Maha Guru Manikmaya

Maha Guru Manikmaya atau Raja Maha Guru Manikmaya atau Sang Manikmaya adalah seorang Resi, rahib. pendeta atau Guruloka di Mandala Kendan. Mandala Kendan ini adalah cikal bakal Kerajaan kendan. Namanya sering disalahartikan dengan bataraguru Manik Maya dalam kisah pewayangan. Istilah atau sebutan Manikmaya ini dalam kehidupan masyarakat sunda sangat familir dan dikenal dari nama tokoh dewa didalam cerita Mahabarata. Sehingga banyak runtutan Kisah yang menghubungkan sejarah para leluhurnya dengan tokoh pewayangan.

Silsilah sunting

Resi Maha Guru Manikmaya berasal dari keluarga Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti: Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain. Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.

Resi Maha Guru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di Mandala Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.[1][2]

Kondisi Tatar Sunda sunting

Sebelum Sang Manikmaya tiba di Kendan, dipastikan daerah tersebut sudah ada kehidupan, sebagaimana ditemukannya gerabah yang diketahui berumur pada era sebelum tarikh masehi. Hal ini menjadi sangat masuk akal mengingat perkenalan Sang Manikmaya, pendiri Kendan dengan penguasa Tarumanara terjadi setelah ia berada di Kendan, dalam kapasitasnya sebagai resi.[3]

Mandala Kendan sunting

Mandala Kendan dikisahkan dalam Naskah Sunda Kuno (NSK) Carita Parahyangan:[4]

“Ti Inya carek Bagawat Resi Makandria: ‘Ai(ng) dek leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kendan.’

Datang Siya ka Kendan.

Carek Sang Resi Guru:’Na naha beja siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?’

‘Pun sampun, aya beja kami pun. Kami me(n)ta pirabieun pun, kena kami kapupudihan ku paksi Si Uwuruwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang heunteu dianak.

Carek Sang Resi Guru: ‘Leumpang siya ti heula ka batur siya deui. Anakaing, Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, pideungeuneun satapi satapa, anaking.’

(Carita Parahyangan, Drs.Aca dan Saleh Danasasmita, 1981)

Mandala mengandung pengertian “Kabuyutan” atau “Tanah suci”, segala hal, benda atau perbuatan yang dapat menodai kesuciannya harus dilarang atau dianggap “buyut”. Mandala kendan sekarang terletak di kecamatan Nagreg, diatas ketinggian 1200dpl, dengan luas wilayah (± 4.930,29 Ha),yang terbagi atas: hutan rakyat (± 907,37 ha) dan tanaman tahunan/perkebunan (± 1.727,54 ha).

Status ke-mandala-an kendan sudah dipangku jauh sejak kerajaan karesian kendan didirikan, daerah ini sangat dilindungi sebagai tempatnya para resi luhung ilmu seperti diterangkan dalam naskah carita parahyangan. Barulah kemudian tahun 512 M, yaitu pada masa raja Tarumanagara ke-9 Suryawarman, mandala kendan diberikan kepada seorang Resi yang bernama Manik Maya seorang penganut Hindu Siwa yang taat, atas penikahannya dengan seorang putri dari Maharaja yang bernama Tirta Kencana.

Daerah ini dianugerahkan sebagai sebuah hadiah pernikahan, diberikan lengkap dengan para prajuritnya. Sejak masa itu Mandala kendan menjadi sebuah kerajaan karesian dibawah perlindungan Maharaja Suryawarman, bukan sebagai sebuah kerajaan yang berada dibawah kekuasaan Tarumanagara tetapi satu mandala yang sangat dihormati bahkan dilindungi oleh raja-raja pada masa itu:

”Hawya Ta Sira Tinenget: janganlah ia ditolak, karena dia itu menantu maharaja, mesti dijadikan sahabat, lebih-lebih karena sang resiguru Kendan itu, seorang Brahmana yang ulung dan telah banyak berjasa terhadap agama. Siapapun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan”

Selanjutnya Kendan menjadi tempatnya para prajurit Tarumanegara untuk ditempa penyucian dan penggemblengan. Salah satu kitab yang terkenal yang disusun oleh Resiguru Manik Maya adalah Pustaka Ratuning Bala Sarewu, yaitu sebuah kitab yang berisi bagaimana caranya membangun sebuah negara dengan para prajuritnya yang sangat kuat. Dari mandala ini dilahirkan para Yudhapena atau panglima perang laut di Tarumanagara, salah satunya yaitu Raja Putra, Sang Baladhika Suraliman, putra pertama Resiguru Manik Maya. Kemudian kitab ini pula yang memandu Sanjaya keturunan ke-6 dari Kendan, dalam menyatukan kembali Sunda dan Galuh atas bimbingan Rabuyut Sawal (Masa Sanjaya adalah masa puncak kejayaan bersatunya kembali raja-raja di Jawa ). Berikut keterangan dalam naskah carita parahyangan terkait raja-raja di Kendan:

” Ndeh Nihen carita parahyangan. Sang Resiguru mangyuga Rajaputra. Miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan maneh Rahyangta Dewaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan maneh Rahyangta Ri Medangjati, inya sang Layuwatang. Nya nu nyieun Sanghyang Watang Ageung “

”ya, inilah kisah para leluhur. Sang Resiguru beranak Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati, sepasang kakak beradik. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi Rajaresi menamakan dirinya Rahyangta di Medangjati. Yaitu Sang Layungwatang. Dialah yang membangun balairung besar”.

