Werur, Bikar, Tambrauw

kampung di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya

Werur (dahulu: Mar)[1] adalah sebuah kampung di Distrik Bikar, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat Daya, Indonesia.[2] Werur adalah kampung tertua di distrik Bikar yang turut dimekarkan menjadi 4 Kampung yaitu Wertam, Werwaf, Suyam dan Wertim Jumlah penduduk di kampung werur Tahun 2014 berdasarkan proyeksi penduduk SP2010 mencapai 313 Jiwa yang terdiri dari 167 penduduk laki-laki dan 146 penduduk perempuan.

Werur
Kampung Werur
Negara Indonesia
ProvinsiPapua Barat Daya
KabupatenTambrauw
KecamatanBikar
Kode Kemendagri92.09.13.2001
Luas37.07 km² (14.31 sq mi)
Jumlah penduduk403 jiwa 2021
Kepadatan10.87/km² (28.2/sq mi)


Sejarah sunting

Sejarah dan Benda Adat

Sekitar tahun 1600 M, kelompok orang Biak Numfor bermarga Mayor dan Marga Dimara tiba di Pulau Dua. Kemudian mereka menetap di pulau itu. Kelompok orang Biak Numfor selanjutnya yang datang ke Sausapor adalah kelompok masyarakat Mar yang tiba di Werabyai/ Werabiay/Mar (lihat peta Vogelkop Operation).

 
Operation Typhoon

Kelompok masyarakat Mar terdiri atas marga Warsa, Rumansara, Sarwa dan Aduk. Sekitar tahun 1700, kembali Pulau Dua didatangi kelompok masyarakat yang disebut masyarakat Mamoribo. Mereka terdiri atas marga Mambrasar, Mayor, Mirino dan Yapen.

Orang Biak memang sangat dikenal dengan aktivitas berlayarnya. Jauh sebelum migrasi orang Biak dari Kampung Mamoribo ke Pulau Dua Werur, gelombang-gelombang migrasi orang Biak lain ke Sausapor telah terjadi.

Migrasi orang Biak Mamoribo ke Werur, diawali dengan terjadinya konflik di daerah asal mereka di kampung Mamoribo Biak Barat sekitar tahun 1820an. Konflik dilatarbelakangi oleh persoalan perkawinan, dimana kedua orang tua dari kedua belah pihak tidak menyetujui rencana pernikahan anak mereka. Perselisihan berlanjut sehingga terjadi saling bunuh diantara kedua keluarga yang meluas menjadi perang antar klan. Situasi perang antar-klan yang tidak terhindarkan akhirnya mengharuskan klan dari pihak laki-laki keluar meninggalkan pulau. Semua marga yang tergabung dalam klan tersebut akhirnya meninggalkan pulau Biak secara bersama-sama. Adapun kelima marga dalam klan tersebut yakni marga Mambrasar, Mayor, Yapen, Paraibabo Sarwa dan Mirino.

Daerah tujuan migrasi pertama klan ini adalah Numfor. Di Numfor mereka sempat tinggal sementara, kurang dari 1 tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pasir Putih Manokwari, ke Kabawi Saukorem, lalu ke Waibem (Amberbaken), dan tinggal selama 1 tahun di Amberbaken. Klan ini kemudian melanjutkan berlayar hingga sampai ke Pulau Dua. Namun pada saat itu rombongan klan tidak lantas menetap di Pulau Dua, mereka masih melanjutkan berlayar ke kampung Puper dan kepulauan Ayau di Pulau Waigeo kemudian dan akhirnya kembali ke Pulau Dua dan mulai hidup menetap disana sebelum akhirnya pindah ke Daratan Werur saat ini pada tahun 1946, setelah kemerdekaan Indonesia.

 
Tugu Pekabaran injil di Tanah Abun di Pulau dua

Kehidupan komunitas imigran Biak di Pulau Dua sebelum pindah ke Daratan Werur tidak jauh berbeda dengan kehidupan ketika mereka telah pindah di daratan Werur. Aktivitas mata pencaharian komunitas imigran adalah nelayan dan bercocok tanam. Masuknya protestan ke Pulau Dua merubah pola pandang komunitas, dengan adanya sekolah. Para orang tua dahulu menempuh sekolah di Pulau Dua, yang ditandai dengan adanya kebun kelapa sekolah yang ditanam untuk memenuhi kebutuhan komunitas

Selain kebun kelapa sekolah, jejak kehidupan komunitas migran Biak di Pulau Dua sebelum pindah ke daratan Werur juga terlihat dari puing-puing gereja dan sumur tua yang terdapat di Pulau Dua.

