Wajo, Makassar

kecamatan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan

Wajo (Makassar: ᨓᨍᨚ) adalah sebuah kecamatan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pada awal abad ke-19 Masehi, wilayah Kecamatan Wajo merupakan sebuah perkampungan yang disebut Kampong Wadjo. Di Kecamatan Wajo terdapat bangunan bersejarah seperti Makam Pangeran Diponegoro dan Masjid Arab.

Wajo
Peta lokasi Kecamatan Wajo
Peta lokasi Kecamatan Wajo
Wajo di Makassar
Wajo
Wajo
Peta lokasi Kecamatan Wajo
Wajo di Sulawesi
Wajo
Wajo
Wajo (Sulawesi)
Wajo di Indonesia
Wajo
Wajo
Wajo (Indonesia)
Koordinat: 5°07′31″S 119°24′42″E / 5.125228663334599°S 119.41180009518862°E / -5.125228663334599; 119.41180009518862Koordinat: 5°07′31″S 119°24′42″E / 5.125228663334599°S 119.41180009518862°E / -5.125228663334599; 119.41180009518862
Negara Indonesia
ProvinsiSulawesi Selatan
KotaMakassar
Pemerintahan
 • CamatHamna Faisal
Kode Kemendagri73.71.05
Kode BPS7371060
Desa/kelurahan8

Sejarah sunting

Benteng Ujung Pandang sunting

Ketika berlangsungnya Perang Makassar (1655–1669) antara Kesultanan Gowa dan Belanda, sebagian Benteng Ujung Pandang yang dimiliki oleh Kesultanan Gowa mengalami kehancuran. Kesultanan Gowa akhirnya mengalami kekalahan dan menandatangani Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667.[1]

Perjanjian Bungaya merupakan perjanjian perdamaian antara Kesultanan Gowa dan Belanda. Salah satu isi dari Perjanjian Bungaya adalah penghancuran semua benteng yang dimiliki oleh Kesultanan Gowa kecuali Benteng Somba Opu dan Benteng Ujung Pandang. Benteng Somba Opu tetap dimiliki oleh Kesultanan Gowa, sedangkan Benteng Ujung Pandang diserahkan kepada Belanda.[2]

Pembentukan Kota Makassar dimulai setelah Benteng Ujung Pandang berganti nama menjadi Benteng Rotterdam.[3] Setelah Benteng Rotterdam dikuasai oleh Belanda, permukiman-permukiman orang asing dan perkampungan-perkampungan orang pribumi mulai terbentuk di sekitarnya. Permukiman orang asing terdiri dari bangsa Belanda, bangsa Inggris, bangsa Denmark dan bangsa-bangsa dari wilayah Asia khususnya dari Timur Jauh.[4]

Pada awal abad ke-20 Masehi, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan penataan kota dengan memperjelas pengelompokan etnis dan suku bangsa di Kota Makasaar. Pemerintah Hindia Belanda menamai suatu perkampungan berdasarkan kepada kelompok masyarakat dan penempatannya. Salah satunya ialah Kampong Wajo. Perkampungan ini dibedakan dengan perkampungan suku bangsa lain seperti Kampong Balandaia, Kampong Malokoe, Kampong Ende, Kampong Arab, Kampong Cina, Kampong Butung, Kampong Ambon, dan Kampong Melayu.[5]

Geografi dan iklim sunting

Keadaan geografi sunting

Kecamatan Wajo merupakan salah satu kecamatan yang masuk dalam wilayah administratif Kota Makassar.[6] Wilayah Kecamatan Wajo berbatasan langsung dengan pantai.[7] Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020, wilayah Kecamatan Wajo seluas 1,99 km2. Ibu kota kecamatan untuk Kecamatan Wajo terletak di Kelurahan Melayu Baru.[6] Persentase luas Kecamatan Wajo terhadap luas Kota Makassar adalah 1,13%.[8]

Demografi sunting

Kepadatan penduduk sunting

Pada tahun 2019, persentase penduduk di Kecamatan Wajo atas jumlah seluruh penduduk di Kota Makassar sebesar 2,06%. Kepadatan penduduk di Kecamatan Wajo sebesar 15.806 jiwa/km2 pada tahun 2019.[9]

Kehidupan sosial dan kesejahteraan sunting

 
Pasar Butung tahun 1924

Perumahan dan lingkungan sunting

Lingkungan di Kecamatan Wajo berupa lorong-lorong.[10]

Mata pencaharian sunting

Industri pakaian jadi sunting

Dalam catatan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kota Makassar, pada tahun 2002–2007 terdapat sebanyak 25 macam jenis industri pakaian jadi dengan metode konfeksi di Kota Makassar. Pada tahun 2008, Kecamatan Wajo menjadi salah satu kecamatan di Kota Makassar yang memiliki banyak usaha industri pakaian jadi model konfeksi.[11]

