Trimurti

Dewa rangkap tiga agama Hindu dari keilahian tertinggi


Trimurti adalah konsep ketuhanan dalam agama Hindu di Pulau Jawa dan Pulau Bali yang meyakini adanya tiga dewa tertinggi dengan tiga tugas yang berbeda. Ketiga dewa ini ialah Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa sebagai pengembali ciptaan ke asalnya.

Trimurti
Makhluk Tertinggi di Alam Semesta
Dewa dari Penciptaan, Pemeliharaan, dan Peleburan
Siwa (kiri), Wisnu (tengah) dan Brahma (kanan)
Afiliasi
Kediaman
MantraOm Tridevaya Namah
Senjata
Wahana
  • Hamsa (Wahana dari Dewa Brahma)
  • Garuda (Wahana dari Dewa Wisnu)
  • Nandi (Wahana dari Dewa Siwa)
Tridevi secara spesifik:
  • Saraswati (Sakti atau Istri dari Dewa Brahma)
  • Lakshmi (Sakti atau Istri dari Dewa Wisnu)
  • Parvati (Sakti atau Istri dari Dewa Siwa)
Trimurti

Sejarah sunting

Pada abad ke-10 Masehi, terjadi konflik antara puluhan sekte agama Hindu di Pulau Bali. Konflik ini berusaha diselesaikan oleh Prabu Udayana dan Mahendradatta dengan mengundang Mpu Kuturan ke Pulau Bali. Penataan atas puluhan sekte kemudian dilakukan oleh Mpu Kuturan sehingga terbentuk satu sekte yakni Sekte Tri Murti dengan ideologi struktur yang terdiri dari tiga hal.  Sekte Tri Murti didirikan di Pura Samuan Tiga, Kabupaten Gianyar. Ideologi ini kemudian membentuk konsep Trimurti pada umat Hindu di Pulau Bali.[1]

Kedudukan sunting

Paham Trimurti dilandasi oleh keyakinan bahwa Tuhan ada dalam bentuk pribadi. Keyakinan ini dikenal dengan nama Saguna Brahman. Panca Sradha yang berisi ajaran mengenai keberadaan Tuhan memberikan sifat materalisme yang cenderung naturalisme dalam ajaran Hindu. Sehingga ketuhanan dalam agama Hindu bersifat politeisme dengan banyak dewa. Namun Panca Sradha mengajarkan adanya peringkat menuju Tuhan yang disebut moksa. Sehingga terbentuk keyakinan bahwa ada dewa yang menjadi sumber kekuatan yang kemudian dikenali sebagai Trimurti.[2]

Tiga Dewa sunting

Trimurti merupakan ajaran agama Hindu mengenai cara penganutnya untuk mengenal Tuhan. Penggambaran Tuhan dengan Trimurti disertai dengan deskripsi.[3] Dalam Trimurti terdapat dewa-dewa yang lebih berkuasa dibandingkan dengan dewa-dewa lainnya. Kekuasaan ini diperoleh melalui perbedaan kekuatan dan kemampuan dari para dewa.[4] Para dewa yang termasuk dalam Trimurti ialah Brahma, Wisnu dan Siwa. Ketiga dewa ini terpisah karena tugasnya berbeda berkaitan dengan atribut sebagai Tuhan. Namun esensi dari ketiga dewa ini bersifat esa, karena ketiganya adalah manifestasi dari pribadi yang satu yaitu Brahman, artinya Trimurti adalah konsep Ketuhanan Modalisme dan Unitarianisme, karena mengimani satu pribadi Brahman yang bermanifestasi dalam tiga wujud yaitu Brahma, Siva dan Visnu.[5]

Brahma sunting

Dalam Trimurti, Brahma berperan sebagai dewa pencipta. Ia diyakini memiliki dua istri yakni Dewi Saraswati dan Gayatri. Brahma digambarkan memiliki senjata berupa usur, bajra, gada, dan panah. Simbol huruf untuk Dewa Brahma ialah Ang atau A. Sementara simbol warna untuk Dewa Brahma adalah merah.[butuh rujukan]

Wisnu sunting

Dalam Trimurti, Wisnu berperan sebagai dewa pemelihara. Ia diyakini memiliki dua istri yakni Laksmi dan Kamajaya. Wisnu digambarkan memiliki senjata berupa cakram dan cakra sudarsana. Simbol huruf untuk Dewa Wisnu ialah Ong atau U. Sementara simbol warna untuk Dewa Wisnu adalah hitam.[butuh rujukan]

Siwa sunting

Dalam Trimurti, Siwa berperan sebagai dewa pelebur. Ia diyakini memiliki dua istri yakni Dewi Durga dan Dewi Parvati. Siwa digambarkan memiliki senjata berupa trisula. Simbol huruf untuk Dewa Siwa adalah Mang atau M. Sementara simbol warna untuk Dewa Siwa adalah panca warna.[butuh rujukan]

