Negara integralistik

konsep kenegaraan

Negara integralistik, negara kekeluargaan, integralisme Soepomo, konsep negara integralistik Soepomo, atau paham negara integralistik Soepomo adalah gagasan integralisme yang dikemukakan oleh salah satu perancang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Soepomo.

Soepomo

Latar belakang sunting

Soepomo terlahir di keluarga priyayi di Jawa dan merupakan salah satu dari segelintir orang Pribumi yang diperbolehkan mengenyam pendidikan di sekolah berbahasa Belanda. Pada tahun 1923, setelah menyelesaikan pendidikan hukumnya di Batavia, ia mempelajari hukum di Universitas Leiden di bawah bimbingan antropolog hukum terkemuka Cornelis van Vollenhoven. Ia lalu kembali ke Indonesia pada tahun 1927 dan bekerja sebagai hakim sebelum akhirnya menjadi profesor hukum pada tahun 1941. Setelah Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, Soepomo diangkat menjadi anggota dewan-dewan penasihat senior hingga akhirnya ia menjadi kepala komite perancang Undang-Undang Dasar 1945.[1]

Pemikiran sunting

Pemikiran-pemikiran ketatanegaraan Soepomo dituangkan dalam dua pidato yang ia sampaikan pada dasawarsa 1940-an. Pidato pertama ia sampaikan saat ia mulai menjadi profesor pada tahun 1941. Ia menyatakan bahwa hukum Barat melambangkan individualisme berlebih yang merebak di Eropa sejak abad ke-19, dan ia kemudian mengemban gagasan baru yang menurutnya baru berkembang di Eropa pada abad ke-20 yang menganggap masyarakat bukan sebagai sekumpulan satuan-satuan yang saling terpisah, tetapi sebagai suatu keseluruhan yang tak terpisahkan dari satu sama lain. Ia berpendapat bahwa individu yang terpisah dari masyarakatnya hanyalah ilusi karena individu hanya bisa menjadi manusia apabila mereka menjadi bagian dari sesuatu. Ia juga mengamati bahwa terdapat kecenderungan di Barat pada masa itu untuk membatasi kebebasan individu demi kebaikan bersama.[1]

Sementara itu, pidato keduanya disampaikan pada Mei 1945. Pada saat itu, Kekaisaran Jepang mengangkat Soepomo sebagai anggota badan yang akan merumuskan undang-undang dasar negara Indonesia. Salah satu hal yang menjadi perdebatan pada masa itu adalah landasan filosofis negara Indonesia itu sendiri.[2] Dalam pidatonya, Soepomo menyatakan bahwa ia menolak pemikiran liberalisme. Menurutnya, liberalisme didasarkan pada individualisme dan gagasan kontrak sosial, dan hal ini dianggap tidak sesuai dengan Indonesia karena Soepomo merasa bahwa individualisme di Eropa Barat dan Amerika malah memecah belah masyarakat. Selain itu, Soepomo meyakini bahwa individualisme di tingkat nasional telah melahirkan imperialisme. Di sisi lain, ia juga menganggap buruk Marxisme sebagai teori yang dilandaskan pada permusuhan antar kelompok. Walaupun ia mengakui bahwa kediktatoran proletariat mungkin cocok untuk masyarakat Rusia, hal ini tidak akan sesuai dengan karakter tradisional Indonesia.[3]

Bagi Soepomo, aliran pikiran yang paling cocok dengan Indonesia adalah "teori integralistik" yang menurutnya dapat ditilik kembali ke pemikiran Baruch de Spinoza, Adam Müller, dan Hegel. Menurut teori ini, tugas negara "tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan."[3] Menurut Soepomo:

   
Soepomo meyakini bahwa sistem "integralis" seperti di Jerman Nazi dan Kekaisaran Jepang cocok untuk Indonesia. Kiri: Adolf Hitler, pemimpin ein totaler Führerstaat di Jerman. Kanan: Kaisar Jepang Hirohito, "Yang Maha Mulia Tenno Heika"

Soepomo juga mengemukakan pandangannya bahwa negara integralistik merangkul seluruh bangsa dan menyatukan semua rakyat, dan juga menekankan pentingnya kesatuan, seperti yang dituangkan dalam tradisi Jawa "manunggaling kawulo lan gusti" (kesatuan antara pengabdi dan majikannya).[4] Baginya, setiap orang dan golongan sudah memiliki tempat dan perannya sendiri dalam kehidupan (dharma) sesuai dengan hukum kodrat, dan individu tidak terpisahkan dari individu lainnya ataupun dari alam. Soepomo lalu berkomentar bahwa "inilah idee totaliter, idee integralistik dari bangsa Indonesia, yang berwujud juga dalam susunan tata negaranya yang asli."[3][5] Menurut Soepomo, bukti keselarasan antara pengabdi dan majikannya dapat ditemukan di desa-desa Indonesia, karena ia meyakini bahwa kepala desa selalu bermusyawarah dengan rakyatnya untuk menjaga ikatan antara pengabdi dengan majikan. Maka dari itu, bagi Soepomo, hanya integralismelah yang cocok sebagai landasan filosofis bangsa Indonesia.[6]

Mengingat Soepomo menganut pandangan kesatuan antara pengabdi dengan majikan, ia merasa bahwa rakyat tidak memerlukan perlindungan hak asasi manusia dari potensi pelanggaran oleh negara, karena negara dianggap sama dengan rakyat, sehingga kepentingan mereka pun juga dianggap sama.[7][4] Kemudian, Soepomo mengatakan bahwa teori integralis dapat ditemukan di Kekaisaran Jepang dan Jerman Nazi. Ia melihat bahwa Jerman Nazi didasarkan pada asas totaliter.[a] Menurutnya, hal ini dituangkan dalam asas Nazi das Ganze der politischen Einheit des Volkes (keseluruhan dari kesatuan politik rakyat). Ia juga mendukung gagasan Nazi mengenai ein totaler Führerstaat, bahwa pemimpin sepatutnya memiliki wewenang yang tak terbatas terhadap rakyatnya. Sementara itu, untuk Kekaisaran Jepang, Soepomo memuji persatuan lahir batin antara Yang Maha Mulia Tenno Heika (Kaisar), negara, dan rakyatnya. Kaisar dianggap sebagai pusat rohani semua rakyat, dan negara Jepang dianggap bersandar pada kekeluargaan. Bagi Soepomo, kedua sistem ini sangat cocok untuk Indonesia.[7]

Soepomo mencoba menangkal kritik dengan mengatakan bahwa konsepnya bukan berarti negara Indonesia akan mengabaikan keberadaan individu dan golongan. Menurutnya, negara masih akan tetap mengakui dan menghormati keberadaan mereka, tetapi ia menekankan bahwa semua orang dan golongan harus sadar akan kedudukannya di dalam suatu negara integralistik, dan masing-masing memiliki kewajiban untuk menjaga persatuan dan keselarasan di antara semua.[7]

Keterangan sunting

  1. ^ Menurut Bourchier, Soepomo menggunakan istilah "totaliter" dalam konteks yang seolah sinonim dengan "integralisme". Lihat Bourchier 2019, hlm. 608

Catatan kaki sunting

  1. ^ a b Bourchier 2019, hlm. 605.
  2. ^ Bourchier 2019, hlm. 606-607.
  3. ^ a b c d Bourchier 2019, hlm. 607.
  4. ^ a b Indrayana 2007, hlm. 158.
  5. ^ Iskandar 2011, hlm. 143.
  6. ^ Bourchier 2019, hlm. 607-608.
  7. ^ a b c Bourchier 2019, hlm. 608.

Daftar pustaka sunting