–sekarang), Kesultanan Perak (1528–sekarang), Kesultanan Pahang (1470–sekarang), Kesultanan Siak Sri Indrapura (1725–1946), Kesultanan Pelalawan (1725–1946), dan Kesultanan Riau-Lingga (1824–1911).[79]
Di seberang Laut Cina Selatan pada abad ke-14, kerajaan Melayu lainnya, Kekaisaran Brunei sedang bangkit menjadi kerajaan paling kuat di Kalimantan. Pada pertengahan abad ke-15, Brunei menjalin hubungan erat dengan Kesultanan Melaka. Sultan Brunei menikahi seorang putri Melaka, mengadopsi Islam sebagai agama istana, dan memperkenalkan administrasi yang efisien yang meniru Melaka.[80] Brunei mendapat keuntungan dari perdagangan dengan Melaka, tetapi memperoleh kemakmuran yang lebih besar setelah pelabuhan besar Melayu tersebut ditaklukkan oleh Portugis pada tahun 1511. Brunei mencapai masa kejayaannya pada pertengahan abad ke-16 ketika menguasai wilayah hingga sejauh selatan Kuching saat ini di Sarawak, ke utara menuju Kepulauan Filipina.[81] Kekaisaran Brunei memperluas pengaruhnya di Luzon dengan mengalahkan Datu Gambang dari Kerajaan Tondo dan mendirikan kerajaan satelit Kota Seludong di wilayah Manila saat ini, menempatkan Rajah Muslim, Rajah Sulaiman I sebagai pengikut Kesultanan Brunei. Brunei juga memperluas pengaruhnya di Mindanao, Filipina ketika Sultan Bolkiah menikahi Leila Macanai, putri dari Sultan Sulu. Namun, beberapa kerajaan seperti Kerajaan Pangasinan, Kerajaan Cebu dan Kedatuan Madja-as berusaha menolak penyebaran Brunei dan Islam ke Filipina. Kehadiran pemerintahan berbasis sungai yang cukup longgar di Kalimantan memproyeksikan proses Malayisasi.
Kesultanan Melayu penting lainnya adalah Kesultanan Kedah (1136–sekarang), Kesultanan Kelantan (1411–sekarang), Kesultanan Pattani (1516–1771), Kerajaan Reman (1785–1909) dan Kerajaan Legeh (1755–1902) yang mendominasi bagian utara Semenanjung Melayu. Kesultanan Jambi (1460–1907), Kesultanan Palembang (1550–1823), dan Kesultanan Indragiri (1298–1945) menguasai sebagian besar pantai tenggara Sumatra. Kesultanan Deli (1632–1946), Kesultanan Serdang (1728–1948), Kesultanan Langkat (1568–1948), dan Kesultanan Asahan (1630–1948) memerintah Sumatra bagian timur. Sementara Kalimantan Barat menyaksikan kebangkitan Kesultanan Pontianak (1771–1950), Kesultanan Mempawah (1740–1950), dan Kesultanan Matan (1590–1948).
Dampak Kolonialisasi
suntingAntara tahun 1511 dan 1984, banyak kerajaan dan kesultanan Melayu jatuh di bawah penjajahan langsung atau menjadi protektorat berbagai kekuatan asing, dari kekuatan kolonial Eropa seperti Portugis, Belanda, dan Inggris, hingga kekuatan regional seperti Aceh, Siam, dan Jepang. Pada tahun 1511, Kekaisaran Portugis menaklukkan ibu kota Kesultanan Malaka. Namun, Portugis yang menang tidak mampu memperluas pengaruh politik mereka di luar benteng Malaka. Sultan tetap memegang kekuasaan atas wilayah-wilayah di luar Malaka dan mendirikan Kesultanan Johor pada tahun 1528 sebagai penerus Malaka. Malaka Portugis menghadapi beberapa serangan balasan yang tidak berhasil dari Johor hingga tahun 1614, ketika pasukan gabungan Johor dan Kekaisaran Belanda berhasil mengusir Portugis dari semenanjung tersebut. Sesuai dengan perjanjian dengan Johor pada tahun 1606, Belanda kemudian mengambil alih Malaka.[82]
Secara historis, kerjaan-kerajaan Melayu di semenanjung memiliki hubungan yang bermusuhan dengan Siam. Kesultanan Malaka sendiri berperang dua kali dengan Siam, sementara negara-negara Melayu di utara secara berkala berada di bawah dominasi Siam selama berabad-abad. Pada tahun 1771, Kerajaan Thonburi di bawah dinasti Chakri yang baru, menghapuskan Kesultanan Pattani dan kemudian menganeksasi sebagian besar wilayah Kesultanan Kedah. Sebelumnya, Siam di bawah Kerajaan Ayutthaya telah menyerap Tambralinga dan mengalahkan Kesultanan Singgora pada abad ke-17.[83][84]
Senja Kekaisaran Brunei yang luas dimulai selama Perang Kastilia melawan para penakluk Spanyol yang tiba di Filipina dari Meksiko. Perang ini mengakibatkan berakhirnya dominasi kekaisaran di kepulauan Filipina yang sekarang. Penurunan ini semakin memuncak pada abad ke-19, ketika Kesultanan kehilangan sebagian besar wilayahnya yang tersisa di Kalimantan kepada Rajah Putih Sarawak, Serikat Borneo Utara Inggris dan vassal-vassalnya kepada Perusahaan Hindia Timur Belanda. Brunei menjadi protektorat Inggris dari tahun 1888 hingga 1984.[85]
Setelah Perjanjian Inggris-Belanda 1824 yang membagi Kepulauan Melayu menjadi zona Inggris di utara dan zona Belanda di selatan, semua kesultanan Melayu di Sumatra dan Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Hindia Belanda. Meskipun beberapa sultan Melayu tetap mempertahankan kekuasaan mereka di bawah kendali Belanda,[86] beberapa di antaranya dihapuskan oleh pemerintah Belanda dengan tuduhan pemberontakan melawan pemerintahan kolonial, seperti yang terjadi pada Kesultanan Palembang pada tahun 1823, Kesultanan Jambi pada tahun 1906, dan Kesultanan Riau-Lingga pada tahun 1911.
Pembagian serupa di Semenanjung Melayu juga dilakukan oleh Inggris dan Siam setelah Perjanjian Anglo-Siam 1909. Langkah ini diambil karena Inggris merasa khawatir akan pengaruh yang berkembang antara pemerintah Siam dan kekaisaran kolonial Jerman yang bersaing, terutama di bagian utara Semenanjung. Perjanjian Anglo-Siam menetapkan bahwa Siam akan menguasai bagian atas semenanjung, sementara wilayah bawah akan berada di bawah kekuasaan Inggris.
Kemudian, selama pendudukan Jepang di Hindia Belanda, Malaya, dan Borneo Britania, Jepang mempertahankan hubungan yang baik dengan para sultan dan pemimpin Melayu lainnya. Hal ini sebagian dilakukan untuk membangun kepercayaan publik Melayu yang umumnya loyal terhadap sultan. Namun, dalam serangkaian pembantaian yang dikenal sebagai insiden Pontianak, Jepang membunuh hampir semua sultan Melayu di Kalimantan Barat, termasuk sejumlah besar intelektual Melayu setelah mereka dituduh secara palsu merencanakan pemberontakan dan kudeta melawan Jepang. Diperkirakan bahwa Kalimantan Barat memerlukan dua generasi untuk pulih dari hampir totalnya kehancuran kelas penguasa Melayu di wilayah tersebut.
Gerakan Kemerdekaan
suntingMeskipun populasi Melayu tersebar di hampir seluruh Asia Tenggara Maritim, perkembangan organisasi nasionalisme modern untuk mencapai kemerdekaan menunjukkan variasi yang signifikan di Sumatra, Semenanjung Malaya, dan Pulau Kalimantan. Di Hindia Belanda, perjuangan melawan kolonialisasi ditandai oleh bentuk nasionalisme lintas etnis yang dikenal sebagai "Kebangkitan Nasional Indonesia", di mana warga Melayu Indonesia berkolaborasi dengan kelompok etnis lainnya untuk membangun kesadaran kolektif sebagai "Indonesia".[87] Di Malaysia, dorongan untuk meraih kemerdekaan terlihat dalam munculnya gerakan nasionalis Melayu di Malaya Britania Raya pada awal abad ke-20.[88]
Sementara itu, di Brunei, meskipun terdapat upaya untuk meningkatkan kesadaran politik Melayu antara tahun 1942 dan 1945, sejarah nasionalisme berbasis etnis tidak mencatat perkembangan yang signifikan. Di Thailand, separatisme Pattani terhadap pemerintahan Thai dianggap oleh sejumlah sejarawan sebagai bagian dari konteks nasionalisme Melayu semenanjung yang lebih luas. Secara keseluruhan, gerakan-gerakan ini memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan modern Indonesia (terutama di Sumatra, Kalimantan, dan kepulauan Riau), Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand.
Budaya
suntingBahasa
suntingBahasa Melayu merupakan salah satu bahasa utama dunia dan diturunkan dari rumpun bahasa Austronesia. Ragam dan dialek bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi di Brunei, Malaysia, Indonesia dan Singapura. Bahasa tersebut juga digunakan di Thailand bagian selatan, Kepulauan Cocos, Pulau Natal, dan Sri Lanka. Bahasa ini memiliki penutur jati sekitar 33 juta orang di seluruh Kepulauan Melayu dan digunakan sebagai bahasa kedua oleh sekitar 220 juta orang.[89]
Bentuk bahasa Melayu tertua diturunkan dari bahasa Proto-Melayu-Polinesia yang dituturkan oleh pemukim Austronesia paling awal di Asia Tenggara. Bentuk ini kemudian berkembang menjadi Bahasa Melayu Kuno ketika budaya dan agama India mulai merambah wilayah tersebut. Bahasa Melayu Kuno mengandung beberapa istilah yang bertahan hingga hari ini, akan tetapi struktur bahasanya sendiri tidak dapat dipahami oleh penutur bahasa Melayu Modern. Bentuk awal dari bahasa Melayu Modern sebagian besar sudah dapat dikenali dari bahasa Melayu Klasik tertulis, yang bentuk tertuanya berasal dari tahun 1303 Masehu.[90] Bahasa Melayu berkembang secara ekstensif menjadi Bahasa Melayu Klasik melalui masuknya sejumlah kosakata bahasa Arab dan Persia secara bertahap, ketika Islam masuk ke wilayah tersebut. Awalnya, Melayu Klasik adalah kelompok dialek yang beragam dan mencerminkan asal-usul beragam kerajaan Melayu di Asia Tenggara, akan tetapi pada abad ke-15, salah satu dialek yang berkembang dalam tradisi sastra Kesultanan Malaka menjadi dialek yang lebih dominan ketimbang dialek lain.