Setelah orang Biak pindah ke daratan Werur pada tahun 1946, mereka mulai membuka daratan untuk dijadikan perkampungan dan kawasan yang mengarah ke gunung dijadikan kebun. Orang Biak sebagai pendatang yang pada masa itu telah menerima pengaruh kristen, melakukan interaksi dengan penduduk asli daratan atau yang dikenal dengan suku Karon, yang dikemudian hari disebut sebagai Suku Abun. Orang Biak yang kemudian disebut sebagai Orang Bikar, mendatangi suku Abun dan beberapa yang telah memiliki pengetahuan terkait kristen mulai memberi pengaruh agama kepada orang Abun. Orang Abun yang tertarik untuk belajar agama dan belajar pengetahuan lainnya akhirnya ikut keluar dari kampung mereka yang berada di pedalaman ke arah pesisir bersama orang Bikar. Interaksi ini mendekatkan hubungan kedua suku ini. Orang Bikar mengajarkan pola hidup menetap, bertani dan melaut kepada orang Abun. Mereka juga mengajarkan bagaimana membuat peralatan dari besi seperti parang. Sebagaimana diketahui, orang Abun sebelumnya hidup dengan pola berburu dan meramu dan berpindah-pindah. Mereka belum mengenal hidup bercocok tanam apalagi melaut. Alat berburu yang digunakan pun masih sederhana berupa beliung dari batu dan sejenisnya. Tingkat interaksi paling erat antara kedua suku ini ditandai dengan adanya beberapa anak angkat yang diambil oleh orang Bikar dari suku Abun.

Sebagai ungkapan balas budi, orang Abun kemudian memberikan tanah kepada orang Bikar untuk menjadi lahan hidup, membangun rumah dan berkebun. Orang Abun memberikan lahan sepanjang 6 km dari pantai ke arah gunung untuk dijadikan kampung dan kebun oleh orang Bikar. Interaksi kedua suku kemudian juga berlanjut dengan adanya perkawinan dari anak-anak antar kedua suku ini. Ikatan perkawinan ini kemudian menjadi pengikat antara suku Bikar dan suku Abun hingga saat ini.

Setelah pindah ke daratan Werur, orang Bikar yang pindah dari Pulau Dua pertama kali membangun kampung di sekitar Kali Wewe (Sungai Wewe atau sungai Wenai). Setelah memulai kehidupan di darat, dari kampung pertama, orang Bikar kemudian pindah ke Werwaf dan membangun kampung kedua sebelum akhirnya pindah ke lokasi kampung Werur saat ini.

 
Pantai Werur ,2022

Nama Werur berasal dari kata Weur (dibaca wewur). Karena penduduk setempat mengalami kesulitan dalam mengeja weur, maka akhirnya berubah menjadi Werur. Nama Weur, dikisahkan berkaitan dengan kisah hidup orang Bikar saat masih tinggal di Pulau Dua. Di Pulau Dua, orang Bikar menghadapi persoalan ketersediaan air bersih yang sangat minim. Air sumur di pulau yang diandalkan untuk sumber air bersih sering mengalami kekeringan. Kondisi ini kemudian mendorong mereka untuk mencari air hingga ke daratan.

Orang Bikar menyusuri pantai untuk sampai ke sungai dan sampai ke tempat dimana ombak pecah yang merupakan pelabuhan bagi mereka ketika melaut. Ketika mereka kembali dari sungai sebelum menuju Pulau Dua, mereka melihat bekas jejak kaki mereka, lalu berkata..”Biarlah bekas kaki ini menjadi kenangan supaya kita selalu datang kembali melihat bekas kaki kita”. Weur berasal dari kata beur yang berarti bekas kaki (jejak). Kemudian, kepada setiap orang yang datang ke daratan untuk mengambil air, mereka akan bertanya, apakah orang tersebut melihat bekas kaki mereka. Dari sinilah mulanya nama Weur atau werur terbentuk.

Kampung Werur dulu merupakan bagian dari distrik Sausapor sebelum dimekarkan ditahun 2015 menjadi salah satu kampung di distrik Bikar. Karon adalah sebutan dari orang Biak untuk penduduk asli daratan. Karon dalam Bahasa Biak berarti tempat menyelam. Karon dipilih orang Biak untuk menggambarkan bahwa kawasan perairan sekitar Werur sebelum kepindahan mereka ke daratan Werur adalah tempat mereka menyelam. Namun karena kesalahpahaman ditengah penduduk asli, mereka salah menganggap bahwa karon sebagai karom yang berarti ulat, sehingga karon seolah adalah kata hinaan untuk mereka. Sehingga mulailah mereka disebut sebagai Suku Abun, suku asli daratan, termasuk Werur.[3]

