Tujuan

gagasan tentang masa depan atau hasil yang ingin dicapai seseorang atau kelompok

Tujuan atau matalamat (mata alamat)[1] (Inggris: goal) adalah gagasan tentang masa depan atau hasil yang diinginkan, dibayangkan, direncanakan, dan dimaksudkan untuk dicapai seseorang atau sekelompok orang.[2] Orang-orang berusaha untuk mencapai tujuan dalam waktu yang terbatas dengan menetapkan tenggat.

Poster di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menunjukkan Tujuan Pembangunan Milenium

Penetapan tujuan sunting

Teori penetapan tujuan dirumuskan berdasarkan penelitian empiris dan disebut-sebut sebagai salah satu teori terpenting dalam psikologi organisasi.[3] Edwin A. Locke dan Gary P. Latham, bapak teori penetapan tujuan, memberikan tinjauan menyeluruh tentang temuan inti teori pada tahun 2002.[4] Ringkasnya, Locke dan Latham mendapati bahwa tujuan yang spesifik dan sulit menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada tujuan yang mudah atau arahan untuk "melakukan yang terbaik", selagi umpan balik tentang kemajuan diberikan, orang itu berkomitmen terhadap tujuan, dan orang itu mempunyai kemampuan dan pengetahuan untuk melakukan tugas.[5]

Menurut Locke dan Latham, tujuan memengaruhi kinerja dengan cara berikut:[4]

  1. Tujuan mengarahkan perhatian dan usaha terhadap kegiatan pencapaian tujuan,
  2. Tujuan yang sulit menyebabkan usaha yang dilakukan lebih besar,
  3. Tujuan meningkatkan kegigihan sebab tujuan yang sulit memperlama usaha, dan
  4. Tujuan secara tidak langsung menyebabkan bangkitnya gairah, dan penemuan serta penggunaan pengetahuan dan strategi yang mendukung tugas.

Hubungan positif antara tujuan dan kinerja bergantung pada beberapa faktor. Pertama, tujuan harus dianggap penting dan individu harus berkomitmen. Penetapan tujuan berkeikutsertaan dapat membantu meningkatkan kinerja, tetapi keikutsertaan itu sendiri tidak secara langsung meningkatkan kinerja.[4] Keberhasilan diri juga meningkatkan komitmen tujuan.[6] Agar tujuan berhasil guna, orang-orang membutuhkan umpan balik yang memerincikan kemajuan sehubungan dengan tujuan mereka.[4] Umpan balik ini harus positif, langsung, amat jelas, dan spesifik. Memberikan umpan balik menyebabkan penetapan titik acuan dan "perbandingan dengan standar memberitahukan tanggapan perilaku mereka" (Stajkovic A.D. dan Sergent, K, Automasi Kognitif dan Psikologi Organisasi).

Beberapa pembimbing menyarankan menetapkan tujuan spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, bersangkut paut, dan terikat waktu (SMART), tetapi tidak semua peneliti setuju bahwa kriteria SMART ini diperlukan.[7] Kerangka SMART tidak memasukkan kesulitan tujuan sebagai kriteria; Dalam teori penetapan tujuan Locke dan Latham, disarankan untuk memilih tujuan dalam persentil ke-90 dari kesulitan, berdasarkan rata-rata kinerja terdahulu mereka yang telah melakukan tugas itu.[4][8]

Tujuan dapat berjangka panjang, menengah, atau pendek. Perbedaan utamanya adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapainya.[9] Tujuan jangka pendek diharapkan selesai dalam jangka waktu yang relatif singkat, tujuan jangka panjang dalam jangka waktu yang lama, dan menengah dalam jangka waktu yang sedang.