Era Malaka ditandai dengan transformasi bahasa Melayu menjadi bahasa bernuansa Islam, seperti halnya bahasa Arab, Persia, Urdu, dan Swahili. Abjad Arab kemudian diadaptasi untuk menulis bahasa Melayu yang disebut sebagai Abjad Jawi digunakan untuk menggantikan aksara India. Selain itu, istilah agama dan budaya Islam diserap kedalam bahasa Melayu, sehingga membuang banyak kata-kata bercorak Hindu-Budha, sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar dan penyebaran Islam di seluruh Tenggara wilayah Asia. Pada puncak kekuasaan Kesultanan Malaka pada abad ke-15, bahasa Melayu Klasik menyebar ke luar dunia berbahasa Melayu tradisional[91] sehingga menyebabkan bahasa Melayu menjadi sebuah basantara di wilayah tersebut.[92] Secara umum diyakini bahwa bahasa Melayu Dagang dan Kreolnya adalah bagian perkembangan terpenting dalam bahasa Melayu, sehingga menciptakan beberapa bahasa baru seperti Bahasa Melayu Ambon, Melayu Manado, dan juga Bahasa Betawi.[93]
Para penulis Eropa pada abad ke-17 dan ke-18, seperti Tavernier, Thomassin dan Werndly menggambarkan bahasa Melayu sebagai "bahasa orang terpelajar di seluruh Hindia, seperti layaknya Latin di Eropa".[94] Bahasa tersebut juga merupakan bahasa yang paling banyak digunakan selama era kolonial Inggris dan Belanda di Kepulauan Melayu.[95]
Dialek Kesultanan Johor yang merupakan turunan langsung dari dialek Malaka menjadi bahasa baku di kalangan orang Melayu di Singapura dan Malaysia, dan menjadi dasar asli untuk bahasa baku di Indonesia, yakni Bahasa Indonesia.[91][96][97][98]
Selain bahasa Melayu baku yang berkembang di wilayah Malaka-Johor, terdapat berbagai dialek Melayu lokal. Misalnya, bahasa Melayu Bangka, Melayu Brunei, Melayu Jambi, Melayu Kelantan, Melayu Kedah, Melayu Negeri Sembilan, Melayu Palembang, Melayu Pattani, Melayu Sarawak, Melayu Terengganu, dan masih banyak lagi.
Bahasa Melayu secara historis ditulis menggunakan aksara Pallawa, Kawi, dan Rencong. Setelah kedatangan Islam, suatu tulisan yang berasal dari Abjad Arab, Abjad Jawi, diadopsi dan masih digunakan sampai sekarang sebagai salah satu dari dua aksara resmi di Brunei dan sebagai aksara alternatif di Malaysia .[99] Mulai dari abad ke-17, sebagai akibat dari penjajahan Inggris dan Belanda, Jawi secara bertahap digantikan oleh aksara Rumi yang berbasis dari alfabet Latin.[100] yang akhirnya menjadi sistem penulisan modern resmi untuk bahasa Melayu di Malaysia, Singapura, dan Indonesia, dan aksara ko-resmi di Brunei Darussalam.
Sastra
suntingKarya sastra lisan dan klasik Melayu kaya akan gambaran berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pelayan hingga menteri, dari hakim hingga Raja, serta dari periode kuno hingga modern. Gambaran ini membentuk identitas amorf orang Melayu.[101]
Bahasa Melayu yang lembut dan harmonis dengan mudah memenuhi kebutuhan sajak dan irama, sehingga keaslian dan keindahan sastra Melayu dapat dinilai dari elemen puitisnya. Beberapa bentuk puisi dalam sastra Melayu antara lain: Pantun, Syair, dan Gurindam.
Bentuk paling awal sastra Melayu adalah sastra lisan yang subjek utamanya adalah cerita rakyat tradisional yang berkaitan dengan alam, binatang, dan manusia. Cerita rakyat klasik Melayu terdiri dari lagu-lagu tradisional, puisi kepahlawanan, dongeng binatang, cerita hantu, kisah masa lalu, cerita rakyat, mitos simbolis, dan cerita bardik. Setiap cerita memiliki energi sendiri dalam hal karakter, semangat, latar, dan alur cerita, dengan tujuan utama untuk kebahagiaan, memberikan petunjuk, pendidikan, bernostalgia, atau menjelaskan. Cerita-cerita ini dihafal dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Banyak dari kisah-kisah ini juga dituliskan oleh penglipur lara (pendongeng), misalnya: Hikayat Malim Dewa, Hikayat Malim Deman, Hikayat Raja Donan, Hikayat Anggun Cik Tunggal, dan Hikayat Awang Sulung Merah Muda.
Ketika pengaruh India memasuki Nusantara sekitar 2000 tahun yang lalu, sastra Melayu mulai mengadopsi elemen-elemen India. Karya-karya sastra pada masa ini sebagian besar merupakan terjemahan dari sastra Sanskerta dan roman, atau setidaknya terinspirasi dari karya-karya tersebut, yang penuh dengan rujukan ke mitologi Hindu. Karya-karya seperti Hikayat Seri Rama (terjemahan bebas dari Ramayana), Hikayat Bayan Budiman (adaptasi dari Śukasaptati) dan Hikayat Panca Tanderan (adaptasi dari Hitopadesha) dapat ditelusuri ke periode ini.[102]
Era sastra Melayu klasik dimulai setelah kedatangan Islam dan penemuan Aksara Jawi (aksara Arab berbasis Melayu). Sejak itu, kepercayaan dan konsep Islam mulai mempengaruhi sastra Melayu. Batu Bersurat Terengganu, yang bertarikh tahun 1303, merupakan tulisan naratif Melayu tertua yang dikenal. Batu ini memuat kisah sejarah, hukum, dan asmara dalam aksara Jawi.[103] Pada puncaknya, Kesultanan Malaka bukan hanya pusat Islamisasi, tetapi juga pusat ekspresi budaya Melayu termasuk sastra. Pada masa ini, karya-karya sastra terkenal dari Timur Tengah diterjemahkan, dan buku-buku keagamaan ditulis dalam bahasa Melayu. Di antara karya-karya terjemahan terkenal adalah Hikayat Muhammad Hanafiah dan Hikayat Amir Hamzah.
Kenaikan sastra Melayu pada periode ini juga ditandai dengan komposisi sastra asli yang diwarnai oleh Sufisme mistik dari Timur Tengah. Karya-karya terkenal dari Hamzah Fansuri seperti Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), dan Zinat al-Muwahidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan) dapat dilihat sebagai karya besar pada masa itu.
Karya sastra Melayu paling penting mungkin adalah Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu. Salah satu pakar studi Melayu paling terkemuka, Sir Richard O. Winstedt, menyebutnya sebagai "karya sastra Melayu paling terkenal, khas, dan terbaik".[104] Tanggal pasti komposisinya dan identitas penulis aslinya tidak jelas, tetapi atas perintah Sultan Alauddin Riaayat Shah III dari Johor pada tahun 1612, Tun Sri Lanang mengawasi proses editorial dan kompilasi Sejarah Melayu.[105]
Pada abad ke-19, sastra Melayu mendapatkan beberapa tambahan penting, termasuk Kitab Ilmu Bedil (Buku Senjata Tradisional Melayu) yang memberikan rincian berharga tentang amunisi dan senjata tradisional Melayu. Era ini juga menyaksikan penggunaan yang lebih luas dari jurnal kedokteran Melayu, yang dikenal sebagai Kitab Tib. Karya-karya ini penting sebagai referensi atas pengetahuan dan teknologi Melayu pada masa klasik.[106] Karya sastra Melayu abad ke-19 lainnya ditulis di Sumatra, termasuk Kitab Pengetahuan Bahasa (Buku Pengetahuan Bahasa) oleh Raja Ali Haji dan Perhimpunan Gunawan bagi Laki-Laki dan Perempuan oleh Khatijah Terung, istri dari Raja Haji Abdullah bin Raja Hassan.[107]
Abad yang sama juga menyaksikan perubahan monumental dalam sastra Melayu melalui tulisan-tulisan Abdullah bin Abdul Kadir, seorang Munshi kelahiran Malaka yang terkenal dari Singapura.[102] Abdullah dianggap sebagai orang Melayu paling berbudaya yang pernah menulis,[102] salah satu inovator terbesar dalam dunia sastra Melayu, dan bapak sastra Melayu modern.[103] Karya-karyanya yang paling penting adalah Hikayat Abdullah (autobiografi), Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan (kisah perjalanannya untuk pemerintah ke Kelantan), dan Kisah Pelayaran Abdullah ke Mekah (kisah ziarahnya ke Mekkah pada tahun 1854). Karyanya menjadi inspirasi bagi generasi penulis selanjutnya dan menandai tahap awal transisi dari sastra Melayu klasik ke sastra Melayu modern.
Agama
suntingKomunitas Melayu awal pada umumnya menganut animisme, dengan kepercayaan akan keberadaan semangat (roh) dalam segala sesuatu. Sekitar awal era Masehi, para pedagang dari Asia Selatan memperkenalkan agama Hindu dan Buddha ke Kepulauan Melayu, yang berkembang hingga abad ke-13, sebelum akhirnya Islam diperkenalkan oleh pedagang Muslim dari Arab, Asia Selatan, dan Tiongkok.
Pada abad ke-15, Islam dari sekte ortodoks Sunni mulai berkembang pesat di dunia Melayu selama masa Kesultanan Malaka. Berbeda dengan Hindu yang hanya memengaruhi masyarakat Melayu secara permukaan, Islam dapat dikatakan terintegrasi penuh ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.[108] Sejak era ini, orang Melayu dianggap sebagai kelompok etnoreligius yang memiliki keterikatan erat dengan Islam[109] dan mereka tidak mengubah agamanya sejak saat itu.[108] Identitas ini sangat kuat sehingga menjadi Muslim sering kali diistilahkan sebagai masuk Melayu (menjadi Melayu).[72]
Meskipun demikian, kepercayaan-kepercayaan sebelumnya yang berakar lebih dalam tetap bertahan, meski dihadapkan dengan larangan-larangan dalam Islam. Bahkan, mistisisme dalam Sufisme di kalangan Melayu sering kali berbaur dengan roh-roh dari dunia animisme sebelumnya dan beberapa elemen Hindu.[110] Setelah dekade 1970-an, terjadi kebangkitan kembali Islam[111] di dunia Muslim, di mana banyak tradisi yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam dan mengandung elemen syirik ditinggalkan oleh orang Melayu di Malaysia. Namun, di kalangan orang Melayu di Indonesia, tradisi-tradisi ini tidak dianggap takhayul atau mengandung elemen syirik. Salah satu tradisi tersebut adalah festival mandi safar, sebuah festival mandi untuk mencapai kemurnian spiritual, yang memiliki beberapa kesamaan dengan Durga Puja di India.[112]
Mayoritas besar orang Melayu modern menganut agama Sunni[113], dan perayaan paling penting bagi orang Melayu adalah yang berasal dari agama Islam, seperti Idulfitri, Iduladha, Awal Muharram, dan Maulid Nabi Muhammad.
Arsitektur
suntingBerbagai pengaruh budaya, terutama Tiongkok, India, dan Eropa, memainkan peran penting dalam pembentukan arsitektur Melayu.[114] Hingga zaman modern, kayu adalah bahan utama yang digunakan untuk semua bangunan tradisional Melayu.[115] Namun, banyak struktur batu juga ditemukan, terutama kompleks keagamaan dari zaman Srivijaya dan kerajaan Melayu kuno.
