Nomaden atau pengembara, adalah berbagai komunitas masyarakat yang memilih hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain di padang pasir atau daerah bermusim dingin, daripada menetap di suatu tempat. Masyarakat yang berpindah-pindah tempat tetapi bukan di padang pasir atau daerah bermusim dingin, disebut sebagai kaum gipsi. Banyak kebudayaan dahulunya secara tradisional hidup nomaden, akan tetapi kebiasaan tradisional nomaden tersebut semakin lama semakin berkurang di negara-negara yang telah mengalami industrialisasi. Beberapa hal yang menyebabkan manusia hidup dengan berpindah-pindah tempat tinggal adalah karena kondisi musim yang sering berganti, selain itu untuk mendapatkan bahan-bahan yang dibutuhkan oleh kelompok nomaden tersebut.[1] Kebiasaan nomaden terdapat di wilayah jazirah Arab, Afrika, suku-suku pedalaman di Indonesia yang bermaksud untuk mencari lahan sumber makanan, beternak, binatang buruan, berladang, dan lain-lain.

Penggembala nomaden yang sedang berkemah dekat Namtso, Tibet, tahun 2005.

Asal-usul sunting

Dahulu, masyarakat nomaden sering disebut sebagai 'pengembara' yang melintasi tanah tanpa pola tertentu dengan tujuan untuk memperoleh sumber daya yang tersebar secara tidak merata di wilayah yang luas. Berpindah-pindah merupakan identitas khas budaya mereka sebagai strategi pengelolaan lahan untuk penggunaan dan konservasi yang berkelanjutan.[2] Asal-usul kata 'nomad' berasal dari bahasa Yunani nemein atau nomos yang berarti 'menuju ke padang rumput'.[3] Pelakunya didefinisikan sebagai anggota suatu bangsa yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan padang rumput segar bagi hewan dan tidak memiliki tempat tinggal permanen. Sementara secara etimologis istilah nomad berhubungan dengan pastoralisme, istilah tersebut telah memperoleh arti yang lebih luas mengenai berbagai hidup nomaden, mencakup pemburu-pengumpul hingga komunitas keliling lainnya yang cara hidupnya berpindah-pindah. Orang-orang nomaden mewakili kelompok paling beragam di dunia; mereka biasanya tinggal di daerah terpencil seperti gurun, stepa, tundra, dan hutan.[4]

Kelompok sunting

Terdapatat tiga macam kehidupan nomaden, yaitu sebagai pemburu-peramu (hunter-gatherers), penggembala (pastoral nomads), dan pengelana (peripatetic nomads).[5]

Berburu-meramu sunting

Berburu-meramu adalah metode bertahan hidup yang paling lama bertahan dalam sejarah manusia, dan para pelakunya berpindah mengikuti musim tumbuhan liar dan hewan buruan. Berburu merupakan gaya hidup yang dominan terjadi selama perkembangan era pertanian sekitar 8000 tahun yang lalu. Saat ini bagi sebagian kelompok nomaden menjadikan perpindahan sebagai nilai-nilai ekonomi, sosial dan budaya yang sangat penting bagi mereka. Kelompok nomaden pemburu-peramu diantaranya adalah orang-orang Spinifex Aborigin Australia (atau Pila Nguru); kelompok Hadza di Tanzania;[6] masyarakat Ogiek di Kenya yang disebut 'Bushmen' (San, Sho, Basarwa, !Kung atau Khwe) dari Afrika selatan; Suku Jarawa, Onge, dan Sentinel di kepulauan Andaman di India; Suku Batek atau Bateq dan Penan di hutan hujan Semenanjung Malaysia; Suku Aka, Efe, dan Mbuti (juga dikenal sebagai orang Pigmi) di Afrika Tengah; beberapa kelompok Inuit di belahan Arktik yang masih mengandalkan perburuan dan penangkapan ikan; orang-orang Nukak (Nukak-Makú) di Kolombia;[7] dan orang-orang Pirahã di Brasil. Selain di padang rumput, kelompok Pemburu-peramu termasuk juga para pengembara yang pencahariannya dari sumber daya laut.[8] Mereka adalah; orang-orang Alacaluf atau Kawésqar di Amerika Selatan,[9] kelompok Orang Laut di Semenanjung Malaya, Suku Moken di Laut Andaman,[10] Bede (Beday) di Bangladesh,[11] dan Suku Vezo di Madagaskar.[12]

Penggembala atau pastoralis sunting

Para penggembala memelihara ternak dan berpindah ke tempat lain bersama peliharaannya, agar tidak membuat suatu ladang penggembalaan habis dan tidak bisa diperbaiki lagi, sebagai rencana mata pencaharian untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka ikut terlibat dalam produksi penggembalaan sebagai kegiatan utama serta mengesampingkan kegiatan penghidupan lainnya dan bergerak secara musiman.[13] Oleh karena itu, faktor lingkungan seperti curah hujan dan kualitas tanah menjadi perhatian untuk menentukan lahan yang akan ditempati selanjutnya. Diperkirakan ada 30-40 juta di antaranya di dunia.[3] Beberapa etnik nomaden pastoralis yang masih bertahan saat ini diantaranya adalah; orang-orang Fula atau Fulbe, Toubou, dan Tuareg di Sahel yang masih mempraktikkan penggembalaan unta, sapi, domba, dan kambing dengan berpindah-pindah; penggembala Badui di Timur Tengah dan Afrika Utara; Suku Afar di Tanduk Afrika; Suku Maasai di Kenya dan Tanzania; Suku Himba atau Ovahimba di Namibia;[14] orang-orang Kazakh dan Kyrgyz di Asia Tengah; penggembala unta Raika dari Rajasthan di India; orang-orang Sami (penggembala rusa) di Skandinavia utara; dan orang-orang Nenets di Rusia.[15]

