Tionghoa Benteng

suku bangsa di Indonesia

Orang Tionghoa Benteng (atau lebih dikenal dengan sebutan Cina Benteng atau Orang Benteng) adalah panggilan yang mengacu kepada masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah Tangerang, Provinsi Banten. Nama "Tionghoa Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama Kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di Kota Tangerang di pinggir Sungai Cisadane, difungsikan sebagai pos pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan benteng terdepan pertahanan Belanda di Pulau Jawa. Masyarakat Tionghoa Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Mereka adalah komunitas Tionghoa Peranakan terbesar di Indonesia. Setelah masa peralihan 1945—1950, banyak dari mereka yang eksodus ke Belanda dan Amerika Serikat.

Pernikahan pada kalangan Tionghoa Benteng.

Sejarah sunting

 
Denah Benteng Tangerang tertanggal 1709

Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan), keberadaan komunitas Tionghoa di Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama dari dataran Tiongkok yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.

Warga Tionghoa Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik. Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah warga Tionghoa Benteng. Bahkan, meja abu yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut dicuri. Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Rosihan Anwar dalam Harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan warga Tionghoa Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem. Terlebih setelah Pao An Tui, kelompok pemuda Tionghoa Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat Tionghoa Benteng yang selamat ke Batavia.[1] Etnis pribumi pendatang (kebanyakan Jawa dan Madura) beserta beberapa laskar liar seperti Laskar Hitam, melakukan peyerangan terhadap masyarakat sipil karena mereka dianggap collaborator NICA, akhirnya kerusuhan ini berhasil diredam oleh tentara gabungan NICA dan Pao Au Tui. Namun, akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Pao An Tui dan tentara Kolonial Belanda.

Saat itu, semua etnis Tionghoa Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan tanah diserobot pribumi atau mereka mendapati rumah-rumah yang mereka tinggalkan telah rata dengan tanah. Kini, mereka kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung dan memang melanggar peraturan daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.

Penggolongan sunting

Orang Tionghoa Benteng terbagi menjadi dua golongan berdasarkan keberangkatan mereka dari Tiongkok sebagai berikut.

  1. Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad ke-15, mereka datang untuk menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang. Mereka mencapai Tangerang dengan menggunakan perahu sederhana dan pada awalnya hidup pas-pasan dan bekerja dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Dewasa ini, kebanyakan Tionghoa Benteng golongan pertama ini hidup pas-pasan dan sudah terasimilasi dengan budaya pribumi Sunda dan Betawi. Kebanyakan dari mereka tinggal di pedesaan.
  2. Golongan kedua adalah mereka yang datang pada abad ke-18 dan mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwa mereka akan tetap loyal terhadap Kaisar Dinasti Qing. Mereka datang bersama-sama dengan kapal dagang Belanda dengan motivasi mendapat penghasilan yang lebih layak dengan menjadi petani kapas dan padi, banyak juga yang menjadi tentara kolonial Belanda. Tionghoa Benteng golongan kedua ini hampir semuanya hidup sejahtera dan kental dengan sifat aristokrasi. Terdapat tujuh keluarga besar yang selama cukup lama menguasai sebagian besar lahan di Tangerang. Mereka disebut dengan "setsei" (seven great families): House of Oey, House of Ong, House of Li, House of Lim, House of Teng, House of The, House of Tan.

Pakaian adat sunting

Pakaian adat suku Tionghoa Benteng merupakan perpaduan antara pakaian adat suku besar Tionghoa (yang didominasi suku Hokkian) dan pakaian adat suku Betawi. Pakaian adat prianya berupa baju koko hitam dan celana panjang, dengan topi yang khas yang mirip dengan caping. Sementara itu, pakaian adat wanitanya dinamakan hwa kun, yang berupa blus dan bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah. Namun, sering kali digunakan pula kebaya encim, dengan aksen kembang goyang sebagai hiasan kepala, yang menunjukkan pengaruh Betawi dalam pakaian tersebut.

Kontribusi pada kolonialisme Belanda sunting

Tionghoa Benteng golongan kedua tersebut juga adalah proyek pemerintah kolonial Belanda, yaitu "One harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch colonial Empire". Proyek pemerintah kolonial ini adalah menggabungkan tiga bangsa, yaitu Tionghoa, Belanda, dan Sunda-Betawi, menjadi satu etnis Peranakan mirip dengan Creolle di negara-negara jajahan Spanyol di Benua Amerika. Harapan nya "ras baru" ini hanya akan loyal terhadap pemerintah Belanda. Mereka berkontribusi besar terhadap kelangsungan kekuasaan kolonial Belanda di Tangerang, banyak dari mereka yang diangkat menjadi kapitein Tionghoa (House of Oey) pada era feodalisme tuan tanah di Tangerang, dan mereka sangat loyal terhadap Belanda. Pada saat Jepang menduduki Indonesia, mereka melawan Jepang dengan gagah berani walaupun akhirnya kalah.

