Tarum
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
(tanpa takson):
(tanpa takson):
(tanpa takson):
Ordo:
Famili:
Subfamili:
Tribus:
Genus:
Spesies:
I. tinctoria
Nama binomial
Indigofera tinctoria

Tarum atau nila (Indigofera tinctoria, suku polong-polongan atau Fabaceae) merupakan tumbuhan penghasil warna biru alami. Penggunaan zat pewarna pakaian ini terutama dilakukan dalam pembuatan batik atau tenun ikat tradisional dari Nusantara. Zat pewarna nila, sebagai produk dari tumbuhan ini, juga merupakan komoditas dagang yang penting. Daun dari indigofera juga dapat digunakan sebagai pakan ternak yang lebih murah

Tumbuhan ini berbentuk semak-semak dan banyak ditemukan pada daerah tropis dan temperate. Bergantung pada iklim tempat indigofera ditumbuhkan, indigofera dapat memiliki siklus hidup annual, biennial, ataupun perennial. Secara morfologis, tumbuhan ini memiliki daun berwarna hijau muda dan bunga berwarna merah muda keunguan. Indigofera ini dikenal dengan kemampuannya menghasilkan zat warna nila yang disebut indigotin.

Warna biru nila diperoleh dari rendaman daun (dalam jumlah banyak). Akar tarum atau tarum areuy yang juga sering dipakai orang adalah Marsdenia tinctoria. Warna biru dihasilkan dari perendaman daun selama semalam. Setelah semalam akan terbentuk lapisan di atas yang berwarna hijau atau biru. Cairan ini lalu direbus, lalu dijemur hingga kering.

Tidak hanya digunakan sebagai penghasil zat warna dan makanan ternak, indigofera juga memiliki manfaat terhadap lingkungan. Indigofera diketahui dapat mencegah erosi pada tanah disebabkan akarnya yang kuat.Tumbuhan ini sangat baik karena menyuburkan tanah dan dapat menahan erosi. [1]

Batik dan Tarum sunting

Pada mulanya para pengusaha batik menggunakan pewarna alami untuk mewarnai kain batik mereka, untuk warna biru terutama memakai tarum. Kemudian zat pewarna buatan didatangkan dan diperkenalkan kepada para pengusaha batik. Di luar dugaan, pengusaha batik lebih memilih untuk menggunakan pewarna buatan. Ketika pemerintah kolonial Belanda menghentikan impor pewarna buatan pada tahun 1914, reaksi keras datang dari pengusaha batik. Pamor tarum terus merosot dan tidak ada yang berusaha mengolah tarum secara lebih mudah.

Budidaya Tarum sunting

Tarum umumnya dikultivasi pada tegalan ataupun sawah. Terdapat dua metode budidaya tarum. Metode pertama adalah dengan mencangkok potongan batang tarum, sementara metode kedua adalah dengan menanam bijinya. Meskipun begitu, penanaman dari biji lebih disukai karena akan menghasilkan tumbuhan dengan akar yang lebih kuat dan juga ukuran yang lebih besar. Secara umum, budidaya tarum dimulai dari persiapan lahan. Lahan yang baik untuk menanam tarum adalah lahan yang gembur, dekat dengan sumber air, dan terpapar sinar matahari.

Sebelum dilakukan penanaman, bagian tempat penanaman benih harus digemburkan terlebih dahulu membentuk alur tanam seperti pada kultivasi cabai. Selanjutnya, pada alur yang telah dibuat dimasukkan pupuk untuk mempercepat pertumbuhan tarum. Setelah itu, maka, benih siap ditanam. Benih yang hendak ditanam sendiri harus dipersiapkan terlebih dahulu. Pertama-tama, biji tarum ditumbuhkan pada polybagkecil. Umumnya, diperlukan waktu dsekitar 7-10 hari hingga benih berkecambah. Setelah itu, kecambah dipindahkan ke dalam media tanam yang baru. Dalam waktu 1 bulan, akan didapat tanaman tarum muda. Tanaman muda inilah yang akan ditanam pada lahan perkebunan dan dapat dipanen setelah 60 hari. Setelah itu, tumbuhan dapat terus dipanen dalam interval 60 hari. Pertumbuhan tarum ini dapat dipercepat melalui beberapa hal. Secara tradisional, diperlukan adanya empat kali pemangkasan atau defoliase dalam setiap interval panen untuk mendapat biomassa daun muda yang lebih banyak. [2]