Candi Muara Takus dan Candi Muaro Jambi di Sumatra adalah contoh yang terkait dengan elemen arsitektur Kekaisaran Srivijaya. Namun, arsitektur Srivijaya sebagian besar terwakili di Chaiya (sekarang sebuah provinsi di Thailand) di Semenanjung Melayu, yang merupakan pusat penting selama periode Srivijaya.[116][117] Jenis struktur ini terdiri dari ruang sel untuk menampung gambar Buddha dan puncak struktur dibangun dalam bentuk stupa dengan teras-teras yang bertingkat, yang contohnya dapat dilihat di Wat Pra Borom That di Chaiya.[118]
Terdapat juga bukti adanya kuil Hindu atau Candi di sekitar selatan Kedah antara Gunung Jerai dan lembah Sungai Muda, daerah yang dikenal sebagai Lembah Bujang. Di area seluas sekitar 350 kilometer persegi, dilaporkan terdapat 87 situs keagamaan awal, dan terdapat 12 candi yang terletak di puncak gunung, sebuah fitur yang menunjukkan mungkin berasal dari kepercayaan pra-sejarah Melayu mengenai kesucian tempat tinggi.[119]
Referensi awal mengenai arsitektur Melayu di Semenanjung Melayu dapat ditemukan dalam beberapa catatan Tiongkok. Catatan Tiongkok abad ke-7 menceritakan tentang peziarah Buddha yang mengunjungi Langkasuka dan menyebutkan kota tersebut dikelilingi oleh tembok di mana menara telah dibangun dan diakses melalui gerbang ganda.[120] Catatan abad ke-7 lainnya tentang utusan khusus Tiongkok ke Kerajaan Tanah Merah di Semenanjung Melayu mencatat bahwa ibu kota memiliki tiga gerbang yang terpisah lebih dari seratus langkah, yang dihias dengan lukisan bertema Buddha dan roh wanita.[121]
Deskripsi rinci pertama tentang arsitektur Melayu adalah pada Istana besar Mansur Syah dari Malaka (memerintah 1458–1477).[115] Menurut Sejarah Melayu, bangunan ini memiliki struktur tujuh bay yang dinaikkan pada tiang kayu dengan atap tujuh tingkat dari sirap tembaga dan dihias dengan menara emas serta cermin kaca Tiongkok.[122]
Rumah-rumah tradisional Melayu dibangun menggunakan struktur rangka kayu sederhana. Rumah-rumah ini memiliki atap miring, emper di bagian depan, langit-langit tinggi, banyak bukaan pada dinding untuk ventilasi,[123] dan sering dihiasi dengan ukiran kayu. Keindahan dan kualitas ukiran kayu Melayu dimaksudkan untuk berfungsi sebagai indikator visual dari peringkat dan status sosial pemiliknya sendiri.[124]
Selama beberapa dekade, arsitektur tradisional Melayu telah dipengaruhi oleh Bugis dan Jawa dari selatan, Siam, Inggris, Arab, dan India dari utara, Portugis, Belanda, Aceh, dan Minangkabau dari barat, serta Tiongkok Selatan dari timur.[125]
Seni Visual
suntingUkiran kayu adalah bagian dari seni visual klasik Melayu. Orang Melayu secara tradisional menghias monumen, perahu, senjata, makam, alat musik, dan peralatan mereka dengan motif flora, kaligrafi, geometri, dan fitur kosmik. Seni ini dilakukan dengan menghilangkan sebagian kayu menggunakan alat tajam dan mengikuti pola, komposisi, serta urutan tertentu. Bentuk seni ini, yang dikenal sebagai ukir, dipuji sebagai bentuk pengabdian para pengrajin kepada pencipta dan sebagai hadiah bagi sesama manusia.[126]
Bentuk seni ini terutama disebabkan oleh ketersediaan kayu di Kepulauan Melayu dan juga oleh keahlian pemahat kayu yang memungkinkan orang Melayu mempraktikkan ukiran kayu sebagai kerajinan. Lingkungan tropis alami yang kaya flora dan fauna menginspirasi motif-motif yang digambarkan dalam bentuk abstrak atau bergaya pada papan kayu. Dengan kedatangan Islam, bentuk-bentuk geometri dan kaligrafi Islam diperkenalkan dalam ukiran kayu. Kayu yang digunakan biasanya berasal dari spesies kayu keras tropis yang dikenal tahan lama dan dapat menahan serangan jamur, kumbang, dan rayap.[127]
Rumah tradisional Melayu atau masjid biasanya dihiasi dengan lebih dari 20 komponen ukiran. Ukiran pada dinding dan panel memungkinkan sirkulasi udara yang efektif di dalam dan di luar bangunan serta membiarkan sinar matahari menerangi interior struktur. Pada saat yang sama, bayangan yang dihasilkan oleh panel juga menciptakan pola bayangan berdasarkan motif, menambah keindahan di lantai. Dengan demikian, komponen ukiran berfungsi baik secara fungsional maupun estetis.
Keramik
suntingDalam budaya Melayu, keramik tidak hanya dipandang sebagai alat makan rumah tangga semata. Keramik dianggap sebagai karya seni, sebuah contoh bakat yang dipenuhi dengan estetika, warisan, ketekunan, dan pengabdian religius. Keramik Melayu umumnya tidak dilapisi glasir, dengan desain ornamen yang diukir saat keramik masih setengah kering selama proses pembuatannya.[128]
Menurut beberapa studi,[129] industri keramik Melayu asli telah berkembang secara endemik sejak zaman kuno dan kini mencerminkan tingkat kecanggihan budaya yang tinggi. Juga dicatat bahwa fitur desain keramik Melayu menunjukkan tidak adanya pengaruh asing sebelum abad ke-19, sebuah paradoks mengingat kontak budaya yang luas antara orang Melayu dan dunia luar.[129]
Di antara keramik tradisional Melayu yang terkenal termasuk Mambong dari Kelantan, yang dibentuk dari tanah liat dan dikenal dengan warna terracotta. Biasanya berbentuk alat masak. Di pantai barat, Labu Sayong dari Kuala Kangsar dihormati sebagai kendi berbentuk labu. Ada juga beberapa varian Labu, termasuk Labu Tela, Labu Kepala, Labu Gelugor Tela, dan Labu Gelugor Kepala.[128]
Bentuk-bentuk lain dari keramik tradisional Melayu meliputi: Belanga, biasanya memiliki bibir lebar dan dasar bulat, pot ini biasanya digunakan untuk memasak kari. Struktur tanah liat dipercaya membantu distribusi panas yang merata, sesuai dengan dasar bulatnya. Versi lebih kecil dari Belanga disebut periok, digunakan untuk menyiapkan nasi; Buyong, biasanya memiliki kerah lurus dan tubuh bulat, sering digunakan sebagai kendi air; Terenang, yang angular digunakan sebagai tempat penyimpanan, terutama di wilayah pesisir Melayu seperti Kelantan, Patani dan Terengganu; Bekas Bara, sebuah wadah kecil, biasanya dibuat untuk penggunaan dupa; Jambangan, sebuah vas tradisional Melayu, biasanya untuk tujuan estetika; dan Geluk, sebuah penyimpanan air kecil.[130]
Kuliner
suntingBerbagai daerah Melayu dikenal dengan hidangan khas mereka masing-masing—Patani, Terengganu, dan Kelantan terkenal dengan nasi dagang, nasi kerabu, dan keropok lekor; Pahang dan Perak terkenal dengan hidangan berbahan dasar durian seperti gulai tempoyak; Kedah dan Penang dengan asam laksa dan rojak ala utara; Satun dan Perlis dengan pencuci mulut bunga kuda; Negeri Sembilan terkenal dengan masakan berbasis lemak; Malaka dengan cincalok yang pedas; Singapura dengan rojak bandung dan roti prata; Riau dengan hidangan ikan patin seperti gulai ikan patin dan asam pedas ikan patin; Kepulauan Riau dengan sup ikan; Melayu Deli di Sumatera Utara dengan nasi goreng teri medan dan gulai ketam;[131] Jambi dengan ikan mas panggang dan tempoyak; Melayu Palembang di Sumatra Selatan dengan pempek, mi celor dan nasi minyak; Bangka Belitung dengan siput gonggong dan terang bulan; Kalimantan Barat dan Sarawak dengan bubur pedas dan ayam pansuh; Brunei dengan Nasi katok dan hidangan khas mereka ambuyat.
Ciri khas utama masakan tradisional Melayu adalah penggunaan rempah-rempah yang melimpah. Santan juga penting untuk memberikan karakter kaya dan gurih pada hidangan Melayu. Dasar lain yang penting adalah belacan (terasi), yang digunakan sebagai dasar untuk sambal, saus atau bumbu yang terbuat dari belacan, cabai, bawang merah, dan bawang putih. Masakan Melayu juga sering menggunakan serai dan lengkuas.[132]
Hampir setiap hidangan Melayu disajikan dengan nasi, makanan pokok yang umum dalam budaya Asia Timur lainnya. Meskipun terdapat berbagai macam hidangan dalam satu kali makan, semua disajikan sekaligus, bukan bertahap. Makanan dimakan dengan jari tangan kanan secara halus, tanpa menggunakan tangan kiri yang dianggap untuk keperluan pribadi, dan jarang sekali menggunakan peralatan makan.[133] Karena mayoritas orang Melayu adalah Muslim, masakan Melayu secara ketat mengikuti aturan diet halal. Sumber protein umumnya berasal dari daging sapi, kerbau, kambing, dan domba, serta unggas dan ikan. Daging babi dan makanan yang tidak halal, juga alkohol, tidak ada dalam makanan sehari-hari masyarakat Melayu.
Nasi lemak, nasi yang dimasak dengan santan kental, mungkin adalah hidangan paling populer yang dapat ditemukan di kota dan desa Melayu. Nasi lemak dianggap sebagai hidangan nasional Malaysia.[134] Sementara Nasi Minyak dan Nasi Hujan Panas, nasi yang dimasak dengan minyak samin dan rempah-rempah, dianggap sebagai hidangan seremonial untuk acara-acara khusus, terutama saat pernikahan tradisional Melayu.
Contoh lain adalah Ketupat atau nasi himpit, nasi ketan yang dimampatkan dan dimasak dalam daun kelapa, populer terutama selama Idulfitri. Berbagai daging dan sayuran bisa dimasak menjadi Gulai atau Kari, sejenis hidangan kari dengan campuran rempah-rempah yang menunjukkan pengaruh India yang telah lama diadopsi oleh masyarakat Melayu. Laksa, perpaduan antara masakan Melayu dan Cina Peranakan, juga merupakan hidangan yang populer. Masakan Melayu juga menerima pengaruh dari tradisi kuliner tetangga terdekatnya, seperti rendang dari Minangkabau di Pagaruyung, dan satay dari Jawa, meskipun orang Melayu telah mengembangkan cita rasa dan resep mereka sendiri yang khas.
Seni Pertunjukan
suntingSuku Melayu memiliki tradisi seni pertunjukan yang kaya dan beragam, yang mencerminkan berbagai pengaruh budaya. Genre musik dan tarian mereka mencakup berbagai pertunjukan rakyat tradisional seperti Mak Yong hingga tarian Zapin yang dipengaruhi oleh budaya Arab. Pertunjukan ini menampilkan campuran gerakan tari sederhana hingga rumit, mulai dari nyanyian komunal dalam Dikir Barat hingga gerakan kaki yang kompleks dalam Joget Gamelan.
Musik tradisional Melayu terutama bersifat perkusi, menggunakan alat musik seperti gong dan rebana. Alat ini bervariasi dari rebana ubi besar yang sering digunakan dalam acara-acara penting, hingga rebana kecil berjingle yang digunakan untuk mengiringi bacaan vokal dalam upacara keagamaan.[135] Musik Nobat, yang merupakan bentuk musik istana, telah menjadi bagian dari upacara kerajaan sejak kedatangan Islam pada abad ke-12. Musik ini dimainkan dalam upacara kerajaan dengan alat-alat seperti gendang nobat (gendang berkepala dua), nafiri (terompet), serunai (obo), dan gong.[136]
Pengaruh India terlihat jelas dalam teater bayangan tradisional Melayu yang disebut Wayang Kulit, yang menceritakan kisah-kisah dari epik Hindu seperti Ramayana dan Mahabharata. Ada beberapa variasi regional dari Wayang Kulit di Semenanjung Melayu, termasuk Wayang Gedek, Wayang Purwa, Wayang Melayu, dan Wayang Siam.[137][138][139] Masing-masing mencerminkan campuran unsur lokal dan asing, dengan Wayang Purwa dan Wayang Siam dipengaruhi oleh tradisi Jawa dan Siam, sementara Wayang Melayu dan Wayang Gedek menampilkan gaya penceritaan yang lebih khas Melayu.
