Martha Craven Nussbaum (/ˈnʊsbɔːm/; lahir 6 Mei 1947) adalah seorang filsuf Amerika dan Profesor Hukum dan Etika Ernst Freund Distinguished Service di Universitas Chicago, tempat dia menduduki posisi akademik di sekolah hukum dan departemen filsafat. Nussbaum memiliki minat khusus dalam bidang filsafat Yunani dan Romawi kuno, filsafat politik, eksistensialisme, feminisme, dan etika, termasuk hak-hak binatang. Dia juga menjadi kolega di bidang klasik, teoogi, dan ilmu politik. Dia merupakan anggota Komite Studi Asia Selatan, dan anggota dewan Program Hak Asasi Manusia di kampusnya. Dia sebelumnya mengajar di Universitas Harvard dan Universitas Brown.[1][2]

Martha Nussbaum
Martha Nussbaum, 2008
LahirMartha Craven
6 Mei 1947 (umur 76)
New York City
AlmamaterUniversitas Harvard, Universitas New York
Suami/istriAlan Nussbaum (? - 1987)
AnakRachel Nussbaum
EraFilsafat abad ke-20
KawasanFilsafat Barat
AliranAnalitis
InstitusiUniversitas Chicago, Universitas Brown, Universitas Harvard
Minat utama
Filsafat politik, Etika, Feminisme
Gagasan penting
Pendekatan kapabilitas

Nussbaum adalah penulis banyak buku, termasuk The Fragility of Goodness (1986), Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (1997), Sex and Social Justice (1998), Hiding from Humanity: Disgust, Shame, and the Law (2004), Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (2006), dan From Disgust to Humanity: Sexual Orientation and Constitutional Law (2010). Dia menerima Penghargaan Kyoto dalam Seni dan Filsafat tahun 2016, Penghargaan Berggruen tahun 2018, dan Penghargaan Holberg tahun 2021.[3][4][5]

Riwayat awal dan pendidikan sunting

Nussbaum lahir pada tanggal 6 Mei 1947 di New York. Dia merupakan putri George Craven, seorang pengacara Philadelphia, dan Betty Warren, seorang desainer interior dan ibu rumah tangga. Selama masa remajanya, Nussbaum bersekolah di The Baldwin School di Bryn Mawr. Dia menggambarkan masa kecilnya sebagai "elit WASP Pantai Timur ... sangat bersih, dan sangat disibukkan dengan uang dan status".[6] Dia kemudian memberikan kredit kepada kekurangsabarannya terhadap "filsuf mandarin" dan dedikasi untuk pelayanan publik sebagai penolakan pendidikan aristokrat yang dia jalani. "Saya tidak menyukai apapun yang memposisikan dirinya sebagai bagian dari kelompok atau sebagai seorang yang elit, apakah itu kelompok Bloomsbury atau Derrida".[7] Setelah memulai studi di Wellesley College selama dua tahun, dia kemudian berhenti dan mulai mengejar ketertarikannya pada dunia teater di New York. Dia belajar teater dan studi klasik di Universitas New York, tempat dia mendapatkan gelar Bachelor of Arts pada tahun 1969. Setelah itu, dia pindah ke bidang filsafat ketika melakukan studi di Universitas Harvard, tempat dia menerima gelar Master of Arts pada tahun 1972 dan gelar Doctor of Philosophy pada tahun 1975, belajar di bawah bimbingan G. E. L. Owen[butuh rujukan]

Karier sunting

Pada tahun 1970-an dan awal 1980, dia mengajar filsafat dan studi klasik di Harvard, tempat dia ditolak untuk mendapatkan posisi permanen oleh Departemen Klasik pada 1982.[7] Nussbaum kemudian pindah ke Universitas Brown, tempat dia mengajar sampai tahun 1994, sebelum dia bergabung sebagai anggota Sekolah Hukum Universitas Chicago. Bukunya yang diterbitkan di tahun 1986, The Fragility of Goodness, membahas tentang etika Yunani kuno dan tragedi Yunani, yang membuatnya menjadi sosok yang terkenal di bidang humaniora.[8] Di Brown, mahasiswa Nussbaum termasuk filsuf Linda Martín Alcoff dan aktor dan penulis drama Tim Blake Nelson.[9] Pada tahun 1987, Nussbaum mendapat perhatian publik karena kritiknya terhadap The Closing of the American Mind, karya filsuf Allan Bloom.[10] Karya yang lebih baru (Frontiers of Justice) membuat Nussbaum dikenal sebagai ahli teori keadilan global. Karya Nussbaum tentang kapabilitas sering kali berfokus pada kebebasan dan kesempatan yang tidak setara bagi perempuan. Dia telah mengembangkan jenis feminisme khusus dengan mengambil inspirasi dari tradisi liberal, tetapi menekankan bahwa liberalisme perlu memikirkan kembali secara radikal tentang relasi gender dan relasi dalam keluarga.[11]

