Monumen Pers Nasional

museum di Indonesia

Monumen Pers Nasional adalah museum khusus pers nasional Indonesia yang terletak di Surakarta, Jawa Tengah. Koleksinya meliputi teknologi komunikasi dan teknologi reportase, seperti penerbangan, mesin ketik, pemancar, telepon, dan kentongan besar.[1] Museum ini didirikan pada tahun 1978, setelah lebih dari 20 tahun diusulkan dan dioperasikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia. Kompleks monumen terdiri atas gedung societeit lama, yang dibangun pada tahun 1918, dan digunakan untuk pertemuan pertama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta beberapa gedung yang ditambahkan pada tahun 1970-an. Monumen ini terdaftar sebagai Cagar Budaya Indonesia.

Monumen Pers Nasional
Tampak depan monumen pers nasional
Peta
Didirikan09 Februari 1978 (1978-02-09)
LokasiSurakarta, Indonesia
JenisMuseum pers
Situs webhttp://mpn.kominfo.go.id/
Cagar budaya Indonesia
Monumen Pers Nasional
PeringkatNasional
KategoriBangunan
No. RegnasCB.44
Lokasi
keberadaan
Surakarta, Jawa Tengah
Tanggal SK2010 & 2015
Pemilik Indonesia
PengelolaKementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya

Monumen Pers Nasional memiliki koleksi yang terdiri dari lebih dari satu juta koran dan majalah serta berbagai benda bersejarah yang terkait dengan pers Indonesia. Sekitar satu juta surat kabar dan majalah sejak masa sebelum dan sesudah Revolusi Nasional Indonesia dari berbagai daerah di Nusantara tersimpan di museum ini.[2] Fasilitas di museum termasuk ruang multimedia, koran yang bisa dibaca secara gratis, dan perpustakaan. Tempat yang telah dikunjungi oleh lebih dari 26.000 orang selama tahun 2013 dipromosikan sebagai tujuan wisata pendidikan melalui Facebook dan beberapa pameran.

Sejarah

Bangunan tempat berdirinya Monumen Pers Nasional dibangun sekitar tahun 1918 atas perintah Mangkunegara VII, Pangeran Mangkunagaran, sebagai balai perkumpulan dan ruang pertemuan. Bangunan ini dulunya bernama "Societeit Sasana Soeka"[2] dan dirancang oleh Mas Aboekassan Atmodirono.[3] Pada tahun 1933, Sarsito Mangunkusumo dan sejumlah insinyur lainnya bertemu di gedung ini dan merintis Solosche Radio Vereeniging, radio publik pertama yang dioperasikan pribumi Indonesia.[4] Tiga belas tahun kemudian, pada tanggal 9 Februari 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di gedung ini.[5] Saat pendudukan Jepang di Hindia Belanda, gedung ini dijadikan klinik perawatan tentara, kemudian menjadi kantor Palang Merah Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia.[6]

Tanggal 9 Februari 1956, dalam acara perayaan sepuluh tahun PWI, wartawan-wartawan ternama seperti Rosihan Anwar, B.M. Diah, dan S. Tahsin menyarankan pendirian yayasan yang akan menaungi Museum Pers Nasional. Yayasan ini diresmikan tanggal 22 Mei 1956 dan sebagian besar koleksi museumnya disumbangkan oleh Soedarjo Tjokrosisworo. Baru lima belas tahun kemudian yayasan ini berencana mendirikan museum fisik. Rencana ini secara resmi diumumkan oleh Menteri Penerangan Budiarjo pada tanggal 9 Februari 1971. Nama "Monumen Pers Nasional" ditetapkan tahun 1973 dan lahannya disumbangkan ke pemerintah tahun 1977. Museum ini resmi dibuka tanggal 9 Februari 1978 setelah dilengkapi beberapa bangunan.[4] Dalam pidatonya, Presiden Soeharto memperingatkan pers akan bahaya kebebasan. Ia menyatakan, "menikmati kebebasan demi kebebasan itu sendiri adalah keistimewaan yang tak mampu kita dapatkan".[7]

Pada tahun 2012, museum ini dikepalai oleh Sujatmiko.[8] Museum ini sekarang dijadikan tempat wisata pendidikan[5] dan menerima sumbangan material terkait pers di Indonesia.[8] Menurut David Kristian Budhiyanto dari Universitas Kristen Petra, museum ini jarang dikunjungi dan beberapa ruangannya tidak terawat. Ia melihat masyarakat menganggap museum sebagai tempat yang tidak menarik atau membosankan. Demi menarik pengunjung baru, pihak museum mengadakan serangkaian kompetisi pada tahun 2012 dan 2013, termasuk kontes fotografi di laman Facebook-nya.[9] Mereka juga mengadakan pameran keliling di sejumlah kota seperti Yogyakarta dan Magelang.[10] Antara Januari dan September 2013, museum ini dikunjungi 26.249 orang, meningkat dari tahun sebelumnya dikarenakan upaya promosi dari pengelola museum.[11]

Deskripsi

 
Pintu masuk ruang utama

Monumen Pers Nasional terletak di Jalan Gajah Mada 59, Surakarta, Jawa Tengah, di sudut Jl. Gajah Mada dan Jl. Yosodipuro. Letaknya di sebelah barat Istana Mangkunegaran. Kompleks museum terdiri dari bangunan asli Sasana Soeka, dua gedung berlantai dua, dan satu gedung berlantai empat. Di depan museum terdapat lapangan parkir dan dua papan pengumuman yang dilengkapi koran gratis (Solo Pos, Suara Merdeka, dan Republika).[4] Fasad depannya dihiasi desain naga yang melambangkan tahun 1980 ketika pembangunan museum ini selesai.[12]