Seni pertunjukan Melayu lainnya yang terkenal termasuk teater Bangsawan, balada cinta Dondang Sayang, dan tari Mak Inang yang berasal dari Kesultanan Malaka. Bentuk-bentuk spesifik lainnya meliputi teater Jikey dan Mek Mulung dari Kedah, tarian drama Asyik dan Menora dari Patani dan Kelantan, serta tarian Ulek Mayang dan Rodat dari Terengganu. Di Penang, teater Boria populer, sedangkan tari Canggung merupakan tradisi penting di Perlis. Di Brunei dan Sarawak, terdapat tradisi lagu naratif yang dikenal sebagai Mukun.[140][141][142] Ada juga tari Gending Sriwijaya dari Palembang, tarian Serampang Dua Belas dari Serdang, Sumatera Utara[142] dan tari api Zapin Api dari Riau.
Pakaian Tradisional
suntingPakaian dan tekstil tradisional Melayu telah terus berkembang sejak zaman kuno. Secara historis, orang Melayu kuno diketahui menggunakan berbagai bahan alami sebagai sumber penting untuk kain dan pakaian. Namun, pada era modern, dengan kedatangan pedagang dari timur dan barat ke pelabuhan Nusantara, mereka membawa barang-barang mewah baru seperti kapas halus dan sutra. Pakaian ini kemudian menjadi simbol mode tinggi Melayu dan memegang peran budaya sebagai identitas di Nusantara, terutama di semenanjung, Sumatra, dan wilayah pesisir Kalimantan.[143]
Dalam budaya Melayu, pakaian dan tekstil dihormati sebagai simbol kecantikan, kekuasaan, dan status. Banyak catatan dalam hikayat Melayu menekankan tempat istimewa yang ditempati oleh tekstil.[144] Industri tenun tangan Melayu dapat ditelusuri asal-usulnya sejak abad ke-13 ketika jalur perdagangan timur berkembang di bawah Dinasti Song. Penyebutan kain buatan lokal serta dominasi tenun di Semenanjung Melayu disebutkan dalam berbagai catatan Tiongkok dan Arab.[145] Beberapa tekstil Melayu yang terkenal antara lain Songket, Batik, Telepok, Limar, Tenun, Kelingkam, Cindai, Pelangi, dan Tekad.
Pakaian klasik Melayu bervariasi di antara berbagai daerah, namun pakaian tradisional yang paling terkenal di masa modern adalah Baju Kurung (untuk wanita) dan Baju Melayu (untuk pria), yang keduanya diakui sebagai pakaian nasional di Malaysia dan Brunei, serta dikenakan oleh komunitas Melayu di Indonesia, Singapura, Filipina, Myanmar, dan Thailand.
Istilah Baju Kurung, yang secara harfiah berarti "membungkus tubuh" pemakainya, dirancang berdasarkan prinsip-prinsip Islam tentang kesopanan, kepatutan, dan kerendahan hati. Praktik ini sejalan dengan doktrin agama Yahudi-Kristen, di mana memperlihatkan bagian tubuh intim dianggap terlarang dalam Islam. Interpretasi ini kemudian diserap dalam cara berpakaian dan pandangan budaya Melayu, yang dapat dilihat jelas pada masa pemerintahan Mansur Syah dari Malaka pada abad ke-15, ketika sultan melarang perempuan Muslim di wilayah publik mengenakan hanya sarung dari dada ke bawah. Sepanjang waktu, Baju Kurung Melayu mengalami beberapa perubahan sebelum mencapai bentuknya yang sekarang. Karena luasnya berbagai kerajaan Melayu di nusantara, bentuk dan pola desain Baju Kurung lokal yang berbeda juga dapat ditemukan di wilayah-wilayah seperti Bengkulu, Kedah, Jambi, Johor-Riau, Pahang, dan Palembang.[143]
Padanan Baju Kurung untuk pria dikenal sebagai "Baju Melayu". Bagian atas pakaian ini dibuat dengan desain geometris yang hampir mirip dengan Baju Kurung dan biasanya dipadukan dengan kain tenunan yang dikenal sebagai sarung. Pola sarung ini dapat menunjukkan status pernikahan atau pangkat seseorang dalam masyarakat Melayu klasik.[143]
Pakaian klasik Melayu lainnya untuk pria terdiri dari baju (kemeja) atau tekua (jenis kemeja lengan panjang), baju rompi (rompi), kancing (kancing), celana kecil celana (celana), sarung yang dikenakan di pinggang, capal (sandal), dan tanjak atau tengkolok (penutup kepala); bagi para aristokrat, baju sikap atau baju layang (sejenis mantel) dan pending (gesper sabuk hiasan) juga umum dikenakan sebagai pakaian resmi. Hal ini juga umum bagi seorang pendekar (pejuang Melayu) untuk menyelipkan Keris di lipatan depan sarung.
Berbeda dengan Baju Melayu yang lebih sering dikenakan sebagai pakaian upacara, Baju Kurung dikenakan sehari-hari oleh mayoritas wanita Melayu. Pemandangan pegawai negeri wanita, pekerja profesional, dan pelajar yang mengenakan Baju Kurung umum di Malaysia dan Brunei.
Festival dan Perayaan
suntingKebangkitan Islam pada abad ke-15 berhasil mendefinisikan ulang identitas Kemelayuan. Akibatnya, sebagian besar festival dan perayaan Melayu mulai mengikuti kalender Islam, namun tetap memiliki ciri khas Melayu yang kuat. Perayaan Hari Raya (Idulfitri dan Iduladha) merupakan perayaan terbesar yang dirayakan oleh komunitas Melayu secara luas. Kedua hari raya ini memperingati peristiwa penting dalam ajaran Islam. Idulfitri menandakan kemenangan umat Muslim setelah menjalankan puasa dan kesabaran selama bulan Ramadhan, sedangkan Iduladha memperingati pengorbanan yang dilakukan oleh Ibrahim atas perintah Allah.
Perayaan Raya biasanya dimulai dengan acara Balik Kampung atau Balik Raya yang dilakukan beberapa hari sebelum hari besar. Pada Hari Raya, umat Melayu biasanya melaksanakan salat id, mengadakan jamuan besar, serta berkunjung ke rumah teman, kerabat, dan tetangga. Ziarah ke makam orang tercinta yang telah meninggal juga menjadi bagian penting dari perayaan sebagai bentuk penghormatan dan cinta.
Perayaan keagamaan besar lainnya yang dirayakan oleh orang Melayu termasuk Ramadhan, bulan suci yang diisi dengan puasa dan berbagai aktivitas keagamaan; Maulid Nabi, prosesi besar untuk memperingati kelahiran Muhammad; Asyura, peringatan Muharram di mana orang Melayu menyiapkan hidangan khusus yang disebut Bubur Ashura; Nisfu Sya'ban, peringatan pertengahan bulan Sya'ban, sebagai hari puasa khusus untuk memohon pengampunan; Nuzulul Quran, peringatan wahyu pertama Quran; Isra' dan Mi'raj, peristiwa naiknya Muhammad ke langit; dan Awal Muharram. Ketiga perayaan terakhir biasanya diisi dengan shalat sunat, ceramah agama, dan diskusi Islam di masjid.
Selain itu, terdapat berbagai festival budaya regional dan acara sosial yang berbeda di berbagai wilayah Melayu. Wilayah pesisir misalnya, dulunya dikenal dengan upacara Mandi Safar atau Puja Pantai, yaitu mandi penyucian selama bulan Safar, yang diadaptasi dari ritual penyucian kuno Melayu pra-Islam, mirip dengan tradisi Mandi Belimau sebelum Ramadhan. Di wilayah pedalaman dan agraris, terdapat perayaan pesta panen, yang dirayakan dengan permainan tradisional, teater, Joget, dan berbagai tarian lainnya. Namun, kedua praktik tersebut perlahan mulai menghilang akibat perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di kalangan masyarakat Melayu pada abad ke-20.
Perayaan-perayaan Islam juga mempengaruhi acara-acara individu di kalangan masyarakat Melayu, yang biasanya diselenggarakan dalam bentuk kenduri, sebuah jamuan keagamaan untuk merayakan atau memohon berkah atas suatu peristiwa. Terdapat berbagai variasi kenduri, seperti Doa Selamat (memohon perlindungan), Kesyukuran (syukuran), Melenggang Perut (upacara untuk ibu hamil anak pertama), Aqiqah dan Cukur Jambul (upacara kelahiran bayi), Bertindik (upacara penindikan pertama untuk anak perempuan), Khatam Quran (upacara kelulusan setelah membaca penuh Quran), Khitan (khitan) dan Tahlil (doa untuk orang yang meninggal).
Seni bela diri
suntingSilat dan berbagai variannya ditemukan di seluruh dunia Melayu: Semenanjung Malaya (termasuk Singapura), Kepulauan Riau, Sumatra, dan daerah pesisir Kalimantan. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa sejak abad ke-6, seni bela diri formal telah dipraktikkan di Semenanjung Malaya dan Sumatra.[146] Bentuk awal Silat diyakini telah dikembangkan dan digunakan oleh angkatan bersenjata kerajaan-kerajaan Melayu kuno seperti Langkasuka (abad ke-2)[147][148] dan Sriwijaya (abad ke-7).
Pengaruh kesultanan-kesultanan Melayu seperti Kesultanan Malaka, Johor, Pattani, dan Brunei turut menyebarkan seni bela diri ini di Nusantara. Melalui jalur laut dan sungai yang kompleks yang memfasilitasi perdagangan di seluruh wilayah, Silat menyebar hingga ke hutan hujan lebat dan pegunungan. Laksamana legendaris Hang Tuah dari Malaka adalah salah satu pesilat paling terkenal dalam sejarah[149] dan bahkan dianggap oleh beberapa orang sebagai bapak Silat Melayu.[150] Sejak era klasik, Silat Melayu mengalami banyak diversifikasi dan diakui secara tradisional sebagai sumber dari Pencak Silat Indonesia dan berbagai bentuk Silat di Asia Tenggara.[151][152]
Selain Silat, Tomoi juga dipraktikkan oleh orang Melayu, terutama di wilayah utara Semenanjung Malaya. Seni bela diri ini merupakan varian dari Indo-Cina kickboxing yang diyakini telah menyebar ke daratan Asia Tenggara sejak masa Kerajaan Funan (68 M).