Bidang utama karya filosofis Nussbaum lainnya adalah emosi. Dia membela pandangan neo-Stoik tentang emosi yang menyatakan bahwa emosi merupakan penilaian yang menganggap hal-hal dan orang-orang, di luar kendali agen itu sendiri, sebagai hal yang sangat penting bagi kemajuan kehidupan orang itu. Atas dasar ini, dia telah memberikan analisis tentang kesedihan, rasa welas asih, dan kasih sayang,[12] dan, dalam buku yang kemudian, analisis terhadap rasa jijik dan malu.[13]

Nussbaum telah terlibat dalam banyak perdebatan sengit dengan para intelektual lainnya, baik dalam tulisan-tulisan akademiknya maupun di halaman-halaman majalah semi-populer dan resensi buku. Dia juga pernah memberikan keterangan ahli di pengadilan Colorado dalam perkara Romer v. Evans. Dalam keterangannya, dia menentang klaim bahwa sejarah filsafat telah memberikan justifikasi untuk mendukung undang-undang yang menolak hak kaum gay dan lesbian untuk mencari pengesahan aturan non-diskriminasi di tingkat lokal. Sebagian dari kesaksiannya membahas arti potensial dari istilah tolmêma dalam karya Plato, yang menjadi kontroversi, dan pada waktu itu disebut menyesatkan oleh para kritikus.[14][15]

 
Nussbaum di The School of Life, 2016

Dia menanggapi tuduhan ini dalam sebuah artikel panjang yang disebut "Cinta Platonik dan Hukum Colorado".[16] Nussbaum menggunakan banyak referensi dari Simposium Plato dan interaksinya dengan Socrates sebagai bukti argumennya. Perdebatan ini berlanjut dengan jawaban dari salah satu kritikusnya yang paling keras, Robert P. George.[17]

Nussbaum pernah mengkritik Noam Chomsky sebagai salah satu intelektual kiri yang memegang keyakinan bahwa "seseorang tidak boleh mengkritik teman, solidaritas lebih penting daripada kebenaran etika". Nussbaum menunjukkan bahwa seseorang dapat "menelusuri garis argumen ini ke penghinaan Marxis lama terhadap etika borjuis, tetapi itu memuakkan terlepas bagaimana asalnya".[18] Di antara rekan-rekan akademisnya yang buku-bukunya telah dia ulas secara kritis adalah Allan Bloom,[19] Harvey Mansfield,[20] dan Judith Butler.[21] Perdebatan akademis lainnya adalah dengan tokoh-tokoh seperti John Rawls, Richard Posner, dan Susan Moller Okin.[22][23][24][25]

Pada Januari 2019, Nussbaum mengumumkan bahwa dia akan menggunakan sebagian dari Penghargaan Berggruen Prize-nya untuk mendanai serangkaian diskusi meja bundar tentang isu-isu kontroversial di University of Chicago Law School. Diskusi-diskusi ini akan dikenal sebagai Meja Bundar Mahasiswa Martha C. Nussbaum.[26][27]

Karya Utama sunting

The Fragility of Goodness sunting

The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy [28] menunjukkan dilema etika bahwa individu-individu yang sangat berkomitmen pada keadilan itu juga rentan terhadap faktor-faktor eksternal yang dapat sangat membahayakan atau bahkan meniadakan kemajuan kehidupan mereka. Dengan membahas teks-teks sastra dan juga filosofis, Nussbaum berusaha menentukan sejauh mana akal dapat memungkinkan orang untuk dapat berdiri sendiri. Dia akhirnya menolak gagasan Platonik bahwa kebaikan manusia dapat sepenuhnya melindunginya dari keadaan bahaya, dan berpihak pada dramawan tragis dan Aristoteles yang mengakui bahwa kerentanan merupakan kunci untuk mewujudkan kebaikan manusia.