 
Stasiun trem Pasar Butung tahun 1922

Bangunan bersejarah sunting

Makam Pangeran Diponegoro sunting

Makam Pangeran Diponegoro merupakan kompleks pemakaman keluarga Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro adalah keturunan anggota keluarga Keraton Yogyakarta yang memulai Perang Diponegoro. Perang ini dilakukan untuk melawan Pemerintah Hindia Belanda dan sekutu-sekutunya dari anggota keluarga Keraton Yogyakarta.[12]

Lokasinya terletak di Jalan Pangeran Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo. Lokasinya berjarak 4 km dari pusat Kota Makassar. Di dalam kompleks pemakaman ini terdapat makam dari Pangeran Diponegoro yang meninggal pada tanggal 8 Januari 1855. Selain itu terdapat makam putra pertama Pangeran Diponegoro yang meninggal lebih dahulu dibandingkan dirinya, dan makam istri serta keturunannya. Lahan yang ada di pemakaman ini merupakan peninggalan dari ayah Pangeran Diponegoro. Pemerintah Hindia Belanda membangunkan tempat tinggal bagi istri dan anak-anak Pangeran Diponegoro di sekitar makam.[13]

Masjid Arab sunting

Masjid Arab didirikan pada tahun 1907 dengan nama Masjid As-Said. Nama Masjid Arab disematkan karena para pendiri masjid yang merupakan para pendatang di Kota Makassar dari keturunan bangsa Arab. Masjid Arab juga dikenali dengan nama Masjid Jalan Lombok karena lokasinya yang terletak di Jalan Lombok.[14] Kawasan tempat pembangunan Masjid Arab termasuk wilayah Kecamatan Wajo yang sebagian besar dihuni oleh penduduk dari etnis Tionghoa.[15]

Arsitektur Masjid Arab yang asli memiliki konstruksi yang mirip dengan Joglo dalam arsitektur Jawa. Hanya saja, bagian atapnya dibuat berbentuk limas. Namun, atap berbentuk limas ini telah diganti dengan kubah. Bangunan utama pada Masjid Arab berbentuk segi empat yang hampir berbentuk bujur sangkar. Ukuran bangunannya ialah 21 × 23 meter dengan sisi yang paling panjang membujur ke arah kiblat.[16]

Kerawanan bencana sunting

Bagian barat Kecamatan Wajo rawan mengalami bencana tsunami karena merupakan bagian dari pesisir Kota Makassar.[17] Letak Kecamatan Wajo juga membuat wilayahnya rawan terkena abrasi pantai.[18] Sementara itu, di sebagian wilayah Kecamatan Wajo rawan terjadi bencana banjir.[18]

Referensi sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ Iswadi 2018, Nilai Penting Benteng, hlm. 25.
  2. ^ Iswadi 2018, Benteng Ujung Pandang, hlm. 72.
  3. ^ Iswadi 2018, Nilai Penting Benteng, hlm. 23.
  4. ^ Natsir, Mannan, dan Abubakar 2013, hlm. 9.
  5. ^ Natsir, Mannan, dan Abubakar 2013, hlm. 10.
  6. ^ a b Nurjanna dan Sahabuddin 2022, hlm. 75.
  7. ^ Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Makassar 2019, hlm. 6.
  8. ^ Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Makassar 2019, hlm. 9.
  9. ^ Nurjanna dan Sahabuddin 2022, hlm. 77.
  10. ^ Warsilah, H., dkk. (2020). Pembangunan Inklusif di Kota Pesisir Luar Jawa Berbasis Kearifan Lokal: Studi Kasus Kota Ampenan, Jerowaru, Makassar, dan Padang Pariaman. Sleman dan Jakarta: Penerbit PT Kanisius dan Pusat Penelitian Masyarakat & Budaya LIPI. hlm. 175. ISBN 978-979-21-6635-4. 
  11. ^ Suryani, H., dkk. (2017). Pelatihan Pengelolaan Limbah Industri Pakaian Jadi (PDF). Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar. hlm. 2. ISBN 978-602-6883-49-0. 
  12. ^ Mardiono 2020, hlm. 145.
  13. ^ Mardiono 2020, hlm. 271.
  14. ^ Duli, dkk. 2013, hlm. 49.
  15. ^ Chaniago, Hasril, ed. (Maret 2022). Memoar Achjar Iljas Dari Tepi Danau Maninjau:. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 503. ISBN 978-623-321-150-5. 
  16. ^ Duli, dkk. 2013, hlm. 50.
  17. ^ Sabara 2020, hlm. 79.
  18. ^ a b Sabara 2020, hlm. 78.

Daftar pustaka sunting