Muktazilah
Bagian dari seri |
Islam |
---|
![]() |
Muktazilah (bahasa Arab: المعتزلة, translit. al-muʿtazilah; singular: bahasa Arab: معتزلي, translit. muʿtazilī, har. 'menarik diri') adalah sebuah aliran teologi Islam rasional yang berkembang di Basrah dan Baghdad. Dalam sejarah, kaum yang disebut sebagai Muktazilah pertama kali muncul pada awal sejarah Islam dalam perselisihan mengenai kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dalam komunitas Muslim setelah pembunuhan Utsman bin Affan, khalifah ketiga Kekhalifahan Rasyidin, pada tahun 656 M. Kelompok yang tidak mendukung maupun mengutuk Ali, Aisyah atau Muawiyah dalam Perang Saudara Islam I, tetapi mengambil kedudukan politik netral disebut Mu'tazilah.[1][2]
Sementara itu, Muktazilah teologis pertama kali dilembagakan oleh seorang tabi'in bernama Wasil bin Atha' (wafat: 131 H) dan Amr bin Ubaid (wafat: 144 H).[3] Hal ini bermula dari tindakan Wasil bin Atha' berpisah (i'tazala) dari gurunya, yaitu Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Oleh karenanya, pengikut Wasil bin Atha' disebut sebagai Mu'tazilah (bentuk jamak dari i'tazala). Selain itu, kelompok ini juga disebut sebagai Ahl al-Tawḥīd wa al-ʿAdl (اهل التوحيد و العدل) "ahli tauhid dan keadilan". Karena penekanannya pada tauhid dan keadilan Allah yang termaktub dalam lima prinsip dasar Muktazilah (al-ushul al-khamsah).[4][5][6][7]
Muktazilah dikenal karena mengembangkan bentuk rasionalisme Islam. Mereka dikenal karena mengutamakan peran akal dalam penafsiran Al-Qur'an dan Hadist. Hal ini menyebabkan pemikiran Muktazilah banyak diserang oleh ulama-ulama ortodoksi Sunni dari kalangan Asy'ariyah, Maturidiyah, dan Atsariyah (tekstualis) karena metode dan pandangan Muktazilah yang cenderung filosofis dan rasional, terutama dalam pembahasan mengenai penciptaan Al-Qur'an, persoalan takdir, dan sifat-sifat Allah. Sebaliknya, Muktazilah berbeda dengan rasionalisme sekuler tetapi percaya bahwa kecerdasan dan akal manusia memungkinkan seseorang dapat memahami dan menganut prinsip moral keagamaan, dan meyakini bahwa baik dan buruk adalah kategori yang dapat ditentukan melalui akal sehat.[8][9]
Etimologi
suntingKata Mu'tazilah berasal dari bahasa Arab إعتزل (iʿtazala) yang berarti “memisahkan diri”. Kata kerja iʿtazala juga digunakan untuk menunjuk pihak netral dalam suatu perselisihan, seperti dalam "menarik diri" dari perselisihan diantara dua faksi.[10]
Menurut Encyclopædia Britannica, "Nama (Mu'tazilah) pertama kali muncul pada awal sejarah Islam dalam perselisihan mengenai kepemimpinan Ali dalam komunitas Muslim setelah pembunuhan Utsman, khalifah ketiga, pada tahun 656. Mereka yang tidak mendukung maupun mengutuk Ali atau Muawiyah tetapi mengambil kedudukan netral disebut Mu'tazilah.” Mu'tazilah teologis yang didirikan oleh Wasil bin Atha dan penerusnya hanyalah kelanjutan dari posisi politik awal Mu'tazilah.[11]
Sejarah
suntingKaum Mu'tazilah atau Muktazilah tercatat telah muncul di awal sejarah Islam dalam perselisihan mengenai kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dalam komunitas Muslim setelah kematian khalifah ketiga, Utsman bin Affan yang dibunuh pada tahun 656 M. Pada awalnya Mu'tazilah adalah ungkapan untuk menggambarkan kaum yang tidak mengutuk atau memberikan dukungan terhadap Ali atau lawan-lawannya seperti Mu'awiyah, Aisyah, Thalhah, Zubayr disatu sisi dan Abdullah Ibn Wahb disisi lain, tetapi mengambil posisi netral antara Ali dan lawan-lawannya pada Perang Saudara Islam I. Mu'tazilah dianggap sebagai penyebutan untuk kaum yang netral selama terjadinya perang Shiffin dan perang Jamal.[12][11][13]
