Jenazah

(Dialihkan dari Mayat)

Jenazah, mayat, layon, kunarpa, atau kadaver (dalam istilah medis, sastra, hukum, atau forensik) adalah badan atau tubuh yang sudah mati atau tidak bernyawa. Istilah-istilah tersebut biasanya merujuk pada tubuh mati manusia.

Jenazah di peti mati.
Jenazah di kamar mayat

Terminologi sunting

Kata “jenazah” berasal dari kata sifat dalam bahasa Arab. Penurunan kata dari jenazah adalah fi’il madi janaza-yajnizu-janazatan wa jinazatan. Kata jenazah akan berarti orang yang telah meninggal dunia jika huruf jim dari kata tersebut dibaca fathah (janazatan). Sedangkan jika dibaca kasrah (jinazah) berarti keranda yang digunakan untuk mengusung jenazah ke pemakaman.[1]

Penguraian tubuh manusia sunting

Pengamatan terhadap proses penguraian yang terjadi terhadap mayat bisa membantu penentuan waktu kematian.

Tahap penguraian sunting

  • Autolisis, dikenal juga dengan nama pencernaan terhadap tubuh sendiri. Dalam hal ini enzim pencernaan di dalam tubuh berbalik mencerna dirinya sendiri. Akibat autolisis, cairan menumpuk di antara lapisan-lapisan kulit yang membuat kulit terlepas. Dalam tahapan ini, lalat mulai menaruh telur di saluran-saluran tubuh seperti mulut, lubang hidung, telinga, luka terbuka, dan lainnya. Larva dari botfly bisa mulai masuk dan memakan tubuh.
  • Pembengkakan adalah tahap kedua dari penguraian tubuh. Bakteri di dalam perut mulai mengurai tubuh, menghasilkan gas yang kemudian menumpuk di saluran pencernaan, yang kemudian terperangkap karena usus kecil yang mulai kolaps. Proses kembung ini sebagian besar terjadi di abdomen, walaupun bisa pula terjadi di kemaluan dan mulut. Lidah bisa jadi membengkak. Proses ini biasanya terjadi di minggu kedua penguraian. Gas terus dihasilkan hingga akhirnya penguraian tubuh mulai memungkinkannya untuk keluar.
  • Pembusukan adalah tahap akhir yang paling lama dari penguraian tubuh. Pada tahap ini bagian tubuh yang besar mulai hancur dan mencair. Pencernaan, otak, dan paru-paru adalah yang paling awal mengalami pembusukan. Bagian tersebut biasanya sudah tidak bisa diidentifikasi lagi setelah tiga minggu. Sementara otot bisa dimakan oleh bakteri dan makhluk pengurai lainnya. Biasanya setelah beberapa tahun, yang tersisa adalah tulang-belulang. Jika tanah di sekitar bersifat asam, maka tulang akan terurai menjadi bahan kimia dasar.

Kecepatan penguraian bergantung pada kondisi lingkungan dan temperatur. Lingkungan yang lembap dan hangat membuat penguraian lebih cepat terjadi.

Sejarah sunting

Dokter dari Yunani, Herofilos (335-250 SM) dan Erasistratos (304-250 SM) adalah beberapa tokoh pertama yang membedah kadaver. Andreas Vesalius (1514-1564) penulis De Humani Corporis Fabrica, berhasil membantah miskonsepsi dengan melakukan bedah kadaver, dianggap bapak anatomi modern. Teks India kuno, Susruta Samhita dari abad kedua BCE, dan Charaka Sashmita juga telah menyebutkan prosedur pembedahan ini.

Pada abad ke-18 hingga ke-19 Masehi, biasanya yang dipakai sebagai kadaver adalah mayat kriminal yang baru dieksekusi. Dari abad 16 hingga 1832, melalui undang-undang Anatomy Act yang diperbolehkan untuk dibedah adalah mayat pelaku pembunuhan. Permintaan makin sulit dipenuhi saat angka kriminalitas menurun. Akhirnya sering terjadi pencurian jasad dari kuburan.

