Yaksa (Dewanagari: यक्ष; ,IASTYakṣa,bahasa Pali: yakha) adalah roh-roh alam yang biasanya baik hati tetapi kadang-kadang usilan atau angin-anginan, dan dikait-kaitkan dengan air, kesuburan, pohon, hutan, harta benda, serta alam liar.[4][5] Yaksa disebut-sebut di dalam kesusastraan agama Hindu, Jaina, dan Buddha, serta dicitrakan di kuil-kuil Asia Selatan dan Asia Tenggara dari abad kuno maupun abad madya sebagai dewa pelindung.[5][6] Bentuk feminin dari yaksa adalah "yaksi"[7] atau yaksini (Sanskerta: यक्षिणी, yakṣiṇī; bahasa Pali: yakhini).[8]

Yaksa
Arca Manibadrayaksa dari tahun 150 Pramasehi dan arca Mudgarpaniyaksa dari tahun 100 Pramasehi, setinggi kira-kira dua meter.[1] Tangan kanan Mudgarpaniyaksa menggenggam sebatang gada mudgar, sementara tangan kirinya menatang sosok mini seorang pemuja atau seorang kanak-kanak yang sedang mengaturkan sembah.[2][3]
Karya seni Mandura, Museum Mandura

Penggambarannya di dalam kesusastraan agama Hindu, Jaina, dan Buddha membuat yakṣa terkesan berkepribadian ganda. Yakṣa dapat disifatkan sebagai peri penunggu hutan atau gunung, tetapi dapat pula disifatkan sebagai butakala, dedemit alam liar yang suka menghadang dan memangsa manusia yang kebetulan lewat, mirip dengan rakṣasa.

Yaksa-yaksa terdahulu sunting

Kiri: Yaksi dari Barhuta; kanan: Yaksa dari Pitalkhora, sekitar abad ke-2 Masehi.

Yaksa disebut-sebut di dalam kesusastraan agama Hindu, Jaina, Buddha.[5][9] Beberapa arca yaksa dari zaman Kemaharajaan Maurya telah ditemukan, dan diperkirakan berasal dari rentang waktu antara abad ke-3 sampai abad pertama Pramasehi. Arca-arca tersebut berukuran lumayan besar (biasanya setinggi kira-kira 2 meter), sering kali dipahati tulisan yang berkaitan dengan identifikasinya sebagai yaksa, dan dianggap sebagai arca-arca batu berukuran besar pertama yang diketahui di India. Di antaranya terdapat dua arca yaksa dari Patna, satu arca yaksa dari Widisa, satu arca yaksa dari Parkham, dan satu arca yaksini dari Widisa. Mungkin saja pada mulanya yakṣa adalah dewa penunggu kota, daerah, danau, atau sumur. Pemujaan yaksa maupun keyakinan populer akan kewujudan nāga-naga (dewa-dewa ular), dewa-dewa kesuburan perempuan, dan dewi-dewi ibu mungkin bersumber dari keyakinan bangsa-bangsa pribumi India terdahulu. Pemujaan yaksa diamalkan berdampingan dengan upacara-upacara kurban para pedanda pada zaman Weda.[10] Kemudian hari, yaksa dipandang sebagai dewa-dewa pamong bumi berikut harta kekayaan yang terpendam di dalamnya.[11]

Di ranah seni rupa India terdahulu, yakṣa ditampilkan laksana pejuang-pejuang yang menciutkan nyali atau serupa manusia kerdil berbadan tambun dan bertampang galak, sementara yakṣiṇī ditampilkan dalam sosok gadis-gadis jelita berwajah bundar dan riang dengan payudara dan pinggul yang montok berisi.

Kuwera sunting

 
Kuwera, dewa kekayaan, koleksi Museum Seni Rupa Daerah Los Angeles

Di dalam agama Hindu, Buddha, dan Jaina, Kuwera, dewa kekayaan dan kemakmuran, dipercaya sebagai raja para yaksa. Ia dimuliakan sebagai Dikpāla (pelindung penjuru utara), salah satu dari para Lokapāla (pelindung jagat).

Dari sekian banyak gelar yang disandangkan kepadanya, dapat diketahui bahwa Kuwera dipercaya sebagai penguasa berbagai jenis makhluk setengah dewa, dan sebagai sang empunya kekayaan dunia. Kuwera kerap ditampilkan berbadan tambun, berhiasan ratna mutu manikam, serta membawa-bawa setempayan uang dan sebatang pentungan. Wahananya adalah garangan. Kuwera kerap ditampilkan bersama-sama Lasmi, dewi kekayaan, kemujuran, dan kemakmuran.

Di dalam agama Buddha, Kuwera disamakan dengan Wesrawana.

Lihat pula sunting

Rujukan sunting

  1. ^ Dipertanggal tahun 100 Pramasehi. Quintanilla, Sonya Rhie (2007). History of Early Stone Sculpture at Mathura: Ca. 150 BCE – 100 CE (dalam bahasa Inggris). BRILL. hlm. 368, gambar 88. ISBN 9789004155374. 
  2. ^ Quintanilla, Sonya Rhie (2007). History of Early Stone Sculpture at Mathura: Ca. 150 BCE – 100 CE (dalam bahasa Inggris). BRILL. hlm. 365, gambar 85. ISBN 9789004155374. 
  3. ^ Dalal, Roshen (2010). The Religions of India: A Concise Guide to Nine Major Faiths (dalam bahasa Inggris). Penguin Books India. hlm. 398. ISBN 978-0-14-341517-6. 
  4. ^ Singh (2008). A History of Ancient and Early Medieval India. New Delhi: Pearson Education. hlm. 430. ISBN 978-81-317-1120-0. 
  5. ^ a b c Stefon, Matt. "Yaksha | Hindu mythology". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 15 July 2007. 
  6. ^ Richard John Richards (1995). South-east Asian Ceramics: Thai, Vietnamese, and Khmer: From the Collection of the Art Gallery of South Australia. Oxford University Press. hlm. 27, 67. ISBN 978-967-65-3075-2. 
  7. ^ Untuk informasi tentang यक्षी sebagai bentuk feminin dari यक्षः, lih V. S. Apte, The Practical Sanskrit-English Dictionary, hlm. 776.
  8. ^ Untuk informasi tentang yakṣiṇī (यक्षिणी) sebagai istilah reguler Sangsekerta untuk menyebut yakṣa perempuan, dan yakṣaṇī sebagai bentuk yang dipakai di dalam agama Buddha, lih. Franklin Edgerton, Buddhist Hybrid Sanskrit Grammar and Dictionary, Jld. 2, Motilal Banarsidass, Edisi Perdana, 1953, hlm. 442.
  9. ^ Richard John Richards (1995). South-east Asian Ceramics: Thai, Vietnamese, and Khmer: From the Collection of the Art Gallery of South Australia. Oxford University Press. hlm. 27, 67. ISBN 978-967-65-3075-2. 
  10. ^ "yaksha | Hindu mythology | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 9 April 2022. 
  11. ^ DeCaroli, Robert (2004). Haunting the Buddha: Indian Popular Religions and the Formation of Buddhism. Oxford University Press, US. ISBN 978-0-19-516838-9.