Tangerang merupakan daerah terakhir yang dikuasai Belanda di pulau Jawa, daerah ini baru seluruhnya diserahkan kepada Republik pada awal tahun 1950. Orang-orang Tionghoa Benteng golongan kedua tersebut merasa sangat ketakuan saat Belanda meninggalkan Tangerang pada tahun 1950 dan menyerahkan kota itu kepada Republik. Kemudian terjadilah penyerangan dan perampasan terhadap orang-orang Tionghoa Benteng, banyak di antara mereka yang dulunya kaya sekarang menjadi miskin karena harta leluhur mereka dirampas. Bagi mereka, hidup lebih sejahtera selama pada zaman kolonial Belanda daripada setelah Tangerang masuk ke-dalam Republik Indonesia. Setelah penyerahan tahun 1950 tersebut, terjadi eksodus besar-besaran Tionghoa Benteng ke Belanda serta California dan Lousiana (Amerika Serikat).

Masa kini sunting

Orang Tionghoa Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap (walaupun tetap berkulit kuning) dibandingkan warga keturunan Tionghoa lainnya di Indonesia, mereka lebih mirip dengan orang-orang Vietnam ketimbang orang Tiongkok. Kesenian mereka yang terkenal adalah kesenian campuran Betawi-Tionghoa, yaitu Cokek yang merupakan sebuah tarian berpasangan lelaki dan perempuan dengan iringan musik gambang kromong. Agama yang dianut beragam, antara lain Konghucu, Buddhisme, Taoisme, Katholik, Protestan, Pemujaan Leluhur, Pemujaan Surga, dan ada sedikit yang beragama Islam.

Hal menarik dari Tionghoa Benteng adalah biarpun mereka sudah tidak berbahasa Tionghoa lagi, mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan tradisi Tiongkok, ini bisa dilihat dari tradisi pernikahan mereka yang menggunakan upacara pernikahan gaya Dinasti Manchu (Qing), mereka juga mengenakan pakaian gaya Dinasti Manchu seperti Manchu robe dan Manchu hat pada saat menikah. Orang Tionghoa Benteng adalah satu-satu nya komunitas Tionghoa di Indonesia yang memiliki darah orang Manchu karena hanya orang Tionghoa Benteng yang masih tetap menggunakan upacara nikah gaya Dinasti Manchu setelah Dinasti Qing runtuh pada tahun 1912, di tiongkok sendiri, upacara nikah gaya Dinasti Qing itu sudah hampir hilang dan sangat jarang ditemukan.

Demografi sunting

Mayoritas masyarakat Cina Benteng memeluk perpaduan antara agama Buddha dan Konghucu

Keturunan Dinasti Qing sunting

Sebagian di antara warga Tionghoa Benteng yang bermarga 王 "Wang" (Hokkien: Ong) adalah keturunan dari keluarga kekaisaran Dinasti Qing (klan Manchu Aisin-Giorio atau Aixinjueluo dalam bahasa mandarin). Mereka adalah keturunan dari anak haram hasil hubungan gelap Kaisar Qianlong dengan seorang gadis cantik bermarga Oog di provinsi Fujian. Karena sang Kaisar tidak mau hubungan gelapnya diketahui publik, untuk menyembunyikan fakta tersebut, anak hasil hubungan haram tersebut diberi nama marga Wang (王).

王 (Hokkien: Ong) adalah karakter Mandarin untuk "raja", yang digunakan untuk orang yang merupakan keturunan penguasa, tetapi tidak pernah berkuasa. Informasi yang salah menyatakan mereka menggunakan marga Ong karena ibu dari anak haram itu juga bermarga Ong, tetapi sebenarnya ini adalah sebuah kebetulan. Nama marga Wang pertama kali digunakan oleh Keluarga Zi (penguasa Dinasti Shang), kemudian oleh Keluarga Ji (penguasa Dinasti Zhou) saat mereka sudah tidak berkuasa lagi.

Namun, tidak semua orang Tionghoa Benteng bermarga Ong adalah keturunan Aixinjueluo. Keturunan Kaisar Qianlong kini mengggunakan nama Indonesia Wangsa Mulya/Wangsa Mulia, untuk membedakan diri dari marga Ong yang lain. Nama Wangsa Mulia sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, Wangsa (dinasti), dan Mulia (murni) apabila diterjemahkan ke bahasa inggris menjadi "Pure Dynasty". Sementara itu, kata "Qing" sendiri berarti "pure" sehingga secara harafiah Wangsa Mulia dalam bahasa Sansekerta berarti "Qing Dynasty".

Seiring waktu, kebanyakan orang dari keluarga Wangsa Mulya tidak menyadari kalau mereka adalah keturunan Dinasti Qing, tetapi bagimanapun juga darah dan napas Kekaisaran Qing Raya tetap mengalir pada diri mereka. Mereka hidup modern, tetapi memegang teguh sifat ultra-konservatif, seperti feodalisme dan anti-feminisme. Informasi terbaru menyatakan mereka mewarisi ketuantanahan luas yang meluputi daerah yang sekarang adalah sebagian dari BSD dan Gading Serpong.

Sejarah mengenai Tionghoa Benteng dapat dilihat di Museum Benteng Heritage, Pasar Lama, Tangerang.

Referensi sunting

  1. ^ Donald E. Willmott, The National Status of the Chinese in Indonesia 1900-1958, Equinox Publishing (2009), pp. 38-39