Klobotisme merupakan suatu istilah sarkasme yang menunjuk kepada sekelompok akademikus yang cuma meramaikan hal-hal di luar dunia akademi tanpa melihat kembali idealisme dan atau kepentingan akademi di dalam kinerjanya atau kosong tanpa arti sehingga dianggap seperti kertas rokok klobot yang apabila diremas hanya bersuara berisik.[1][2]

Kumpulan klobot (kulit jagung). Klobotisme digambarkan seperti ketika sedang meremas kulit jagung yang ringan dan berisik

Etimologi sunting

Klobotisme merupakan istilah yang dicetuskan oleh Soetjipto Wirosardjono pada 1986 di dalam tulisannya di harian Kompas. Istilah ini diangkat kembali oleh Prof. Heru Nugroho, Ph.D di dalam sidang pengukuhan guru besar sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) di mana klobotisme dijabarkan sebagai "klobotisme bagian dari banalisme intelektual atau fenomena pendangkalan intelektual yang tidak disadari, disertai menurunnya kualitas akademik dan komitmen bidang ilmu". Selain itu, klobotisme juga menggambarkan para intelektual yang saat ini layaknya orang pesta klobot. Selain bicara di televisi dan media tanpa data dan konsep jelas, semua mengklaim menjadi pengamat (politik) terlepas apapun disiplin ilmunya.[1] "Yang terjadi bukan diskursus, tidak lebih dari sekadar pergunjingan seperti acara sinetron, talk show dan infotainment, yang seolah-olah semua masalah akan berakhir sejalan berakhirnya tayangan televisi" tambahnya.[1] Selain itu, Akibatnya lanjut Heru, kritik-kritik akademisi yang dilontarkan kurang memiliki kekuatan emansipatoris karena para akademisi yang mengkritik bertujuan menjadi bagian yang dikritik. Pengkritik itu kemudian mendapat julukan 'ahli' untuk selanjutnya ditarik menjadi menteri, wakil menteri atau staf ahli dan jabatan yang lain. "Itu semua tidak menghasilkan apa pun secara akademik kecuali realisasi hasrat kuasa pragmatis. Akademisi bahkan jadi aktor menerapkan kebijakan pemerintah yang mengorbankan rakyat kecil," tegasnya.[2]

Heru mencontohkan, macam-macam atribut dan profesi yang disandang oleh akademisi tipe "asongan" seperti staf ahli, staf khusus, konsultan, direktur, deputi, konsultan lembaga donor internasional dan sebagainya menjadikan mereka tidak lagi menjadi intelektual kampus. Namun hanya menggunakan alat-alat akademik demi kepentingan ekonomi politik mereka. Intelektual tipe tersebut pada akhirnya bukan memberikan eksplanasi kritis-reflektif. Tetapi justru membela mati-matian secara defensif pihak yang memberinya posisi.[2]

Referensi sunting

  1. ^ a b c "Akademisi Mati di Lumbung Pengetahuan". Pikiran Rakyat. 2012-02-14. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-10-28. Diakses tanggal 2017-10-27. 
  2. ^ a b c "Sosiolog UGM : Awas, Banyak Dosen Jadi 'Pengasong'". detiknews. Diakses tanggal 2017-10-27.