Sementara itu, konstruksi teologi Muktazilah selanjutnya muncul pada abad ke-8 M (abad ke-2 H) di Basra bermula ketika Wasil ibn Atha' menghadiri majelis Hasan al-Bashri sampai dimana terjadi perselisihan teologis mengenai masalah tentang posisi seorang Muslim yang melakukan dosa besar. Sejak saat itu Wasil ibn Atha memisahkan diri (i'tizal) dari majelis Hasan al-Bashri dan kemudian dirinya mulai mengembangkan konsepnya sendiri yang dikenal sebagai Al-Manzilah bayna al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi).[14]
Abu al-Hudhayl al-'Allaf (wafat tahun 235 H/849 M), yang hidup beberapa generasi setelah Wasil ibn Atha' dan ʿAmr ibn Ubaid, dianggap sebagai teolog yang mensistematisasikan dan memformalkan ajaran Muktazilah di Basra. Pada saat yang bersamaan di Bagdad di bawah arahan seorang teolog Islam bernama Bishr ibn al-Mu'tamir (wafat tahun 210 H/825 M) konsep teologi Muktazilah turut diformalkan di Baghdad dengan dukungan dari khalifah Al-Ma'mun.[15]
Muktazilah menikmati dukungan luas oleh pemerintah pada masa kepemimpinan khalifah Al-Ma'mun (memimpin 813–833 M). Banyak wazir dan penasihat istana dari kalangan Muktazilah diangkat oleh Al-Ma'mun. Tak berhenti sampai disitu, kala itu Al-Ma'mun bahkan mengangkat Muktazilah sebagai mazhab resmi negara. Hal itu terjadi bersamaan dengan puncak Zaman Kejayaan Islam, dimana Al-Ma'mun mendukung upaya penerjemahan manuskrip-manuskrip Yunani kuno dan pengembangan ilmiah di kekhalifahan Abbasiyah.[16][17]
Dukungan penuh dari pemerintah Abbasiyah kala itu menyebabkan mulai bangkitnya polimat, teolog dan filsuf dari kalangan Muktazilah. Ahli biologi sekaligus ahli tata bahasa, Al-Jahiz yang produktif dalam menghasilkan berbagai karya tulisnya di bidang biologi evolusioner dan tata bahasa.[18] Filsuf sekaligus matematikawan seperti Al-Kindi juga mengadopsi bentuk rasionalisme Muktazilah yang direduksi kembali kearah jenis filosofi baru.[19][20] Abu al-Hudhayl al-'Allaf, seorang teolog Muktazilah terkemuka juga turut mengembangkan konsep atomisme yang dia adopsi dari sains Aristotelianisme untuk mendeskripsikan ranah teologi Islam dan kaitannya dengan empirisme hukum alam.[21]
Pada saat yang bersamaan, ulama tradisionalis seperti imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H/855 M) yang terkenal cukup keras menentang Muktazilah yang menekankan doktrin penciptaan Al-Qur'an. Dirinya diadili dan dipenjara oleh khalifah Al-Ma'mun yang bersimpati pada ajaran Muktazilah. Tak hanya Ahmad bin Hambal, banyak ulama tradisionalis Sunni ditangkap oleh pada saat itu, peristiwa ini dikenal sebagai Mihnah.[22][23]
Pasca wafatnya Al-Ma'mun pada tahun 833 M. Dua khalifah selanjutnya, yakni khalifah Al-Mu'tasim (memimpin: 833–842 M) dan Al-Watsiq (memimpin: 842–847 M) masih melanjutkan dukungannya terhadap kaum Muktazilah. Sampai dimulainya kepemimpinan Al-Mutawakkil (memimpin: 847–861 M) yang dikenal karena dukungannya terhadap doktrin Hanabilah yang tekstualis, sejak saat itu pengaruh Muktazilah mulai mengalami penurunan.[24]
Meski begitu, masih terdapat beberapa penganut Muktazilah di Al-Andalus Spanyol terutama pada masa kepemimpinan khalifah Al-Hakam II (memimpin: 961–976 M) yang terkenal karena upaya pelestarian buku dan literaturnya. Di bawah kepemimpinannya banyak dari kaum elit Muktazilah bertugas sebagai penerjemah dan penulis istana.[25] Selain itu, Muktazilah juga dijadikan mazhab resmi oleh daulah Aghlabiyyah yang menguasai daerah Maghreb dan sebagian wilayah Sisilia.[26]
