Kebenaran (Buddhisme)

Dalam Buddhisme, kebenaran atau realitas (Pali: sacca; Sanskerta: सत्य satya) merujuk pada sesuatu yang "nyata" atau "benar".[1] Dalam literatur Buddhis awal, sacca sering ditemukan dalam konteks "Empat Kebenaran Mulia", sebuah penegasan ajaran Buddha. Selain itu, sacca adalah salah satu dari sepuluh paramita (pāramī) atau "kesempurnaan" yang harus dikembangkan oleh seseorang untuk mencapai Kebuddhaan.

Tradisi Abhidharma, seperti Abhidhamma Theravāda, juga mengenal ajaran tentang dua jenis kebenaran atau realitas, yaitu kebenaran "konvensional" atau "konsep" (Pali: sammuti; Sanskerta: saṁvṛti), dan kebenaran "hakiki" atau "sejati" (Pali: paramattha; Sanskerta: paramārtha).[2][3] Dalam tradisi Buddhisme, istilah "kebenaran" (Pali: sacca, bedakan dari sammā "benar, tepat, selaras") tidak hanya merujuk pada sesuatu yang secara moral dianggap baik, seperti Empat Kebenaran Mulia, tetapi sesuatu yang menggambarkan kenyataan eksistensi. Berbagai pengotor batin (kilesa) yang buruk secara moral, seperti keserakahan (lobha), kebencian (moha), dan delusi (moha), juga dianggap sebagai suatu kebenaran.[4]

Kebenaran paling mendalam dari realitas

sunting

Dalam Tripitaka Pali, sacca sering ditemukan dalam istilah ariya-sacca, yang berarti "kebenaran mulia" atau "kebenaran para mulia".[5] Lebih khusus lagi, istilah ariya-sacca mengacu pada "Empat Kebenaran Mulia" yang dijelaskan oleh Sang Buddha, dalam diskursus (sutta) pertama-Nya sebagai berikut (sacca diterjemahkan sebagai "realitas"):


Dalam literatur Pali, Empat Kebenaran Mulia ini sering diidentifikasikan sebagai gagasan paling umum yang dikaitkan dengan salah satu faktor dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu "pandangan benar" atau "pemahaman benar". Dalam konsep kausalitas Buddhis tentang Kemunculan Bersebab, ketidaktahuan akan Empat Kebenaran Mulia ini sering diidentifikasikan sebagai titik awal bagi "seluruh gugusan penderitaan" (kevalassa dukkhakkhandha).

Kebenaran sebagai praktik etika

sunting

Dalam konteks praktik sehari-hari umat awam Buddha, seorang umat awam setiap hari melafalkan Pancasila Buddhis yang meliputi:

Saya bertekad untuk tidak mengucapkan ucapan yang tidak benar.[7]

"Tidak mengucapkan ucapan yang tidak benar", pada dasarnya, mencerminkan berbicara jujur. Mengenai hal ini, Bhikkhu Bodhi, seorang biku Theravāda kontemporer telah menulis:

Dikatakan bahwa dalam perjalanan pelatihan-Nya yang panjang untuk mencapai pencerahan selama banyak kehidupan, seorang Bodhisatwa dapat sewaktu-waktu melanggar semua sila moral kecuali sila untuk mengatakan kebenaran (sila ke-4). Alasannya sangat mendalam, dan menyingkapkan bahwa komitmen terhadap kebenaran mempunyai makna penting yang melampaui ranah etika dan bahkan pemurnian batin, membawa kita ke ranah pengetahuan dan keberadaan. Ucapan yang jujur memberikan, dalam lingkup komunikasi antarpribadi, paralel dengan kebijaksanaan dalam lingkup pemahaman pribadi. Keduanya masing-masing merupakan modalitas lahiriah dan batiniah dari komitmen yang sama terhadap apa yang nyata. Kebijaksanaan terletak pada realisasi kebenaran, dan kebenaran (sacca) bukan sekedar proposisi verbal, melainkan hakikat alamiah segala sesuatu sebagaimana adanya. Untuk menyadari kebenaran, seluruh keberadaan kita harus selaras dengan kenyataan, dengan segala sesuatu sebagaimana adanya, yang mengharuskan kita untuk menghormati segala sesuatu sebagaimana adanya dalam komunikasi dengan orang lain dengan mengatakan kebenaran. Ucapan yang jujur menciptakan keselarasan antara batin kita dengan hakikat sejati fenomena, memungkinkan kebijaksanaan untuk muncul dan memahami sifat aslinya. Maka, lebih dari sekadar prinsip etika, bakti kepada ucapan jujur adalah soal mengambil pendirian atas realitas dan bukan ilusi, atas kebenaran yang dipahami oleh kebijaksanaan dan bukan khayalan yang dijalin oleh nafsu-keinginan.[8]

