Teluk Buyat

salah satu teluk di dunia

Teluk Buyat merupakan teluk kecil yang terletak di pantai selatan Semenanjung Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Secara administratif, teluk ini berada di Kabupaten Minahasa Tenggara.

Teluk Buyat Sulawesi Utara dari bukit pengharapan

Teluk ini sempat terkenal dikarenakan adanya aktivitas pertambangan PT Newmont Minahasa Raya sejak tahun 1996, dimana Newmont Mining Corporation di bawah cabangnya PT. Newmont Minahasa Raya memanfaatkan teluk ini sebagai aliran penempatan tailing (limbah pertambangan) untuk aktivitas pertambangan emasnya. Pada tahun 2004, terdapat kasus masalah kesehatan tak lazim yang kemudian mengarah kepada kecurigaan bahwa Newmont melanggar peraturan kadar limbah pertambangan sehingga mencemari wilayah itu dengan bahan berbahaya.[1] Walhi, aktivis lingkungan Indonesia, mengklaim Newmont menimbun 2.000 ton tailing ke teluk itu setiap hari.[2]

Kasus yang mencuat pada tahun 2004 ini bersamaan dengan habisnya produksi emas dan penghentian operasi sesuai rencana yang sudah disetujui pada tahun 2002. Pada tahun 2004, akhirnya aktivitas pertambangan ditutup dan dilanjutkan dengan pemantauan lingkungan pasca-penambangan terus berlangsung hingga tahun 2009. Pada Juli 2011 Pemerintah Indonesia menerima secara resmi area pinjam pakai kawasan hutan. Sedangkan penelitian mengenai kasus Buyat diteruskan hingga tahun 2013 dimana menghasilkan tidak ditemukan pencemaran dan kasus sebelumnya merupakan indikasi akibat praktik pertambangan liar. Pada tahun 2016, genap 30 tahun beroperasi, Newmont total menutup kegiatan di Buyat dan meninggalkan warisan Hutan wisata yang dikelola sebagai Eko Wisata oleh pemerintah setempat.

Sejarah sunting

 
Pantai Teluk Buyat

Teluk Buyat berada di sisi tenggara lengan semenanjung Sulawesi bagian utara, menghadap Laut Maluku. Di sekitar teluk ini tinggal sejumlah nelayan. Sejak tahun 1996, Teluk Buyat digunakan sebagai daerah penimbunan untuk Mesel Gold Mine, dijalankan oleh PT Newmont Minahasa Raya, perusahaan cabang Newmont Mining Corporation yang memiliki saham 80%.[3]

Kronologis PT NMR

1985 Berdirinya PTNMR.
1986 Kontrak Karya Ditandatangani.
1992 Studi Kelayakan.
1994 ANDAL, RKL/RPL disetujui.
1995 Konstruksi dimulai
1996 Produksi emas dimulai.
2001 Penambangan berakhir.
2002 Rencana Penutupan Tambang disetujui.
2004 Produksi emas Berakhir dan Penghentian Operasi
2004-2009 Pemantauan Pasca Tambang & Pemeliharaan Reklamasi
Juli 2010 SK Menhut RI No: SK. 435/2010 tentang Pengakhiran Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan Hutan PTNMR
Jan 2011 Penyerahan kembali Area Pinjam Pakai Kawasan Hutan kepada Pemerintah Indonesia.
2016 PT NMR Mengakhiri total kegiatannya setelah 30 tahun

Polusi sunting

Pada pertengahan tahun 2004, tepat ketika tambang akan ditutup, tiba-tiba sekelompok nelayan setempat memohonkan penyelidikan independen kepada Pemerintah Indonesia atas kadar limbah tambang Newmont di Teluk Buyat. Nelayan setempat melihat jumlah ikan yang mati mendadak amat tinggi disertai dengan pembengkakan yang tak biasa, hilangnya ikan bandeng muda dan spesies lain di wilayah teluk. Mereka juga mengeluhkan masalah kesehatan yang tak biasa seperti penyakit kulit yang tak dapat dijelaskan, tremor, sakit kepala, dan pembengkakan aneh di leher, betis, pergelangan tangan, bokong, dan kepala. Penelitian itu menemukan beberapa logam berat seperti arsen, antimon, merkuri, dan mangan yang tersebar di sana dengan kepadatan tertinggi di sekitar daerah penimbunan.[2]

