Lembaga Sensor Film (LSF) adalah sebuah lembaga nonstruktural yang bertugas menetapkan status edar film bioskop, film televisi, sinetron, acara televisi dan iklan di Indonesia. Sebuah film atau acara televisi hanya dapat diedarkan jika dinyatakan "lulus sensor" oleh LSF. LSF juga mempunyai hak yang sama terhadap reklame-reklame film, misalnya poster film. Selain tanda lulus sensor, lembaga sensor film juga menetapkan penggolongan usia penonton bagi film yang bersangkutan.

Lembaga Sensor Film
LSF
Gambaran umum
SingkatanLSF
Dasar hukum pendirianUU Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman dan PP Nomor 18 Tahun 2014
SifatNon-struktural
Lembaga sebelumnyaBadan Sensor Film
Kementerian atau lembaga terkaitKementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Struktur
KetuaRommy Fibri Hardiyanto
Wakil KetuaErvan Ismail
Kantor pusat
Jl. M.T. Haryono Kavling 47-48, Jakarta Selatan 12770
Situs web
http://www.lsf.go.id/
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Sebelum 1994, LSF bernama Badan Sensor Film.

Sejarah

Masa penjajahan dan awal kemerdekaan

Sensor film di Indonesia hampir sama tuanya dengan keberadaan film di Indonesia yang dimulai pada tahun 1900-an. Berbagai konten yang dianggap tidak layak disaksikan oleh penonton kaum pribumi yang dikhawatirkan merugikan pemerintahan kolonial Belanda mulai meningkatkan kepentingan sensor film. Sejak mulai beroperasinya Nederlandsche Bioscope Maatschappij (Perusahaan Bioskop Belanda), peraturan sensor film dibuat enam tahun kemudian. Sejalan dengan perkembangan tonil, bioskop makin menancapkan jejaknya dan membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda. Peraturan yang dibuat dan diterapkan secara longgar oleh pemerintah kolonial, mengakibatkan banyak orang yang menganggap bioskop telah membawa pengaruh buruk bagi rakyat pribumi, termasuk mengubah pandangan inlander terhadap tuan-tuan kulit putih yang berkuasa.

Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan ordonansi pada tahun 1916 yang mengatur tentang film dan cara penyelenggaraan usaha bioskop atau ”gambar idoep”. Ordonansi tersebut menubuhkan sebuah lembaga yang bernama Commissie voor de Kuering van Films (Komisi Pemeriksa Film, KPF). Sebagaimana disebutkan dalam Film Ordonantie No. 276, sistem penyensoran dilakukan pada pra-produksi (melalui deskripsi film), tetapi jika dianggap perlu, film dipertunjukkan kepada KPF. Akibat kesadaran pengaruh buruk film dan bioskop, terutama yang dalam kacamata pemerintah kolonial yang dianggap menyerang kewibawaan mereka secara psikologis, Ordonansi 1916 pun berkali-kali mengalami pembaharuan sebagaimana yang tertera dalam Lembaran Negara No.377 (1919), No.688 (1919), dan No.742 (1922).

Pada tahun 1942, pemerintahan Hindia Belanda menyerah kepada tentara pendudukan Jepang. Hal ini mengakibatkan pembubaran Film Commissie dari pemerintahan Hindia Belanda. Namun, sensor film berlanjut di bawah Dinas Propaganda Tentara Pendudukan Jepang, Sendenbu Eiga Haikyusha (Peredaran Film), pada bulan Desember 1942.

Pasca pendudukan Jepang, kegiatan penyensoran film berjalan secara tidak pasti. Lembaga penyensoran film tidak terlaksana selama 1945-1946. Pada tahun 1948, Film Ordonnantie tahun 1940 kembali diberlakukan dengan lebih disempurnakan dan dimuat dalam Staadblad No. 155 yang menyatakan bahwa urusan pengawasan film dilakukan oleh Panitia Pengawas Film (PPF) di bawah Directeur van Binnenlandsche Bestuur di wilayah Belanda. Sedangkan kawasan pemerintahan RI, khususnya di Yogyakarta, Dewan Pertahanan Nasional menerbitkan surat keputusan dan membentuk Badan Pemeriksaan Film yang diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Menteri Penerangan RI.

Pada tahun 1951, pemerintah menetapkan film memiliki aspek pendidikan dan budaya. Oleh karena itu, PPF dipindah menjadi berada di bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Ketentuan tersebut dimuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1951 tentang Penyerahan Urusan Penilikan Pilem dari Kementerian Dalam Negeri Kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Penyerahan tersebut mulai diberlakukan pada tanggal 20 November 1951.

Melalui Instruksi Presiden No. 012/ 1964, urusan film dialihkan dari Kementerian PP dan K kepada Kementerian Penerangan. Sejauh menyangkut PPF, pada tanggal 21 Mei 1965 ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 46/SK/M/1965 yang mengatur penyelenggaraan penyensoran film di Indonesia melalui suatu lembaga yang bernama Badan Sensor Film (BSF). Adapun fungsi dan tugas BSF tetap menitikberatkan pada upaya menghindarkan masyarakat dari pengaruh buruk film, dan memperjelas eksistensi dan fungsi film untuk turut memantapkan program nation and character building.

Masa Orde Baru

Memasuki awal dasawarsa 1990-an, keinginan sebagian besar masyarakat agar dibenarkan adanya beberapa stasiun televisi swasta untuk mendampingi TVRI semakin tidak terbendung lagi. Berita tentang beberapa stasiun televisi swasta yang akan memperoleh izin semakin santer. Untuk mengantipasi segala kemungkinan, mulailah digiatkan persiapan dan penyelenggaraan jajak pendapat tentang perlunya undang-undang tentang perfilman. Pada tanggal 30 Maret 1992 ditetapkanlah Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1992, dinyatakan bahwa sensor film adalah "penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu".

Pasca-Reformasi

Memasuki era teknologi informasi, teknologi di bidang film turut berubah seiring dengan perkembangan zaman. Film yang sebelumnya hanya dapat direkam pada pita seluloid melalui kamera mekanik, kini sudah dapat direkam dengan sangat efektif dan efisien melalui kamera digital. Stasiun televisi pun tumbuh subur (beberapa di antaranya berkembang menjadi jaringan televisi), berlomba menampilkan aneka acara yang menarik perhatian pemiarsa di tanah air. Sebagai respon atas dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada tahun 2009 pemerintah memperbarui undang-undang perfilman dengan melahirkan Undang-undang No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman. Sesuai dengan amanat UU Perfilman 2009, LSF senantiasa mengedepankan prinsip dialog dalam menjalankan penyensoran. Bahkan LSF sangat membuka ruang konsultasi pra-sensor bagi kreator yang hendak mendiskusikan filmnya. Dialog pra-sensor sudah berjalan secara efektif, yang pada akhirnya ketika film disensorkan sudah bersih dari konten yang tidak diperkenankan oleh undang-undang.

Lihat juga

Pranala luar