Penafsirannya tentang Simposium Plato secara khusus menarik banyak perhatian. Dalam kesadaran Nussbaum akan kerentanan hidup manusia, masuknya kembali Alcibiades di akhir dialog melemahkan penjelasan Diotima tentang tangga cinta dalam pendakiannya menuju bentuk alam non-fisik. Kehadiran Alcibiades mengalihkan perhatian kembali kepada kecantikan fisik, gairah seksual, dan keterbatasan tubuh, sehingga menunjukkan kerapuhan manusia.

Karya ini membuat Nussbaum mendapatkan banyak perhatian di seluruh bidang humaniora. Karyanya mendapatkan pujian luas dalam ulasan-ulasan akademis,[29] Camille Paglia memuji karya Nussbaum, Fragility, sebagai karya yang sepadan dengan "standar akademik tertinggi" abad kedua puluh,[30] dan The Times Higher Education menyebutnya "karya ilmiah yang terpenting".[31] Reputasi Nussbaum membuatnya mempunyai pengaruh hingga ke media cetak dan ke dalam program televisi seperti Bill Moyers dari PBS.[32]

Cultivating Humanity sunting

Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education[33] menarik teks Yunani klasik sebagai dasar untuk mempertahankan dan mereformasi pendidikan liberal. Memperhatikan aspirasi filsuf sinisisme Yunani Diogenes untuk melampaui "asal-usul lokal dan keanggotaan kelompok" untuk menjadi "warga dunia", Nussbaum menelusuri perkembangan gagasan ini melalui Stoikisme, Cicero, dan akhirnya liberalisme klasik Adam Smith dan Immanuel Kant. Nussbaum memperjuangkan multikulturalisme dalam konteks universalisme etika, dan membela penyelidikan ilmiah tentang ras, gender, dan seksualitas manusia, dan selanjutnya mengembangkan peran sastra sebagai imajinasi naratif tentang pertanyaan-pertanyaan etika.

Pada saat yang sama, Nussbaum juga mengecam tren ilmiah tertentu. Dia mengecam dekonstruksionis Jacques Derrida: "sebenarnya [dia] tidak layak dipelajari bagi seseorang yang telah mempelajari Quine dan Putnam dan Davidson". Dia mengutip Zhang Longxi, yang menyebut analisis Derrida tentang budaya Tiongkok "merusak" dan tanpa "bukti studi serius".[33] Lebih luas lagi, Nussbaum mengkritik Michel Foucault karena "ketidaklengkapan historisnya [dan] kurangnya kejelasan konseptual", namun tetap memilihnya karena memberikan "satu-satunya karya yang benar-benar penting untuk memasuki filsafat di bawah panji 'postmodernisme.' [33] Nussbaum bahkan lebih kritis terhadap tokoh-tokoh seperti Allan Bloom, Roger Kimball, dan George Will atas apa yang dia anggap sebagai pengetahuan "lemah" mereka tentang budaya non-Barat dan deskripsi yang tidak akurat tentang departemen humaniora saat ini.

The New York Times memuji Cultivating Humanity sebagai "sebuah pembelaan multikulturalisme yang teliti dan penuh semangat" dan menyebutnya "pembelaan keragaman yang tangguh dan mungkin definitif di kampus-kampus Amerika".[34] Nussbaum menerima Penghargaan Grawemeyer Universitas Louisville 2002 dalam Pendidikan untuk karyanya Cultivating Humanity.[35]

Sex and Social Justice sunting

Dalam Sex and Social Justice, Nussbaum berpendapat bahwa seks dan seksualitas adalah perbedaan yang tidak relevan secara moral yang telah dipaksakan secara artifisial sebagai sumber hierarki sosial; dengan demikian, feminisme dan keadilan sosial mempunyai perhatian yang sama terhadap hal ini. Dengan menolak keberatan anti-universalis, Nussbaum mengusulkan kebebasan fungsional, atau kemampuan sentral manusia, sebagai hal yang mendasari keadilan sosial.[36][butuh klarifikasi]

