Kekebalan diplomatik

Kekebalan diplomatik (Diplomatic immunity) adalah jenis kekebalan hukum yang memastikan bahwa seorang diplomat dapat bertugas dengan aman dan tidak dapat dituntut atau ditangkap oleh aparat negara di tempat ia bertugas. Kekebalan diplomatik modern telah dikodifikasi sebagai hukum internasional di dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (1961) yang telah diratifikasi oleh hampir semua negara, walaupun konsep dan kebiasaan yang memberikan kekebalan diplomatik sudah ada selama ribuan tahun. Banyak asas kekebalan diplomatik yang kini dianggap sebagai kebiasaan internasional. Kekebalan diplomatik memungkinkan pembentukan hubungan antar pemerintahan, termasuk pada masa-masa sulit seperti perang.

Paspor Diplomatik adalah dokumen yang memberi kewenangan lebih kepada seorang Diplomat untuk menjalankan tugas negaranya secara internasional

Apabila suatu negara ingin menangkap seorang diplomat yang dianggap telah melakukan kejahatan serius, mereka dapat meminta negara asal diplomat tersebut untuk mencabut kekebalan mereka. Contohnya, pada tahun 2002, seorang diplomat Kolombia di London didakwa melakukan pembunuhan tidak berencana setelah kekebalan diplomatiknya dicabut oleh pemerintah Kolombia.[1][2] Alternatif lain adalah dengan mengadili orang tersebut di negara asalnya.

Apabila suatu negara tidak menginginkan kehadiran seorang diplomat, maka diplomat tersebut dapat dinyatakan sebagai persona non grata atau orang yang tidak diinginkan. Pasal 9 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik menyatakan bahwa negara penerima dapat menyatakan status persona non grata kapan saja tanpa harus menjelaskan alasan keputusannya.[3]

Sejarah sunting

Sejak zaman dahulu, seorang utusan kerajaan atau Diplomat dilindungi oleh berbagai keistimewaan dan hak selama penugasanya, terutama hak perlindungan dan keamanan, melecehkan atau bahkan membunuh mereka bisa memicu pecahnya perang seperti penaklukan Kekaisaran Khwarezmia oleh bangsa Mongol yang dipimpin oleh Genghis Khan. Pada Abad ke-13, Genghis Khan pernah mengirim kafilah ke Kekaisaran Khwarezmia untuk membangun hubungan perdagangan dengan damai. Sesampainya di Khwarezmia, kafilah tersebut justru ditangkap dan semua orang di kafilah tersebut di eksekusi karena dianggap sebagai mata-mata, dan semua barang bawaanya dijual oleh Kekaisaran Khwarezmia. Mengetahui hal ini, Genghis Khan kemudian mengirim tiga diplomat untuk menghadap kepada kaisar dan bernegosiasi agar kafilahnya dibebaskan dan menuntut keadilan atas pembunuhan kafilahnya yang tidak bersalah, namun Kaisar Khwarezmia Ala ad-Din Muhammad II justru membotaki dan mengeksekusi ketiga diplomat tersebut dan mengirim kepalanya ke Genghis Khan sebagai tanda kehinaan, karena Genghis Khan sangat menghormati dan menganggap para diplomatnya adalah utusan suci, ia langsung memerintahkan pasukanya untuk menyerbu, menginvasi dan menghancurkan Kekaisaran Khwarezmia setelah tiga diplomatnya dianiaya.[4] Invasi Kekaisaran Khwarezmia oleh bangsa Mongol tersebut dinyatakan sebagai salah satu pembantaian dan perang paling sadis dalam sejarah kemanusiaan.

Mencegah kejadian-kejadian historis seperti itu terjadi kembali, maka dibuatlah status Kekebalan diplomatik pada Konverensi Wina tahun 1961 sebagai Hukum internasional untuk melindungi para diplomat yang bertugas yang disetujui oleh mayoritas negara di dunia, termasuk Indonesia.[5]

Catatan kaki sunting

  1. ^ "An example where diplomatic immunity was waived in the public interest". BBC News. 27 September 2002. Diakses tanggal 19 December 2011. 
  2. ^ "Representations on behalf of the victim's family led to the prosecution of a military attache for manslaughter". BBC News. 17 July 2002. Diakses tanggal 19 December 2011. 
  3. ^ "Vienna Convention on Diplomatic Relations". eDiplomat. Article 9. Diakses tanggal 18 February 2014. 
  4. ^ Prawdin, Michael. The Mongol Empire.
  5. ^ Konvensi Wina Tahun 1961 Tentang Hubungan Diplomatik

Bacaan lanjut sunting