Konfederasi Tarya We

Konfederasi Tarya We adalah kumpulan beberapa kampung Kamoro di pesisir barat Mimika yang bergabung dibawah pimpinan Naowa, yang kemudian mendapat gelar Raja dari Raja Namatota Lamora dan memerintah dari Kipia.

Konfederasi Tarya We

Tarya We
1900-an
Ibu kotaKipia
Bahasa yang umum digunakanKamoro
Agama
Islam Sunni dan animisme
Raja 
• 1900–tidak diketahui
Naowa
Sejarah 
• Didirikan
1900-an
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Asal-usul sunting

Kampung-kampung di pesisir barat Mimika, tidak memiliki akses yang baik dengan sagu karena hutan yang menyusut. Kampung-kampung tersebut adalah Poraoka, Kipia, Maparpe, Wumuka, Umar (dibawah mayor), dan Aindua. Sehingga kampung-kampung tersebut bekerja sama untuk mendapatkan akses sagu dari kampung disebelah timur mereka ke bawah sampai Impiri dan Yaraya. Terkadang dengan menukar kapal kano maupun dengan intimidasi dan unjuk kekuatan. Walaupun Tarya We kekurangan akses akan sagu dan populasi yang relatif kecil, posisi strategisnya di Teluk Etna memudahkan akses akan perdagangan untuk peralatan besi, kain, dan ornamen tubuh. Kekurangan akan jumlah pasukan bisa dibantu dengan senjata api. Sebuah pantai di Yaraya, dikenal dengan nama Minaki Tiri (pantai senapan) karena diserang oleh rombongan serangan Naowa.[1]

Sejarah sunting

Sekitar abad ke-18, sudah ada perdagangan yang menghubungkan daerah barat Kamoro dengan Semenanjung Onin di bagian utara dimana pesisir Mimika berada di wilayah ujung hubungan ini. Begitu pula dengan hubungan perdagangan antara pesisir Mimika dan kepulauan Maluku terutama Aru dan Seram. Sehingga kerajaan-kerajaan Maluku memberikan gelar-gelar kepada penduduk lokal Papua yang memiliki posisi penting di jalur perdagangan ini.

Menurut cerita Amoko-kwere dari Poraoka,[Ctt. 1][2] ada dua orang bernama Kapu dan Katima yang sedang memancing ikan hiu todak dengan pomo (tombak) akan tetapi ikan tersebut belum mati dan kabur jauh ke laut. Mereka mengejarnya dengan ikut mendayung kano mereka sampai tersesat. Mereka memotong tali yang mengikat ikan tersebut dengan tai (kapak) dan berusaha untuk kembali ke darat. Mereka berusaha mendayung tetapi tangan mereka letih sehingga mereka beristirahat sejenak. Akan tetapi kimiri makemari (angin utara) datang dari asal mereka dan membawa mereka semakin jauh dari pantai. Akhirnya mereka mendarat di pulau Aru dekat Naku, dimana mereka bertemu dengan orang Naku (Terani-tia[Ctt. 2]). Lalu mereka tidur sampai pagi hari. Di pagi harinya mereka meninggalkan kano miliknya dan menaiki kano milik orang asing (ku Tenatia dalam hal ini Aru), lalu menggunakan angin barat kimiri tarakana membawa mereka ke Poraoka.

Mereka mendarat di emare (tanjung) tetapi penduduk Poraoka tidak ada di pantai melainkan di wamu (pedalaman). Kapu dan Katima lalu membunyikan mamoka (gong) dan minaki (senapan) untuk memanggil kampungnya tetapi tidak terdengar karena mereka berada di pukare (pegunungan). Mereka lalu memanggil anjing bernama Ewara, mereka mengikatkan piki (kain) pada lehernya dan kapaki (tembakau). Lalu anjing tersebut pergi ke pedalaman. Kemudian mereka pergi lagi setelah kapokay (layar) kapal dinaikan, dan kali ini mendarat dekat Kipia. Di Kipia tinggal seorang tua (perapoka, orang dengan janggut abu-abu) dengan nama Nauwe, anak dari Ipi, dan memberikan surat kepadanya yang menyatakannya Kapara (kepala kampung).