Titik terparah tekanan terhadap pengaruh Muktazilah terjadi saat kepemimpinan khalifah Al-Qadir (memimpin: 991–1031 M), yang mengelurakan dekrit untuk mengeksekusi siapa saja yang terbuka menganut mazhab Muktazilah.[27] Hal tersebut berlanjut disaat penguasa Turki Seljuk mulai meraih kekuasaan dan mulai mengukuhkan Sunni sebagai mazhab negara, dan mulai menggeser secara drastis pengaruh intelektualis Muktazilah. Pada masa itu pula perkumpulan Muktazilah dilarang, kitab-kitabnya dibakar, dan ajaran-ajarannya perlahan mulai tidak dikenal kecuali melalui teks-teks para teolog Sunni yang menyerang mereka.[28] Sampai terjadinya Invasi Mongol menjadi titik jelas penyebab hilangnya pengaruh Muktazilah di kancah peradaban Islam untuk waktu yang sangat lama.[29]
Meski begitu, pengaruh ajaran Muktazilah dan beberapa manuskrip Muktazilah tetap bertahan dan masih dilestarikan oleh beberapa kelompok Syiah dan sekelompok kecil pengikut Wasil ibn Atha' yang disebut Wasiliyah di wilayah Maghreb.[30]
Ajaran utama
suntingMu'tazilah atau Muktazilah memiliki lima dasar ajaran utama yang disebut ushul al-khamsah, yakni:
1. Al-Tauhid - التوحيد
Allah adalah tunggal. Sifat Allah adalah dzat-Nya itu sendiri. Allah tidak boleh diserupakan dengan makhluk. Sehingga dalam hal ini Muktazilah sangat menentang keras pemberian atribut-atribut antropomorfisme pada Tuhan.[31][32]
Selain itu, Muktazilah menganggap bahwa Al-Quran merupakan ciptaan Allah. Jadi Al-Quran tidaklah mungkin bersifat kekal (qadim) bersama dengan dzat Allah. Hal ini diperlukan untuk menegakan tauhid secara sempurna.[33]
2. Al-'Adl - العدل - Keadilan Tuhan
Dalam menghadapi permasalahan adanya kejahatan, bencana dan kesengsaraan di dunia. Muktazilah mencoba menyelesaikan wacana teologis bahwa karena Allah itu maha adil dan bijaksana, Dia tidak mungkin memerintahkan dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akal.[34]
Allah tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan kesejahteraan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Oleh karena itu, segala kejahatan, kekejaman, bencana, dan kesengsaraan yang ada dan terjadi di dunia harus dianggap sebagai sesuatu yang murni terjadi karena kehendak bebas manusia ataupun dari sebab-sebab alamiah hukum alam.[35][36]
3. Al-Wa'd wa al-Wa'id - الوعد و الوعيد - Janji dan Ancaman
Prinsip ini menekankan bahwa Allah akan memberi pahala dan kebaikan pada seseorang yang melakukan kebaikan, memberi ancaman dan hukuman pada seseorang yang melakukan kejahatan. Prinsip ini menegakkan bahwa pelaku kejahatan berat akan dihukum secara kekal di neraka.[37]
Dengan begitu manusia dituntut untuk senantiasa berusaha melakukan perilaku kebaikan dan amalan baik serta menghindari dengan sekuat tenaga perbuatan-perbuatan jahat, buruk, keji, amoral dan bejat.[38]
4. Al-Manzilah bayna al-Manzilatayn - المنزلة بين المنزلتين - Posisi di Antara Dua Posisi
Prinsip ini dicetuskan Wasil bin Atha' yang membuatnya berpisah dari gurunya yakni Hasan Al-Bashri, bahwa seorang Muslim yang melakukan dosa besar, statusnya bukan mukmin ataupun kafir, melainkan masuk ke dalam golongan fasik. Untuk keluar dari kondisi kefasikan, setelah melakukan dosa besar seorang Muslim harus benar-benar bertaubat dan meminta ampunan kepada Allah.[39]
