Kertajaya
Sri Maharaja Srengga atau dikenal sebagai Kertajaya dalam kitab Pararaton disebut juga dengan Dhandhang Gendhis meninggal pada tahun 1222, adalah raja terakhir dari Kerajaan Panjalu yang memerintah sekitar tahun (1188–1222). Di akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah sebagai dewa. Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok atau Sri Ranggah Rajasa dari Tumapel, yang menandai berakhirnya masa kerajaan Panjalu.[1]
Kertajaya | |
---|---|
Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srengga Lancana Digjaya Uttunggadewa | |
Raja Panjalu terakhir | |
Berkuasa | 1194–1222 M |
Pendahulu | Kameswara |
Kelahiran | Daha Jawa Timur |
Kematian | 1222 Pertempuran Ganter, Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur |
Keturunan | Jayasabha (menurut kitab Nagarakretagama |
Wangsa | Isyana |
Agama | Hindu |
Sejarah
suntingDalam bahasa Sanskerta, Kṛtajaya berarti कृत krta (kemakmuran) dan जय jaya (kemenangan). Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahannya dapat diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya yang digunakan ialah Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srengga Lancana Digjaya Uttunggadewa.
Bukti kesejarahan keberadaan raja Kertajaya antara lain ditemukan dalam prasasti Sapu Angin (1190), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Mleri II (1198), Prasasti Galunggung (1201), prasasti Biri (1202), prasasti Tuliskriyo (1202), prasasti Sumberingin (1204), prasasti Lawadan (1205), prasasti Cemandi (1205) dan prasasti Merjosari (1216).
Kertajaya merupakan tokoh nyata selain namanya termuat di dalam prasasti juga disebutkan di kakawin Nagarakretagama karya pujangga masa Majapahit bernama Mpu Prapanca, yang dibuat ratusan tahun setelah zaman Kadiri.
Pemberontakan Ken Arok
suntingDalam Kitab Pararaton Maharaja Kertajaya disebut juga dengan nama Prabu Dhandhang Gendhis, dikisahkan di akhir masa pemerintahannya kondisi kestabilan sosial kerajaan Kadiri mulai menurun. Kondisi ini disebabkan kese-wenang-wenangan dari sang raja Kertajaya terhadap golongan pendeta, kese-wenang-wenangan Kertajaya yang berlaku otoriter terhadap para pendeta tersebut dikisahkan dalam Kitab Tantu Panggelaran, di dalam Tantu Panggelaran raja Kṛtajaya disebut dengan Śrī Mahārāja Taki.
"Ana ta sira ratu siniwing Daha, anak atuhā de haji Bhathati, Śrī Mahārāja Taki ngaranira. Sira ta siniwi ring Daha"...
(Pigeaud, 1924:112)
Terjemahan: (Adalah raja dihormati di Daha, anak tertua raja Bhathati, Śrī Mahārāja Taki namanya. Dia dihormati di Daha"...)
Dalam bagian ke VII dalam kitab Tantu Panggelaran dikisahkan bahwa Sri Maharaja Taki hendak berkeinginan untuk membunuh pendeta sakti yang bernama Pu Bharang.
"Ya ta matus ri sang sogata kalih sanak, mangaran sirā Pu Tapa-Wangkeng mwang Pu Tapa-palet. Kalih pada kinon de sang prabhu hamkahana sirā Pu Bharang"...
(Pigeaud, 1924:112)
Terjemahan: (Maka diutuslah dua orang pendeta Buddha bersaudara bernama Pu Tapa-Wangkeng dan Pu Tapa-Palet. Keduanya disuruh oleh sang Prabhu supaya membunuh Pu Bharang"...)
Turut diceritakan dalam teks naskah Pararaton bahwa sang raja bermaksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Sang prabu menyatakan keinginannya untuk disembah selayaknya dewa. Permintaan Prabu Dhandhang Gendhis ini tentunya menimbulkan pertentangan juga perlawanan dari para pendeta maupun kaum Brahmana Hindu dan Buddha. Meskipun Prabu Dhandhang Gendhis unjuk kesaktian dengan duduk bersila di atas sebatang tombak tajam yang berdiri. Beberapa orang yang tak mau mengakui kedewaan Kertajaya lantas terpaksa harus disiksa dengan kejam. Sementara bagi yang mengakui kedewaannya akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.
[15]... Katuwon panduluring widhi sang ratu ring Daha siraji Ḍangḍang gěṇḍis angan dika ring parabhujangga sahaneng Daha, lingira: E, ki para bhujangga çewa-sogata, paran sangkanira nora aněmbah ring ingsun, apan ingsun sakṣat bhaṭâra Guru.” Sumahur parabhujangga sakapasuking naga-reng Kaḍiri: Pukulun tan wontěn ing kinakina bhujangga aněm-
[20]... bahi ratu.”Mangkana lingira bhujangga kabeh. Lingiraji Ḍangḍang gěṇḍis: Lah manawa kang ring kuna nora aněmbah, kang mangko sunwehi pangawyakti.” Mangke ta siraji Ḍangḍang gěṇḍis angaděgakěn tumbak, laṇḍeyanipun tinañcěbakěn ring lěmah, sira ta alinggih, ring pucuking tumbak, tur angandika: ,, Lah pa-
[10]... rabhujangga dělěngěn kaçaktiningsun.”Sira ta katon acaturbhuja, atrinayana, sakṣat bhaṭâra Guru rupanira, winidhi aněmbaha parabhujangga sakapasuking Daha, sama tan harěp aněmbaha tur
měrsah paḍa angungsi maring Tumapěl asewaka ring ken Angrok...