 
Antiaircraft Emplacement, Sansapor

kampung Werur juga menjadi saksi hidup dibalik peperangan hebat yang terjadi pada Perang Dunia II. Pada Perang Dunia II, wilayah Werur dijadikan salah satu basis militer oleh pasukan Jepang maupun Amerika Serikat dan sekutu. Hal itu terlihat dari sisa-sisa peninggalan Perang Dunia II di kampung Werur seperti bongkahan baja besar, tempat makan dan minum yang terbuat dari baja milik tentara Amerika Serikat, serta 6 buah bangkai tank. Lokasi sisa-sisa peninggalan Peran Dunia II yang letaknya cukup tersembunyi, membuat belum banyak orang yang mengetahui jika kampung Werur juga menjadi salah satu saksi hidup peristiwa Perang Dunia II di tanah Papua.Werur Saksi sejarah yang tinggal sejarah.[4]

Demografi sunting

Penduduk sunting

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2020 jumlah penduduk kampung werur sebanyak 379 jiwa dan Data Jumlah penduduk kampung werur pada tahun 2021 berdasarkan data kementerian dalam negeri sebanyak 403 jiwa yang terdiri dari 201 laki laki dan 202 perempuan dengan kepadatan penduduk 10.87/km².[5].[6]

Pariwisata sunting

Tempat Wisata sunting

Tradisi dan Budaya sunting

Festival munara beba byak karon (FMB byak Karon) merupakan suatu acara adat besar yang berasal dari suku biak yang digunakan oleh orang tua dulu untuk menjaga nilai-nilai luhur kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari dan juga melestarikan budaya yang sudah menjadi turun temurun sehingga tetap terjaga walaupun termakan zaman. dan Festival munara beba byak karon Tahun 2023 untuk pertama kalinya diselenggarakan festival ini di kabupaten Tambrauw dan akan menjadi juga agenda Tahunan.[8] Adapun agenda kegiatan Festival Budaya Munara Beba byak karon Tahun 2023 diselenggarakan mulai tanggal 22-25 maret 2023 di Kampung Werur, Meossu (Pulau Amsterdam & Pulau Middleburg) Distik Bikar dan Kampung Emaos Distrik Sausapor Kabupaten Tambrauw Papua Barat Daya Indonesia.

 
Perahu adat dalam FMB Byak karon 2023
 
Perahu adat dalam FMB byak karon 2023

berikut agenda:

    • Rabu, 22 Maret 2023
      • Pembukaan
      • Fashion Show Insos dan Kabor
      • Body Painting (Seni Ukir Badan)
      • Pidato Bahasa Byak
      • Yosim Pancar (Tarian Adat)
 
Perahu adat dalam FMB byak karon 2023
    • Kamis, 23 Maret 2023
      • Pameran kuliner dan kerajinan tangan
      • Dayung perahu adat
      • Mancing tradisional
    • Jumat, 24 Maret 2023
      • Wolksong lagu tempo dulu atau lagu tradisi
      • Tari wor (cerita seni tentang kearifan lokal masyarakat Byak berada di tanah Papua untuk menerapkan pelestarian SDL
    • Sabtu, 25 Maret 2023
      • Penyerahan speedboat patroli, deklarasi PPBM dan seremonial sasisen.
      • Penyajian kuliner makanan khas Suku Byak Karon.
      • Fanfan Keret (penyajian makanan antar 6 keret atau marga.
      • Pengumuman lomba dan penutup.[9]

Transportasi sunting

Rumah ibadah sunting

Rumah ibadah yang terdapat di Werur antara lain:

  • GKI Immanuel Werur
  • GKI Maranatha
  • Paroki Santo Petrus

Galeri sunting

Referensi sunting

  1. ^ Harper Encyclopedia of Military Biography; Dupuy; HarperCollins 1992; pages=462
  2. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-19. Diakses tanggal 5 Desember 2018. 
  3. ^ "Masyarakat hukum adat Werur". www.kkp.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-05. Diakses tanggal 23 Juli 2023. 
  4. ^ Morison, Samuel Eliot (2001). History of United States Naval Operations in World War II: New Guinea and the Marianas, March 1944 – August 1944. University of Illinois Press. hlm. 140–4. ISBN 0-252-07038-0. 
  5. ^ "Visualisasi Data Kependudukan - Kementerian Dalam Negeri 2021" (Visual). www.dukcapil.kemendagri.go.id. Diakses tanggal 8 Januari 2022. 
  6. ^ "kecamatan bikar dalam angka 2021" (pdf). www.tambrauwkab.bps.go.id. hlm. 26, 65. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-24. Diakses tanggal 24 September 2021. 
  7. ^ "Pesona Indonesia". www.direktoripariwisata.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-05. Diakses tanggal 05 Pebruari 2023. 
  8. ^ "Festival Munara Beba Byak Karon Digelar" (Visual). www.kompas.id. Diakses tanggal 23 Maret 2023. 
  9. ^ "Besok, Ada Festival Munara di Tambrauw, Berikut Makna dan Agenda Pelaksanaannya" (Visual). www.papuabarat.tribunnews.com. Diakses tanggal 21 Maret 2023. 

Pranala luar sunting