Ulin

spesies tumbuhan yang berasal dari Asia Tenggara
Ulin
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
(tanpa takson):
(tanpa takson):
Ordo:
Famili:
Genus:
Eusideroxylon
Spesies:
E. zwageri
Nama binomial
Eusideroxylon zwageri
Teysm. & Binnend.

Ulin (Eusideroxylon zwageri) atau disebut juga dengan bulian atau kayu besi adalah pohon berkayu dan merupakan tanaman khas Asia Tenggara meliputi Indonesia (Sumatera & Kalimantan), Malaysia (Sabah & Sarawak), Filipina (Kepulauan Sulu) [1]. Ulin digolongkan ke dalam suku Lauraceae. Ulin memiliki tinggi pohon umumnya 30–35 m, diameter setinggi dada (dbh) 60–120 cm. Batang lurus berbanir, tajuk berbentuk bulat dan rapat serta memiliki percabangan yang mendatar.[2]

Telah ditemukan 4 (empat) varietas ulin di Kalimantan Barat yang dibedakan berdasarkan kegunaan dan warna batang yaitu:[3]

  • a. ulin tando dengan warna batang coklat kemerahan
  • b. ulin lilin dengan batang coklat gelap
  • c. ulin tembaga dengan warna batang kekuningan
  • d.ulin kapur dengan warna batang coklat muda.

Ulin tando, lilin dan tembaga biasanya digunakan untuk pondasi bangunan dan lantai. Ulin kapur merupakan satu-satunya ulin yang mudah dibelah sehingga cocok untuk bahan baku atap sirap.[3]

.

Morfologi sunting

Ulin termasuk jenis pohon besar yang tingginya dapat mencapai 50 m dengan diameter sampai 120 cm. Pohon ini tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian 400 m.[4]

Ulin umumnya tumbuh pada ketinggian 5 – 400 m di atas permukaan laut dengan medan datar sampai miring, tumbuh terpencar atau mengelompok dalam hutan campuran namun sangat jarang dijumpai di habitat rawa-rawa Kayu Ulin juga tahan terhadap perubahan suhu, kelembaban, dan pengaruh air laut sehingga sifat kayunya sangat berat dan keras.[5] agak terpisah dari pepohonan lain dan dikelilingi jalur jalan melingkar dari kayu ulin.[6] Di bagian bawah pohon ulin terdapat bagian yang berlobang.[6]

Ulin memiliki keragaman morfologi yang sangat tinggi berdasarkan sifat-sifat vegetatif maupun sifat generatif (terutama pada bentuk dan ukuran buah atau biji).[7]

Adanya penemuan Sangkima, Taman Nasional Kutai pohon ulin terbesar yang mencapai tinggi bebas cabang 45 m dan diameter 225 cm.[7]

Penyebaran / Distribusi sunting

Ulin tumbuh baik di hutan tropis basah, pada tanah yang tidak tergenang air hingga ketinggian 500–625 m dpl, di daerah datar dekat sungai dan anak-anak sungai, daerah bergelombang hingga punggung bukit. Tanah tempat tumbuh ulin umumnya berpasir dengan pH dan unsur hara makro (N, P, K) yang rendah.[7]

Ulin adalah jenis pohon hutan yang menghasilkan kayu bernilai ekonomi tinggi, secara alami hanya terdapat di Sumatra bagian Timur dan Selatan, Pulau Bangka dan Belitung, Kalimantan, Sabah & Sarawak di Malaysia serta Kepulauan Sulu dan Pulau Palawan di Filipina.[8]

Di Sumatera Selatan pohon ulin tumbuh pada tanah-tanah yang mempunyai tekstur lempung liat berpasir dengan kesuburan tanah yang rendah.[9]

Manfaat sunting

Kayu ulin sangat kuat dan awet, dengan kelas kuat I dan kelas awet I mempunyai berat jenis 1,04. Kayu ulin tahan akan serangan rayap dan serangga penggerek batang, tahan akan perubahan kelembaban dan suhu serta tahan pula terhadap air laut. Kayu ini sangat sukar dipaku dan digergaji tetapi mudah dibelah.[10]

Kayu ulin sangat kuat dan sangat awet, sehingga banyak digunakan untuk berbagai keperluan, seperti pondasi bangunan di dalam air dan lahan basah, atap rumah (sirap), kusen dan pintu. Kayu ulin terutama dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, seperti konstruksi rumah, jembatan, tiang listrik, dan perkapalan.[11]

Di Banjarmasin fosil kayu ulin dijadikan batu cincin dan perhiasan. Selain itu, masyarakat di daerah Sumatra dan Kalimantan memiliki kebudayaan membuat rumah panggung dari kayu ulin sebagai pondasi di pinggir sungai atau rawa, karena hanya kayu ulin yang mampu bertahan lama di air.[12]