Raja Kendan berstatus Rajaresi atau Raja sekaligus Resi. Raja pertamanya adalah Resiguru Manikmaya, atas pernikahanya dengan Tirta Kencana mempunyai anak bernama Suraliman, kemudian oleh kakeknya Maharaja Tarumanagara ia dianugerahi sebagai Yudhapena atau Panglima laut kerajaan Tarumanegara, ia kemudian menikah dengan Mutyasari seorang putri dari Kudungga, dari pernikahannya ia dianugerahi putra yang bernama Kandiawan yang kemudian di Rajaresikan di Kendan dan putri dengan nama Kandiawati. Kandiawan mempunyai beberapa orang anak yaitu Sang Mangukuhan, Sang Kangkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba dan Sang Wretikendayun, yang kemudian di Rajaresikan di Kendan.

Berdirinya Kerajaan kendan sunting

Resi Maha Guru Manikmaya berkuasa di Kerajaan Kendan sejak 458 Saka (536 M) sampai dengan 490 Saka (568 M). Pada waktu itu Kendan masih mendapat perlindungan dari Tarumanagara, karena dianggap wilayah Tarumanagara. Pendirian Kendan jika diurut kesejarahannya, bermula sebagai hadiah dari Suryawarman, raja Tarumanagara kepada Sang Resi. Pada saat Kendan didirikan, Tarumanagara ikut menyebarkan keberadaan Maha Guru Manikmaya keseluruh negara daerah yang ada diwilayah tersebut. Hal ini bertujuan agar diketahui bawahannya.

Pembentukan Kerajaan Kendan hampir sama halnya dengan kisah pembentukan Kerajaan Tarumanagara, semula berada di Wilayah Kerajaan Salakanagara, kemudian pendiri Tarumanagara, Sang Rajadirajaguru (Jayasingawarman) menikahi Minawati Iswati Tunggal Pertiwi, putri Dewawarman VIII. Dalam proses selanjutnya, disebut-sebut bahwa Salakanagara menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara, tetapi masih belum dapat diketahui, namun memang Tarumanagara pada akhirnya maju lebih pesat dibandingkan Salakanagara.

Mungkin juga jika Aki Tirem pada waktu itu jabatannya seorang raja, jalan cerita Salakanagara pun akan sama dengan cerita Tarumanagara dan Kendan. Karena Dewawarman I menikahi Dewi Pohaci, putri Aki Tirem, kemudian menjadi Raja dan Rajaresi di Wilayah yang ia terima sebagai hadiah dari raja yang sekaligus memproteksinya dari gangguan luar.

Suatu hal yang sulit dipahami jika pada periode selanjutnya Kerajaan Kendan melepaskan diri dari Kerajaan Tarumanagara. Karena Kendan tidak mungkin menjadi kerajaan yang utuh jika Suryawarman tidak menghadiahi Sang Manikmaya suatu daerah (Kendan) lengkap dengan rakyat dan tentaranya.

Pemberian hadiah ini bukan hanya sekadar warisan mertua kepada menantunya, melainkan suatu bentuk hadiah dari seorang sahabat kepada orang yang dianggap berjasa menyebarkan agama di Tarumanagara. Suryawarman juga menganggap Maha Guru Manikmaya adalah Brahmana ulung dan berjasa terhadap agama.

Para penerus Manikmaya sunting

Setelah Maha Guru Manikmaya meninggal, ia digantikan Sang Suraliman, putranya pada tahun 490 Saka (568 M). Sang Suraliman, lebih mahir berperang dan banyak waktunya diabdikan sebagai Senapati dan Panglima Tarumanagara, sehingga ia bergelar Baladhika ning widyabala. Sang Suralim berkuasa selama 29 tahun. Kemudian digantikan Sang Kandiawan, putranya.

Lain halnya dengan ayahnya, Sang Kandiawan lebih dikenal karena hidupnya minandita, ia bergelar Rajaresi Dewaraja. Sebelum menggantikan ayahnya ia menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana, sehingga ia bergelar Rahyangta ri Medang Jati. Namun sebagai raja Kendan ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan tetap di Medang Jati, mengingat di Kendan sudah dianggap terpengaruh oleh Siwaisme, sedangkan ia penyembah Wisnu, sehingga ia pun bergelar Batara Wisnu di Medang Jati.

Sang Kandiawan mempunyai lima orang putra, dan menjadikannya sebagai penguasa daerah yang berada di wilayah Kendan, yakni Mangukuhan di kuli-kuli ; Karungkalah di Surawulan, Katungmaralah di Peles Awi, Sandangreba di Rawunglangit, dan Wretikandayun didaerah Menir.