Nussbaum membahas secara panjang lebar kritik feminis terhadap liberalisme itu sendiri, termasuk tuduhan yang dikemukakan oleh Alison Jaggar bahwa liberalisme menuntut etika egoisme. Nussbaum menyatakan bahwa liberalisme menekankan rasa hormat terhadap orang lain sebagai individu, dan selanjutnya berpendapat bahwa Jaggar telah menghilangkan perbedaan antara individualisme dan kemandirian manusia. Nussbaum menerima kritik Catharine MacKinnon tentang liberalisme yang abstrak, dengan menggabungkan arti-penting sejarah dengan konteks hierarki dan subordinasi kelompok, tetapi menyimpulkan bahwa seruan ini berakar pada liberalisme dibandingkan kritik terhadapnya.[37]

Nussbaum juga mengutuk praktik mutilasi alat kelamin perempuan, karena hal itu merampas fungsi normatif manusia dalam risikonya terhadap kesehatan, berdampak pada fungsi seksual, dan merupakan pelanggaran martabat, dan otonomi perempuan. Dia menekankan bahwa mutilasi alat kelamin perempuan dilakukan dengan kekerasan, tidak dapat diubah, sifatnya yang non-konsensual, dan kaitannya dengan sistem dominasi laki-laki. Nussbaum mendesak kelompok feminis untuk menjadikan mutilasi alat kelamin perempuan sebagai isu ketidakadilan.[38]

Nussbaum juga menyempurnakan konsep "objektifikasi ", seperti yang awalnya dikemukakan oleh Catharine MacKinnon dan Andrea Dworkin. Nussbaum mendefinisikannya sebagai gagasan yang memperlakukan perempuan sebagai objek dengan tujuh kualitas: instrumentalitas, penolakan otonomi, ketidakberdayaan, kesepadanan, pelanggaran, kepemilikan, dan penolakan subjektivitas. Karakterisasinya terhadap pornografi sebagai alat objektifikasi membuat ide Nussbaum bertentangan dengan feminisme positif seks. Pada saat yang sama, Nussbaum mendukung legalisasi prostitusi, sebuah posisi yang dia tegaskan dalam esai 2008 setelah skandal Spitzer. Dia menulis: "Gagasan bahwa kita harus menghukum wanita yang memiliki sedikit pilihan dengan menghapus salah satu dari pilihan yang mereka lakukan adalah hal yang aneh."[39]

Sex and Social Justice juga sangat dipuji oleh para kritikus di media. Salon menyatakan: "Dia menunjukkan dengan cemerlang bagaimana seks digunakan untuk menyangkal hak sebagian orang—yaitu, wanita dan pria gay—keadilan sosial."[40] The New York Times memuji karya tersebut "ditulis dengan elegan dan diperdebatkan dengan teliti".[41] Kathryn Trevenen memuji upaya Nussbaum untuk mengalihkan perhatian feminis ke upaya transnasional yang saling terkait, dan untuk menjelaskan seperangkat pedoman universal untuk menyusun agenda keadilan sosial.[42] Patrick Hopkins memuji bab "yang sangat bagus" Nussbaum tentang objektifikasi seksual.[43] Feminis radikal Andrea Dworkin mengkritik Nussbaum karena "intelektualisasi yang berlebihan secara konsisten tentang emosi, yang memiliki konsekuensi bahwa penderitaan dianggap sebagai kekejaman".[44]

Hiding from Humanity sunting

Hiding from Humanity[45] memperluas karya Nussbaum ke dalam bidang psikologi moral untuk menyelidiki argumen tentang dua emosi — rasa malu dan jijik —sebagai dasar yang sah untuk penilaian hukum. Nussbaum berpendapat bahwa individu cenderung menolak ketidaksempurnaan tubuh atau kebinatangan mereka melalui proyeksi ketakutan akan terkontaminasi. Respon kognitif ini dengan sendirinya tidak rasional, karena, menurutnya, kita tidak dapat melampaui kebinatangan tubuh kita. Dia mencatat bagaimana perasaan jijik secara proyektif telah membenarkan subordinasi kelompok (terutama wanita, orang-orang Yahudi, dan orang-orang homoseksual). Nussbaum akhirnya menolak perasaan jijik sebagai dasar penilaian yang dapat diandalkan.

 
Nussbaum pada tahun 2004

Beralih ke rasa malu, Nussbaum berpendapat bahwa rasa malu mempunyai target yang terlalu luas. Dia mencoba menanamkan penghinaan pada ruang lingkup yang terlalu mengganggu dan membatasi kebebasan manusia. Nussbaum memihak John Stuart Mill dalam mempersempit masalah hukum menjadi tindakan yang menyebabkan kerugian yang jelas dan dapat dialihkan.

