Monumen MBO DPRI SK

Monumen MBO DPRI SK (Markas Besar Oemoem Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil) adalah sebuah monumen areal bekas markas utama dari pasukan DPRI resimen Sunda Kecil yang dipimpin oleh Letkol I Gusti Ngurah Rai. MBO DPRI Sunda Kecil merupakan cikal bakal berdirinya Kodam IX/Udayana yang berkedudukan di Kota Denpasar. Monumen ini terletak di Banjar Munduk Malang, Desa Dalang, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali.

Monumen MBO DPRI Sunda Kecil
Monumen MBO DPRI SK
Peta
Informasi umum
JenisMonumen
LokasiBali, Indonesia
AlamatMunduk Malang, Desa Dalang, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan
Koordinat8°27′04″S 115°04′48″E / 8.451204°S 115.079943°E / -8.451204; 115.079943

Sejarah sunting

Pada tanggal 23 Agustus 1945 diumumkan oleh Presiden RI Ir. Soekarno tentang pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) disertai seruan kepada para mantan Pembela Tanah Air (PETA), para mantan Parayoda, Heiho, Kaigun Heiho dan para pemuda lainnya untuk sementara bekerja di dalam BKR. Pada masa tersebut, di Bali dibentuk pula badan-badan perjuangan lainnya seperti Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Denpasar dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di Singaraja. Kedua badan perjuangan ini memiliki tekad yang sama, yakni membela dan mempertahankan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, yang berdasarkan Pancasila.

Dalam upaya menindaklanjuti Maklumat Pemerintah RI tanggal 5 Oktober 1945, tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), maka pada tanggal 1 Nopember 1945 bertempat di Kantor Gubernur Sunda Kecil di Singaraja, diadakan rapat dengan acara pokok membentuk TKR Sunda Kecil. Rapat tersebut dipimpin oleh Gubernur Sunda Kecil I Gusti Ketut Pudja, dihadiri oleh Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Sunda Kecil Ida Bagus Putra Manuaba, pimpinan badan-badan perjuangan dan dewan raja-raja di Bali. Dalam rapat tersebut, terpilih secara aklamasi I Gusti Ngurah Rai sebagai pucuk pimpinan atau pimpinan tertinggi TKR Sunda Kecil dengan pangkat mayor. Berbarengan dengan itu, ditetapkan pula anggota stafnya I Gusti Bagus Putu Wisnu, I Wayan Ledang dan lain-lain.

Sebagai pucuk pimpinan, I Gusti Ngurah Rai segera berinisiatif mengadakan pendekatan secara persuasif dengan pihak petinggi serdadu Jepang, memohon kepada mereka agar secara sukarela menyerahkan persenjataan kepada pihak TKR Sunda Kecil. Namun, permohonan melalui pendekatan tersebut, ditolak oleh petinggi serdadu Jepang. Oleh karena itu, beliau kemudian merencanakan untuk melucuti serdadu Jepang secara serentak di seluruh Bali. Meskipun beliau menyadari bahwa pihak TKR dan para pejuang lainnya hanya bermodalkan beberapa pucuk senjata api dan sebagian besar masih menggunakan senjata tradisional berupa bambu runcing, kelewang, pentong, keris, kapak dan senjata tajam lainnya. Sedangkan di pihak musuh (serdadu Jepang), memiliki persenjataan yang jauh lebih lengkap dan modern dengan personal yang lebih berpengalaman dalam perang. Serangan tersebut dilangsungkan pada tanggal 13 Desember 1945 pukul 24.00 di bawah komando Resimen TKR Sunda Kecil. Gerakan pelucutan senjata pada tiap-tiap kabupaten diseluruh Bali, di bawah komando TKR setempat.

Tatkala tanda pengerahan pasukan pejuang (pasukan penyerang) yang berupa pukulan kentongan dan pukulan alat-alat lain berbunyi sebagai tanda serangan, ternyata serdadu Jepang telah siap bertahan di asrama-asrama dan menenpati posisi di tempat-tempat strategis di seluruh Bali. Mereka secara cepat melepaskan tembakan-tembakan gencar ke arah pasukan pejuang sebagai pasukan penyerang. Dalam suasana seperti itu, pasukan pejuang, mengambil alternatif mengundurkan diri.

Penyerangan terhadap serdadu Jepang di Kota Denpasar yang dipimpin langsung oleh I Gusti Ngurah Rai juga mengalami kegagalan. Artinya, beliau beserta seluruh anggota pasukannya mengambil alternatif mengundurkan diri dari medan penyerangan. I Gusti Ngurah Rai dan perwira stafnya beserta beberapa orang pejuang lainnya, mengundurkan diri dan berlindung di Puri Kesiman, Kota Denpasar. Serdadu Jepang dengan cepat mengejar rombongan I Gusti Ngurah Rai dan mengepung Puri Kesiman. Namun, usaha itu sia-sia belaka, karena kesigapan I Gusti Ngurah Rai beserta rombongan, berhasil meloloskan diri dari kepungan itu, melalui lorong belakang puri Kesiman yang terhindar dari pengawasan serdadu Jepang. Melalui jalan setapak pada beberapa desa di Kabupaten Badung, rombongan segera menuju Banjar Mungsengan, Desa Catur, Kabupaten Bangli, yakni pada sebuah pondok kecil di tengah-tengah kebun kopi yang rindang milik keluarga puri Carangsari, Kabupaten Badung. Rombongan I Gusti Ngurah Rai yang mengundurkan diri ke tempat itu di antaranya I Made Widjakusuma (Pak Joko), I Gusti Bagus Putu Wisnu, Subroto Aryo Mataram, Cokorda Ngurah, dan Ida Bagus Tantera.