Persimbolan sunting

Porosan dalam daksina sunting

Fungsi pencipta, pemelihara da pengembali ke asalnya dalam Trimurti disimbolkan dalam beberapa bentuk. Salah satunya ialah pembuatan porosan dalam daksina. Porosan merupakan suatu pemberian yang terdiri dari buah, sirih dan pamor. Sifat-sifat dari Trimurti kemudian disimbolkan dengan beberapa pemberian lain. Kesuburan diwakili sifatnya dengan memberikan beras. Kesucian diwakili sifatnya dengan telur itik. Keselamatan diwakili sifatnya dengan tapak dara. Kesejahteraan diwaliki sifatnya dengan uang kepeng. Sementara kulit diwakili sifatnya dengan kulit daksina. Keberadaan daksina sendiri mewakili keberadaan Tuhan dan ciptaan-Nya.[6]

Bentuk segi sunting

Trimurti juga dapat dilambangkan melalui bentuk. Brahma sebagai pencipta dilambangkan dengan bentuk segitiga. Wisnu sebagai pemelihara dilambangkan dengan bentuk segi empat. Sementara Siwa sebagai pengembali ke asalnya dilambangkan dengan bentuk lingkaran.[6]

Naga sunting

Naga dijadikan sebagai persimbolan Trimurti melalui tiga sifat yang berbeda. Pada umbul-umbul, terdapat tiga naga yang mewakili Trimurti yakni Basuki, Anantaboga dan Taksaka. Basuki mewakili sifat tanah atau air. Anantaboga mewakili sifat api. Sedangkan Taksaka mewakli sifat angin.[7]

Pemujaan dewa tertentu sunting

Ketiga dewa dalam Trimurti disebut dengan "om" yang berasal dari gabungan tiga huruf yang mewakili masing-masing, yakni A, O, dan M. Penyebutan "om" menjadi ciri khas dari penyebutan Trimurti oleh umat Hindu di Bali.[butuh rujukan]

Pemujaan bersama sunting

Pemujaan ketiga dewa Trimurti dilakukan oleh umat Hindu di Pura Besakih yang terletak di lereng Gunung Agung, Pulau Bali. Namun Pura Besakih juga menjadi pemujaan roh nenek moyang. Adanya dua fungsi pada Pura Besakih berkaitan dengan puncak Gunung Agung yang diyakini sebagai tempat tinggal Sang Hyang Tohlangkir.[8] Umat Hindu di sekitar Candi Ceto tidak melaksanakan pemujaan Trimurti di pura keluarga seperti yang dipraktikkan di Pulau Bali.[9]   

Pemujaan Siwa sebagai Dewa tertinggi sunting

Pemujaan Siwa sebagai Dewa tertinggi di antara Trimurti dipraktikkan di Candi Prambanan. Kedudukan Siwa terlihat pada bentuk candinya yang ramping dan menjulang tinggi. Bentuk candi Siwa dibuat menyerupai gunung suci tempat bersemayam para dewa dalam ajaran agama Hindu yakni Meru.[10]

Referensi sunting

  1. ^ Pageh, I Made. Indigenous Knowledge History and Living Museum: Kajian Kritis Sejarah Keberagaman Nara Bali Dwipa Kontemporer (PDF). Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Ganesha. hlm. 22. 
  2. ^ Khotimah (2013). Agama Hindu dan Ajaran-Ajarannya (PDF). Pekanbaru: Daulat Riau. hlm. 41. ISBN 979-3757-19-1. 
  3. ^ Lubis, Dahlia (November 2019). Aliran Kepercayaan/ Kebatinan (PDF). Medan: Perdana Publishing. hlm. 53. ISBN 978-623-7160-60-1. 
  4. ^ Kasno (2018). Salsabila, Intan, ed. Filsafat Agama (PDF). Surabaya: Penerbit Alpha. hlm. 37. ISBN 978-602-6681-18-8. 
  5. ^ Sulasman, dkk. (2017). Yunani, Ahmad, ed. Islamisasi di Tatar Sunda: Era Kerajaan Sukapura (PDF). Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia. hlm. 116–117. 
  6. ^ a b Ardhana, I. K., dkk. (2020). Ardhana, I Ketut, ed. Pura-Pura Bhinneka Tunggal Ika di Bali: Konsep, Wacana, dan Prospek Masa Depan (PDF). Denpasar: Pustaka Larasan. hlm. 126. ISBN 978-602-5401-69-5. 
  7. ^ Noorwatha, I Kadek Dwi (2019). Naratha-Kanya: Jejak Sejarah Dewa Agung Istri Kanya dan Kebangkitan Seni Kerajaan Klungkung Abad ke-19 (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 209. ISBN 978-623-7092-10-0. 
  8. ^ Padmapuspita Y, Ki (1982). Bobin AB dan Husna, ed. Candi Sukuh dan Kidung Sudamala (PDF). Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 4–5. 
  9. ^ Ardhana, I. K., dkk. (2019). Ardhana, I. K., dan Aswarini, N. M. F., ed. Dinamika Hindu di Indonesia (PDF). Denpasar: Pustaka Larasan. hlm. 149. ISBN 978-602-5401-54-1. 
  10. ^ Kartapranata, Gunawan (2014). "Candi Prambanan: Kemegahan Siwagrha Mataram Kuno". Indonesia dalam Infografik. Jakarta: Kompas Media Nusantara. ISBN 978-979-709-841-4. 

Pranala luar sunting