Dalam sebuah wawancara dengan majalah Reason, Nussbaum menjelaskan:

Rasa jijik dan rasa malu pada dasarnya bersifat hierarkis; perasaan-perasaan ini mengatur struktur dan tatanan manusia, di samping juga secara inheren terkait dengan pembatasan kebebasan terhadap perilaku yang tidak berbahaya. Untuk kedua alasan ini, saya percaya, siapa pun yang menghargai nilai-nilai demokratis, kesetaraan dan kebebasan harus mempertanyakan seruan terhadap emosi-emosi itu dalam konteks hukum dan kebijakan publik.[46]

Karya Nussbaum ini juga mendapat pujian luas. The Boston Globe menyebut argumennya "jelas" dan memujinya sebagai "filsuf paling terkemuka di Amerika dalam kehidupan publik".[47] Ulasannya di surat kabar dan majalah nasional mendapat banyak pujian.[48] Di kalangan akademis, Stefanie A. Lindquist dari Vanderbilt University memuji analisis Nussbaum sebagai "risalah yang sangat luas dan bernuansa tentang interaksi antara emosi dengan hukum".[49]

Pengecualian yang penting adalah ulasan Roger Kimball yang diterbitkan dalam The New Criterion,[50] yang di dalamnya dia menuduh Nussbaum "memalsukan" rasa malu dan jijik yang umum dalam diskusi publik dan mengatakan dia bermaksud untuk "melemahkan kebijaksanaan moral yang diwariskan selama ribuan tahun." Kimball menegurnya karena "menghina pendapat orang biasa" dan akhirnya menuduh Nussbaum sendiri "bersembunyi dari kemanusiaan".

From Disgust to Humanity sunting

Dalam bukunya From Disgust to Humanity: Sexual Orientation and Constitutional Law[51] yang diterbitkan tahun 2010, Nussbaum menganalisis peran yang dimainkan perasaan jijik dalam hukum dan debat publik di Amerika Serikat.[52] Buku ini terutama menganalisis isu-isu hukum konstitusional yang dihadapi kelompok gay dan lesbian Amerika tetapi juga menganalisis isu-isu seperti undang-undang anti-perkawinan antar orang yang berbeda suku dan kebangsaan, segregasi, antisemitisme dan sistem kasta di India sebagai bagian dari tesis yang lebih luas mengenai "politik rasa jijik".

Nussbaum berpendapat bahwa motivasi mendasar dari mereka yang mengadvokasi pembatasan hukum terhadap kelompok gay dan lesbian Amerika adalah "politik perasaan jijik". Pembatasan hukum ini termasuk melarang orientasi seksual yang dilindungi di bawah undang-undang anti-diskriminasi (lihat Romer v. Evans), pengesahan undang-undang sodomi terhadap orang dewasa yang setuju (Lihat: Lawrence v. Texas), larangan konstitusional terhadap pernikahan sesama jenis (Lihat: California Proposition 8 (2008)) dan pernikahan antar ras. Nussbaum juga berpendapat bahwa larangan hukum terhadap hubungan seksual di luar nikah, masturbasi, hingga konsumsi alkohol dan perjudian dalam ruang privat atau di perkumpulan-perkumpulan privat merupakan bagian dari politik rasa jijik.[53]

Dia menghubungkan "politik rasa jijik" dengan Lord Devlin dan penentangannya yang terkenal terhadap laporan Wolfenden, sebuah laporan yang merekomendasikan dekriminalisasi tindakan homoseksual konsensual secara privat. Devlin mendasarkan penentangannya karena hal-hal itu "menjijikkan bagi kebanyakan pria". Bagi Devlin, fakta bahwa beberapa orang atau tindakan tertentu dapat menghasilkan reaksi emosi dan rasa jijik yang populer dapat memberikan panduan yang tepat dalam pembuatan undang-undang. Nussbaum juga mengidentifikasi 'kebijaksanaan rasa jijik' seperti yang dianjurkan oleh Leon Kass sebagai aliran pemikiran "politik rasa jijik" lainnya karena mengklaim bahwa rasa jijik "... adalah ekspresi emosional dari kebijaksanaan yang mendalam, di luar kekuatan akal untuk mengartikulasikannya".