Kerajinan Logam
suntingPada pergantian abad ke-17, emas, perak, besi dan kuningan telah menjadi bagian penting dari masyarakat Melayu. Era ini menyaksikan karya seni logam menerima dukungan kerajaan yang signifikan. Beragam karya logam Melayu menjadi bukti dari era ini, mulai dari keris khas Melayu yang terbuat dari besi hingga perhiasan halus yang rumit terbuat dari emas dan perak. Bagi bangsawan Melayu pada periode ini, karya pending (gesper sabuk hias yang dihiasi batu permata), keronsang (bros), dan cucuk sanggul (peniti rambut) menjadi barang mode yang paling dicari. Era ini juga menampilkan sejumlah benda terkenal lainnya dalam regalia Melayu yang terbuat dari emas, termasuk kotak upacara, Tepak Sirih (wadah sirih), dan bagian dari keris. Seni pengolahan emas dilakukan terutama dengan teknik repoussé dan granulasi, di mana metode tradisional ini masih dapat disaksikan hingga saat ini. Di era kontemporer, perhiasan emas Melayu umumnya berbentuk gelang kaki, gelang tangan, cincin, kalung, liontin, dan anting-anting.[153][154]
Untuk kerajinan perak Melayu, karya-karya perak terkenal karena desainnya yang rumit dan halus. Biasanya dibuat dengan teknik repoussé, pending dan niello. Barang-barang tradisional Melayu yang biasa dibuat dari perak termasuk ujung bantal, gesper sabuk, sudut tikar, sumbat bejana air, sarung keris, dan kotak tembakau. Pola Awan Larat (pola awan) dan Kerawang (motif tumbuhan) merupakan desain populer untuk ujung bantal dekoratif perak Melayu dan kotak tembakau.[153]
Penggunaan barang-barang kuningan melampaui berbagai kelas sosial Melayu klasik, digunakan oleh bangsawan maupun rakyat biasa. Popularitas barang-barang kuningan didorong oleh daya tahannya, kualitas, dan keterjangkauannya. Barang-barang kuningan terbagi menjadi dua jenis, kuningan kuning untuk barang fungsional dan kuningan putih untuk tujuan dekoratif. Kuningan sering dipahat dan dihias dengan motif dekoratif religius dan bunga. Penggunaan kuningan paling dikenal untuk Tepak Sirih, nampan upacara untuk sirih, dan untuk membuat instrumen musik seperti gong dalam orkestra tradisional Melayu Gamelan. Selain itu, barang-barang tradisional Melayu lainnya yang terbuat dari logam termasuk vas bunga, penyemprot parfum, nampan saji, panci masak, ketel, dan pembakar dupa.[153][154]
Persenjataan
suntingKeris adalah salah satu senjata paling dihormati dalam persenjataan Melayu. Awalnya dikembangkan oleh orang Jawa di selatan, penyebaran keris ke negara lain seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina dikaitkan dengan pengaruh yang semakin besar dari Majapahit di Jawa sekitar tahun 1492.[155] Pada masa Kesultanan Malaka abad ke-15, evolusi Keris Melayu mencapai kesempurnaan, dan kepemilikan keris menjadi bagian penting dari budaya Melayu, sebagai simbol filosofi yang menggambarkan prestise, keterampilan, maskulinitas, dan kehormatan.[156][157][158]
Pada era klasik, seorang pria Melayu tidak pernah terlihat tanpa keris di luar rumah. Tidak membawa keris dianggap sebagai hal yang memalukan, seolah-olah dia berparade tanpa busana di hadapan umum. Secara tradisional, seorang pria Melayu memiliki tiga jenis keris: Keris Pusaka (Keris Dinasti, diwariskan dari generasi ke generasi), Keris Pangkat (Keris Status, diberikan sesuai kedudukannya dalam masyarakat Melayu), dan Keris Perjuangan Dirinya (Keris Pribadi). Ada banyak aturan ketat, regulasi, dan pantangan yang harus diikuti dalam kepemilikan keris.[158] Bilah keris biasanya dilapisi racun arsenik, menjadikannya senjata yang sangat mematikan bagi musuhnya.[157] Selain itu, setiap keris juga dianggap memiliki roh, yang dikenal sebagai semangat. Ritual khusus dilakukan untuk merawat, menjaga, dan melindungi "jiwa" senjata tersebut.[158] Pendekatan spiritual ini biasanya dilakukan setiap Malam Jumaat (malam Jumat), dengan bilah keris dibersihkan dengan jeruk nipis dan diasapi dengan dupa, disertai doa-doa khusus dan mantra yang diucapkan untuk melengkapi ritual mistik tersebut.[159]
Orang Melayu dan Jawa memiliki nilai-nilai filosofis yang berbeda terkait penggunaan keris. Secara tradisional, orang Melayu menyelipkan keris mereka di depan, yang melambangkan bahwa senjata tersebut lebih penting daripada pemakainya dan sebagai pengingat bahwa seseorang selalu siap menghadapi musuh. Sementara itu, orang Jawa menganggap bahwa keris hanya boleh digunakan saat diperlukan, sehingga mereka menyelipkan keris di belakang. Mereka percaya bahwa dengan membawa keris di posisi tersebut, musuh akan bingung.[158]
Namun, kedua kelompok tersebut memiliki ideologi yang serupa mengenai hulu keris. Jika hulu keris menghadap ke depan, itu menandakan kesiapan untuk bertarung. Namun, jika hulu menghadap ke belakang, itu berarti orang tersebut siap untuk berdamai.[158]
Selain keris, ada berbagai jenis senjata lain dalam persenjataan Melayu yang sama-sama dihormati. Orang Melayu mengklasifikasikan senjata tradisional mereka dalam 7 kategori: Tuju (Langsung, artileri besar seperti meriam Melayu Meriam, Ekor Lotong, Lela dan Rentaka), Bidik (Senjata api, senjata dengan pipa logam yang menembakkan amunisi seperti Terakor dan Istinggar), Setubuh (Tubuh, senjata berukuran seperti tubuh manusia, seperti tombak Melayu Tongkat Panjang dan Lembing), Selengan (Lengan, pedang besar sepanjang bahu hingga ujung jari seperti Pedang dan Sundang), Setangan (Tangan, pedang berukuran dari siku hingga tiga jari seperti Badik Panjang dan Tekpi), Sepegang (Pegangan, lebih kecil dari Setangan, pisau belati seperti Keris dan Badik), dan Segenggam (Genggaman, senjata berukuran tangan seperti Lawi Ayam, Kerambit, Kuku Macan dan Kapak Binjai).[160] Senjata tradisional lain dalam persenjataan Melayu termasuk sumpit (tiupan) dan Busur panah, yang berbeda dari tujuh kategori senjata utama. Selain itu, orang Melayu juga menggunakan Zirah, sejenis baju besi sebagai pelindung, serta Perisai (tameng) dalam peperangan.
Permainan Tradisional
suntingPermainan tradisional Melayu umumnya memerlukan keterampilan kerajinan tangan dan kelincahan fisik, dan dapat ditelusuri asal-usulnya sejak zaman Kesultanan Malaka. Sepak Raga dan layang-layang adalah di antara permainan tradisional yang disebutkan dalam Hikayat Melayu sebagai permainan yang dimainkan oleh bangsawan dan keluarga kerajaan Kesultanan Melayu.[161][162][163]
Sepak Raga adalah salah satu permainan Melayu yang paling populer dan telah dimainkan selama berabad-abad. Secara tradisional, Sepak Raga dimainkan dalam lingkaran dengan menendang dan menjaga bola rotan tetap di udara menggunakan bagian tubuh selain tangan dan lengan. Saat ini, permainan ini diakui sebagai olahraga nasional Malaysia[164][165] dan dimainkan di ajang olahraga internasional seperti Asian Games dan SEA Games.
Permainan populer lainnya adalah Gasing (bermain gasing), yang biasanya dimainkan setelah musim panen. Dibutuhkan keterampilan kerajinan yang tinggi untuk membuat gasing yang paling kompetitif, beberapa di antaranya bisa berputar selama dua jam.[166]
Mungkin permainan Melayu yang paling terkenal adalah Wau (sejenis layang-layang khas dari pantai timur Semenanjung Melayu). Kompetisi Wau sering diadakan, di mana juri memberikan nilai berdasarkan keterampilan kerajinan (Wau yang indah dihias dan dibuat dari rangka bambu), suara (semua layang-layang Melayu dirancang untuk menciptakan suara tertentu saat tertiup angin), dan ketinggian.[166]
Orang Melayu juga memiliki varian dari permainan papan Mancala yang dikenal sebagai Congkak. Permainan ini dimainkan dengan memindahkan batu, kelereng, manik-manik, atau cangkang di papan kayu yang terdiri dari dua belas atau lebih lubang. Mancala diakui sebagai salah satu permainan tertua di dunia dan dapat ditelusuri asal-usulnya sejak zaman Mesir Kuno. Saat permainan ini menyebar ke seluruh dunia, setiap budaya menciptakan variasi mereka sendiri, termasuk orang Melayu.[167]
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ "Ethnic Group (eng)". indonesia.go id. Indonesian Information Portal. 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-21. Diakses tanggal 29 Desember 2020.
This quantity only provides the ethnic group population that lies under the term "Melayu" of Melayu Asahan, Melayu Deli, Melayu Riau, Langkat/ Melayu Langkat, Melayu Banyu Asin, Asahan, Melayu, Melayu Lahat, and Melayu Semendo in some part of Sumatra
- ^ "Thailand". World Population Review. 2022.
- ^ "Singapore". CIA World Factbook. 2022. Diakses tanggal 28 Februari 2014.
- ^ "CIA (B)"
- ^ "Jejak Melayu di bumi anbiya". Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 September 2018. Diakses tanggal 1 Juni 2018.
- ^ "Jabal Ajyad perkampungan komuniti Melayu di Mekah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 September 2018. Diakses tanggal 1 June 2018.
- ^ "Australia – Ancestry". .id community.
- ^ "Malaysian Malay in United Kingdom". Joshua Project.
- ^ "Data Access Dissemination Systems (DADS): Results". United States Census Bureau. 5 October 2010. Diakses tanggal 2 December 2018.[sumber mendukung?]
- ^ "Malay in Myanmar (Burma)". Joshua Project.
- ^ "Census Profile, 2016 Census". Statistics Canada.
- ^ Milner 2010, hlm. 24, 33.
- ^ a b Barnard 2004, hlm. 7 & 60.
- ^ Milner 2010, hlm. 131.
- ^ Barnard 2004, hlm. 7, 32, 33 & 43.
- ^ a b Timothy P. Barnard (2004). Contesting Malayness: Malay identity across boundaries. Singapore: Singapore University press. ISBN 9971-69-279-1.
- ^ Reid, Anthony (October 2001). "Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities". Journal of Southeast Asian Studies. 32 (3): 295–313.
- ^ Melebek & Moain 2006, hlm. 9–10.
- ^ Barnard 2004, hlm. 3.
- ^ Deka 2007, hlm. 57.
- ^ Pande 2006, hlm. 266.
- ^ Gopal 2000, hlm. 139.
- ^ Ahir 1995, hlm. 612.
- ^ Mukerjee 1984, hlm. 212.
- ^ Sarkar 1970, hlm. 8.
- ^ Gerolamo Emilio Gerini (1974). Researches on Ptolemy's geography of eastern Asia (further India and Indo-Malay archipelago. Munshiram Manoharlal Publishers. hlm. 101. ISBN 81-70690366.
- ^ Gerini 1974, hlm. 101.
- ^ I Ching 2005, hlm. xl–xli.
- ^ Melayu Online 2005.
- ^ Phani Deka (2007). The great Indian corridor in the east. Mittal Publications. hlm. 57. ISBN 81-8324-179-4.
- ^ Govind Chandra Pande (2005). India's Interaction with Southeast Asia: History of Science,Philosophy and Culture in Indian Civilization, Vol. 1, Part 3. Munshiram Manoharlal. hlm. 266. ISBN 978-8187586241.
- ^ Lallanji Gopal (2000). The economic life of northern India: c. A.D. 700-1200. Motilal Banarsidass. hlm. 139. ISBN 9788120803022.