Dua jenis kebenaran

sunting

Ajaran Buddha tentang dua jenis kebenaran (Pali: duve saccāni; Sanskerta: dvasatya; Wylie: bden pa gnyis) membedakan antara dua tingkatan kebenaran atau realitas: kebenaran "konvensional" atau "konsep" (Pali: sammuti; Sanskerta: saṁvṛti), dan kebenaran "hakiki" atau "sejati" (Pali: paramattha; Sanskerta: paramārtha).[2][3]

Theravāda

sunting

Tripitaka Pali dan komentar

sunting

Dalam Tripitaka Pali, perbedaan antara kebenaran konvensional dan kebenaran hakiki bukan untuk menunjukkan sesuatu yang lebih rendah dan yang lebih tinggi, melainkan antara dua jenis ungkapan untuk kebenaran yang sama, yang harus ditafsirkan secara berbeda. Jadi, sebuah frasa atau bagian, atau seluruh sutta, dapat digolongkan sebagai neyyattha, sammuti, atau vohāra, tetapi pada tahap,, ini tidak dianggap sebagai ungkapan atau penyampaian tingkat kebenaran yang berbeda.

Nītattha (Pali; Sanskerta: nītārtha), "memiliki arti yang jelas atau terang"[9] dan neyyattha (Pali; Sanskrit: neyartha), "[kata atau kalimat] yang memiliki makna yang hanya bisa ditebak".[9] Istilah-istilah ini digunakan dalam Tripitaka Pali untuk mengidentifikasi teks atau pernyataan yang memerlukan atau tidak memerlukan penafsiran tambahan. Teks nītattha tidak memerlukan penjelasan, sedangkan teks neyyattha dapat menyesatkan sebagian orang kecuali jika dijelaskan dengan penafsiran yang tepat.[10]


Sammuti (Pāli; Sanskerta: saṃvṛti), berarti "persetujuan bersama, pendapat umum, kesepakatan";[12] dan paramattha (Pāli; Sanskerta: paramārtha), berarti "hakiki", digunakan untuk membedakan bahasa konvensional atau bahasa yang masuk akal, seperti yang digunakan dalam metafora atau demi kenyamanan, dari bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih tinggi secara langsung. Istilah vohāra (Pali; Sanskerta: vyavahāra, "kebiasaan umum, kesepakatan, adat istiadat" ijuga digunakan dalam arti yang kurang lebih sama dengan sammuti.

Kitab-kitab komentar memperluas ajaran tentang dua kebenaran ini dan mulai menerapkannya tidak hanya pada konteks ekspresi kebahasaan, tetapi juga pada jenis kebenaran yang diungkapkan:

Yang Tercerahkan, guru terbaik, menyampaikan dua jenis kebenaran, yang konvensional dan yang hakiki; tidak ada yang ketiga yang dapat dipastikan; pernyataan konvensional adalah benar karena kesepakatan, dan pernyataan yang hakiki adalah benar karena mengungkapkan karakteristik sebenarnya dari berbagai fenomena.[13]