Prinsip ini membuat Muktazilah menjadi jalan tengah antara kaum Murji'ah yang menganggap pelaku dosa besar tetap mukmin, dan disisi lain kaum Khawarij yang menganggap pelaku dosa besar sebagai kafir.[40]
5. Al-amr bil Ma'ruf wa al-Nahy 'an al Munkar - الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر - Menyeru Kepada Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran
Konsep ini juga umum dalam mazhab Islam lainnya. Tetapi dalam hal ini, kaum Muktazilah memberikan penafsiran khusus dalam arti bahwa meskipun Allah memerintahkan apa yang benar dan melarang apa yang salah, penggunaan akal memungkinkan seorang Muslim dalam banyak kasus untuk mengidentifikasi sendiri apa yang benar dan apa yang salah, bahkan tanpa bantuan wahyu.[41]
Hal ini bukan berarti Muktazilah menafikan wahyu, bagi kaum Muktazilah untuk beberapa persoalan khusus dimana akal tidak bisa menjawab sebuah persoalan moral, wahyu masih diperlukan untuk menentukan apakah tindakan tersebut benar atau salah. Dengan prinsip ini, seorang Muslim didorong untuk menebarkan kebaikan dan mencegah keburukan dengan daya upaya dan akalnya.[42]
Filsafat
suntingAkal dan Wahyu
suntingKaum Mu'tazilah memiliki pandangan yang bernuansa intelektual mengenai akal budi, wahyu Ilahi, dan hubungan di antara keduanya. Mereka mengagungkan kekuatan akal budi dan kekuatan intelektual manusia. Bagi mereka, akal budi manusialah yang membimbing manusia untuk mengenal Tuhan dan dasar-dasar moralitas. Setelah pengetahuan dasar ini diperoleh dan seseorang memastikan kebenaran Islam dan Al-Qur'an. Akal budi kemudian berinteraksi dengan kitab suci sehingga akal budi dan wahyu dapat bersatu menjadi sumber utama bimbingan dan pengetahuan bagi umat Islam.[43]
Sehingga bagi Muktazilah, akal dan wahyu bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi sesuatu yang saling melengkapi. Akal menjadi fondasi untuk memahami dan menginterpretasikan wahyu, sementara wahyu memberikan bimbingan yang tidak dapat dicapai oleh akal secara mandiri. Integrasi ini bertujuan menciptakan pemahaman yang jelas, koheren, rasional, dan sesuai dengan keadilan Islam.[44]
Kausalitas
suntingMuktazilah mengedepankan prinsip kausalitas dalam menjawab semua sebab yang terjadi di alam semesta dan dunia. Jadi bagi Muktazilah segala kejadian yang terjadi di alam semesta bukan merupakan takdir yang semata-mata digerakan sepenuhnya oleh Allah (lihat pemikiran Jabariyyah). Hal tersebut berkorelasi dengan manusia, yang mana akan dihitung amalannya berdasarkan perbuatannya dan perilakunya, maka manusia itu sendirilah yang menciptakan perbuatan dan perilakunya lewat kehendak bebas yang diformulasikan dan dijalankan oleh otak dan sistem syaraf.[45]
Sehingga dalam hal ini Muktazilah menentang bentuk-bentuk fatalisme, okasionalisme, dan kepasrahan yang seringkali dicampur adukan dengan unsur-unsur agama Islam oleh mazhab teologi Islam yang lain. Beberapa unsur-unsur konsep pemikiran fatalisme, okasionalisme dan kepasrahan inilah yang diadopsi oleh banyak mazhab teologi Islam yang menjadi penentang Muktazilah. Faktor inilah yang dianggap oleh banyak sejarahwan sebagai salah satu penyebab kemunduran parah peradaban Islam, pasca hilangnya pengaruh Muktazilah pada masyarakat Muslim.[46]
Atomisme