- ^ D.C. Ahir (1995). A Panorama of Indian Buddhism: Selections from the Maha Bodhi journal, 1892-1992. Sri Satguru Publications. hlm. 612. ISBN 8170304628.
- ^ Radhakamal Mukerjee (1984). The culture and art of India. Coronet Books Inc. hlm. 212. ISBN 9788121501149.
- ^ Himansu Bhusan Sarkar (1970). Some contributions of India to the ancient civilisation of Indonesia and Malaysia. Calcutta: Punthi Pustak. hlm. 8.
- ^ I-Tsing (2005). A Record of the Buddhist Religion As Practised in India and the Malay Archipelago (A.D. 671-695). Asian Educational Services. hlm. xl – xli. ISBN 978-8120616226.
- ^ Europa Publications Staff (2002). Far East and Australasia 2003 (34th edition). Routledge. hlm. 763. ISBN 978-1857431339.
- ^ Milner, Anthony (2011). The Malays. John Wiley & Sons. hlm. 91–92. ISBN 9781444391664.
- ^ Untuk usia manuskrip, lihat Malay Concordance Project.
- ^ Ryan 1976, hlm. 4–5.
- ^ "Orang Asli Population Statistics". Center for Orang Asli Concerns. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-22.
- ^ Barnard 2004.
- ^ Murdock 1969, hlm. 278.
- ^ Ooi 2004, hlm. 495.
- ^ Anderbeck 2002.
- ^ Jamil Abu Bakar 2002, hlm. 39.
- ^ TED 1999.
- ^ Oppenheimer 2006.
- ^ Abdulla et al. 2009.
- ^ Soares, et al. 2008.
- ^ Razak 2012.
- ^ Terrell 1999.
- ^ Baer 1999.
- ^ Larena, Maximilian; Sanchez-Quinto, Federico; Sjödin, Per; McKenna, James; Ebeo, Carlo; Reyes, Rebecca; Casel, Ophelia; Huang, Jin-Yuan; Hagada, Kim Pullupul; Guilay, Dennis; Reyes, Jennelyn (2021-03-30). "Multiple migrations to the Philippines during the last 50,000 years". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 118 (13): e2026132118. doi:10.1073/pnas.2026132118. ISSN 0027-8424. PMC 8020671 Periksa nilai
|pmc=
(bantuan). PMID 33753512 Periksa nilai|pmid=
(bantuan). - ^ Yang, Melinda A. (2022-01-06). "A genetic history of migration, diversification, and admixture in Asia". Human Population Genetics and Genomics (dalam bahasa Inggris). 2 (1): 1–32. doi:10.47248/hpgg2202010001. ISSN 2770-5005.
- ^ Devan 2010.
- ^ a b Zaki Ragman 2003, hlm. 1–6
- ^ Sabrizain. "Early Malay kingdoms". Sejarah Melayu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 October 2012. Diakses tanggal 21 June 2010.
- ^ a b Munoz 2006, hlm. 171.
- ^ Miksic & Goh 2017.
- ^ Aljunied, Syed Muhd. Khairudin (2019). Islam in Malaysia: An Entwined History (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 27. ISBN 978-0-19-092519-2.
- ^ Miksic & Goh 2017, hlm. 359, 397, 398.
- ^ Miksic & Goh 2017, hlm. 464.
- ^ Ministry of Culture 1973, hlm. 9.
- ^ Cœdès 1968, hlm. 245–246.
- ^ Alexander 2006, hlm. 8 & 126.
- ^ Stearns 2001, hlm. 138.
- ^ Wolters 1999, hlm. 33.
- ^ Pande 2006, hlm. 286.
- ^ a b Marshall Cavendish 2007, hlm. 1174
- ^ Hussin Mutalib 2008, hlm. 25.
- ^ a b Andaya & Andaya 1984, hlm. 55.
- ^ Mohd Fauzi Yaacob 2009, hlm. 16.
- ^ Abu Talib Ahmad & Tan 2003, hlm. 15.
- ^ Sneddon 2003, hlm. 74.
- ^ Milner 2010, hlm. 47.
- ^ Esposito 1999.
- ^ Mohamed Anwar Omar Din 2011, hlm. 34.
- ^ Harper 2001, hlm. 15
- ^ Europa Publications Staff 2002, hlm. 203.
- ^ Richmond 2007, hlm. 32.
- ^ Hunter & Roberts 2010, hlm. 345.
- ^ Andaya & Andaya 1984, hlm. 62–68.
- ^ Ganguly 1997, hlm. 204.
- ^ "Brunei". CIA World Factbook. 2022. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 Juli 2015. Diakses tanggal 28 Februari 2014.
- ^ Lumholtz 2004, hlm. 17.
- ^ Ricklefs 1991, hlm. 163–164.
- ^ Suryadinata 2000, hlm. 133–136
- ^ Wright 2007, hlm. 492.
- ^ Teeuw 1959, hlm. 149.
- ^ a b Sneddon 2003, hlm. 59
- ^ Sneddon 2003, hlm. 84.
- ^ Sneddon 2003, hlm. 60.
- ^ Sweeney 1987.
- ^ Van der Putten & Cody 2009, hlm. 55.
- ^ Wong 1973, hlm. 126.
- ^ Clyne 1992, hlm. 413.
- ^ Brown & Ogilvie 2009, hlm. 678.
- ^ "Kedah MB defends use of Jawi on signboards". The Star. 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 October 2012.
- ^ "Malay (Bahasa Melayu / بهاس ملايو)". Omniglot.
- ^ Littrup 1996, hlm. 192.
- ^ a b c Ford 1899, hlm. 379–381
- ^ a b Marshall Cavendish 2007, hlm. 1218
- ^ Boyd 1999, hlm. 756.
- ^ Jaaffar, Hussain & Ahmad 1992, hlm. 260.
- ^ "Kitab Ilmu Bedil – Book of Malay Traditional Weaponry (2016)". The Memory of the World Committee for Asia and the Pacific. July 10, 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 December 2017. Diakses tanggal 3 December 2017.
- ^ Musa, Mohd Faizal (2021). "Transcripts of Gender, Intimacy, and Islam in Southeast Asia: The "Outrageous" Texts of Raja Ali Haji and Khatijah Terung". Religions (dalam bahasa Inggris). 12 (3): 219. doi:10.3390/rel12030219 . ISSN 2077-1444.
- ^ a b Syed Husin Ali 2008, hlm. 57
- ^ Johns & Lahoud 2005, hlm. 157.
- ^ Winstedt 1925, hlm. 125.
- ^ Burgat 2003, hlm. 54.
- ^ Bolton & Hutton 2000, hlm. 184.
- ^ "The Malay of Malaysia". Bethany World Prayer Center. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 October 2012. Diakses tanggal 28 February 2014.
- ^ Henket & Heynen 2002, hlm. 181
- ^ a b Marshall Cavendish 2007, hlm. 1219
- ^ Chihara 1996, hlm. 213.
- ^ Van Beek & Invernizzi 1999, hlm. 75.
- ^ Jermsawatdi 1989, hlm. 65.
- ^ O'Reilly 2007, hlm. 42.
- ^ Jamil Abu Bakar 2002, hlm. 59.
- ^ Mohamad Tajuddin Haji Mohamad Rasdi 2005, hlm. 19.
- ^ Mohamad Tajuddin Haji Mohamad Rasdi 2005, hlm. 24.
- ^ Ahmad, A. Ghafar. "Arsitektur Vernakular Melayu". Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Juni 2010. Diakses tanggal 24 Juni 2010.
- ^ Noor & Khoo 2003, hlm. 47.
- ^ "For Sale – CountryHeights". The Art of Living Show. Mar 22, 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12 – via YouTube.
- ^ Said 2005.
- ^ Said 2002.
- ^ a b "Malaysian Handicraft – Pottery". Go2Travelmalaysia.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 November 2017. Diakses tanggal 22 November 2017.
- ^ a b Azmi Arifin 2015
- ^ Cikgu Paklong 2017.
- ^ Winarno 2010.
- ^ Alexander 2006, hlm. 58.
- ^ Marshall Cavendish 2007, hlm. 1222.
- ^ "Nasi Lemak". Malaysia.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-11. Diakses tanggal 2020-08-24.
- ^ Moore 1998, hlm. 48.
- ^ Marshall Cavendish 2007, hlm. 1220.
- ^ Srinivasa 2003, hlm. 296.
- ^ Ghulam Sarwar Yousof 1997, hlm. 3.
- ^ Matusky 1993, hlm. 8–11.
- ^ Marzuki bin Haji Mohd Seruddin 2009.
- ^ "Seni Bermukun Semakin Malap". Mysarawak.org. 2009-04-20. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 September 2012. Diakses tanggal 15 June 2012.
- ^ a b Ahmad Salehuddin 2009
- ^ a b c Hassan 2016.
- ^ Maznah Mohammad 1996, hlm. 2.
- ^ Maznah Mohammad 1996, hlm. 19.
- ^ James 1994, hlm. 73.
- ^ Alexander 2006, hlm. 225.
- ^ Abd. Rahman Ismail 2008, hlm. 188.
- ^ Green 2001, hlm. 802.
- ^ Sheikh Shamsuddin 2005, hlm. 195.
- ^ Draeger 1992, hlm. 23.
- ^ Farrer 2009, hlm. 28.
- ^ a b c "Kerajinan Tangan Malaysia ~ Emas Perak & Kuningan". Go2Travelmalaysia.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Mei 2018. Diakses tanggal 31 Mei 2018.
- ^ a b Karyaneka. "Kerajinan Logam". Syarikat Pemasaran Karyaneka Sdn. Bhd. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Maret 2018. Diakses tanggal 31 Mei 2018.
- ^ Tantri Yuliandini (April 18, 2002). "Kris, more than just a simple dagger". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 July 2014. Diakses tanggal 30 July 2014.
- ^ Niza 2016.
- ^ a b Zakaria 2016.
- ^ a b c d e Angahsunan 2017.
- ^ Irma Musliana 2016
- ^ Kerawang Merah (2017), 7 Kelas Senjata Alam Melayu[perlu rujukan lengkap]
- ^ Leyden 1821, hlm. 261.
- ^ Lockard 2009, hlm. 48.
- ^ Ooi 2004, hlm. 1357.
- ^ Ziegler 1972, hlm. 41.
- ^ McNair 2002, hlm. 104.
- ^ a b Alexander 2006, hlm. 51.
- ^ Alexander 2006, hlm. 52.
Daftar pustaka
sunting- Abd. Rahman Ismail (2008), Seni Silat Melayu: Sejarah, Perkembangan dan Budaya, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, ISBN 978-983-62-9934-5
- Abdulla, M. A.; et al. (HUGO Pan-Asian SNP Consortium) (December 2009). "Mapping Human Genetic Diversity in Asia". Science. 326 (5959): 1541–1545. Bibcode:2009Sci...326.1541.. doi:10.1126/science.1177074. ISSN 0036-8075. PMID 20007900.
- Abu Talib Ahmad; Tan, Liok Ee (2003), New terrains in Southeast Asian history, Singapura: Ohio University press, ISBN 978-9971-69-269-8
- Ahir, Diwan Chand (1995), A Panorama of Indian Buddhism: Selections from the Maha Bodhi journal, 1892–1992, Publikasi Sri Satguru, ISBN 978-81-7030-462-3
- Ahmad Salehuddin (2009), Serampang dua belas, Tari Tradisional Kesultanan Serdang, diakses tanggal 15 Juni 2012
- Alexander, James (2006), Malaysia Brunei & Singapore, New Holland Publishers, ISBN 978-1-86011-309-3
- Ali, Tongkat (1 Februari 2010). "Negeri Rahman, hilangnya sebutir permata" [State of Rahman, the loss of a gem] (dalam bahasa Melayu). Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Agustus 2011. Diakses tanggal 2 April 2011.