Teori pola pikir fase tindakan sunting

Sebelum individu dapat mencapai tujuan, mereka harus terlebih dahulu memutuskan keadaan akhir yang diinginkan. Teori pola pikir fase tindakan Peter Gollwitzer mengusulkan bahwa terdapat dua fase yang harus dilalui individu jika ingin mencapai tujuan.[10] Untuk fase pertama, individu akan memilih tujuan mereka secara mental dengan menentukan kriteria dan memutuskan tujuan yang akan ditetapkan berdasarkan komitmen untuk mencapainya. Fase kedua adalah fase perencanaan, ketika individu akan memutuskan rangkaian perilaku yang sesuai untuk mereka, yang akan memungkinkan mereka untuk mencapai tujuan atau keadaan akhir yang diinginkan.[11]:342–348

Lihat pula sunting

Rujukan sunting

  1. ^ "Arti kata matalamat". Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. KBBI Daring. Diakses tanggal 05 Januari 2024. 
  2. ^ Locke, Edwin A.; Latham, Gary P. (1990). A theory of goal setting & task performance. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. ISBN 978-0139131387. OCLC 20219875. 
  3. ^ Miner, J. B. (2003). "The rated importance, scientific validity, and practical usefulness of organizational behavior theories: A quantitative review". Academy of Management Learning & Education. 2 (3): 250–268. doi:10.5465/amle.2003.10932132. 
  4. ^ a b c d e Locke, Edwin A.; Latham, Gary P. (September 2002) [2002]. "Building a practically useful theory of goal setting and task motivation: a 35-year odyssey". American Psychologist. 57 (9): 705–717. CiteSeerX 10.1.1.126.9922 . doi:10.1037/0003-066X.57.9.705. PMID 12237980. 
  5. ^ Stajkovic, Alexander D.; Locke, Edwin A.; Blair, Eden S. (September 2006). "A first examination of the relationships between primed subconscious goals, assigned conscious goals, and task performance". Journal of Applied Psychology. 91 (5): 1172–1180. doi:10.1037/0021-9010.91.5.1172. PMID 16953778. 
  6. ^ Stajkovic, Alexander D.; Luthans, Fred (September 1998). "Self-efficacy and work-related performance: a meta-analysis". Psychological Bulletin. 124 (2): 240–261. doi:10.1037/0033-2909.124.2.240. 
  7. ^ Grant, Anthony M (September 2012). "An integrated model of goal-focused coaching: an evidence-based framework for teaching and practice" (PDF). International Coaching Psychology Review. 7 (2): 146–165 (147). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-11-29. Whilst the ideas represented by the acronym SMART are indeed broadly supported by goal theory (e.g. Locke, 1996), and the acronym SMART may well be useful in some instances in coaching practice, I think that the widespread belief that goals are synonymous with SMART action plans has done much to stifle the development of a more sophisticated understanding and use of goal theory within in the coaching community, and this point has important implications for coaching research, teaching and practice. 
  8. ^ Locke, E. A., Chah, D., Harrison, S. & Lustgarten, N. (1989). "Separating the effects of goal specificity from goal level". Organizational Behavior and Human Decision Processes. 43 (2): 270–287. doi:10.1016/0749-5978(89)90053-8. 
  9. ^ Creek, Jennifer; Lougher, Lesley (2008). "Goal setting". Occupational therapy and mental health (edisi ke-4th). Edinburgh; New York: Churchill Livingstone Elsevier. hlm. 111–113 (112). ISBN 9780443100277. OCLC 191890638. Client goals are usually set on two or three levels. Long-term goals are the overall goals of the intervention, the reasons why the client is being offered help, and the expected outcome of intervention... Intermediate goals may be clusters of skills to be developed, attitudes to be changed or barriers to be overcome on the way to achieving the main goals... Short-term are the small steps on the way to achieving major goals. 
  10. ^ Gollwitzer, P. M. (2012). Mindset theory of action phases. In P. A. M. Van Lange. A. W. Kruglanski, & E. T. Handbook of motivation science (pp. 235–250). New York: Guilford Press.
  11. ^ Deckers, Lambert (2018). Motivation: biological, psychological, and environmental (edisi ke-5th). New York: Routledge. ISBN 9781138036321. OCLC 1009183545. 

Bacaan lanjut sunting