Kampanye Berbicara Mandarin

Kampanye Berbicara Mandarin atau Speak Mandarin Campaign (SMC;Hanzi sederhana: 讲华语运动; Hanzi tradisional: 講華語運動; Pinyin: Jiǎng Huáyǔ Yùndòng; Wade–Giles: Chiang3 hua23 yün4 tung4) adalah suatu inisiatif oleh pemerintah Singapura untuk mendorong orang Tionghoa Singapura untuk berbicara menggunakan Bahasa Mandarin Baku, salah satu dari empat bahasa resmi di Singapura. Diluncurkan pada 7 September 1979 oleh Perdana Menteri saat itu Lee Kuan Yew dan diorganisasikan oleh Dewan Promosi Mandarin, SMC telah menjadi sebuah acara tahunan yang mempromosikan penggunaan bahasa Mandarin.

Latar belakang sunting

Pada tahun 1966, pemerintah Singapura menerapkan kebijakan pendidikan dwibahasa, dengan para siswa Singapura belajar bahasa Inggris dan bahasa ibu mereka yang telah ditetapkan, yakni bahasa Mandarin untuk semua orang Tionghoa Singapura secara asali. Laporan Goh, sebuah evaluasi mengenai sistem pendidikan Singapura oleh Goh Keng Swee, menunjukkan bahwa kurang dari 40% populasi siswa berhasil mencapai tingkat kompetensi minimum dalam dua bahasa.[1] Kemudian diketahui bahwa pembelajaran bahasa Mandarin di kalangan orang Tionghoa Singapura terhambat karena penggunaan berbagai varian bahasa Tionghoa asli di rumah, seperti bahasa Hokkian, Tiociu, Kantonis, dan Hakka.[2][3] Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk memperbaiki masalah yang dihadapi dalam implementasi kebijakan pendidikan dwibahasa, dengan meluncurkan kampanye untuk mempromosikan bahasa Mandarin sebagai bahasa umum di kalangan penduduk Tionghoa, dan untuk membatasi penggunaan varian bahasa Tionghoa lainnya.

Diluncurkan pada tahun 1979 oleh Perdana Menteri Singapura saat itu, Lee Kuan Yew,[4] kampanye ini bertujuan untuk menyederhanakan lingkungan bahasa bagi orang Tionghoa Singapura, meningkatkan komunikasi di antara mereka, dan menciptakan sebuah lingkungan berbahasa Mandarin yang kondusif bagi keberhasilan pelaksanaan program pendidikan dwibahasa. Tujuan awal kampanye ini adalah agar semua anak muda Tionghoa berhenti berbicara menggunakan topolek dalam lima tahun, dan menjadikan bahasa Mandarin sebagai bahasa pilihan di tempat-tempat umum dalam waktu 10 tahun.[5][6] Menurut pemerintah, agar kebijakan dwibahasa ini menjadi efektif, bahasa Mandarin harus digunakan di rumah dan harus berfungsi sebagai lingua franca di antara orang Tionghoa Singapura.[7] Mereka juga berpendapat bahwa bahasa Mandarin lebih bernilai secara ekonomi, dan berbahasa Mandarin akan membantu warga Tionghoa Singapura melestarikan warisan mereka, karena bahasa Mandarin seharusnya mengandung repositori nilai dan tradisi budaya yang dapat dikenali oleh semua orang Tionghoa, terlepas dari kelompok topolek.[8]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ 'The Goh Report' Diarsipkan 2 October 2013 di Wayback Machine.
  2. ^ Manfred Whoa Man-Fat, "A Critical Evaluation of Singapore's Language Policy and its Implications for English Teaching", Karen's Linguistics Issues. Retrieved on 4 November 2010
  3. ^ Bokhorst-Heng, W.D. (1998). Unpacking the Nation. In Allison D. et al (Ed.), Text in Education and Society (pp. 202–204). Singapore: Singapore University Press.
  4. ^ Lee Kuan Yew, "From Third World to First: The Singapore Story: 1965–2000", HarperCollins, 2000 (ISBN 0-06-019776-5).
  5. ^ Lim Siew Yeen and Jessie Yak, Speak Mandarin Campaign, Infopedia, National Library Board Singapore, 4 July 2013.
  6. ^ (Tionghoa) "讲华语运动30年 对象随大环境改变", Hua Sheng Bao, 17 March 2009.
  7. ^ Bokhorst-Heng, W.D. (1999). Singapore's Speak Mandarin Campaign: Language Ideology Debates and the Imagining of the Nation. In Harris R. and Rampton B. (Ed.), the Language, Ethnicity and Race Readers (pp. 174). London: Routledge. (2003)
  8. ^ Lionel Wee, (2006). The semiotics of language ideologies in Singapore.

Pranala luar sunting