- Amin, Tarek Abd El-Hamid Ahmed (1995). Anglo-German Rivalry in the Malay Peninsula and Siam, 1870–1909 (Tesis MSc). Universiti Malaya. http://myto.upm.edu.my/find/Record/um.u401853. "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-25. Diakses tanggal 2022-09-25.
- Anderbeck, Karl (2002). Suku Batin – A Proto-Malay People? Evidence from Historical Linguistics. The Sixth International Symposium on Malay/Indonesian Linguistics, 3 – 5 August 2002, Nirwana Resort Hotel, Bintan Island, Riau, Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 March 2016. Diakses tanggal 29 July 2018.
- Anuar Nik Mahmud, Nik (1999), Sejarah Perjuangan Melayu Pattani, Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, ISBN 9789679424430
- Andaya, Barbara Watson; Andaya, Leonard Yuzon (1984), A History of Malaysia, London: Palgrave Macmillan, ISBN 978-0-333-27672-3
- Angahsunan (July 16, 2017). "Pusaka, Rahsia Dan Dzat Keris". The Patriots. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 September 2017. Diakses tanggal 20 November 2017.
- Azmi Arifin (2015), Traditional Malay Pottery of Kuala Kangsar: Its History and Development, School of Humanities and Sciencesm, Universiti Sains Malaysia
- Baer, A. S. (Fall 1999). "Eden in the East, Stephen Oppenheimer. London: Weidenfeld and Nicolson, 1998". Book Reviews. Asian Perspectives. 38 (2): 256–258. Diakses tanggal 2020-08-24.
- Barnard, Timothy P. (2004), Contesting Malayness: Malay identity across boundaries, Singapura: Singapore University press, ISBN 978-9971-69-279-7
- Barrington, Lowell (2006), After Independence: Making and Protecting the Nation in Postcolonial and Postcommunist States, University of Michigan Press, ISBN 978-0-472-06898-2
- Bolton, Kingsley; Hutton, Christopher (2000), Triad societies: western accounts of the history, sociology and linguistics of Chinese secret societies, 5, London: Routledge, ISBN 978-0-415-24397-1
- Boyd, Kelly (1999), Encyclopedia of historians and historical writing, 2, London: Fitzroy Darborn Publishers, ISBN 978-1-884964-33-6
- Brown, Keith; Ogilvie, Sarah (2009), Concise encyclopedia of languages of the world, Elsevier Science, ISBN 978-0-08-087774-7
- Burgat, François (2003), Face to face with political Islam (L'islamisme en face), New York: I.B Tauris & Co. Ltd, ISBN 978-1-86064-212-8
- Joseph Norbert Frans Marie à Campo (2002). Engines of Empire: Steamshipping and State Formation in Colonial Indonesia. Hilversum: Verloren. ISBN 978-9-06550738-9.
- Chew, Melanie (1999), The Presidential Notes: A biography of President Yusof bin Ishak, Singapura: SNP Publications, ISBN 978-981-4032-48-3
- Chihara, Daigorō (1996), Hindu-Buddhist architecture in Southeast Asia, BRILL, ISBN 978-90-04-10512-6
- Cikgu Paklong (2017), Tembikar, Scribd
- Clyne, Michael G. (1992), Pluricentric languages: differing norms in different nations, De Gruyter Mouton, ISBN 978-3-11-012855-0
- Cœdès, George (1968). The Indianized states of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-0368-1.
- Colling, Patricia, ed. (1973), Dissertation Abstracts International, A-The Humanities and Social Sciences, 33, New York: Xerox University Microfilms, #8, ISSN 0419-4209 (Abstracts of Dissertations Available on Microfilm or as Xerographic Reproductions February 1973)
- Cordier, Henri (2009), Ser Marco Polo; notes and addenda to Sir Henry Yule's edition, containing the results of recent research and discovery, Bibliolife, ISBN 978-1-110-77685-6
- Crawfurd, John (1856). A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries. London: Bradbury and Evans.
- Deka, Phani (2007), The great Indian corridor in the east, Mittal Publications, ISBN 978-81-8324-179-3
- Devan, Subhadra (2010), New interest in an older Lembah Bujang, NST, diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Desember 2012, diakses tanggal 21 Juni 2012
- Draeger, Donn F. (1992), Weapons and fighting arts of Indonesia, Tuttle Publishing, ISBN 978-0-8048-1716-5
- Economic Planning Unit (Malaysia) (2010), Population by sex, ethnic group and age, Malaysia,2010 (PDF), diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 22 July 2011, diakses tanggal 27 November 2010
- Esposito, John L. (1999), The Oxford History of Islam, New York: Oxford University Press, ISBN 978-0-19-510799-9
- Europa Publications Staff (2002), Far East and Australasia (34th edition), Routledge, ISBN 978-1-85743-133-9
- Farrer, D. S. (2009), Shadows of the Prophet: Martial Arts and Sufi Mysticism, Springer, ISBN 978-1-4020-9355-5
- Ford, R. Clyde (1899), "Malay Literature", Popular Science Monthly, 55
- Ganguly, Šumit (1997), Government Policies and Ethnic Relations in Asia and the Pacific, MIT press, ISBN 978-0-262-52245-8
- Gerini, Gerolamo Emilio (1974), Researches on Ptolemy's geography of eastern Asia (further India and Indo-Malay archipelago), New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation, OCLC 1068575751
- Ghulam Sarwar Yousof (1997), The Malay Shadow Play: An Introduction, The Asian Centre, ISBN 978-983-9499-02-5
- Gibson-Hill, C. A. (July 1953). "Notes on the old Cannon found in Malaya, and known to be of Dutch origin". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 26 (1): 145–174. JSTOR 41502911.
- Gopal, Lallanji (2000), The economic life of northern India: c. A.D. 700–1200, Motilal Banarsidass, ISBN 978-81-208-0302-2
- Green, Thomas A. (2001), Martial arts of the world: An Encyclopedia., Santa Barbara: ABC-CLIO Inc, ISBN 978-1-57607-150-2
- Gulrose Karim, Information Malaysia 1990–91 Yearbook (1990), Muslim identity and Islam: misinterpreted in the contemporary world, Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn. Bhd, ISBN 978-81-7827-165-1
- Halimi, Ahmad Jelani; Pitchai, Mohd Yusoff Mydin (2016). "Setoi (Setul) Mambang Segara Dalam Lintasan Sejarah Negeri-Negeri Melayu Utara". Jurnal Perspektif. 8 (2): 123–134. ISSN 1985-496X.
- Hall, Daniel George Edward (1981), History of South East Asia, Macmillan, ISBN 978-0-333-24163-9
- Hall, Thomas D. (2017), Comparing Globalizations Historical and World-Systems Approaches, ISBN 9783319682198
- Harper, Timothy Norman (2001), The End of Empire and the Making of Malaya, London: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-00465-7
- Hassan, Hanisa (2016). "A Study on the Development of Baju Kurung Design in the Context of Cultural Changes in Modern Malaysia" (PDF). Wacana Seni Journal of Arts Discourse. Perpustakaan Negara Malaysia. 15: 63–94. doi:10.21315/ws2016.15.3 . Diakses tanggal 22 November 2018.
- He, Baogang; Galligan, Brian; Inoguchi, Takashi (2007), Federalism in Asia, London: Edward Elgar Publications, ISBN 978-1-84720-140-9
- Henket, Hubert-Jan; Heynen, Hilde (2002), Back from utopia: the challenge of the modern movement, Rotterdam: 010 Publishers, ISBN 978-90-6450-483-9
- Herwig, Holger H. (1980). "Luxury' Fleet": The Imperial German Navy 1888-1918 (edisi ke-1st). London; Boston: Allen & Unwin. ISBN 978-0-04943023-5.
- Hunter, William Wilson; Roberts, Paul Ernest (2010), A History of British India: To the Overthrow of the English in the Spice Archipelago, Nabu Press, ISBN 978-1-145-70716-0
- Husain, M. G. (2007), Muslim identity and Islam: misinterpreted in the contemporary world, New Delhi: Manak Publications, ISBN 978-81-7827-165-1
- Hussin Mutalib (2008), Islam in Southeast Asia, Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 978-981-230-758-3
- I Ching (2005), Takakusu, Junjiro, ed., A Record of the Buddhist Religion As Practised in India and the Malay Archipelago (A.D. 671–695), Asian Educational Services, ISBN 978-81-206-1622-6
- IBP (2007), Brunei Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu'izzaddin Waddaulah Handbook, Washington DC: International Business Publications, ISBN 978-1-4330-0444-5
- Irma Musliana (2016), Kenapa Bilah Keris Bengkok? Sejarah Keris Melayu Yang Kita Tidak Pernah Dengar.
- Jaaffar, Johan; Hussain, Safian; Ahmad, Mohd Thani (1992), History of Modern Malay Literature, 2, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka & Ministry of Education (Malaysia), ISBN 978-983-62-2745-4
- James, Michael (1994), "Black Belt", Black Belt. Buyer's Guide, Rainbow Publications, ISSN 0277-3066
- Jamil Abu Bakar (2002), A design guide of public parks in Malaysia, Kuala Lumpur: Penerbit UTM, ISBN 978-983-52-0274-2
- Jermsawatdi, Promsak (1989), Thai art with Indian influences, Abhinav Publications, ISBN 978-81-7017-090-7
- Johns, Anthony Hearle; Lahoud, Nelly (2005), Islam in world politics, New York: Routledge, ISBN 978-0-415-32411-3
- Joseph, Suad; Najmabadi, Afsaneh (2006), Economics, Education, Mobility And Space (Encyclopedia of women & Islamic cultures), Brill Academic Publishers, ISBN 978-90-04-12820-0
- Kusuma, Williem Wira (15 Juni 2011). "Keris 7 Liku Peninggalan Zaman Sriwijaya". Tribun images.