Nussbaum selanjutnya secara eksplisit menentang konsep moralitas berbasis perasaan jijik sebagai panduan yang tepat untuk membuat undang-undang. Nussbaum menunjukkan bahwa rasa jijik yang populer telah digunakan sepanjang sejarah sebagai pembenaran untuk persekusi. Berdasarkan karyanya sebelumnya tentang hubungan antara rasa jijik dan malu, Nussbaum mencatat bahwa dalam sejarahnya, rasisme, antisemitisme, dan seksisme, semuanya didorong oleh perasaan jijik massa.[54]

Untuk menggantikan "politik rasa jijik" ini, Nussbaum mendukung prinsip kerugian dari John Stuart Mill sebagai dasar yang tepat untuk membatasi kebebasan individu. Nussbaum berpendapat bahwa prinsip kerugian, yang mendukung ide-ide hukum seperti persetujuan, usia mayoritas, dan privasi, melindungi warga negara, sedangkan "politik rasa jijik" hanyalah reaksi emosional yang tidak dapat diandalkan tanpa kebijaksanaan yang melekat padanya. Lebih lanjut, Nussbaum berargumen bahwa "politik rasa jijik" ini telah dan terus menyangkal kemanusiaan dan kesetaraan warga negara di hadapan hukum tanpa alasan yang rasional, dan menyebabkan kerugian sosial yang nyata bagi kelompok-kelompok yang terkena dampak.

From Disgust to Humanity mendapat pujian dari publikasi liberal Amerika,[55][56][57][58][59] dan menghasilkan wawancara di The New York Times dan majalah lainnya.[60][61] Salah satu majalah konservatif, The American Spectator, menawarkan pandangan yang berbeda, dengan menulis: "Uraian [Nussbaum] tentang 'politik rasa jijik' tidak memiliki koherensi, dan 'politik kemanusiaannya' telah mengkhianati dirinya sendiri dengan tidak memperlakukan mereka yang menentang gerakan hak-hak kelompok gay dengan lebih simpatik." Artikel tersebut juga berargumen bahwa buku tersebut dinodai oleh kesalahan faktual dan inkonsistensi.[62]

Penghargaan sunting

Gelar kehormatan sunting

Nussbaum mendapatkan 50 gelar kehormatan dari perguruan tinggi dan universitas di Amerika Utara, Eropa, Afrika, dan Asia, termasuk dari:[63][64]