Berbeda dengan kisah tersebut, di dalam Naskah Carita Parahyangan, kelima anak Sang Kandiawan dibedakan karena profesinya, bukan karena diberikan daerah kekuasaan, yakni Mangukuhan menjadi peladang ; Karungkalah menjadi pemburu (panggerek) ; Katungmaralah menjadi penyadap ; Sandangreba menjadi pedagang ; sedangkan Wretikandayun menggantikan Sang Kandiawan menjadi penguasa Kendan. Menurut salah satu versi, pemberian nama profesi tersebut bukan yang sebenarnya, tetapi sebagai simbol.

Sang Kandiawan menduduki tahta Kendan selama 15 tahun, sejak tahun 597 Saka (612 M), kemudian ia mengundurkan diri untuk bertapa di Layuwatang (Kuningan), kemudian ia digantikan Wretikandayun, putra bungsunya.

Pertimbangan Sang Kandiawan menyerahkan kekuasaan Kendan kepada Wretikandayun tentunya membuahkan pertanyaan besar, karena ia bukan anak pertama, dalam tradisi raja-raja dahulu dianggap pihak yang paling berhak mewarisi tahta ayahnya. Pewarisan demikian sebenarnya tidak bias “digebyah uyah”, mengingat setiap orang ataupun komunitas memiliki ciri khas yang mandiri dan berbeda dengan yang lainnya.

Bisa saja pemilihan Wretikandayun berdasarkan pada tradisi Kendan karena ia lebih minandita dibandingkan dengan saudara-sudaranya lainnya yang lebih banyak memprioritaskan urusan yang bersifat keduniawian, atau kepanditaannya tersebut pada masa itu dianggap sebagai suatu bentuk keahlian yang cocok untuk memimpin Kendan. Alasan ini dapat juga ditenggarai dari sejarah keberadaan Kendan, yakni suatu wilayah Karesian yang dihadiahkan Suryawarman, raja Tarumanagara kepada Sangresi maha Guru Manikmaya. Namun untuk sekadar alasan, mungkin jawabannya dapat diketahui dari Carita Parahyangan, tentang lomba menombak Kebowulan.

Kisah penguasa Kendan pasca Wretikandayun sengaja tidak diuraikan lebih lanjut, mengingat masa tersebut Kendan sudah malih rupa (berubah) menjadi Galuh dan sudah tidak berada lagi diposisinya semula. Selain hal tersebut, dalam perkembangannya Galuh memiliki jalan sejarah yang khas dan hingar bingar dari perpaduan masalah politik kekuasaan dan pentaatan terhadap keyakinan raja-rajanya.

Tradisi penurunan tahta kepada anak bungsu bukan sesuatu yang dilarang didalam tradisi Kendan, karena Wretikandayun didalam episode Galuh mewariskan tahtanya kepada Amara (Mandiminyak), putra bungsunya. Namun memang timbul peristiwa Purbasora dan Sanjaya generasi pasca Wretikandayun. Peristiwa inipun tidak berhenti hanya pada satu generasi, karena jika ditelaah berbuntut pada peristiwa Manarah, yang dikenal dalam sejarah lisan sebagai Ciung Wanara.

Penyerahan tahta kepada anak bungsu raja terjadi pula pasca Manarah, yakni dalam peristiwa Manistri, atau dikenal dalam cerita Lutung Kasarung. Manarah menyerahkan kekuasaannya kepada Purbasari, sedang Purbasari masih memiliki kakak perempuan lainnya, antara lain Purbalarang. Ceritapun berbuntut pada kisah rebutan kekuasaan. Berkat bantuan Sang Lutung (Manistri) akhirnya Purbasari dapat memperoleh kekuasaannya.

Artefak yang Belum Diteliti sunting

Informasi terakhir adalah ditemukannya Mahkota Raja Maha Guru Manikmaya. Menurut Nandang Rusnandar, Peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung, mahkota itu hingga sekarang belum pernah diteliti oleh pihaknya. Namun, pada 2007 lalu ia sempat melihat bahkan mengenakan mahkota itu dikepalanya.

Referensi sunting

  1. ^ Wangsakerta, Pangeran. 1680 Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantra. Parwa II, Sarga 4. Naskah Milik Museum Negeri Jawa arat.
  2. ^ "Manikmaya / Sang Resiguru Manikmaya - Индекс потомака - Родовид". sr.rodovid.org (dalam bahasa Serbia). Diakses tanggal 2018-04-03. 
  3. ^ "PENDIRI KERAJAAN KENDAN". Wilujeng Sumping di Website KPM "Galuh Rahayu". 2010-12-02. Diakses tanggal 2018-04-03. 
  4. ^ Atja dan Drs. Saleh Danasasmita, Drs.1981 b Carita Parahyangan (Transkripsi, Terjemahan, dan Catatan). Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat

Lihat Juga sunting