Pada bulan November 2004, WALHI (LSM lingkungan) bersama dengan beberapa organisasi nirlaba (Indonesian Mining Advocacy Network, Earth Indonesia, dan Indonesian Center for Environmental Law) mengumpulkan laporan yang lebih menyeluruh atas keadaan Teluk Buyat, menyimpulkan teluk itu dicemari oleh arsen dan merkuri dalam kadar yang berbahaya, sehingga berisiko tinggi bagi masyarakat.[1] Sampel endapan dasar Teluk Buyat menunjukkan kadar arsen setinggi 666 mg/kg (ratusan kali lebih besar daripada Kriteria Kualitas Perairan Laut ASEAN yang hanya 50 mg/kg) dan kadar merkuri rata-rata 1000 µg/kg (standar yang sama menetapkan 400 µg/kg). Dibandingkan dengan sampel kontrol alami dari tempat yang tak dipengaruhi penimbunan limbah pertambangan, studi itu juga menyimpulkan bahwa kadar arsen dan merkuri itu tidak alami dan satu-satunya sumber yang mungkin adalah dari penimbunan limbah pertambangan Newmont. Merkuri dan arsen tertumpuk di berbagai organisme hidup di Teluk Buyat termasuk ikan yang dimakan setiap hari oleh penduduk setempat. Kesehatan manusia berada dalam bahaya dan laporan itu merekomendasikan konsumsi ikan harus dikurangi secara signifikan dan mungkin relokasi penduduk ke daerah lain.

Pada tahun 1994, AMDAL Newmont menegaskan adanya lapisan termoklin pada kedalaman 50–70 meter sebagai penghalang bagi tailing untuk bercampur dan menyebar di Teluk Buyat. WALHI, pada saat kasus ini terjadi mengatakan tak menemukan lapisan yang dimaksud.[1] Kontroversi ini kemudian melanjutkan kasus ke pengadilan untuk menemukan pihak mana yang benar dan apakah kasus terjadi karena ketidakpuasan komunitas pelapor akibat rencana penutupan Newmont yang sudah disetujui dua tahun sebelumnya.

Perkara sunting

Pada bulan Agustus 2004, Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengajukan tuntutan perkara sebesar US$133,6 juta terhadap Newmont, mengklaim bahwa tailing dari pertambangan NMR telah mencemari Teluk Buyat di Sulawesi Utara, menyebabkan penduduk desa di sekitarnya sakit parah dan kontaminasi ikan setempat. Newmont menyangkal dugaan tersebut dengan menyatakan bahwa penyakit itu terkait pada higiene yang buruk dan kemiskinan. Pada tanggal 15 November 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggugurkan gugatan tersebut karena alasan teknis, mengatakan pemerintah melanggar masa kontraknya dengan Newmont pada saat mengambil tindakan hukum sebelum mencari arbitrasi. Aktivis lingkungan meminta gugatan itu dinaikbandingkan, namun pada tanggal 1 Desember 2005 Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar berkata bahwa pemerintah berharap mencapai penyelesaian luar pengadilan dengan cabang setempat Newmont. "Dengan membicarakan penyelesaian, kita berhadap dapat memberikan ganti rugi kepada penduduk yang tinggal dekat pertambangan dengan cepat," katanya. Tim negosisasi pemerintah dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Aburizal Bakrie. Pada tanggal 16 Februari 2006, pemerintah Indonesia mengumumkan untuk menyelesaikan gugatan perdata sebesar US$30 juta agar dibayarkan selama 10 tahun berikutnya. Persetujuan itu juga termasuk pemantauan ilmiah dan program pembangunan masyarakat berkelanjutan untuk Sulawesi Utara. Newmont, dengan nilai pasar US$25 miliar, diharapkan menghasilkan US$5 miliar pada tahun 2006.