suntingAtomisme dalam Muktazilah merupakan pengembangan konsep kosmologi yang menekankan bahwa alam semesta terdiri dari bagian-bagian yang terpisah-pisah (juz’ lā yatajazzā) atau partikel yang tidak terbagi lagi (atom). Konsep ini pula yang menjadi dasar penolakan Muktazilah terhadap doktrin determinisme. Sehingga dengan kodratnya yang teratomisasi, manusia dan segala benda kosmik dianggap mampu menciptakan perbuatan-perbuatan secara mandiri (mubasharah).[47][48]
Para teolog dan filosof Muktazilah yang terkenal dengan konsep atomismenya adalah Abu al-Hudhayl Al-’Allaf dan Al-Jubba’i. Sementara ada pula teolog Muktazilah yang skeptis terhadap filsafat atomisme, seperti Ibrahim an-Nazzam yang mengenbangkan teori fisika lompatan (tafra) yang menjadi teori alternatif dari atomisme.[49][50]
Teori interpretasi
suntingUntuk menafsirkan teks-teks keagamaan, Muktazilah menggunakan metodologi hermeneutik. Sebagai contoh, jika makna harfiah sebuah ayat sesuai dengan prinsip-prinsip ketauhidan dan akal budi, maka penafsiran dalam arti menjauh dari makna harfiah tidak dibenarkan. Jika sebuah kontradiksi dapat muncul akibat mengadopsi makna harfiah, seperti pemahaman harfiah yang bertentangan dengan transendensi Ilahi dan akal budi, maka penafsiran dengan metodologi hermeneutika dapat dilakukan.[51]
Metodologi ini tidak hanya berlaku untuk menafsirkan Al-Qur'an, tetapi juga untuk sumber utama Islam lainnya seperti hadist dan sunnah. Sehingga dapat diartikan bahwa rasionalisme Muktazilah tetap bekerja berdasarkan kitab suci dan kerangka teologi Islam.[52]
Referensi
sunting- ^ Martin, Richard C.; Woodward, Mark; Atmaja, Dwi Surya; Atmaja, Dwi S. (1997-10). Defenders of Reason in Islam: Mu'tazililism from Medieval School to Modern Symbol (dalam bahasa Inggris). Oneworld Publications. ISBN 978-1-85168-147-1.
- ^ "Views on human freedom- Mu'tazilites and Asharites - Authority in Islam - GCSE Religious Studies Revision - OCR". BBC Bitesize (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-08.
- ^ Jawas, Yazid bin Abdul Qodir (1441 H/2020 M). Mulia Dengan Manhaj Salaf. Bogor: Pustaka At-Taqwa. hlm. 544. ISBN 9789791661133.
- ^ Ellwood, Robert S.; McGraw, Barbara A. (2022-09-30). Many Peoples, Many Faiths: Women and Men in the World Religions (dalam bahasa Inggris). Taylor & Francis. ISBN 978-0-429-84458-4.
- ^ "Mu'tazilah | History, Doctrine, & Meaning | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-11-24.
- ^ Liputan6.com (2023-09-01). "Mengenal 7 Aliran dengan Pandangan Berbeda dalam Islam". liputan6.com. Diakses tanggal 2024-12-08.
- ^ Riza Wahyuni, 216410665 (2019). "Al-Ushul Al-Khamsah Perspektif Zamakhsyari Studi Kritis Penafsiran Ayat-Ayat Terkait Al-Ushul Al-Khamsah dalam Tafsir Al-Kasysyaf".
- ^ Faḫrī, Māǧid (1983). A history of Islamic philosophy (edisi ke-2nd ed). London: Longman. ISBN 978-0-231-05532-1.
- ^ Arabi, Oussama (2001-01-01). Studies in Modern Islamic Law and Jurisprudence. BRILL. ISBN 978-90-04-48070-4.
- ^ "Mu'tazilah Reconsidered" (PDF).
- ^ a b "Mu'tazilah | History, Doctrine, & Meaning | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-11-24.
- ^ "Muʽtazilism - Encyclopédie de l'humanisme méditerranéen ISSN 2608-2292". encyclopedie-humanisme.com. Diakses tanggal 2024-12-16.
- ^ "Mu'tazilah". muslimphilosophy (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-11-24.
- ^ Dhanani, Alnoor (1994). The physical theory of Kalām: atoms, space, and void in Basrian Muʿtazilī cosmology. Islamic philosophy, theology and science. Leiden New York Köln: Brill. ISBN 978-90-04-09831-2.
- ^ Cooperson, Michael. Al Mamun | Makers of the Muslim World. New York: Oneworld Publications. ISBN 978-1-85168-386-4.