Penghargaan sunting

Karya sunting

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ "Martha Nussbaum" Diarsipkan October 25, 2019, di Wayback Machine., University of Chicago, accessed June 5, 2012.
  2. ^ Aviv, Rachel (July 18, 2016). "The Philosopher of Feelings". The New Yorker (dalam bahasa Inggris). ISSN 0028-792X. Diarsipkan dari versi asli tanggal October 13, 2019. Diakses tanggal June 14, 2019. 
  3. ^ "Prof. Martha Nussbaum wins Kyoto Prize". June 17, 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal November 19, 2016. Diakses tanggal October 31, 2017. 
  4. ^ "Martha Nussbaum Wins $1 Million Berggruen Prize" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal October 25, 2019. Diakses tanggal October 30, 2018. 
  5. ^ "Martha C. Nussbaum | Holbergprisen". holbergprisen.no (dalam bahasa Bokmål Norwegia). Diakses tanggal March 5, 2021. 
  6. ^ McLemee, Scott. The Chronicle of Higher Education. "What Makes Martha Nussbaum Run?" Diarsipkan July 10, 2009, di Wayback Machine.
  7. ^ a b Boynton, Robert S. The New York Times Magazine. Who Needs Philosophy? A Profile of Martha Nussbaum Diarsipkan May 23, 2011, di Wayback Machine.
  8. ^ "The Philosopher of Feelings: Martha Nussbaum's far-reaching ideas illuminate the often ignored elements of human life – aging, inequality, and emotion". July 18, 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal October 13, 2019. 
  9. ^ Singer, Mark (April 8, 2019). "Tim Blake Nelson, Classics Nerd, Brings "Socrates" to the Stage". The New Yorker (dalam bahasa Inggris). ISSN 0028-792X. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 26, 2019. Diakses tanggal June 14, 2019. 
  10. ^ Cooper, Marylin. "Martha Nussbaum: The Philosopher Queen". Moment Magazine. Moment Magazine. Diarsipkan dari versi asli tanggal May 30, 2019. Diakses tanggal May 30, 2019. 
  11. ^ Nussbaum, Martha. Women and Human Development. New York: Cambridge University Press, 2000.
  12. ^ Nussbaum, Martha C. Poetic Justice: Literary Imagination and Public Life.
  13. ^ Nussbaum, Martha C. Hiding from Humanity: Shame, Disgust, and the Law.
  14. ^ The Stand Diarsipkan May 23, 2019, di Wayback Machine. by Daniel Mendelsohn, from Lingua Franca September 1996.
  15. ^ Who Needs Philosophy?: A profile of Martha Nussbaum Diarsipkan May 23, 2011, di Wayback Machine. by Robert Boynton from The New York Times Magazine, November 21, 1999
  16. ^ Martha C. Nussbaum. "Platonic Love and Colorado Law: The Relevance of Ancient Greek Norms to Modern Sexual Controversies" Diarsipkan March 9, 2020, di Wayback Machine., Virginia Law Review, Vol. 80, No. 7 (Oct. 1994), pp. 1515–1651.
  17. ^ George, Robert P. '"Shameless Acts" Revisited: Some Questions for Martha Nussbaum', Academic Questions 9 (Winter 1995–96), 24–42.
  18. ^ Martha C. Nussbaum (Spring 2008). "Violence on the Left". Dissent. Diarsipkan dari versi asli tanggal October 15, 2019. Diakses tanggal January 12, 2014. 
  19. ^ Martha C. Nussbaum, Undemocratic Vistas Diarsipkan August 15, 2016, di Wayback Machine., New York Review of Books, Volume 34, Number 17; November 5, 1987.
  20. ^ Martha C. Nussbaum, Man Overboard Diarsipkan May 29, 2019, di Wayback Machine., New Republic, June 22, 2006.
  21. ^ Martha Nussbaum, The Professor of Parody, The New Republic, February 22, 1999; Copy Diarsipkan August 3, 2007, di Wayback Machine.
  22. ^ What Makes Martha Nussbaum Run? Diarsipkan July 10, 2009, di Wayback Machine. (2001, Includes a timeline of her career, books and related controversies to that time.)
  23. ^ Patriotism and Cosmopolitanism Diarsipkan March 11, 2006, di Wayback Machine. a 1994 essay
  24. ^ The Clash Within: Democracy, Religious Violence, and India's Future, audio and video recording Diarsipkan October 1, 2011, di Wayback Machine. from the World Beyond the Headline Series Diarsipkan June 25, 2007, di Wayback Machine.
  25. ^ David Gordon, Cultivating Humanity, Martha Nussbaum and What Tower? What Babel? Diarsipkan October 20, 2011, di Wayback Machine., Mises Review, Winter 1997
  26. ^ "Prof. Martha Nussbaum endows student roundtables to support free expression". University of Chicago News (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal November 3, 2019. Diakses tanggal June 14, 2019. 
  27. ^ Weinberg, Justin (January 23, 2019). "Nussbaum Uses Berggruen Winnings to Fund Discussions on Challenging Issues". Daily Nous (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal May 12, 2019. Diakses tanggal June 14, 2019. 
  28. ^ Nussbaum, Martha C. The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy.
  29. ^ Knox, Bernard. "The Theater of Ethics". The New York Review of Books Diarsipkan April 28, 2009, di Wayback Machine.
  30. ^ Paglia, Camille. Sex, Art, & American Culture. NY: Vintage Books, 1991. pp. 206
  31. ^ Hodges, Lucy. And you may ask yourself... Diarsipkan April 3, 2012, di Wayback Machine.