Tradisi Abhidhamma

sunting

Tradisi Abhidhamma Theravāda dan kepustakaan Pali pascakanonis mengenalkan skema untuk konsep Sutta Piṭaka tentang gugusan (khandha), landasan indra (saḷāyatana), dan unsur (dhātu).[14] Skema tersebut dikenal sebagai paramattha sacca (kebenaran atau realitas hakiki) yang mencakup tiga fenomena terkondisi (rūpa, citta, dan cetasika) dan satu fenomena tidak terkondisi (Nirwana) (lihat tabel di bawah):

  • Kesadaran (citta; kelompok nāma: viññāṇakkhandha)
  • Faktor mental (cetasika; kelompok nāma: vedanākkhandha, saññākkhandha, dan saṅkhārakkhandha)
  • Materi (rūpa)
  • Nirwana (nibbāna)
Hubungan nāmarūpa, pañcakkhandha, dan Abhidhamma
Kelompok Pañcakkhandha
(lima gugusan)
Abhidhamma Theravāda
Paramattha-sacca
(realitas hakiki)
nāma
(batin)
viññāṇakkhandha
(gugusan kesadaran)
89/121 citta
(kesadaran)
81 duniawi
8/40 adiduniawi
vedanākkhandha
(gugusan perasaan)
52 cetasika
(cetasika)
vedanācetasika
(cetasika perasaan)
saññākkhandha
(gugusan persepsi)
saññācetasika
(cetasika persepsi)
saṅkhārakkhandha
(gugusan formasi)
50 lainnya
rūpa
(rupa)
rūpakkhandha
(gugusan rupa)
28 rūpa
(rupa)
unsur pokok
24 unsur turunan
-
Nibbāna
(Nirwana)
Catatan:
  • Kelompok dhamma adalah saṅkhāra dan Nibbāna.
  • Seluruh saṅkhāra bersifat anicca dan dukkha.
  • Seluruh dhamma bersifat anatta.
  • Bedakan konteks saṅkhāra dengan saṅkhārakkhandha.

Lihat juga

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ Rhys Davids & Stede (1921–25), hlm. 668, entri untuk "Sacca" (diakses 2007-11-12 di http://dsal.uchicago.edu/cgi-bin/philologic/getobject.pl?c.3:1:2866.pali).
  2. ^ a b Matilal 2002, hlm. 203-208.
  3. ^ a b Thakchoe, Sonam (Summer 2022). "The Theory of Two Truths in Tibet". Dalam Zalta, Edward N. (ed.). Stanford Encyclopedia of Philosophy. The Metaphysics Research Lab, Center for the Study of Language and Information, Stanford University. ISSN 1095-5054. OCLC 643092515. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 28 Mei 2022. Diakses tanggal 5 Juli 2022.
  4. ^ Dhammavihari Buddhist Studies (2025-03-23), Garis Silsilah Buddha Sumana (2): Buddhavamsa VI Stanza 8 - 34, diakses tanggal 2025-04-08
  5. ^ Lihat, misalnya, Harvey (2007), dalam penjelasan bagian "Glossary and Commentary" untuk "Reality for the Noble One(s) (or, for the Noble One(s), a reality)".
  6. ^ Harvey (2007).
  7. ^ Bullitt (2005).
  8. ^ Bodhi (1999), bab 4.
  9. ^ a b Monier-Williams
  10. ^ McCagney: 82
  11. ^ Anguttara Nikaya I:60 (Jayatilleke: 361, dalam McCagney: 82)
  12. ^ Davids, Thomas William Rhys; Stede, William (1993). Pali-English Dictionary (dalam bahasa Inggris). Motilal Banarsidass Publ. ISBN 978-81-208-1144-7.
  13. ^ Khathāvatthu Aṭṭha kathǎ (Jayatilleke: 363, dalam McCagney: 84)
  14. ^ Bodhi 2000a, hlm. 6.

Bibliografi

sunting