Di tempat yang tersembunyi dan sepi tersebut, I Gusti Ngurah Rai bersama anggota rombongan berhasil membuat keputusan bahwa I Gusti Ngurah Rai bersama beberapa perwira staf segera berangkat ke Jawa, untuk melaporkan situasi perjuangan kemerdekaan di Bali dan terutama memohon bantuan personal dan senjata kepada Pemerintah Pusat. Rombongan berangkat dari Banjar Mungsengan Desa Catur pada tanggal 19 Desember 1946, dengan cara menerobos hutan belantara menuju pantai Celukan Bawang, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng. Cara ini ditempuh, karena ketika itu pos-pos serdadu Jepang masih berdiri tegak yang dijaga oleh sejumlah serdadu bersenjata lengkap. Begitu juga mata-mata musuh yang berasal dari bangsa sendiri bertebaran di mana-mana. Dari pantai Celukan Bawang tersebut, rombongan mendapat pertolongan seorang nelayan yang menyediakan perahu miliknya untuk menyeberangkan rombongan ke Jawa. Rombongan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai itu, berhasil mendarat di Bayuwangi dengan selamat pada tanggal 1 Januari 1946.

Selama I Gusti Ngurah Rai beserta anggota rombongan berada di Jawa, yakni dari tanggal 1 Januari s.d 4 April 1946, pucuk pimpinan perjuangan di Sunda Kecil khususnya Bali, dipegang oleh I Made Widjakusuma yang dikenal dengan nama Pak Joko. I Made Widjakusuma menjalankan tugas-tugas kepemimpinan selama masa tersebut, berdasarkan instruksi pucuk pimpinan Resimen TKR Sunda Kecil I Gusti Ngurah Rai .

Misi Resimen TKR Sunda Kecil di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai, selama sekitar tiga bulan di Jawa tersebut, memberikan hasil yang gemilang. Semua permohonan, baik berupa tenaga personal, persenjataan maupun berupa keperluan lainnya untuk perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan RI di Bali, dikabulkan oleh Pemerintah Pusat. Pada waktu berada di Jawa, rombongan yang terdiri atas I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Bagus Putu Wisnu, Subroto Aryo Mataram, Cokorda Ngurah dan Wayan Ledang dilantik secara resmi oleh Kepala Staf Umum Tentara Republik Indonesia (TRI) yang sebelumnya bernama TKR, atas nama Panglima Besar Jendral Sudirman, dan ditetapkan kepangkatan serta jabatan kepada Perwira Resimen TRI Sunda Kecil I Gusti Ngurah Rai selaku Komandan Resimen TRI Sunda Kecil dinaikkan pangkatnya dari Mayor menjadi Letnan Kolonel, sedangkan para perwira lainnya masih tetap dengan pangkat semula.

Rombongan I Gusti Ngurah Rai kembali dari Jawa dan berhasil mendarat di Yeh Kuning, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana pada pagi hari tanggal 5 April 1946. Di sini rombongan dijemput, kemudian diantar oleh pejuang setempat menuju Banjar Munduk Malang, Desa Dalang, Kabupaten Tabanan. Banjar Munduk Malang, Desa Dalang, merupakan banjar atau desa terpencil dan terletak di pedalaman Kabupaten Tabanan. Desa ini berjarak sekitar 13 km dari Kota Tabanan ke arah Barat Laut. Topografinya bergelombang dan dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Dalam suasana seperti itu, Desa Dalang relatif sulit diketahui atau dijangkau oleh pihak musuh yakni serdadu Belanda dan mata-mata mereka (yang terdiri atas bangsa awak).

Berdasarkan perintah Menteri Pertahanan Keamanan RI saat itu, maka pada tanggal 16 April 1946 dengan mengambil tempat di Banjar Munduk Malang, Desa Dalang, diadakan rapat yang dihadiri oleh pimpinan badan-badan perjuangan dan Staf Resimen TRI Sunda Kecil. Rapat tersebut menghasilkan badan perjuangan yang dinamakan Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) Sunda Kecil dan markasnya disebut MBO DPRI Sunda Kecil, yang berkedudukan di Banjar Munduk Malang, Desa Dalang.

Monumen Peringatan sunting

MBO DPRI Sunda Kecil di Banjar Munduk Malang Desa Dalang ini, merupakan pusat pertahanan kemerdekaan Negara Kesatuan RI di Provinsi Sunda Kecil, dan dalam menghadapi penjajah Belanda menempuh sistem gerilya. MBO DPRI Sunda Kecil merupakan cikal bakal berdirinya Kodam IX/Udayana yang berkedudukan di Kota Denpasar. Untuk mengenang dan mengagungkan peristiwa bersejarah itu, sekaligus pula untuk menyosialisasikan nilai-nilai kejuangan yang terkandung di dalamnya kepada generasi muda bangsa, maka di Banjar Munduk Malang, Desa Dalang, didirikan sebuah “Monumen MBO DPRI Sunda Kecil”. Di samping itu, atas inisiatif Pengurus Yayasan Kebaktian Proklamasi Provinsi Bali, mulai tanggal 16 April 2010 di lokasi monumen itu, diperingati sebagai Hari Lahir MBO DPRI Sunda Kecil, dengan upacara militer. MBO DPRI Sunda Kecil yang merupakan cikal bakal berdirinya Kodam IX/Udayana dan peristiwa penting bagi perjuangan kemerdekaan RI, patut dikenang dan dihormati.

Pranala luar sunting