  32. ^ "Shop PBS". September 9, 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 9, 2012. Diakses tanggal October 31, 2017. 
  33. ^ a b c Nussbaum, Martha C. Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education.
  34. ^ Shapiro, James.
  35. ^ "2002 - Martha Nussbaum". Grawemeyer Awards. Diakses tanggal 1 March 2022. 
  36. ^ Nussbaum, Martha C. Sex & Social Justice. New York: Oxford University Press, 1999. pp. 29–47.
  37. ^ Nussbaum, Martha C. Sex & Social Justice. New York: Oxford University Press, 1999. pp. 55–80.
  38. ^ Nussbaum, Martha C. Sex & Social Justice. New York: Oxford University Press, 1999. pp. 118–130.
  39. ^ Martha Nussbaum, "Trading on America's puritanical streak Diarsipkan March 17, 2008, di Wayback Machine.", The Atlanta Journal-Constitution, March 14, 2008
  40. ^ Maria Russo. "Rescuing the Feminist Book". salon.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal February 20, 2003. Diakses tanggal May 27, 2008. 
  41. ^ "Cultural Perversions". www.nytimes.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal November 7, 2017. Diakses tanggal October 31, 2017. 
  42. ^ Trevenen, Kathryn. "Global Feminism and the 'Problem' of Culture". Theory & Event 5.1 (2001).
  43. ^ Hopkins, Patrick D. "Sex and Social Justice". Hypatia 17.2 (2002): 171–173.
  44. ^ Dworkin, Andrea R. "Rape is not just another word for suffering". Times Higher Education. August 4, 2000.
  45. ^ Nussbaum, Martha C. Hiding from Humanity: Disgust, Shame, and the Law. Princeton, NJ: Princeton University Press, 2004.
  46. ^ "Discussing Disgust". Reason.com. 2004-07-15. Diarsipkan dari versi asli tanggal February 18, 2008. Diakses tanggal February 22, 2008. 
  47. ^ Wilson, John. You Stink therefore I am.The Boston Globe Diarsipkan March 4, 2016, di Wayback Machine.
  48. ^ "Philosopher warns us against using shame as punishment / Guilt can be creative, but the blame game is dangerous". SFGate. August 8, 2004. 
  49. ^ "Stefanie A. Lindquist's Review". Diarsipkan dari versi asli tanggal October 12, 2008. Diakses tanggal October 31, 2017. 
  50. ^ Kimball, Roger. The New Criterion.Does Shame have a Future? Diarsipkan February 3, 2008, di Wayback Machine.
  51. ^ "From Disgust to Humanity". oup.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal June 4, 2011. 
  52. ^ Nussbaum, Martha. Oxford University Press. "From Disgust to Humanity: Sexual Orientation and Constitutional Law" (2010)
  53. ^ Nussbaum, From Disgust to Humanity, 154–155.
  54. ^ Nussbaum, Martha C. (August 6, 2004). "Danger to Human Dignity: The Revival of Disgust and Shame in the Law". The Chronicle of Higher Education. Washington, DC. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 10, 2009. Diakses tanggal November 24, 2007. 
  55. ^ "San Francisco Book Review". Diarsipkan dari versi asli tanggal July 16, 2011. Diakses tanggal March 17, 2022. 
  56. ^ "Martha Nussbaum's From Disgust to Humanity". Slate Magazine. March 8, 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal November 26, 2010. Diakses tanggal December 4, 2010. 
  57. ^ "Martha Nussbaum's From Disgust to Humanity". Slate Magazine. March 8, 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal November 26, 2010. Diakses tanggal December 4, 2010. 
  58. ^ "Let's Be Rational About Sex". The American Prospect. February 28, 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal June 11, 2010. Diakses tanggal December 4, 2010. 
  59. ^ "San Francisco Chronicle Book Review". Diarsipkan dari versi asli tanggal March 8, 2012. Diakses tanggal October 31, 2017. 
  60. ^ Solomon, Deborah (December 10, 2009). "Gross National Politics". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal November 7, 2017. Diakses tanggal October 31, 2017. 
  61. ^ Smallwood, Christine (February 25, 2010). "Back Talk: Martha C. Nussbaum". The Nation. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2010. Diakses tanggal December 4, 2010. 
  62. ^ "The Politics of Humanity". The American Spectator. Diarsipkan dari versi asli tanggal December 4, 2010. 
  63. ^ University of Chicago Law School > Martha Nussbaum
  64. ^ Lawrence University > Martha Nussbaum: Liberal Education Crucial to Producing Democratic Societies
  65. ^ Foreign Policy: The Top 100 Public Intellectuals
  66. ^ "The Prospect/FP Global public intellectuals poll — results". Prospect. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-01-22. Diakses tanggal 2008-02-09. 
  67. ^ "Nussbaum Receives Prestigious Prize for Law and Philosophy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-06-10. Diakses tanggal 2014-07-31. 

Pranala luar sunting

Jabatan pendidikan
Didahului oleh:
Amartya Sen
Presiden Human Development and Capability Association
September 2006 – September 2008
Diteruskan oleh:
Frances Stewart

Templat:Etika Templat:Yurisprudensi