- ^ "Golden Age Islamic Civilization". About Islam (dalam bahasa Inggris). 2016-11-02. Diakses tanggal 2024-12-16.
- ^ "Mu'tazilah | An Introduction to Ilm al-Kalam". al-Islam (dalam bahasa Inggris). 12 March, 2013. Diakses tanggal 16 December, 2024.
- ^ Arifin, Zamri (2015-01-06). "Al-Jahiz's Method of Writing: An Analysis of Risalah fi al-Sharib wa al-Mashrub". Mediterranean Journal of Social Sciences (dalam bahasa Inggris). 5 (29): 68. ISSN 2039-2117.
- ^ Ivry, Alfred L. (1976). "al-Kindī and the Muʿtazila: A Philosophical and Political Reevaluation". Oriens. 25/26: 69–85. doi:10.2307/1580657. ISSN 0078-6527.
- ^ Adamson, Peter (2003-03). "Al-Kindī and the Mu'tazila: Divine Attributes, Creation and Freedom". Arabic Sciences and Philosophy (dalam bahasa Inggris). 13 (1): 45–77. doi:10.1017/S0957423903003035. ISSN 0957-4239.
- ^ Dhanani, Alnoor. The Physical Theory of Kalam: Atoms, Space, and Void in Basrian Mu˓tazili Theology. Leiden: Brill, 1994.
- ^ Nawas, John A. (1994-11). "A Reexamination of Three Current Explanations for al-Maʾmun's Introduction of the Miḥna". International Journal of Middle East Studies (dalam bahasa Inggris). 26 (4): 615–629. doi:10.1017/S0020743800061134. ISSN 1471-6380.
- ^ "Imam Ahmad bin Hanbal's Curse Upon Caliph Al-Ma'mun". Saheehus-Seerah (dalam bahasa Inggris). 2023-02-06. Diakses tanggal 2024-12-16.
- ^ Zaman, Muhammad Qasim (1997). Religion and Politics Under the Early ʻAbbāsids: The Emergence of the Proto-Sunnī Elite (dalam bahasa Inggris). BRILL. ISBN 978-90-04-10678-9.
- ^ Samsó, Julio; Fierro, Maribel (2019-10-23). The Formation of al-Andalus, Part 2: Language, Religion, Culture and the Sciences (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-351-88957-5.
- ^ Abun-Nasr, Jamil M. (1990). A history of the Maghrib in the Islamic period. Cambridge New York Melbourne: Cambridge university press. ISBN 978-0-521-33767-0.
- ^ Busse, Heribert (2004). Chalif und Grosskönig: die Buyiden im Irak (945 - 1055). Beiruter Texte und Studien (edisi ke-Unveränd. Nachdr. der Ausg. von 1969). Würzburg: Ergon-Verl. ISBN 978-3-89913-005-8.
- ^ Arnaldez, Roger (2005), Le Mutazilisme, théologie de la liberté, hal. 35
- ^ Foundation, Encyclopaedia Iranica. "ʿAbd-Al-Hamid B. Abuʾl-Ḥadid | The two brothers survived the Mongol conquest of Baghdad in Moḥarram". iranicaonline.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-16.
- ^ Van Ess, Joseph (2005). Jones, Lindsay (ed.). Encyclopedia of Religion. Vol. 9 (2nd ed.). Detroit: Macmillian Reference USA. p. 6322.
- ^ Dhanani, Alnoor (2014-07-01). "Basran Mu'tazilite Theology: Abu 'Ali Muhammad b. Khallad's Kitab al-Usul and Its Reception". The Journal of the American Oriental Society (dalam bahasa English). 134 (3): 548–550.
- ^ Al-Qadi Abd Al-Jabbar. Sharḥ al-Uṣūl al-Khamsa (شرح الأصول الخمسة). Baghdad.
- ^ Campanini, Massimo (2012-01). "The Mu'tazila in Islamic History and Thought". Religion Compass (dalam bahasa Inggris). 6 (1): 41–50. doi:10.1111/j.1749-8171.2011.00273.x. ISSN 1749-8171.
- ^ Martin, Richard C.; Woodward, Mark; Atmaja, Dwi Surya; Atmaja, Dwi S. (1997-10). Defenders of Reason in Islam: Mu'tazililism from Medieval School to Modern Symbol (dalam bahasa Inggris). Oneworld Publications. ISBN 978-1-85168-147-1.