- Leyden, John (1821), Malay Annals: Translated from the Malay Language, London: Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown
- Littrup, Lisbeth (1996), Identity in Asian literature, Richmond: Nordic Institute of Asian Studies, ISBN 978-0-7007-0367-8
- Lockard, Craig A. (2009), Southeast Asia in world history, New York: Oxford University Press, ISBN 978-0-19-533811-9
- Lumholtz, Carl Sofus (2004), Through Central Borneo, Kessinger publishing, ISBN 978-1-4191-8996-8
- Majlis Kebudayaan Negeri Kedah (1986), Intisari kebudayaan Melayu Kedah: Kumpulan rencana mengenai kebudayaan Negeri Kedah, Majlis Kebudayaan Negeri Kedah
- Marshall Cavendish (2007), World and Its Peoples: Eastern and Southern Asia, New York: Marshall Cavendish, ISBN 978-0-7614-7631-3
- Marzuki bin Haji Mohd Seruddin (2009), Program Kerjasama Brunei-Malaysia tingkatkan seni Budaya, Pelita Brunei, diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Agustus 2012, diakses tanggal 15 June 2012
- Matusky, Patricia Ann (1993), Malaysian shadow play and music: continuity of an oral tradition, Oxford University Press, ISBN 978-967-65-3048-6
- Maznah Mohammad (1996), The Malay handloom weavers: a study of the rise and decline of traditional manufacture, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 978-981-3016-99-6
- McNair, Sylvia (2002), Malaysia (Enchantment of the World. Second Series), Children's Press, ISBN 978-0-516-21009-4
- Melayu Online (2005), Melayu Online.com's Theoretical Framework, diarsipkan dari versi asli tanggal 21 October 2012, diakses tanggal 4 Februari 2012
- Melebek, Abdul Rashid; Moain, Amat Juhari (2006), Sejarah Bahasa Melayu ("History of the Malay Language"), Utusan Publications & Distributors, ISBN 978-967-61-1809-7
- Milner, Anthony (2010), The Malays (The Peoples of South-East Asia and the Pacific), Wiley-Blackwell, ISBN 978-1-4443-3903-1
- Ministry of Culture, Singapore (1973), "Singapore: facts and pictures", Singapore Facts and Figures, ISSN 0217-7773
- Mohamad Tajuddin Haji Mohamad Rasdi (2005), The architectural heritage of the Malay world: the traditional houses, Skudai, Johor Darul Ta'zim: Penerbit Universiti Teknologi Malaysia, ISBN 978-983-52-0357-2
- Mohamed Anwar Omar Din (2011), Asal Usul Orang Melayu: Menulis Semula Sejarahnya (The Malay Origin: Rewrite Its History), Jurnal Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, diakses tanggal 4 June 2012
- Mohd Fauzi Yaacob (2009), Malaysia: Transformasi dan perubahan sosial, Kuala Lumpur: Arah Pendidikan Sdn Bhd, ISBN 978-967-323-132-4
- Mohd. Zamberi A. Malek. (1994), Patani dalam tamadun Melayu, Pendeta Discovery Universiti Malaya, ISBN 9789836241214
- Mok, Opalyn (9 June 2017). "Archaeologists search for a king in Sungai Batu". Malay Mail.
- Moore, Wendy (1998), West Malaysia and Singapore, Singapura: Periplus Editions (HK) Ltd, ISBN 978-962-593-179-1
- Mukerjee, Radhakamal (1984), The culture and art of India, Coronet Books Inc, ISBN 978-81-215-0114-9
- Muljana, Slamet (1981), Kuntala, Sriwijaya Dan Suwarnabhumi, Jakarta: Yayasan Idayu, OCLC 565235680
- Muljana, Slamet (2006), Stapel, Frederik Willem, ed., Sriwijaya, Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, ISBN 978-979-8451-62-1
- Munoz, Paul Michel (2006), Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula, Singapura: Editions Didier Millet, ISBN 978-981-4155-67-0
- Murdock, George Peter (1969), Studies in the science of society, Singapura: Books for Libraries Press, ISBN 978-0-8369-1157-2
- Na'im, Akhsan; Syaputra, Hendry (2010), Sumarwanto; Iriantono, Tono, ed., Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia – Hasil Sensus Penduduk 2010 [Indonesian Citizens' Nationality, Ethnicity, Religion, and Everyday Language – Results of the 2010 Population Census] (PDF), Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik [Central Bureau of Statistics], ISBN 978-979-064-417-5, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 12 Juli 2017, diakses tanggal 19 July 2017
- Niza, Syefiri Moniz Mohd. (10 Juni 2016). "Keris masih simbol paling penting". Utusan online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Desember 2017. Diakses tanggal 20 November 2017.
- Noor, Farish Ahmad; Khoo, Eddin (2003), Spirit of wood: the art of Malay woodcarving : works by master carvers from Kelantan, Terengganu, and Pattani, Singapura: Periplus Editions, ISBN 978-0-7946-0103-4
- O'Reilly, Dougald J. W. (2007), Early civilizations of Southeast Asia, Rowman Altamira Press, ISBN 978-0-7591-0278-1
- Ooi, Keat Gin (2004), Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, ABC-CLIO, ISBN 978-1-57607-770-2
- Oppenheimer, Stephen (2006). "The 'Austronesian' Story and Farming-language Dispersals: Caveats on the Timing and Independence in Proxy Lines of Evidence from the Indo-European Model". Dalam Bacas, Elizabeth A.; Glover, Ian C.; Pigott, Vincent C. Uncovering Southeast Asia's Past. Singapura: NUS Press. hlm. 65–73. ISBN 978-9971-69-351-0.
- Othman, Mohd. Aris Hj. (1983), The dynamics of Malay identity, Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, ISBN 978-967-942-009-8
- Pande, Govind Chandra (2006). India's Interaction with Southeast Asia: History of Science, Philosophy and Culture in Indian Civilization, Vol. 1, Part 3. Munshiram Manoharlal. ISBN 978-81-87586-24-1.
- Pearson, Michael (2015), Trade, Circulation, and Flow in the Indian Ocean World, Palgrave Series in Indian Ocean World Studies, Palgrave Macmillan, ISBN 9781137566249
- Ramli, Rashahar (1999). "Bab Dua: Selatan Thailand, Changwat Narathiwat dan Kawasan Kajian" (dalam bahasa ms). Masyarakat Melayu dan penanaman padi di Selatan Thailand : kajian kes di sebuah mubaan dalam Wilayah / Narathiwat (Tesis). http://studentsrepo.um.edu.my/493/3/BAB2.pdf.
- Razak, Aidila (24 Jan 2012). "Geneticist clarifies role of Proto-Malays in human origin". Malaysia Kini. Diakses tanggal 2020-08-24.
- Richmond, Simon (2007), Malaysia, Singapore & Brunei, Lonely Planet publications, ISBN 978-1-74059-708-1
- Ricklefs, M.C. (1991). A Modern History of Indonesia, 2nd edition. MacMillan. ISBN 0-333-57690-X.
- Ryan, Neil Joseph (1976), A History of Malaysia and Singapore, London: Oxford University Press, ISBN 978-0-19-580302-0
- Said, Ismail (2002). "Visual Composition of Malay Woodcarvings in Vernacular House of Peninsular Malaysia" (PDF). Jurnal Teknologi. University Teknologi Malaysia. 37 (B): 43–52. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 22 Juli 2011. Diakses tanggal 15 Januari 2011.
- Sanib Said (Oktober 2012). "Sejarah Awal Kepulauan Melayu:Lima Buah Negeri Warisan Sarawak yang Hilang". CREAM - Current Research in Malaysia. University Malaysia Sarawak. 1 (1): 35–44.
- Said, Ismail (Mei 2005). "Criteria for Selecting Timber Species in Malay Woodcarving". Journal of Asian Architecture and Building Engineering. University Teknologi Malaysia. 4 (1): 17–23. doi:10.3130/jaabe.4.17 .
- Sarkar, Himansu Bhusan (1970), Some contributions of India to the ancient civilisation of Indonesia and Malaysia, Calcutta: Punthi Pustak, ISBN 978-0-19-580302-0
- Sheikh Shamsuddin (2005), The Malay art of self-defense: Silat Seni Gayung, Berkeley: North Atlantic Books, ISBN 978-1-55643-562-1
- Sneddon, James N. (2003), The Indonesian language: its history and role in modern society, University of New South Wales Press, ISBN 978-0-86840-598-8
- Soares, Pedro; et al. (June 2008). "Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia". Molecular Biology and Evolution. 25 (6): 1209–18. doi:10.1093/molbev/msn068 . PMID 18359946.
- Srinivasa, Kodaganallur Ramaswami (2003), Asian variations in Ramayana, Singapura: Sahitya Academy, ISBN 978-81-260-1809-3
- Stearns, Peter N. (2001), The Encyclopedia of World History, 1, Houghton Mifflin Harcourt, ISBN 978-0-395-65237-4
- Suryadinata, Leo (2000), Nationalism & Globalization: East & West, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 978-981-230-078-2
- Sweeney, Amin (1987), A full hearing:orality and literacy in the Malay world, Berkeley: University of California Press, ISBN 978-0-520-05910-8
- Syed Husin Ali (2008), The Malays, their problems and future, Kuala Lumpur: The Other Press Sdn Bhd, ISBN 978-983-9541-62-5
- Tan, Liok Ee (1988), The Rhetoric of Bangsa and Minzu, Monash Asia Institute, ISBN 978-0-86746-909-7
- TED (1999), Taman Negara Rain Forest Park and Tourism, diarsipkan dari versi asli tanggal 9 June 2010
- Teeuw, Andries (1959), The history of the Malay language. A preliminary survey, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, diakses tanggal 17 Oktober 2012
- Terrell, John Edward (August–October 1999). "Think Globally, Act Locally". Current Anthropology. 40 (4): 559–560. doi:10.1086/200054.
- Tirtosudarmo, Riwanto (Maret 2005). The Orang Melayu and Orang Jawa in the 'Lands Below the Winds' (PDF) (Working paper). CRISE: Centre for Research on Inequality, Human Security and Ethnicity. CRISE Working Paper 14.
- Umaiyah Haji Omar (2007). Language and writing system of Bangkok Melayu (PDF). International Conference on Minority Languages and Writing Systems held on 23–26 November 2007 in Beijing, China. Diakses tanggal 15 June 2012.
- Umaiyah Haji Omar (2003), The Assimilation of the Bangkok-Melayu Communities, Asian Scholarship Foundation, diarsipkan dari versi asli tanggal 18 September 2012, diakses tanggal 15 June 2012
- Van Beek, Steve; Invernizzi, Luca (1999), The arts of Thailand, New York: Tuttle Publishing, ISBN 978-962-593-262-0
- Van der Putten, Jan; Cody, Mary Kilcline (2009), Lost Times and Untold Tales from the Malay World, Singapura: National University of Singapore press, ISBN 978-9971-69-454-8
- Winarno, Bondan (2010-06-21). "Gulai Ketam, Asam-Asam Pedas". Detik Food. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 June 2010.
- Winstedt, Richard Olaf (1925), Shaman Saiva and Sufi (2008 edition), London: BiblioLife, ISBN 978-1-4346-8633-6
- Wolters, Oliver William (1999), History, culture, and region in Southeast Asian perspectives, Singapura: Cornell University Southeast Asia Program Publications, ISBN 978-0-87727-725-5
- Wong, Hoy Kee (1973), Comparative studies in Southeast Asian education, Heinemann Educational Books (Asia), ISBN 978-0-686-60339-9
- Wright, John (2007), The New York Times Almanac 2001, New York: The New York Times Company, ISBN 978-1-57958-348-4
- Wright, Thomas (2004), The travels of Marco Polo, the Venetian: the translation of Marsden revised, with a selection of his notes, Kessinger Publishing, LLC, ISBN 978-1-4191-8573-1
- Yunos, Rozan; Begawan, Bandar Seri (October 24, 2011). "In search of Brunei Malays outside Brunei". Brunei Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 May 2016.
- Zakaria, Faizal Izzani (2016-09-03). "Keris jiwa Melayu dan Nusantara". Utusan online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 December 2017. Diakses tanggal 20 November 2017.
- Zaki Ragman (2003), Gateway to Malay culture, Singapura: Asiapac Books Pte Ltd, ISBN 978-981-229-326-8
- Ziegler, Oswald Leopol (1972), The world and south east Asia, Oswald Ziegler Enterprises, ISBN 978-0-909586-03-4
Pranala luar
sunting- (Melayu) Puisi Usman Awang mengenai Melayu.
- (Inggris) Melayu
- (Indonesia) Modal Sosial dan Pembangunan Manusia Melayu oleh Witrianto, S.S., M.Hum., M.Si dari Universitas Andalas[pranala nonaktif permanen]
- (Indonesia) Bhinneka Tunggal Ika Diarsipkan 2010-01-26 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Gerakan Bangsa Melayu Besar Diarsipkan 2016-04-08 di Wayback Machine.