(Brandes, 1920:18; Padmapuspita, 1966:21-21; dan Kasdi, 2008:54).
Terjemahan:
(Kebetulan dengan kehendak Dewata sang prabu Dhandhang Gendhis,
raja di Daha bertanya kepada para pendeta yang menghadap di Daha:
“Hai, para pendeta Śiwa-Buddha, mengapa kalian tidak menyembah
kepadaku, karena aku adalah (bagai) Bhaṭāra Guru”. Menjawablah semua
pendeta-pendeta semua (seluruh) pendeta yang berdiam di Kaḍiri:
“Tuanku, dari (zaman) dulu tak ada pendeta menyembah (kepada) raja”.
Demikianlah kata para pendeta semua. Berkatalah Dhandhang Gendhis:
“Kalau zaman dahulu tak ada yang menyembah, sekarang kalian harus
menyembah kepadaku, kalau kalian tidak tahu akan kesaktianku, maka
sekarang aku berikan buktinya”. Maka raja Dhandhang Gendhis
memasang sebuah tombak dengan tangkainya (hulu) ditancapkan
kedalam tanah, dia duduk diatas ujung tombak dan berkata: “Hai, para
pendeta, lihat kesaktianku!”. Maka dia tampak bertangan 4, bermata 3,
rupanya seperti Bhaṭāra Guru. Para pendeta di seluruh Daha dipaksa
menyembahnya, mereka tidak mau menyembah mereka mengungsi ke
Tumapěl dan menghadap (menghamba) kepada Ken Angrok"...)
(Hardjowardojo, 1965:29-30; Komandoko, 2008b:33; Kriswanto, 2009:51-53).
Kaum Brahmana dan para pendeta yang ketakutan mereka memilih menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota Dahanapura, dan karena kelaliman serta perilakunya itu membuat Kertajaya terus mendapat penolakan dari para kaum Brahmana. kaum Brahmana dan pendeta memilih meninggalkan ibu kota kerajaan sambil menceritakan tentang kesesatan maharaja Kertajaya kepada seluruh rakyat kerajaan yang ditemuinya. Kaum Brahmana dan para pendeta meminta perlindungan dari wilayah Tumapel (Malang) yang saat itu dibawah kepemimpinan Ken Arok. mereka memilih berlindung kepada Ken Angrok, bawahan Dhandhang Gendhis yang menjadi akuwu (saat ini jabatan setingkat camat) di wilayah Tumapel. Atas dukungan para Brahmana, Ken Arok lalu mengangkat dirinya menjadi raja dan menyatakan wilayah Tumapel sebagai kerajaan merdeka, lepas dari Panjalu.
Mengetahui hal ini, Kertajaya lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Dhandhang Gendhis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain dewa Siwa) dan bergerak memimpin pasukan untuk menyerang Panjalu.
Pertempuran Ganter
suntingPasukan Tumapel yang dipimpin Ken Angrok dengan dukungan dari kaum Brahmana melakukan serangan terhadap Panjalu. Kedua pasukan tersebut kemudian bertemu di dekat Ganter, wilayah timur Kadiri.
Perang antara Tumapel dan Panjalu terjadi dengan begitu sengit di dekat wilayah Ganter (sekarang Dusun Ganten, Ngantang, Malang). Para panglima perang Panjalu yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik menuju kahyangan.
Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita akan kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (alam tempat dewa).
Kedua naskah tersebut memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kemungkinan yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau Kertajaya tewas dan pergi ke alam dewa.
Kadiri menjadi bawahan Tumapel
suntingSejak kekalahan Kertajaya dalam pertempuran Ganter (palagan Ganter), pada tahun 1222 Panjalu menjadi daerah bawahan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai adipati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang yang menjadi adipati Gelanggelang. Pada tahun 1292 Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel yang juga dikenal dengan Singhasari.
Menurut keterangan yang didapat di dalam prasasti Mula Malurung (1255 M), menyebutkan kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Sementara Jayakatwang menurut prasasti Penanggungan adalah adipati Gelang-Gelang (Madiun-Ponorogo), yang kemudian menjadi raja Kadiri setelah menghancurkan Tumapel atau Singhasari di tahun 1292.
Daftar pustaka
sunting- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
- Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Didahului oleh: Sri Kameswara |
Raja Kadiri 1185—1222 |
Diteruskan oleh: Jayakatwang |