Pengelana atau pedagang sunting

Kaum pengelana umumnya banyak terdapat di negara-negara yang telah mengalami industrialisasi, dan para pelakunya berpindah-pindah tempat untuk menawarkan barang dagangan di mana saja mereka singgah. Para pengelana yang bergerak diantaranya termasuk orang-orang Dom di Asia Tengah dan Timur Tengah; suku Moken (atau Mawken) di Asia Tenggara; Suku Hakkipikki dan Killekyatha di India Selatan; Griots Malinke, Waata, dan Inaden dari Afrika, dan orang-orang Roma, Sinti, dan Yeniche.[16]

Ancaman sunting

Meskipun masyarakat nomaden tersebar di seluruh dunia dan memiliki budaya yang sangat beragam, masalah kritis mulai mengancam mata pencaharian dan kelangsungan hidup mereka di berbagai wilayah yang mereka tempati. Seringkali kelompok nomaden umumnya menghadapi tekanan diluar faktor lingkungan berupa rasisme dan diskriminasi seperti keterbatasan akses ke layanan sosial, pendidikan, dan kesehatan.(11) Krisis pangan yang melanda sebagian negara membutuhkan banyak lahan pertanian baru untuk produksi pangan. Kebijakan ini juga berdampak pada penggusuran sebagian besar tempat tinggal mereka sehingga akan memarginalkan wilayah mereka.[17]

Orang-orang Nenets di Kutub Utara Siberia menjalani kehidupan nomaden dengan mencari padang rumput segar untuk rusa kutub mereka. Mereka melakukan migrasi tradisional, dari padang rumput musim panas di utara ke padang rumput musim dingin di selatan Arktika. Namun kelangsungan hidup mereka mulai terganggu akibat adanya eksploitasi pengeboran minyak dan gas yang melintasi jalur migrasi mereka. Pembangunan pipa gas disepanjang jalur migrasi tersebut akan mengganggu aktivitas penggembalaan rusa kutub mereka. Suku Basarwa di Pusat Cagar Alam Kalahari, Afrika dalam beberapa dekade terakhir terancam punah. Mereka dipaksa keluar dari wilayah mereka dengan cara merusak rumah dan persediaan air mereka, serta hak mereka untuk berburu, mengumpulkan makanan dicabut kembali. Suku Penan nomaden yang tinggal di negara bagian Sarawak, Malaysia semakin kecil jumlahnya dengan adanya pemukiman paksa dan penebangan kayu skala besar (pembangunan perkebunan akasia dan kelapa sawit) yang mengakibatkan musnahnya sebagian besar fauna sebagai sumber pencaharian mereka. [18]

Referensi sunting

  1. ^ Society, National Geographic (2019-08-19). "The Development of Agriculture". National Geographic Society (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-13. 
  2. ^ Gilbert 2014, hlm. 3.
  3. ^ a b "The Facts". New Internationalist (dalam bahasa Inggris). 1995-04-05. Diakses tanggal 2020-09-27. 
  4. ^ Gilbert 2014, hlm. 5.
  5. ^ "What Is a Nomad? | Wonderopolis". wonderopolis.org. Diakses tanggal 2020-09-22. 
  6. ^ Wire/REX/Shutterstock, Stefan Kleinowitz/ZUMA (2018-10-22). "'Hadza': the last hunter-gatherer tribe in Tanzania – in pictures". The Guardian (dalam bahasa Inggris). ISSN 0261-3077. Diakses tanggal 2020-09-27. 
  7. ^ International, Survival. "Nukak". www.survivalinternational.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-27. 
  8. ^ Finlayson 2017, hlm. 3.
  9. ^ "Alacaluf | people". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-28. 
  10. ^ "Stateless at Sea". Human Rights Watch (dalam bahasa Inggris). 2015-06-25. Diakses tanggal 2020-09-28. 
  11. ^ Das, Bijoyeta. "Rough sailing for Bangladesh river-gypsies". www.aljazeera.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-28. 
  12. ^ "Half-man, half-fish: The surreal lives of Madagascar's nomadic fishermen". Adventure.com (dalam bahasa Inggris). 2018-08-06. Diakses tanggal 2020-09-27. 
  13. ^ Sadr 1991, hlm. 3.
  14. ^ "Fast Facts: The Himba of Namibia - Namibia Tourism Board". www.namibiatourism.com.na. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-01. Diakses tanggal 2020-09-27. 
  15. ^ "They Migrate 800 Miles a Year. Now It's Getting Tougher". Magazine (dalam bahasa Inggris). 2017-10-02. Diakses tanggal 2020-09-27. 
  16. ^ Gilbert 2014, hlm. 7.
  17. ^ Salih 2001, hlm. 172.
  18. ^ Gilbert 2014, hlm. 10.

Daftar Pustaka sunting