Utnapishtim atau Utanapishtim (bahasa Akkadia: 𒌓𒍣) adalah seorang tokoh dari mitologi Mesopotamia dalam Epos Gilgamesh yang ditugaskan oleh Dewa Ea (Enki) untuk membangun kapal raksasa bernama Pelindung Kehidupan sebagai persiapan untuk banjir bandang yang dapat menghapus seluruh kehidupan yang ada di muka bumi.[1] Kisah Nabi Nuh dalam Agama-Agama Samawi serupa dengan kisahnya.

Tablet ke-XI dari Epos Gilgamesh yang menerangkan kisah banjir Utnapishtim.

Kisahnya sunting

Dewa Agung Enlil berencana untuk menghabisi umat manusia dengan mendatangkan banjir bandang yang meliputi seluruh bumi. Dia pun menceritakan rencananya ke Dewa-Dewa Agung lainnya yaitu Anu, Ninurta, Ennugi, dan Ea. Mereka pun bersumpah untuk menjaga kerahasiaan rencana tersebut. Akan tetapi Dewa Ea membocorkannya kepada seorang manusia bernama Utnapishtim dan menugaskannya untuk membangun kapal raksasa yang kemudian dinamai sebagai Pelindung Kehidupan.

Kapal tersebut terbuat dari kayu-kayu solid, yang bertujuan supaya cahaya dari Shamash (matahari) tidak menyinari masuk, dengan dimensi panjang, tinggi dan lebar yang sama. Mengikuti desain kapal yang digambarkan oleh Dewa Ea di tanah, Utnapishtim membuat kerangka kapalnya dalam 5 hari, yang mana memiliki panjang, tinggi dan lebar 200 kaki, dengan luas lantai 1 ekar.[2] Bagian interior kapal memiliki 7 lantai, masing-masing lantai terbagi menjadi 7 dan 9 bagian. Menghabiskan Utnapishtim 7 hari untuk menyelesaikan seluruhnya. Pintu masuk ke kapal disegel setelah semuanya naik ke kapal.

Utnapishtim ditugaskan untuk membawa istri, keluarga, kerabat-kerabatnya, para pengrajin di desanya, anak-anak binatang, dan benih-benih tanaman.[2] Banjir yang akan datang akan melenyapkan seluruh binatang dan manusia yang tidak ada di kapal, sebuah konsep yang kemudian muncul dalam agama-agama Samawi dengan kisah Nabi Nuh-nya.[3] Setelah 12 hari di air, Utnapishtim membuka palka kapalnya untuk mengecek situasi dan melihat lereng Gunung Nisir, yang mana menjadi tempat ia mengistirahatkan kapalnya selama 7 hari. Pada hari ke-7, dia mengirim seekor burung merpati untuk mengecek apakah air sudah surut, namun si burung tidak menemukan tempat lain untuk berhinggap, maka ia pun kembali. Kemudian Utnapishtim mengirimkan burung layang-layang, dan seperti burung merpati, ia kembali. Terakhir, Utnapishtim mengirimkan burung gagak dan si gagak tidak kembali. Mengetahui itu adalah tanda airnya telah surut, Utnapishtim pun membebaskan semua binatang, mengurbankan seekor domba untuk para Dewa lalu membawanya ke Ziggurat yang tinggi dan meletakkannya ke 14 bejana dan menghidupkan api pada bejana-bejana tersebut lalu menuangkan alang-alang, cedar, dan murad ke dalamnya. Mencium bau harum dari persembahan yang diberikan Utnapishtim, Dewi Agung pun datang, lalu memanggil para Dewa Agung. Setibanya di sana, Dewa Enlil yang merencanakan banjir tersebut murka dan berujar, "Bagaimana bisa mereka masih hidup? tidak ada satupun manusia yang seharusnya selamat dari pembantaian ini!." Ninurta pun berkata kepada Enlil, "Siapa lagi yang bisa melakukan hal ini selain Ea? Toh dia tau rencana kita." Dewa Ea yang selama ini memendam unek-uneknya kepada Enlil pun meluapkannya, memarahi Enlil panjang lebar karena telah kelewatan memberi hukuman kepada manusia dengan cara membantai mereka semua dengan banjir bandang, menyadarkan Enlil akan apa yang sudah diperbuatnya. Enlil pun mendatangi Utnapishtim dan istrinya, lalu memberkahi mereka dengan kehidupan abadi dan menjadikan mereka Dewa dan Dewi atas jasa mereka yang telah menyelamatkan umat manusia di bumi.[4]

Perannya Dalam Petualangan Gilgamesh sunting

Gilgamesh yang sedang diliputi dengan kesedihan atas kematian sahabatnya yaitu Enkidu,[5] memulai serangkaian perjalanan untuk mencari leluhurnya, Utnapishtim (Xisouthros) yang tinggal di muara sungai dan telah diberikan kehidupan abadi. Utnapishtim menasihati Gilgamesh untuk meninggalkan pencariannya akan keabadian, namun memberinya ujian melawan tidur jika ia tetap ingin memperolehnya. Gilgamesh gagal melewati ujian tersebut. Utnapishtim lalu memberitahunya tentang tanaman yang dapat membuatnya muda kembali. Gilgamesh memperoleh tanaman itu dari dasar laut di Dilmun (kerap dianggap sebagai Bahrain saat ini) tetapi seekor ular mencurinya. Gilgamesh pun kembali ke rumahnya[6] di kota Uruk, setelah meninggalkan harapannya akan keabadian ataupun menjadi muda kembali.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ "Epic of Gilgamesh: Tablet XI". www.ancienttexts.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-12. Diakses tanggal 2020-02-28. 
  2. ^ a b Rosenberg, Donna (1994). World Mythology: An Anthology of the Great Myths and Epics. Lincolnwood, Chicago: National Textbook Company. hlm. 196–200. ISBN 0-8442-5765-6. 
  3. ^ "Utnapishtim | Mesopotamian mythology". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-20. Diakses tanggal 2020-03-01. 
  4. ^ Gardner, John; Maier, John (1984). Gilgamesh: translated from the Sin-leqi-unninni version. New York, New York: Random House, Inc. hlm. 240. ISBN 0-394-74089-0. 
  5. ^ The Epic of Gilgamesh | Tales of Earth (dalam bahasa Inggris), diakses tanggal 2020-03-01 
  6. ^ "In The Epic of Gilgamesh, what does Gilgamesh gain from his epic quest? Does it change him?". eNotes (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-01. Diakses tanggal 2020-03-01.