Kerentanan sunting

Permintaan kayu ulin semakin meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk dan pesatnya pembangunan gedung dan perumahan. Kondisi ini mengancam kelestarian pohon ulin, karena sumber bahan baku kayu ulin hanya diambil dari hutan alam tanpa memperhatikan kelestariannya. Potensi kayu ulin pada awalnya cukup besar dan mudah ditemui di hutan, namun saat ini sudah semakin menipis bahkan pada beberapa tempat sudah langka dan sulit ditemukan.[12]

Pemuliaan sunting

Proses pemuliaan alami di hutan bekas tebangan umumnya kurang berjalan dengan baik.[13] Perkecambahan biji Ulin membutuhkan waktu cukup lama sekitar 6-12 bulan dengan persentase keberhasilan relatif rendah, produksi buah tiap pohon umumnya juga sedikit.[13] Penyebaran permudaan alam secara umum cenderung mengelompok.[13] Ulin tumbuh di dataran rendah primer dan hutan sekunder sampai dengan ketinggian 500m.[13] Biji ulin lebih suka ditiriskan baik tanah, tanah liat berpasir ke tanah liat, kadang-kadang batu kapur.[13] Hal ini umumnya ditemukan di sepanjang sungai dan bukit-bukit yang berdekatan. Hal ini membutuhkan rata-rata curah hujan tahunan 2500–4000 mm.[13]

Konservasi sunting

Pembibitan dan penanaman, baik insitu maupun ex-situ telah dilakukan di beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatra.[14]

Selain itu, di luar Pulau Sumatra dan Kalimantan jenis pohon ulin juga terdapat di Arboretum Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor dan di Hutan Penelitian Sumberweringin Bondowoso, Jawa Timur.[14]

Referensi sunting

  1. ^ Situs viva Borneo: Saatnya Melindungi Kayu Ulin Diarsipkan 2010-06-12 di Wayback Machine. diakses 13 Mei 2010
  2. ^ Yusliansyah, Effendi, E., Ngatiman, Sukanda, Ernayati dan Wahyuni, T. 2004. Status litbang ulin (Eusideroxylon zwagery Teisjm & Binn). Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Samarinda.
  3. ^ a b Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia II. Badan Litbang Kehutanan, Depertemen Kehutanan, Jakarta.
  4. ^ Kompas 19 juli 2009: Kayu Ulin Jadi Objek Wisata di Palangkaraya diakses 13 Mei 2010
  5. ^ Taman Bacaan Bastari Samarinda:Mengenal Kayu Ulin Diarsipkan 2010-06-12 di Wayback Machine. diakses 13 Mei 2010
  6. ^ a b Situs Kidnesia: Pohon Ulin Diarsipkan 2020-10-21 di Wayback Machine. diakses 13 Mei 2010
  7. ^ a b c Sidiyasa, K., Atmoko, T., Ma'ruf, A. dan Mukhlisi. 2013. Keragaman morfologi, ekologi, pohon induk dan konservasi ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm. et Binnend.) di Kalimantan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol 10. No. 3: 241-254
  8. ^ Sidiyasa, K. 2011. Sebaran, potensi dan pengelolaan ulin di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-Jenis Pohon Yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia). Kerjasama Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi dengan ITTO PD 539/09 Rev.1 (F), Bogor.
  9. ^ Nugroho, A.W. 2006. Karakteristik tanah pada sebaran ulin di Sumatra dalam mendukung konservasi. Makalah Penunjang pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian. Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang.
  10. ^ Martawijaya, A., Kartasudjana, I., Mandang, Y. I., Prawira, S. A dan Kadir, K. 1989. Atlas kayu Indonesia. Badan Litbang Kehutanan Departeman Kehutanan, Jakarta.
  11. ^ Ajizah, Aulia (Januari), "Potensi Ekstrak Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri T et B) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus Secara Invitro", BIOSCIENTIAE, 4: 37–42, doi:1693-9472 Periksa nilai |doi= (bantuan) 
  12. ^ a b Wahjono, D dan Imanuddin, R. 2011. Sebaran, potensi dan pertumbuhan/riap ulin (Eusideroxylon zwagery Teisjm & Binn.) di hutan alam bekas tebangan di Kalimantan. Prosiding Lokakarya Nasional Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-Jenis Pohon Yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia). Kerjasama Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi dengan ITTO PD 539/09 Rev.1 (F), Bogor.
  13. ^ a b c d e f Situs Kebun Raya Enrengkang: Kayu Ulin Diarsipkan 2010-05-19 di Wayback Machine. diakses 13 Mei 2010
  14. ^ a b Hakim, L., Prastyono dan Syakur, A. 2005. Eksplorasi ulin di Kalimantan untuk konservasi Exsitu. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Puslitbang Hutan Tanaman, Bogor Vol.2 No.1.