Produk Indigofera sunting

Dari indigofera sendiri, produk primer yang dapat dimanfaatkan adalah berupa daun atau hijauan indigofera yang digunakan sebagai pakan ternak. Untuk pakan ternak sendiri, bagian yang digunakan adalah pucuk yang masih muda dari tumbuhan indigofera. Hijauan ini memiliki standar umum seperti pakan ternak pada umumnya yang dapat dilihat berdasarkan SNI sesuai ternak yang digunakan. Sementara itu, produk sekunder dari indigofera adalah zat warna indigotin. Indigotin adalah zat warna yang tidak larut dalam air dan termasuk zat warna vat/ bejana. Indigotin sendiri didapat dari daun indigofera yang direndam semalaman. Rendaman daun ini lalu difermentasi selama beberapa waktu untuk mengubah senyawa glycoside indicant di dalam daun indigofera menjadi indigotin. Daun yang telah terfermentasi lalu akan mengendap. Indigotin dalam endapan ini kemudian dapat diekstraksi dengan penambahan basa kuat. Untuk indigotin sendiri, tidak terdapat standar yang mengatur secara jelas karena sifatnya yang merupakan pewarna alami dan lebih sering digunakan pada industri setempat seperti pembuatan batik.[3]

Meskipun memiliki banyak kegunaan, namun di Indonesia sendiri, indigofera lebih umum digunakan sebagai pakan ternak. Hal ini dikarenakan indigofera memiliki biaya produksi yang lebih murah dibanding pakan ternak lain seperti alfalfa. Namun, di saat bersamaan, indigofera memiliki kandungan nutrisi yang setara. Salah satu daerah yang telah secara intensif memproduksi indigofera adalah Jawa Barat. Di Jawa Barat sendiri, terdapat "Gerakan Indigofera" atau GENDIR. Saat ini, gerakan ini telah aktif berjalan di Kabupaten Indramayu. Hal ini disebabkan topologi dari Indramayu yang merupakan daerah persawahan, sehingga peternak di sana memiliki kesulitan untuk mendapat rumput bagi pakan ternak. Padahal, jumlah sapi di Indramayu rata-rata mencapai 11.560 ekor sapi. Di sisi lain, indigofera memiliki kadar protein yang tinggi yaitu sebesar 31 %. Dari satu hektar lahan indigofera, dapat dicapai keuntungan hingga 2, 8 juta. Oleh karena itu, mulai banyak petani yang memproduksi indigofera di daerah Jawa Barat. [4]

Kandungan Tarum sunting

Analisis kandungan tarum menunjukkan adanya kandungan senyawa alkaloid seperti glikosida cianogenik, guanidin alkaloid, asam fenolik, fenolik glikosida flavonoids, isoflavonoid, dan indigotin itu sendiri. Tidak hanya itu, tarum juga memilki senyawa derivate rotenoid yang memiliki sifat bioaktif sebagai insektisida. Tarum juga diketahui kayak akan protein, kalsium, dan fosfor. Analisis ini dilakukan menggunakan TLC dan RP-HLPC. Sayangnya, belum dilakukan analisis metabolomic lebih lanjut terhadap perbedaan metabolit yang dihasilkan oleh tarum pada kondisi yang berbeda, sehingga analisis metabolimik dalam hal ini belum dapat diaplikasikan. Untuk ke depannya, analisis metabolimik dapat dilakukan untuk menganalisis perbedaan kandungan metabolit tarum dengan tanaman pakan lainnya seperti alfalfa. Selain itu, dapat pula dilakukan analisis produksi metabolit tertentu seperti indigotin dalam kondisi tumbuh yang berbeda. Dengan begitu, dapat diketahui kondisi yang paling mendukung produksi komoditas dari indigotin.[1]

Tarum dan nama tempat sunting

Pada masa lalu tarum merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Sunda. Banyak tempat di wilayah Jawa Barat yang dinamai berdasarkan nama tumbuhan ini, seperti Ci Tarum, Kerajaan Taruma, Kota Banjar Pataruman, dan Tarumajaya.

Sumber sunting

  1. Muzayyinah. (2014). Indigofera: kini dan nanti. Bioedukasi, 7(2), 23-26
  2. Abdullah, L. (2014). Prospektif agronomi dan ekofisiologi indigofera zollingeriana sebagai tanaman penghasil hijauan pakan berkualitas tinggi. Pastura,3(2), 79-83
  3. Wahyuningsih, S., Ramelan, A.H., Wardani, D.K. (2017). Indigo dye derived from Indigofera tinctorial for naturan food colorant. IOP: Material Science and Engineering, 193, 1.
  4. Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Bandung. 2018. Pakan Indigofera untuk Ternak Kambing. [online]. https://badungkab.go.id/instansi/diperpa/baca-artikel/529/Pakan-Indigofera-Untuk-Ternak-Kambing.html. Diakses 4 April 2019.

Situs web tanaman perkebunan Diarsipkan 2007-07-07 di Wayback Machine.