Anjing yang mereka lepas membawa penduduk pedalaman ke pesisir, melihat tembakau pada anjing tersebut mereka berteriak "kedua orang tak dikenal ini milik kita", lalu penduduk mereka pergi lagi dari Kipia dan akhirnya menetap di lokasi dekat Poraoka. Orang asing tersebut lalu menyewakan utani kapak dan pergi ke pedalaman untuk mencari kayu mesoyi. Lalu mereka menukar kayu mesoyi dengan kapak tai dan sarung paruni. Lalu mereka semua pergi di kapal, kedua orang tersebut berjabat tangan dengan orang asing tersebut, mengatakan kita adalah orang peralatan katia-tia sedangkan kalian orang kayu mesoyi. Kapu dan Katima lalu menetap di Naku dan menjadi orang asing (Tena[Ctt. 3]).

Nauwa terkenal dengan kemampuan berperangnya dan meneror wilayah pesisir Mimika. Walau begitu ia memiliki hubungan yang baik dengan Moi, Raja Namatota karena ayahnya (Lamora) memberikan gelar Raja Kipia pertama kepadanya. Akhir abad ke 19, Kipia menjadi pusat perdagangan pesisir Mimika akan peralatan besi, tembakau, dan pakaian. Sedangkan Kampung Tipuka, Atuka, dan Koperapoka di sebelah Timur Mimika berdagang wanita dan anak-anak tahanan perang (manuku) kepada Naowa maupun pedagang Teluk Etna lainnya. Seluruh keluarga terutama asal Mimika timur akan pergi ke Kipia untuk berdagang. Komunitas pesisir Mimika timur yang lebih kuat seperti Tipuka dan Atuka juga bertukar dengan Nauwa atau perwakilannnya di Kipia. Tipuka terutama berdagang dengan tawanan perang dari Nawaripi. Dalam mengatur wilayahnya Nauwa juga mengikuti tradisi dari Namatota seperti memberikan gelar raja, mayor, kapitan, hakim, dan orang tua.

Nauwa dan pasukannya terkenal kejam terkadang menyerang penduduk desa Mimika timur yang akan berdagang, menculik para penduduk tersebut atau mencuri barang yang akan ditukar. Tindakan Nauwa menyebabkan banyak penduduk Mimika barat dan tengah, dari Uta sampai Kokonao untuk kabur sementara ke Timur dimana mereka mengungsi di daerah Sungai Wania karena penghianatan Nauwa yang menyerang saat upacara rekonsiliasi. Peperangan antar kampung di barat dan tengah Mimika cukup umum zaman Nauwa, Perang Tipuka cukup merubah susunan politik di timur Mimika, dimana komunitas Nawaripi yang berasal dari area Koperapoka memimpin penyerangan kemungkinan atas balasan penculikan oleh Tipuka untuk berdagang. Komunitas Kamoro lain seperti Mware, Pigapu, Hiripau, dan Miyoko ikut pula berpartisipasi. Penyerangan ini mengakibatkan kehancuran Tipuka dan tersebarnya komunitas Tipuka sampai ke wilayah barat sampai ke Arguni.[2]

Hubungan dagang dan proses Islamisasi di wilayah Mimika barat melalui Konfederasi Tarya We, lambat laun berakhir dengan semakin kuatnya kolonialisme Belanda, misionaris Katolik, dan mulai masuknya pedagang asal Tiongkok. Walaupun di tahun 1950-an beberapa peninggalan kultural masih ada berupa gelar-gelar Maluku, penggunaan ikat kepala berbentuk sorban dan tidak mengkonsumsi daging babi.[3]

Catatan sunting

  1. ^ Cerita amoko-kwere ini oleh Maramuku yang berasal dari Poraoka, saat itu berumur 50an, lahir di tahun 1880an.
  2. ^ Terani disini berarti Seram kemungkinan narator tertukar dengan Aru.
  3. ^ Tena disini berarti asing, berasal dari Tjina atau Cina.

Referensi sunting