Pengawetan kadaver di masa awal belum dilakukan karena belum diketahui caranya. Namun bagaimanapun pengawetan perlu dilakukan agar mayat bisa digunakan cukup lama untuk bahan ajar. Akhirnya Glutaraldehida ditemukan untuk pengawetan walaupun warna kuning yang tertinggal bisa mengganggu. Kini digunakan formaldehida yang lebih jernih dan tahan lama.

Tes keamanan kendaraan sunting

Kadaver dulu juga digunakan untuk pemeriksaan keamanan kendaraan. Berbeda dengan boneka, kadaver memungkinkan terdeteksinya luka dari sabuk pengaman, sehingga produsen kendaraan bisa merancang sabuk yang lebih lembut.

Pengurusan sunting

Pandangan syariat Islam sunting

Setiap muslim memiliki kewajiban dalam pengurusan jenazah. Ketentuan dan kewajiban pengurusan jenazah dilakukan oleh orang yang masih hidup terhadap orang yang sudah meninggal. Kewajiban ini secara umum meliputi kegiatan memandikan, mengafani, mensalati, dan mengubur jenazah.[2] Pengurusan jenazah di dalam Islam bersifat fardu kifayah. Seseorang tidak dianggap berdosa ketika tidak ikut mengurus jenazah karena telah diurus oleh orang lain. Dalam Islam, kepengurusan jenazah disesuaikan dengan kondisi saat kematian terjadi. Seorang muslim yang mati bukan dalam keadaan syahid, maka kewajiban pengurusnya meliputi kegiatan memandikan, mengafani, mensalati, dan mengubur jenazah.[3] Bagi mereka yang mengikuti salat jenazah diberi pahala oleh Allah. Sebaliknya, suatu masyarakat dianggap berdosa jika tidak melakukan salat jenazah sama sekali. Umumnya pengurusan jenazah di suatu masyarakat seluruhnya dilakukan oleh petugas keagamaan setempat.[4]

Sementara itu, seorang muslim yang mati dalam keadaan syahid, maka jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disalati, tetapi hanya dikafani dan dikuburkan. Sedangkan pada jenazah yang meninggal ketika sedang ihram, maka jenazahnya tetap dimandikan, dikafani, dan dikuburkan. Pemandian jenazah yang meninggal saat ihram tidak dicampur dengan wewangian, sabun maupun kapur barus. Selain itu, pakaian ihramnya dijadikan sebagai kain kafan tanpa menutupi bagian kepala jenazah.[5]

Pengurusan jenazah juga berbeda pada bayi berdasarkan usia kelahirannya. Bayi yang meninggal setelah mencapai usia 6 bulan atau lebih, maka jenazahnya diurus seperti jenazah muslim dewasa. Sedangkan pada jenazah bayi yang meninggal sebelum berusia 6 bulan terdapat tiga ketentuan. Bila tubuh bayi belum berbentuk manusia sempurna, maka jenazahnya hanya dibungkus dan dikuburkan. Bila tubuh bayi sempurna tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan, jenazahnya dimandikan, tetapi tidak disalati, lalu dikuburkan. Sedangkan jenazah bayi yang berusia kurang dari 6 bulan dalam keadaan hidup dengan tubuh sempurna, maka pengurusan jenazahnya sama seperti pengurusan jenazah orang dewasa.[6]

Referensi sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ Nurhayati, Purnama, dan Siregar 2020, hlm. 69.
  2. ^ Respati, T., dan Rathomi, H.S., ed. (2020). Kopidpedia: Bunga Rampai Artikel Penyakit Virus Korona (COVID-19) (PDF). Bandung: Pusat Penerbitan Universitas (P2U) Unisba. hlm. 239. ISBN 978-602-5917-42-4. 
  3. ^ El-Kaysi 2018, hlm. 26.
  4. ^ Nurhayati, Purnama, dan Siregar 2020, hlm. 70.
  5. ^ El-Kaysi 2018, hlm. 27.
  6. ^ El-Kaysi 2018, hlm. 28.

Daftar pustaka sunting