- ^ Campanini, Massimo (2012-01). "The Mu'tazila in Islamic History and Thought". Religion Compass (dalam bahasa Inggris). 6 (1): 41–50. doi:10.1111/j.1749-8171.2011.00273.x. ISSN 1749-8171.
- ^ Shah, Syed Jawad Ali; Ahmad, Shuja (2023-06-15). "Mutazilites and Asharites on Causation and the Nature of the Physical World". Al-Azhār (dalam bahasa Inggris). 9 (01): 1–8. ISSN 2519-6707.
- ^ Murtadha, Mutahhari (2013-03-12). "Mu'tazilah | An Introduction to Ilm al-Kalam". al-islam.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-04-20.
- ^ Al-Khayyat (1957). Kitab al-Intisar. hlm. 93.
- ^ Schmidtke, Sabine; Hamdan, Omar (2008). "Qāḍī 'Abd al-Jabbār al-Hamadhānī (d. 415/1025), On the Promise and Threat: An Edition of a Fragment of the Kitāb al-mughnī fī abwāb al-tawḥīd wa al-'adl Preserved in the Firkovitch-Collection, St. Petersburg (II Firk Arab. 105, ff. 14-92)" (dalam bahasa Inggris). doi:10.2143/MID.27.0.2036195.
- ^ Schmidtke, Sabine; Hamdan, Omar (2008). "Qāḍī 'Abd al-Jabbār al-Hamadhānī (d. 415/1025), On the Promise and Threat: An Edition of a Fragment of the Kitāb al-mughnī fī abwāb al-tawḥīd wa al-'adl Preserved in the Firkovitch-Collection, St. Petersburg (II Firk Arab. 105, ff. 14-92)" (dalam bahasa Inggris). doi:10.2143/MID.27.0.2036195.
- ^ Fakhry, Majid (2004). A History of Islamic Philosophy (dalam bahasa Inggris). Columbia University Press. ISBN 978-0-231-13220-6.
- ^ Fakhry, Majid (2016). Ethics in Islamic philosophy (edisi ke-1). London: Routledge. doi:10.4324/9780415249126-h018-1. ISBN 978-0-415-25069-6.
- ^ Martin, Richard C.; Woodward, Mark; Atmaja, Dwi Surya; Atmaja, Dwi S. (1997-10). Defenders of Reason in Islam: Mu'tazililism from Medieval School to Modern Symbol (dalam bahasa Inggris). Oneworld Publications. ISBN 978-1-85168-147-1.
- ^ Vasalou, Sophia (2008). Moral Agents and Their Deserts: The Character of Mu'tazilite Ethics. Princeton University Press.
- ^ Seyithan, C. A. N. (2021). "An Anatomic and Physiologic Analysis of the Discussions on the Locus of Human Power Among the Schools of Kalām". Kader. 19 (2): 631–644. doi:10.18317/kaderdergi.971440.
- ^ Martin, Richard C.; Woodward, Mark; Atmaja, Dwi Surya; Atmaja, Dwi S. (1997-10). Defenders of Reason in Islam: Mu'tazililism from Medieval School to Modern Symbol (dalam bahasa Inggris). Oneworld Publications. ISBN 978-1-85168-147-1.
- ^ Sabra, A. I. (2009). "The Simple Ontology of Kalām Atomism: An Outline". Early Science and Medicine. 14 (1/3): 68–78. ISSN 1383-7427.
- ^ Karadaş, Cağfer (2018-12-31). "The New Approach to The Source Of Kalām Atomism". DergiPark.
- ^ "A History of Muslim Philosophy". www.muslimphilosophy.com. Diakses tanggal 2025-04-20.
- ^ McGinnis, Jon. "Arabic and Islamic Natural Philosophy and Natural Science". plato.stanford.edu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2025-04-20.
- ^ al-Asadābādī, ʻAbd al-Jabbār ibn Aḥmad (1965). Sharḥ al-uṣūl al-khamsah (dalam bahasa Arab). Maktabat wahbah.
- ^ al-Asadābādī, ʻAbd al-Jabbār ibn Aḥmad (1965). Sharḥ al-uṣūl al-khamsah (dalam bahasa Arab). Maktabat wahbah.
Pranala luar
sunting- (Inggris) The Mutazilla & Rational Theology