Museum ini dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Struktur kepengurusannya terdiri dari kepala museum dan manajer administrasi, ditambah divisi layanan pengunjung, perlindungan dan perawatan, dan aktivitas sehari-hari. Hingga 2013, museum ini ditangani oleh 24 pegawai negeri sipil.[4] Bangunannya terdaftar sebagai Cagar Budaya Indonesia.[2]

Koleksi

Museum ini memiliki lebih dari satu juta surat kabar dan majalah sejak masa sebelum, dan sesudah Revolusi Nasional Indonesia dari berbagai daerah di Nusantara.[2] Koleksinya juga meliputi teknologi komunikasi dan teknologi reportase, seperti penerbangan, mesin ketik, pemancar, telepon dan kentongan besar.[1]

 
Kamera Chinon 606S di museum

Bagian depan ruang depan utamanya dihiasi pahatan kepala tokoh-tokoh penting dalam sejarah jurnalisme Indonesia, termasuk Tirto Adhi Soerjo, Djamaluddin Adinegoro, Sam Ratulangi, dan Ernest Douwes Dekker.[1]

Di belakang ruang depan utama terdapat enam diorama yang menggambarkan komunikasi dan pers sepanjang sejarah Indonesia. Diorama pertama memperlihatkan berbagai bentuk komunikasi dan berita di Indonesia pra-kolonial. Diorama kedua memperlihatkan pers di era kolonial, termasuk surat kabar pertama di Hindia Belanda milik Vereenigde Oostindische Compagnie, Memories der Nouvelles (1615); surat kabar pertama yang dicetak di Hindia Belanda, Bataviasche Nouvelles (1744), dan surat kabar bahasa Jawa pertama di Hindia Belanda, Bromartani (1855). Diorama ketiga menggambarkan pers pada masa pendudukan Jepang, sedangkan yang keempat menggambarkan pers pada masa Revolusi Nasional, termasuk pembentukan PWI. Diorama kelima menunjukkan keadaan pers yang disensor besar-besaran saat Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Diorama terakhir menunjukkan kondisi pers setelah dimulainya era Reformasi tahun 1998 yang melonggarkan kebebasan pers.[1]

Museum tersebut juga memiliki artefak milik para jurnalis dari berbagai zaman. Beberapa di antaranya adalah mesin ketik Underwood milik Bakrie Soeraatmadja, jurnalis Sipatahoenan dari Bandung; baju yang dipakai Hendro Dubroto saat meliput pendudukan Indonesia di Timor Timur tahun 1975; perlengkapan parasut Trisnojuwono ketika meliput gerhana matahari 11 Juni 1983; dan kamera Fuad Muhammad Syafruddin, jurnalis Bernas dari Yogyakarta yang dibunuh setelah mengangkat skandal korupsi tahun 1995.[1] Artefak lainnya milik jurnalis seperti Mochtar Lubis masih disimpan di museum ini per Oktober 2013.[11]

Fasilitas

Museum ini memiliki pusat media. Di sana masyarakat bisa mengakses Internet gratis melalui sembilan komputer yang tersedia. Ada pula perpustakaan dengan koleksi 12.000 buku, ruang baca koran, dan majalah lama yang sudah didigitalisasi di tempat,[4] serta ruang mikrofilm yang sudah tidak digunakan lagi.[1]

Monumen Pers Nasional secara rutin mengadakan seminar seputar pers, media, dan komunikasi. Museum ini menyelenggarakan pameran media bertema hari libur nasional, termasuk Hari Kemerdekaan, peringatan Sumpah Pemuda, dan Hari Pers Nasional. Pihak museum juga membawa sebagian koleksinya untuk pameran lain. Koleksi dan pustaka digitalnya dapat diakses masyarakat, sedangkan salinan cetak koran, dan majalahnya hanya dapat diakses oleh peneliti.[4]

Referensi

Sumber

  • Amani, Asef (28 April 2013). "Monumen Pers Nasional Agresif Gaet Wisatawan". Merdeka.com. Semarang. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-08. Diakses tanggal 2013-12-08. 
  • Budhiyanto, David Kristian (2012). "Perancangan Visual Branding Monumen Pers Nasional Di Surakarta". DKV Adiwarna (dalam bahasa Indonesia). Surabaya. 1 (1). 
  • Koleksi Benda Pers Bersejarah Monumen Pers Nasional (brochure) (dalam bahasa Indonesia), Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2013 
  • "Kota Surakarta" (dalam bahasa Indonesia). Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-07. Diakses tanggal 8 Desember 2013. 
  • "Monumen Pers Nasional" (dalam bahasa Indonesia). Dinas Tata Ruang Kota Surakarta. 10 September 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-07. Diakses tanggal 8 Desember 2013. 
  • "Monumen Pers Nasional Butuh Dukungan Swasta" (dalam bahasa Indonesia). Jogja TV. 18 Mei 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-08. Diakses tanggal 8 December 2013. 
  • Profil Monumen Pers Nasional 2013 (brochure) (dalam bahasa Indonesia), Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2013 
  • Sarmun, Budi (20 Oktober 2013). "Pengunjung MPN Tembus 26.249 Orang". Merdeka.com. Semarang. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-08. Diakses tanggal 2013-12-08. 
  • van der Kroef, Justus M. (1979). "Indonesia: After the Student Revolt". South East Asian Studies. 16 (4): 625–37. 
  • Video Profil Monumen Pers Nasional (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika. 2013. 

Bacaan lanjutan