Meskipun gugatan perdata digugurkan, masih ada gugatan kriminal terhadap eksekutif tinggi Newmont di Indonesia, Richard Ness, dengan dakwaan yang sama. Pengadilannya dimulai pada bulan Agustus 2005—jika dihukum, Ness menghadapi hukuman 10 tahun penjara. Jaksa menyarankan hukuman finansial US$110.000 untuk Newmont dan US$55.000 untuk Ness.[4]

Pada tanggal 24 April 2007, Ness dibebaskan dari segala dakwaan terkait dugaan pencemaran di Teluk Buyat.[5]

Walau demikian, penelitian mengenai Pencemaran di Teluk Buyat tetap berjalan selama enam tahun dari 2007-2013, dimana hasil akhir mengonfirmasi bahwa PT Newmont Minahasa Raya memang tidak melakukan pencemaran. Pada hasil penelitian yang dipresentasikan dihadapan semua stakeholders pada Panel Ilmiah Independen (PII) pada Sabtu, 19 Mei 2013 yang lalu di Manado, Menteri Riset dan Teknologi pada waktu itu, Gusti Muhammad Hatta menyatakan "“Semua makhluk hidup, ikan, dan juga terumbu karang serta airnya tetap baik dan di bawah baku mutu”. Penelitian akan tetap dilanjutkan hingga 2016 untuk memastikan sepuluh tahun setelah operasi Newmont Minahasa Raya selesai.

Lima Pakar yang menyampaikan hasil penelitian yakni, Prof Dr Irene Umboh DEA (dari Universitas Negeri Manado), Prof Dr Ineke Rumengan MSc (Universitas Sam Ratulangi Manado), Pro Dr Amin Subandrio (UI), Prof Dr Mukhtasar Phd dari (ITS) Surabaya, dan dua dari luar negeri yakni Tohmas S Phd dari (Colorado AS) dan Keith Wiliam Phd dari (Australia). Menurut Prof Ineke Rumengan, masyarakat bisa makan ikan di Teluk Buyat. Karena tidak ada ikan yang tercemar, karena air memang bersih dan tidak ada merkuri dan arsen. Hal yang sama juga dikatakan Prof Irene Umboh, yang meneliti mengenai terumbu karang. Ia mengatakan, terumbu karang tetap bagus bahkan tetap bertambah terus.[1] Diarsipkan 2015-02-18 di Wayback Machine.

Penggambaran media sunting

Film dokumenter berjudul Bye Bye Buyat dibuat pada tahun 2006 dan memenangkan Festival Film Indonesia pada tahun itu juga. Newmont Mining Corp. keberatan pada film itu dengan mengatakan film itu ikut campur pengadilan polusi Ness yang kontroversial.[6] Padahal kasus belum selesai dan dengan demikian mengindahkan sesuatu perkara yang belum terbukti.

Lihat juga sunting

Rujukan sunting

  1. ^ a b c "Buyat Bay is polluted and a risk to the community: Highlights of the joint investigation of Buyat Bay" (Siaran pers). WALHI. 10 November 2004. Diakses tanggal 2007-05-10.  "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-05-13. Diakses tanggal 2010-08-25. 
  2. ^ a b "Heavy Metals Contamination Found in Buyat Bay, North Sulawesi". WALHI. 10 August 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2007-10-05. 
  3. ^ "Buyat Bay Brochure" (PDF) (Siaran pers). Newmont Mining Corporation. May 2006. Diakses tanggal 2007-07-25.  "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-08-14. Diakses tanggal 2010-08-25. 
  4. ^ Jon A. Nones (2006-11-11). "Newmont Executive Faces Three Years in Prison". Resource Investor. 
  5. ^ http://www.boston.com/business/articles/2009/03/09/study_says_newmont_should_improve_community_ties/
  6. ^ "Mining firm objects to pollution film up for Indonesian award". Agence France-Presse. 2006-12-20. [pranala nonaktif permanen]

Pranala luar sunting

Koordinat: 0°50′34″N 124°42′11″E / 0.8426553°N 124.7031069°E / 0.8426553; 124.7031069