Mpu Raganata atau Raganatha, adalah pemegang jabatan rakryan patih pada pemerintahan Wisnuwardhana (1248-1268) di Singhasari, yang kemudian diberhentikan pada awal pemerintahan Kertanagara (1268-1292).

Kisah Hidup Raganata sunting

Pararaton mengisahkan, Mpu Raganata menjabat sebagai patih pada masa pemerintahan Wisnuwardhana. Ia dikenal sebagai pejabat senior yang cerdas, bijaksana dan berani mengkritik keputusan raja. Ketika Kertanagara naik takhta tahun 1268, Raganata dipecat dan diturunkan jabatannya menjadi adhyaksa Tumapel. Sebagai pengganti, diangkat patih baru, yaitu Kebo Anengah, didampingi Panji Angragani sebagai wakil.

Selain Raganata, dimutasi pula Arya Wiraraja dari jabatan rakryan demung menjadi adipati di Sumenep. Serta, Mpu Wirakreti diturunkan jabatannya dari rakryan tumenggung menjadi mantri angabhaya.

Pemecatan para pejabat senior menyebabkan muncul berbagai ketidakpuasan. Pujangga istana yang bernama Mpu Sentasmreti mengundurkan diri dan memilih bertapa di hutan. Kemudian terjadi pemberontakan Kalana Bhayangkara yang menentang pemecatan Raganata. Tokoh yang sering disingkat Kalana Bhaya ini, dalam Nagarakretagama disebut dengan nama Cayaraja, memberontak tahun 1270.

Pemecatan Raganata sehubungan dengan ketidaksetujuannya terhadap gagasan Ekspedisi Pamalayu, yaitu upaya mempersatukan Nusantara di bawah Tumapel. Pengiriman pasukan ini baru terlaksana tahun 1275, yaitu setelah penumpasan Kalana Bhaya. Patih Kebo Anengah ikut mengantarkan keberangkatan pasukan ekspedisi sampai pelabuhan Tuban. Dari Tuban, pasukan yang dipimpin oleh Kebo Anabrang itu kemudian berlayar menuju Pulau Sumatra.

Meskipun sudah diturunkan jabatannya, Raganata masih tetap aktif memberikan nasihat-nasihat untuk Kertanagara. Ia juga mengingatkan agar raja waspada terhadap balas dendam Jayakatwang. Namun, Kertanagara tidak peduli karena menganggap Jayakatwang banyak berhutang budi kepadanya.

Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya (raja terakhir Kadiri) yang dikalahkan Ken Arok (raja pertama Tumapel). Ia mendapat hasutan Arya Wiraraja supaya segera memberontak, mengingat Tumapel dalam keadaan kosong, hanya tinggal Raganata yang diibaratkan harimau tak bergigi.

Pemberontakan Jayakatwang terjadi tahun 1292. Kota Singhasari diserang dari dua arah. Pasukan pemancing menyerang dari utara. Kertanagara mengirim menantunya, yang bernama Raden Wijaya untuk menghadapi. Karena khawatir, Patih Kebo Anengah diperintahkan untuk menyusul pula.

Sepeninggal Kebo Anengah, pasukan utama musuh datang dari selatan menyerbu istana Singhasari. Saat itu Kertanagara sedang bermabuk-mabukan di dalam keputrian dihadap Panji Angragani. Raganata datang menasihati bahwa, tidak baik seorang raja gugur dalam keputrian. Kertanagara pun bangkit menghadapi musuh. Akhirnya raja Tumapel itu pun gugur bersama Raganata, Angragani, dan Wirakreti.

Patih Kebo Anengah mendengar berita bahwa ibu kota telah runtuh. Ia segera berbalik arah tidak jadi menyusul Raden Wijaya. Ketika sampai di istana, ia akhirnya mati pula di tangan para pemberontak.

Identifikasi Tokoh Raganata dan Kebo Anengah sunting

Nama Raganata dan Kebo Anengah adalah ciptaan pengarang Pararaton karena tidak dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan Tumapel atau Singhasari.

Disebutkan, Raganata digantikan Kebo Anengah pada awal pemerintahan Kertanagara, yang naik takhta tahun 1268. Pada prasasti Penampihan (1269) ditemukan nama-nama para pejabat Singhasari, antara lain Patih Kebo Arema dan Sang Ramapati. Disebutkan bahwa, Ramapati adalah tokoh senior yang bijaksana, yang merupakan pemuka para petinggi kerajaan.

Nama lengkap Ramapati terdapat dalam prasasti Mula Malurung (1255), yaitu Sang Ramapati Mapanji Singharsa, sebagai tokoh yang menyampaikan perintah Wisnuwardhana kepada bawahan, dan sebaliknya, menyampaikan permohonan bawahan kepada raja.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, nama sebenarnya dari Kebo Anengah adalah Kebo Arema, sedangkan Raganata adalah Mapanji Singharsa, bergelar Sang Ramapati.

Kepustakaan sunting

  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS