Sunan Nata Alam

Sultan Kerajaan Banjar

Pangeran Nata[9] atau Nata Negara / Nata Dilaga[10][11] bergelar Sultan Tamhidillah atau Sulthan Tahmidillah[12] (tepatnya Tahhmid Illah II)[13] atau Wira Nata[14] atau Panembahan Ratoe[15] atau Susunan Sultan Sulaiman Saidullah (ke-1) atau Sunan Nata Alam atau Panembahan Batoe[16][17][18] adalah mangkubumi dan Wali Sultan Banjar tahun 1761-1801.[3][19] atau 1778-1808.[20][21]

Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Panembahan Batuah Sunan Nata Alam-Sultan Tahmidillah [1]
SULTAN BANJAR X

1. Pangeran Nata Dilaga
2. Pangeran Wira Nata
3. Pangeran Nata Negara
4. Kaharuddin Halilullah (1761- 1801)
5. Akamuddin Saidullah (1762)
6. Amirul Mu’minin Abdullah
7. Amirul Mu'minin Abdullah
8. Susuhunan/Sunan Nata Alam (1772) 9. Sunan Soleman Sa'idallah 10. Sultan Sulaiman Saidullah (1787) 11. Sultan Batu[2]
12. Panembahan Anum (1798 - 1801)

13. Panembahan Ratu (1797)
BerkuasaPangeran Nata Mangkoe Boemi1761-1801[3]
PendahuluSultan Muhammadillah
PenerusSultan Sulaiman
SultanLihat daftar
KelahiranPangeran Nata Dilaga[4]
Kematian1808
Kesultanan Banjar Banjar[5][6]
Pemakaman
WangsaDinasti Banjarmasin
AyahSultan Tamjidillah I
Anak1. ♂ Pengeran Ratu Sultan Soleman (anak dengan Ratu Lawiyah binti Sultan Mohammad Alieuddin Aminullah Muhammad dari Banjar bin Sulthan Chamiedoela /Chamidullah /Hamidullah Hamidullah dari Banjar)[7]

2. ♂ Ratu Anum Mangku Dilaga/Pangeran Mangkubumi Sukma Dilaga Ratu Anom Ismail Pangeran Ismael - (Pangeran Asmail)death: 1833 (anak dengan Ratu Lawiyah binti Sultan Mohammad Alieuddin Aminullah Muhammad dari Banjar bin Sulthan Chamiedoela /Chamidullah /Hamidullah Hamidullah dari Banjar)[7]
) ditahan kemudian dibunuh oleh Sultan Sulaiman karena diduga akan melakukan kudeta.Jabatan mangkubumi kemudian dipegang oleh Pangeran Husein dengan gelar Pangeran Mangkubumi Nata putera Sultan Sulaiman sendiri

3. ♀ Ratu Siti Air Mas (anak dengan Ratu Lawiyah binti Sultan Mohammad Alieuddin Aminullah Muhammad dari Banjar bin Sulthan Chamiedoela /Chamidullah /Hamidullah Hamidullah dari Banjar)[7]
diperistri Pangeran Ratu Abdoe'llah/Amieroel Moeminien Abdoellah Putra Mahkota bin SULTAN BANJAR ♂ Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah Muhammadillah Muhammad dari Banjar bin Paduka Seri Sultan Chamidullah Hamidullah dari Banjar

4. ♀ Ratu Maimunah diperistri Pangeran Said Zein bin Umar Bahasyim (anak dengan Ratu Lawiyah binti Sultan Mohammad Alieuddin Aminullah Muhammad dari Banjar bin Sulthan Chamiedoela /Chamidullah /Hamidullah Hamidullah dari Banjar)[7]

5. ♀ Ratu Nata Kasuma (anak dengan Ratu Lawiyah binti Sultan Mohammad Alieuddin Aminullah Muhammad dari Banjar bin Sulthan Chamiedoela /Chamidullah /Hamidullah Hamidullah dari Banjar)[7]

6. ♂ Pangeran Nata (anak dengan Ratu Lawiyah binti Sultan Mohammad Alieuddin Aminullah Muhammad dari Banjar bin Sulthan Chamiedoela /Chamidullah /Hamidullah Hamidullah dari Banjar)[7]

7. ♀ Gusti Kanifah (anak dengan Ratu Lawiyah binti Sultan Mohammad Alieuddin Aminullah Muhammad dari Banjar bin Sulthan Chamiedoela /Chamidullah /Hamidullah Hamidullah dari Banjar)[7]
AgamaIslam Sunni
Makam Sultan Tahmidillah di Desa Dalam Pagar, Martapura, Banjar

Pangeran / raja ini menyebut dirinya Soesoehoenan Natahahalam; tetapi telah mendedikasikan pemerintah untuk putra tertuanya, di bawah pengawasannya, dengan nama Sulthan Sleeman Schahidullach. Istana yang dulunya bertempat tinggal di Caijoe-tangie, telah dibubarkan sejak tahun 1771, menjadi Marthapora: tempat kaum Sulthon membangun kota besar dan menggali sungai yang sangat lebar, terbagi menjadi dua bagian: dan juga nama dari Marthapoera di Boemie Kintjana, diubah.[22][23]

Ia kemudian memberi gelar kepada putera sulungnya Pangeran ratu Sultan Soleman menjadi Sulthan Sleeman Schahidullach / Sultan Sulaiman Saidullah (ke-2) dan ia sendiri selanjutnya bergelar sunan yang dianggapnya sebagai gelar yang lebih tinggi sehingga menjadi Sunan Sulaiman Saidullah dan juga menyebut dirinya Sunan Nata Alam

Semula ia menjadi mangkubuminya Sultan Muhammad (3 Agustus s]1759-16 Januari 1761), dengan sebutan Pangeran Nata Mangkubumi. Sejak mangkatnya Sultan Muhammad pada tahun 1761, ia menjadi Wali anak-anak almarhum Sultan Muhammad dengan gelar Panembahan Kaharoeddin Haliloellah (EYD: Panembahan Kaharuddin Halilullah).[24][25] Pada tahun 1762 ia naik tahta dengan gelar Sultan Akamuddin Saidullah (mulai Oktober 1762).[25] Ia menggantikan Sultan Muhammad yang mangkat karena sakit paru-paru yang dideritanya sejal awal pemerintahnya (1759) dengan meninggalkan putera-puteri yang masih kecil. Atas perintah Dewan Mahkota tahun 1762 saudaranya yang bernama Pangeran Prabujaya dilantik menjadi mangkubumi (kepala pemerintahan).[26] Sejak tahun 1767 ia melantik puteranya yang masih berusia 6 tahun sebagai Sultan dengan gelar Sultan Sulaiman yang dianggap sebagai pewaris Puteri Lawiyah binti Sultan Tahmidubillah (Muhammadillah). Jadi Sunan Nata Alam atau Tahmidillah 2 merupakan ipar (zwager) Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah.[27][28]

Sultan Sulaiman lahir pada tahun 1761 yang merupakan tahun mangkatnya Sultan Muhammad Aminullah.

Ia juga dikenal dengan nama Sultan Tamhidillah atau Tahmidillah II yang merupakan paduan dari kata Tahmid dan Allah, secara harafiah Tahmid berarti keadaan menyampaikan pujian atau rasa syukur berkali-kali (kepada Allah).[29] Sultan Tahmidillah II menikah dengan Puteri Lawiyah, anak Sultan Tahmidubillah/Sultan Muhammadillah. Sebagai legitimasi, maka dalam silsilah raja-raja Banjar menarik garis keturunan pewaris tahta dari Puteri Lawiyah binti Sultan Tahmidubillah/Sultan Muhammad, dan bukan dari garis keturunan Sultan Tamjidillah I. Sultan Tamjidillah I merupakan mangkubumi Sultan Kuning (ayahanda Sultan Muhammad). Sultan Tamjidillah I atau Sultan Tamjidullah I adalah ayahanda Sultan Tamhidillah /Sultan Tahmidillah II


Sultan ini banyak memiliki gelar-gelar seperti Panembahan (= raja kecil), Sultan dan Sunan. Sunan Nata Alam atau Susuhunan Nata Alam adalah gelar yang digunakannya sejak tahun 1772. Ia juga menggunakan gelar Sunan Soleman Sa'idallah (Sunan Sulaiman Saidullah), sedangkan puteranya memakai gelar Sultan Soleman Sa'idallah (Sultan Sulaiman Saidullah), karena persamaan nama tersebut ia disebut Sulaiman Saidullah I, sedangkan puteranya Sulaiman Saidullah II. Perbedaanya terletak pada kata Sunan dan Sultan.

Pada masa pemerintahannya pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, tibalah ulama Banjar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah 30 tahun menuntut ilmu di Makkah.

Menurut Arsip Nasional Republik Indonesia, korespondensi antara Raja Banjar Sunan Nata Alam kepada VOC-Belanda terjadi sejak tanggal 16 Juni 1771 sampai 11 Juli 1786.[30]

Bergelar Sultan sunting

Setelah kemangkatan Sultan Muhammad Aminullah pada tanggal 16 Januari 1761, Pangeran Natta menjadi penguasa (Wali Kerajaan), tetapi, setelah terbiasa memerintah setelah beberapa tahun sebagai Regent (pemangku kerajaan) sekaligus Wali dari Pangeran Abdullah, Putra Mahkota dari Sultan Muhammad Aminullah, Pangeran Nata pada tahun 1201 Hijriyah bertepatan tahun 1785 Masehi, menyatakan dirinya sebagai Sultan, yaitu setelah pengasingan Pangeran Amir ke Ceylon, sebelumnya ia hanya bergelar Panembahan.[31]

Pangeran Nata Dilaga untuk pertama kalinya menggunakan gelar Akamoeddin Saidoellah sejak bulan Oktober 1762, sebelumnya menggunakan gelar Panembahan Kaharoeddin Haliloellah (1761).[32][33]

Silsilah sunting

Tuan Susunan Sultan Soleman Sa'idallah (ke-1) atau Sultan Tam-hidillahatau Sultan Tahmidillah II adalah putera tertua Sultan Tamjidillah I Sultan Tahmidillah II memiliki sembilan orang anak, di antaranya tujuh orang dari permaisuri (Putri Lawiyah): tiga laki-laki dan empat perempuan, yaitu:[1][34]

  1. ♂ Pangeran Sulaiman bergelar Sultan Sulaiman
  2. ♂ Pangeran Ismail bergelar Ratu Anom Ismail
  3. ♂ Pangeran Nata [Kesuma]
  4. ♀ Ratu Nata (Anta) Kasuma, diperisteri (Syarif Awwad Bahasyim) Pangeran Nata Kasuma bin Pangeran Purga.
  5. ♀ Ratu Siti Air Mas, diperisteri Pangeran Abdullah bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah
  6. ♀ Gusti Kanifah, diperisteri Pangeran Ahmad Dipasanta
  7. ♀ Ratu Maimunah diperistri oleh Pangeran Sayyid Zein Bahasyim

Anak-Anak Versi Silsilah Padatuan dan Versi Ulama-Ulama Sepuh Dari Kalangan Nahdhatul Ulama (NU) Kalimantan :

  1. ♂ Sultan Sulaiman Rahmatullah
  2. ♂ Pangeran Muhammad di Margasari
  3. ♂ Pangeran Tata Negara
  4. ♂ Pangeran Daud (Gusti Daud)
  5. ♀ Ratu Ishaq, (diperisteri Pangeran Ishaq bin Pangeran Mas Ratu Anum Kasuma Yuda - mangkubumi)
  6. ♀ Ratu Salamah, diperisteri Sayyid Idrus bin Hasan bin Agil Al-Habsyi
  7. ♀ Ratu Siti Air Mas, diperisteri Pangeran Abdullah bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah
  8. ♀ Ratu Mahmud, diperisteri Mufti Pangeran Syaikh Mahmud Al-Madani
  9. ♀ Ratu Muhiddin (Ratu Shafiyah), diperisteri Syaikh Muhiddin bin Sayyid Abdurrahman Shadiq bin Husein bin Syaikh Abu Bakar bin Salim
  10. ♀ Ratu Tapa (Ratu Bulan), diperisteri Adipati Arsyad
  11. ♀ Ratu [Sepuh] Panjang (Ratu Siti Nur), diperisteri Syarif Abu Bakar bin Husein bin Ahmad bin Abdullah Al-Habsyi
  12. ♀ Ratu Hanimah (Gusti Kalimat), diperisteri Pangeran Ahmad Dipasanta
  13. ♀ Ratu Qasim (Ratu Mardiah), diperisteri Syarif Qasim bin Abdurrahman Ba'bud
  14. ♀ Ratu Nata Kasuma (Ratu Zaleha), diperistri Syarif Awwad Bahasyim
  15. ♀ Ratu Aminah, diperisteri Syarif Andin Segaf bin Abdurrahman Alaydrus.

Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah sunting

Berita kedatangan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah yang akan menyerang Martapura sempat menggemparkan keluarga istana, tetapi Pangeran Tamjidillah tetap tenang atas situasi yang gawat tersebut. Dengan dasar pertimbangan supaya jangan terjadi pertumpahan darah antar keluarga sendiri, apalagi Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah adalah kemenakan dan menantunya sendiri, Pangeran Tamjidillah menyerahkan tahta kesultanan Banjarmasin, sehingga Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah berkuasa atas kesultanan Banjarmasin. Secara lahiriah Pangeran Tamjidillah ikhlas, menyerahkan tahta kepada keponakannya Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah, tetapi secara sembunyi Pangeran Tamjidillah tidak senang hati atas berpindahnya tahta dari tangannya, apalagi sebetulnya sebagian besar kaum bangsawan mendukungnya sebagai Sultan. Hal inilah yang menyebabkan Pangeran Tamjidillah membuat siasat licik, untuk mengembalikan tahta ke tangannya. Ketika Pangeran Tamjidillah menyerahkan tahta kepada Pangeran Mohammad Aliuddin keponakannya, di hadapan para bangsawan dia mengatakan: “Biarlah tahta direbut oleh Ratu Anom (gelar Pangeran Mohammad Aliuddin) sebentar lagi juga akan mati” Ucapan ini lahir dari niat liciknya untuk melenyapkan Pangeran Mohammad Aliuddin sebagai Sultan. Bagaimana caranya? Kenyataannya Ratu Anom atau Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah menderita sakit yang terus menerus dan menyebabkan kesehatannya makin lama makin mundur dan pada tahun 1761 dia meninggal dengan meninggalkan putera mahkota yang masih kecil. Diduga kematian Sultan ini akibat diracun. Meskipun pemerintahannya hanya berlangsung 3 tahun, dia mempunyai sikap politik yang keras terhadap VOC, sehingga lebih banyak berusaha menguntungkan perdagangan Kerajaan, daripada harus tunduk pada kemauan Belanda. Pemimpin-pemimpin VOC yang pernah berhubungan dengan Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah, harus sangat berhati-hati, sehingga Sultan tidak merasa tersinggung, karena watak orang Banjar sangat keras kalau dia tersinggung. Hal ini dilaporkan oleh VOC kepada Residen de Lile yang berbunyi sebagai berikut: “Residen jangan mengira bahwa di Banjar ini sama halnya dengan di Banten atau Jawa. Orang Banten atau Orang Jawa walaupun dia dipukul kompeni dengan cambuk di kepalanya, sekali-kali tak berani mengatakan bahwa pukulan itu sakit, tapi orang Banjar mendengar kata-kata yang keras saja sudah marah dan bila sampai terjadi begitu maka seluruh Banjar akan merupakan buah-buahan yang banyak pada satu tangkai”. Siasat Pengeran Tamjidillah berhasil, karena Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah meninggal, Putera Mahkota masih kecil, karena itulah Mangkubumi kembali berada di tangannya sebagai wali Sultan yang belum dewasa, dan dia menunjuk anaknya Pangeran Nata Alam atau Natadilaga sebagai wali sultan yang kemudian terkenal sebagai Susuhunan Nata Alam, raja dari kesultanan Banjarmasin yang terbesar dalam abad ke- 18. Cerita lama yang pernah dialami oleh Pangeran Aliuddin Aminullah setelah ayahnya Sultan Kuning meninggal, kembali terulang setelah Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah meninggal. Wali Sultan Nata Alam berusaha agar tahta tetap dipegangnya dan ahli waris berada pada garis keturunannya. Nata Alam mulai mengatur siasat untuk melaksanakan ambisinya. Pertama-tama dia berusaha memperoleh dukungan kaum bangsawan, dan ternyata dukungan dengan mudah diperolehnya. Selanjutnya dia mengangkat puteranya sebagai penggantinya kelak dengan gelar Sultan Sulaiman Saidullah yang saat itu baru berusia 6 tahun (1767). Limabelas tahun kemudian yaitu pada tahun 1782 kembali diangkatnya cucu yang baru lahir dengan gelar Sultan Adam al-Watsiq Billah. Tindakan ini merupakan realisasi dari siasatnya untuk mengekalkan tahta atas garis keturunannya dan mendapat dukungan dari kaum bangsawan yang memang dengan mudah diperolehnya.[35]

Keterlibatan Kotawaringin sunting

Pangeran Prabu (mangkubumi dari Ratu Bagawan Muda - Raja Kotawaringin) telah mengambil sebagian peperangan yang dilancarkan Pangeran Amir terhadap pemerintahan Banjarmasin dengan memihak kepada Sultan Batu (Panembahan Batuah/Sunan Nata Alam). Pangeran Prabu juga telah membantu Sultan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas.[2]

Tahmidillah II sunting

Menurut Anggraini Antemas, Pangeran Nata atau Sunan Nata Alam bergelar Sultan Tahmidillah II.[36][37][38][39]

Tamjidillah II atau Tamjidillah III sunting

Menurut Helius Sjamsuddin, Pangeran Nata atau Sunan Nata Alam bergelar Sultan Tamjidillah II.[25] atau menurut sumber lain disebut Sultan Tamjidillah III (jika Sultan Muhammad Aminullah disebut Tamjidillah II)[40]

Membangun Keraton Bumi Kencana sunting

Sultan ini, lahir pada tahun 1149 era Arab Hijriyah (1734/1735 M ?), naik tahta tahun 1175 H (1761 M) dan mulai mendirikan kraton di 1180 H. Pada tahun 1277 H (atau 1861/1862 M) pembongkaran keraton dimulai (pasca pembubaran kerajaan Banjar) dan bangunan tersebut telah mencapai usia 97 tahun Arab atau sekitar 94 tahun Kristen (Masehi).[41]

Kematian Tahun 1801 sunting

Dalam beberapa literatur tertulis Panembahan Batu (Sunan Nata Alam) mangkat pada tahun 1808.[42]

Namun fakta sebenarnya Panembahan Batu telah mangkat pada tahun 1801 (1216 Hijriyah ?). Dalam ACTE VAN RENOVATIE 19 APRIL 1802 yaitu akta pelantikan Sultan Sulaiman Al-Mu'tamid 'Alâ Allâh (putra Sunan Nata Alam) pada tahun 1802 pasal 1 disebutkan bahwa Panembahan Batu telah meninggal dunia sehingga digantikan oleh putranya.[7][43]

Gelar-Gelar Lain sunting

Siasat selanjutnya ialah Nata Alam mengangkat dirinya sebagai Sultan Kerajaan Banjar (1787 – 1801) dengan gelar-gelar:[44][45][46]

  1. Panembahan Kaharoeddin Haliloellah 1761-1801 [25]
  2. Akamoeddin Saidoellah (mulai Oktober (1762-1772))[25]
  3. Pangeran Abdullah/ Amier oel Moeminien Abdoellah /Ami ail Mokminin Abdoellah
  4. Susuhunan Nata Alam/Soesoehoenan Nata Alam/ Soesoehoenan Natahahalam (1772- 1787)[23][25]
  5. Sunan Nata Alam[47]
  6. Pengeran Wiranata[48]
  7. Pangeran Nata[49]/Pangeran Nata Dilaga
  8. Nata Nagara[50][51]
  9. Panembahan Batuah.[48]
  10. Panembahan Ratoe.[52]
  11. Panembahan Batu (1797-1798)/Sultan Batu[2]
  12. Panembahan Nata[53]
  13. Pangeran Tahmidillah[1]/Sultan Tahmidullah II[48]/Sultan Tahmid Illah (sampai 1785)[19]
  14. Sultan Sulaiman (1792)[54]
  15. Sultan Soleiman Saidoellah / Tuan Sunan Soleman Sa'idallah (1787-1797) [47]/Tuan Sunan Sulaiman Saidullah I/Tuan Sunan Soleman Sa'idallah[47]/Sultan Soliman Shahid Alla[55]

Pangeran Amir sunting

Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah meninggalkan putera-putera yang berhak menggantikan kedudukan sebagai Sultan ketika dia wafat, yaitu Pangeran Abdullah, Pangeran Rahmat dan Pangeran Amir.[56] Anak-anak yang berhak atas tahta ini satu persatu meninggal, Pangeran Abdullah meninggal karena diracun dan dicekik oleh Sultan Tahmidullah II,[57] kemudian disusul Pangeran Rahmad dibunuh atas perintah Sultan Tahmidullah II. Sekarang menunggu giliran Pangeran Amir menyadari atas kejadian terhadap saudara-saudaranya, karena itu sebelum terlambat dia meminta diizinkan meninggalkan Kesultanan Banjarmasin dengan alasan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sunan Nata Alam mengizinkan, karena berarti bahwa satu-satunya pewaris tahta sudah tidak berada di tempat lagi. Ternyata Pangeran Amir tidak berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji tetapi dia singgah ke Pasir ke tempat pamannya Arung Tarawe. Arung Tarawe menyanggupi memberi bantuan pada Pangeran Amir, untuk menyerang Martapura, untuk merebut tahta dari Pangeran Nata Alam. Perjanjian ini yang menyebabkan peperangan dan sebagai peristiwa yang terburuk bagi Kesultanan Banjarmasin, sebab dalam peperangan perebutan tahta ini bangsa Belanda dan orang-orang Bugis ikut campur tangan. Dengan demikian peperangan ini melibatkan pertentangan antar suku, yaitu suku Banjar dan suku Bugis, juga melibatkan orang Belanda sebagai bangsa yang haus daerah, untuk dijadikan tanah jajahan. Pada tahun 1785 Pangeran Amir dengan bantuan Arung Tarawe menyerang Martapura. Pasukannya dengan 3000 orang Bugis dengan kekuatan 60 buah perahu berangkat dari Pasir melalui Tanjung Silat mendarat di Tabanio, pelabuhan lada terbesar dari Kesultanan Banjarmasin. Di Tabanio pasukan Bugis melakukan pembunuhan terhadap rakyat yang tidak berdosa yang tidak mengerti persoalan dan tidak mengerti perebutan tahta, pemusnahan kebun lada, sumber potensial dari perdagangan Kesultanan Banjarmasin dan sumber penghasilan rakyat, menawan rakyat dan selanjutnya dijadikan budak oleh orang Bugis, hal ini menyebabkan terjadinya pertentangan suku, suku Bugis dan suku Banjar. Hal ini pula menyebabkan hilangnya simpati rakyat Banjar terhadap Pangeran Amir, sehingga rakyat Banjar tidak ada yang membantu perjuangan Pangeran Amir, suatu siasat yang merugikan Pangeran Amir sendiri. Memang penyerangan Pangeran Amir ini, sebagai realisasi balas dendam akan kematian ayah dan saudara-saudaranya. Penyerangan Pangeran Amir ini menyebabkan Susuhunan Nata Alam membuat kontrak baru dengan VOC pada tahun 1787 untuk menjaga stabilitas kekuasaannya agar tetap berada di tangannya dan garis keturunannya. Hal-hal penting dari perjanjian itu ada 4 point:[35][45]

  1. Sultan menyerahkan daerah kekuasaannya atas Pasir, Laut Pulo, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, Kotawaringin pada VOC.
  2. Kerajaan Banjar adalah vazal VOC dan Sultan cukup puas dengan uang tahunan
  3. Pengangkatan Sultan Muda dan Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan VOC.
  4. Kerajaan Banjar, hanyalah diperintah oleh keturunan Sultan Nata Alam.

Susuhunan Nata Alam menyadari bahwa atas serangan Pangeran Amir dengan pasukan Bugis tersebut, dan hanya VOC yang dapat menyelamatkannya, karena itulah tidak ada pilihan lain bagi Pangeran Nata, bahwa dia harus meminta bantuan VOC untuk mengusir pasukan Bugis tersebut. Pangeran Nata Alam mengatur siasat bahwa bagaimanapun juga Belanda harus dijadikan tameng untuk melindungi kedaulatannya, tetap terikat dengan Kesultanan Banjarmasin tetapi bukan sebagai penguasa.[35]

Perjanjian yang diadakan oleh Sultan Nata Alam terdiri dari:[58]

  1. Acte van Afstand 13 Agustus 1787
  2. Tractaat 13 Agustus 1787
  3. Proclamatie 1 Oktober 1787
  4. Sep. Articul het Tractaat van 13 Agustus 1787, 22 April 1789.

Perjanjian ini tertulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Belanda dan bahasa Melayu huruf Arab. Dalam isi perjanjian itu tergambar situasi politik yang penting, yaitu saat serbuan orang-orang Bugis yang dipimpin oleh Pangeran Amir. Nama Pangeran Amir memang tidak ditemukan dalam serbuan yang menggoncangkan kerajaan tersebut tetapi serbuan orang Bugis tersebut adalah bantuan Pangeran Tarawe, paman dari Pangeran Amir. Kehadiran pasukan kompeni Belanda membantu Pangeran Nata, merupakan pasukan juru selamat terhadap kehancuran pemerintahan Pangeran Nata. Karena itulah dalam butir-butir isi perjanjian kedudukan Kompeni Belanda menunjukkan posisi dominan. Lebih tragis lagi adalah posisi Kesultanan Banjar hanya sebagai sebuah kerajaan pinjaman dari milik kompeni Belanda. Dalam Acte van Afstand tersebut, kedudukan Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman, sebetulnya merupakan hasil dari permusyawaratan seluruh pembesar kerajaan disebutkan bahwa:
....akan menjadi paedah serta selamat bagi negeri beserta rakyat maka setelah aku bermusyawaratan timbang menimbang perkara-perkara itu bersama-sama dengan anandaku yang sudah terpilih akan ganti kedudukanku Sultan Soleman dan cucundaku Sultan Adam dan Perdana Mantriku Ratu Anom Ismail beserta sekalian raja-raja dan orang-orang besar dari istana tahta kerajaan negeri Banjar maka kami sekalian kira-kira terbaiklah dan sudah dihitung pada hati kami menyerahkan diriku beserta sekalian rakyat tahta kerajaan negeri Banjar betul kepada perlindungan dan pernaungan kompeni maka dari karena sebab itu juga dengan surat yang terbuka ini aku mengaku dan mengatakan baik bagi diriku sendiri baik bagi zuriat-zuriatku yang akan mengganti kedudukanku dan bagi waris-warisku turun temurun aku menanggalkan sekalian pangkat-pangkat kerajaanku dengan sekalian tanah-tanah dan negeri-negeri beserta pulau-pulau dan teluk rantau dan sungai-sungai.[35]

Para pembesar kerajaan yang ikut menyaksikan semua perjanjian yang dibuat dan ikut menandatangani selain Sunan Nata Alam, Pangeran Ratu Sultan Soleman dan pangeran Sultan Adam adalah:[35]

  1. Pangeran Mangku Dilaga (anak Tamjidillah 1)
  2. Pangeran Aria [Mangku Negara] (anak Tamjidillah 1)
  3. Pangeran Isa (anak Tamjidillah 1)[59]
  4. Pangeran Zainal
  5. Pangeran Marta[60]
  6. Gusti Tasan
  7. Perdana Mantri Kerajaan Ratu Anom Ismail (anak Sunan Nata Alam).

Sedangkan para pembesar golongan Kiai, ikut pula menandatangani:[35]

  1. Kiai Surengrana[61]
  2. Kiai Tumenggung
  3. Kiai Martadangsa
  4. Kiai Maesa Jaladeri
  5. Kiai Rangga
  6. Kiai Jayengpati
  7. Kiai Durapati
  8. Kiai Surajaya
  9. Kiai Jayadirana
  10. Kapitan Kartanegara.[47]

Acte van Afstand 13 Agustus 1787 sunting

 
Willem Arnold Alting, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-32. Ia memerintah antara tahun 17801796.

Isi dalam Acte van Afstand 13 Agustus 1787, di sini Pangeran Natta (Sultan Tahmidillah II) menyebut dirinya sebagai Susunan Panembahan Bandjarmasin atau Tuan Susunan Sultan Soleman Sa’idallah (ke-1) dan anaknya Pangeran Muda Mahkota (Sultan Muda) disebut Pengeran Ratu Sultan Soleman dan cucunya Pangeran Muda Sultan Adam:[7]

Akta tanggal 13 Agustus 1787 tertulis dalam huruf Arab-Melayu dan bahasa Melayu dan huruf Latin bahasa Belanda. Isi perjanjian yang tertulis dengan huruf Arab-Melayu dan berbahasa Melayu berbunyi:[7]

Proklamasi

Traktat Bumi Kencana 13 Agustus 1787 / 28 Syawal 1201 Hijriyah sunting

 
Litografi kompleks keraton Bumi Selamat (sebelumnya disebut Bumi Kencana) di Martapura yang selesai dibangun pada tahun 1766.

Dalam Tractaat 13 Agustus 1787 yang terdiri atas 36 pasal kedudukan Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman lebih diperinci lagi, sehingga wilayah Kesultanan Banjar tidak sebesar wilayah sebelumnya.[35]

Dalam Tractaat itu dijelaskan bahwa Kesultanan Banjar melepaskan negeri-negeri Pasir dengan daerah takluknya; Pulau Laut beserta sekalian yang berwujud pada dekatnya; Tabaniau beserta dengan pesisirnya, gunung-gunung serta separo dari Dusun, Tatas (Banjarmasin) dan Dayak-dayaknya dengan Mendawai, Sampit, Pembuang, Kotawaringin.[35]

Orang asing selain orang Eropa adalah orang yang bukan anak Banjar. Orang Cina, Bugis, Makassar, Mandar dan Bali dalam perjanjian itu dikelompokkan sebagai orang asing dan mereka tunduk pada Hukum Kompeni Belanda. Dengan demikian kalau orang asing ini melakukan kejahatan, mereka dihukum berdasarkan hukum Kompeni Belanda, meskipun tindakan mereka itu di dalam negeri Kesultanan Banjar. Khusus untuk orang Cina yang telah melakukan perniagaan dengan berniaga dengan orang Banjar dan dalam negeri Kesultanan Banjar. Sedangkan bangsa asing lainnya harus mendapat persetujuan dari Kompeni Belanda terlebih dahulu.[35]

Tractaat 13 Agustus 1787 berisi tentang perjanjian persahabatan untuk keselamatan bersama dan ditandatangani oleh Sunan Nata Alam, Sultan Sulaiman, Sultan Adam. Sedangkan pada lak ditandatangani oleh mangkubumi Ratu Anom Ismail. Dalam Tractaat ini, Sultan Tahmidillah II / Sultan Salehman Sa’idullah (ke-1) membubuhkan cap dengan nama Sunan Nata Alam.

Tractaat tanggal 13 Agustus 1787 tertulis menggunakan huruf Arab-Melayu dalam bahasa Melayu dan menggunakan huruf Latin dalam bahasa Belanda. Perjanjian yang tertulis dengan huruf Arab-Melayu dan berbahasa Melayu berbunyi:[7]

Perkara jang pertama.

Kedua.

Ketiga.

Keempat.

Kelima.

Keenam.

Ketudjuh.

Kedelapan.

Kesembilan.

Kesepuluh.

Kesebelas.

Keduabelas.

Ketigabelas.

Keempatbelas.

Kelimabelas.

Keenambelas.

Ketudjuhbelas.

Kedelapanbelas.

Kesembilanbelas.

Keduapuluh.

Keduapuluh asa.

Keduapuluh dua.

Keduapuluh tiga.

Keduapuluh empat.

Keduapuluh lima.

Keduapuluh enam.

Keduapuluh tudjuh.

Keduapuluh delapan.

Keduapuluh sembilan.

Ketigapuluh.

Ketigapuluh asa.

Ketigapuluh dua.

Ketigapuluh tiga.

Ketigapuluh empat.

Ketigapuluh lima.

Ketigapuluh enam.

Ini tapak tangan Susunan Panembahan Bandjarmasin suka bersahabat dengan Kompeni Wilanduwi selama2nja dengan surat perdjanjian ini serta dengan Sultan Soleiman dan Sultan Adam

Tjap lak merah (terbatja) Sunan Nata Alam

Tjap lak merah (terbatja) Sultan Soleiman

Tjap lak merah (terbatja) Sultan Adam

Ini surat daripada Ratu Anom Isma’il kita mengikut surat perdjandjian Tuan Sultan Soleman Sa’idallah dengan Kompeni Welanduwi dan serta berbuat baik kita sama Tuan Sultan Soleman Sa'idallah sampai kepada anak tjutjunja dan berbuat baik kita sama Kompeni Wilanduwi selama2nja serta dengan sekalian radja2 dan menteri2 dan tuan2.

Ini bekas tapak tangan Pengeran Mangkudilaga.
Ini bekas tapak tangan Pengeran Arja.
Ini bekas tapak tangan Pengeran Isa.
Ini bekas tapak tangan Pengeran Zainal.
Ini bekas tapak tangan Pengeran Marta.
Ini bekas tapak tangan Gusti Tasan.

Tjap lak merah (terbatja) Ratu Anum Isma’il.

Ini bekas tapak tangan Kiai Surengrana.
Ini bekas tapak tangan Kiai Temenggung.
Ini bekas tapak tangan Kiai Martadangsa.
Ini bekas tapak tangan Kapitan Kertanegara.
Ini bekas tapak tangan Kiai Maesa Djaladrija.
Ini bekas tapak tangan Kiai Rangga.
Ini bekas tapak tangan Kiai Djajengpati.
Ini bekas tapak tangan Kiai Durapati.
Ini bekas tapak tangan Kiai Suradjaja.
Ini bekas tapak tangan Kiai Djajadirana.

Tersurat dalam paseban Bumi Kentjana pada tahun seribu dua ratus satu pada dua puluh delapan hari bulan Sjawal hari Isnin pada waktu djam pukul sebelas.

Proklamasi 1 Oktober 1787 sunting

Kemenangan diplomasi Pangeran Nata Alam bahwa yang memerintah Kerajaan adalah keturunan Nata Alam, diperkuat lagi dalam Proclamatie 1 Oktober 1787.

Proklamasi itu selain menyatakan bahwa Kerajaan Banjar merupakan kerajaan pinjaman dari Kompeni Belanda, juga mempertegas lagi bahwa keturunan Nata Alam lah yang berhak memerintah kerajaan itu. ......Lagipula tahta kerajaan itu Tuan Yang Maha Bangsawan Gurnadur Jenderal dan Raden van Indie menyerahkan pula dari pihak mana Kompeni Wilanduwi seperti ariyati barang pinjaman yang baka tiada boleh mati kepada Tuan yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Soleman Sa’idallah agar diperintah dan menyelenggarkan tahta kerajaan….[35]

Dalam perjanjian yang dibuat ini Pangeran Nata Alam menyebut dirinya sebagai Paduka Seri Sultan Soleman Sa’idallah sedangkan cucunya Sultan Adam Alwasikubillah, kesemuanya ikut menandatangani perjanjian yang dibuat. Perdana Mantri yang jabatan Perdana Mantri kadang-kadang disebut pula sebagi Mangkubumi, tetapi dalam Tractaat 1 Oktober sebagai penjelasan dari Proclamatie 1 Oktober, disebut sebagai Wazir mu’adlam.[35]

Dalam Maklumat/Proklamasi 1 Oktober 1787 ini, Sunan Nata Alam disebut sebagai Tuan jang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Salehman Sa’idallah (ke-1) dan anaknya Pengeran Ratu Sultan Salehman dan cucunya Sultan Adam:[7]

Maklumat

Tractaat sunting

Tractaat.[7]

Sep. Articul het Tractaat van 13 Agustus 1787, 22 April 1789 sunting

Sep. Articul het Tractaat van 13 Agustus 1787, 22 April 1789.[7]

Kemenangan Diplomasi Bagi Pangeran Nata sunting

Kemenangan diplomasi yang diperoleh Pangeran Nata (dalam perjanjian tersebut menyebut dirinya Sultan Soleman Sa’idullah) adalah bahwa kompeni Belanda harus meminjamkan Kesultanan Banjar yang merupakan pinjaman abadi, tidak boleh dibatalkan kepada Pangeran Nata dan keturunannya. .....
wakil Kompeni Kristopel Hopman menyerahkan kepada aku Sultan Soleman Sa’idullah dari pihak mana kompeni Wilanduwi seperti barang yang diberi pinjam yang baka tiada boleh mati agar aku dan aku ampunya zuriat yang mutachirin seperti anakndaku Pangeran Ratu Sultan Soleman dan cucundaku Sultan Adam duduk memerintahkan dan menyelenggarakan kerajaan beserta rakyat…[35]

Kemenangan diplomasi lainnya adalah bahwa Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman yang kedudukannya setengah jajahan (daerah protektorat), tetapi persetujuan itu menghasilkan keputusan bahwa Kesultanan Banjar menempati kedudukan sebagai kerajaan yang kedudukannya setarap dengan Kompeni Belanda, sebagai kerajaan merdeka. Kedudukan sebagaimana sebuah kerajaan merdeka itu dalam hal penghormatan terhadap wakil Kerajaan Banjar yang akan menghadap Gubernur Jenderal di Batavia dengan penghormatan sambutan tembakan meriam, sebagaimana sambutan terhadap negara lainnya. Begitu pula sambutan yang sama diberikan apabila wakil kompeni Belanda yang akan menghadap Sultan di Bumi Kencana Kerajaan Banjar. Persetujuan tentang persamaan kedudukan itu terhadap pada pasal 31:
Pasal tiga puluh asa. Adapun sebagaimana akan dihormati dengan menembak kepada Paduka Seri Sultan ampunya surat-surat yang dibawa datang di Banjar kepada pitor besar atau di Batavia kepada Paduka Gurnadur Jenderal dan Raden van India maka begitu juga surat-surat yang datang dari Batavia oleh Paduka Gurnadur Jenderal dan Raden van India atau yang dibawa dari pitor besar yang dinegeri Banjar kepada Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan itu hendaklah diberi hormat begitu juga sebagaimana harus dan patut yakni surat-surat yang dari oleh Gurnadur Jenderal dan Raden van India serta dari oleh Yang Maha Mulia paduka Seri Sultan akan dihormati dengan tembak lima belas kali dan surat dari pitor besar dengan tembak tujuh kali adanya…[35]

Panggilan atau sebutan terhadap Sultan berbeda dengan sebutan terhadap Gubernur Jenderal VOC. Kalau terhadap Sultan disebut Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan, tetapi sebutan untuk Gubernur Jenderal VOC hanya disebut Paduka Gubernur saja. Kata-kata penghormatan ini menunjukkan bahwa Kesultanan Banjar dipandang Belanda sebagai kerajaan besar yang memperoleh kehormatan sebagai negara merdeka. Hal ini dibuktikan lagi dengan penghormatan 15 kali tembakan meriam untuk wakil Sultan sedang untuk wakil kompeni hanya dengan 7 kali tembakan meriam. Acte van Afstand ini diperkuat lagi dalam Tractaat 13 Agustus 1787 yang berisi 36 pasal dan ditanda-tangani di ibu kota kerajaan, Bumi Kencana.[35]

Vazal VOC sunting

Belanda mengirimkan bantuan dibawah pimpinan Hoffman, disamping sebagai wakil Belanda dalam masalah kontrak yang baru dibuat juga sebagai pimpinan bantuan untuk mengusir pasukan Bugis dari Kesultanan Banjarmasin. Pasukan Pangeran Nata bersama rakyat Banjar dan dibantu oleh pasukan VOC berhasil mengusir pasukan Bugis, dan menangkap Pangeran Amir dan selanjutnya dibuang ke pulau Ceylon (Srilangka).[62] Kemenangan perang berarti kemenangan bagi Pangeran Nata untuk memperoleh hak waris atas garis keturunan Sultan Kuning. Berakhirnya perang melawan Pangeran Amir (Sultan Amir), berarti berakhir pula pertentangan selama periode abad ke- 18 antara keturunan Sultan Kuning dalam Kesultanan Banjarmasin. Kemenangan perang ini bagi Belanda, juga merupakan keuntungan besar sebab, bantuan Belanda bukanlah sia-sia dan hadiah dari kemenangan itu bagi Belanda sangat besar. Hak politik berada dalam tangan Belanda atas Kesultanan Banjarmasin bahkan Kesultanan Banjarmasin tak lebih dari sebuah vazal dari Belanda. Pembuangan Pangeran Amir dan dukungan politik bagi Pangeran Natadilaga (Sunan Nata Alam) pada tahun 1787 ini merupakan bukti pertama kalinya campur tangan Belanda terhadap kerajaan.[63] Walaupun kenyataannya bukanlah kemenangan yang Belanda peroleh. Sebab Pangeran Nata sekarang mulai mengatur siasat untuk mengusir kekuatan Belanda dari Kesultanan Banjarmasin. Tidak dengan kekuatan bersenjata tetapi dengan taktik perdagangan.

Sandiwara Politik sunting

Sejak perjanjian tahun 1787 sampai dengan 1797 merupakan sandiwara politik Kesultanan Banjar yang terbesar dengan Sultan Nata Alam sebagai pemeran utamanya. Segala rencana perdagangan VOC disabot, bajak laut diorganisir untuk merampok kapal-kapal Belanda, perdagangan bebas dengan bangsa berjalan dengan lebih ramai sehingga VOC tidak berhasil memperoleh monopoli sebagaimana yang disebutkan dalam kontrak 1787. Siasat yang paling berhasil yang dilakukan Sultan Nata Alam ialah menghancurkan kebun lada sehingga populasi produksi lada berada dalam batas minimal.[35]

Menjelang tahun 1793 perdagangan lada sangat merosot ditambah dengan bajak laut yang menutup muara sungai Barito sehingga melumpuhkan perdagangan VOC. Mengenai kegagalan perdagangan Belanda di Banjarmasin disebutkan sebagai berikut:
“Betul-betul licin orang-orang Banjar itu terhadap suatu “Grootmacht” seperti VOC yang telah berpengalaman dua abad lebih mengenai soal-soal Banjar, begitu lamanya mereka dengan diam-diam menyembunyikan sebab-sebab sebenarnya daripada kegagalan pengluasan kekuasaan VOC. Baru lama kemudian setelah perlawanan diam-diam ini tak perlu dirahasikan lagi, VOC mengerti bahwa dia telah bertahun-tahun ditipu”.[35]

Bagi Belanda, Banjarmasin merupakan pos pengeluaran belaka dan sama sekali tidak mendatangkan keuntungan, bahkan menimbulkan kerugian, sehingga bagi Belanda mempertahankan melanjutkan hubungan dengan Banjarmasin menjadi beban yang berat. Setelah melihat keberhasilan politik yang dijalankan maka Pangeran Nata Alam mengirimkan utusan ke pulau Pinang, pusat perdagangan Inggris untuk bersama-sama mengusir Belanda dari kerajaan Banjarmasin. Begitu pula dikirim utusan ke Batavia, supaya VOC meninggalkan Banjarmasin.[35]

Kontrak Banjar 6 Juli 1797 No. 6 sunting

Perusahaan Hindia Timur Belanda pada tahun 1797 mengirim komisaris Francois van Boekholtz ke Banjarmasin dan membuat kontrak tahun 1797 yang sangat memalukan VOC sehingga akhirnya VOC meninggalkan Banjarmasin. Komisaris Francois van Boekholtz mengadakan pembicaraan dengan Sultan Sulaiman, Putra mahkota Sultan Adam dan Perdana Menteri atau Wazir mu'adlam Tuan Raden Dipati Anum Ismail bertempat di istana Bumi Kencana, Martapura mengenai masalah yang menyangkut kontrak yang dibuat tahun 1787.[35]

Kedatangan Boekholtz ini menemui Sultan dan pembesar istana kerajaan karena sebelumnya terdapat beberapa issu yang negatif terhadap perjanjian tahun 1787 khususnya pihak Kesultanan Banjar terdapat sikap mengabaikan semua isi perjanjian dan sikap untuk membatalkan semua perjanjian itu. Selama sepuluh tahun perjanjian itu ternyata Kompeni Belanda tidak memperoleh keuntungan sama sekali. Kegagalan perjanjian itu menurut penilaian Komisaris Francois van Boekholtz terdapat pada dua masalah pokok ialah:[35]

  1. Kegagalan terhadap monopoli perdagangan lada yang sebelumnya diharapkan mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi Kompeni Belanda, dan yang kedua.
  2. Sikap Sultan yang tidak tulus membalas budi Kompeni Belanda yang telah membantu Kesultanan Banjar untuk menghancurkan serbuan Pangeran Amir dengan pasukan Bugis-Paser.

Pembicaraan dengan pembesar kerajaan itu menghasilkan kesimpulan bahwa Sultan dan seluruh pembesar kerajaan mengusulkan agar Sultanlah yang memegang seluruh wilayah kerajaan dan memerintah bukan atas dasar pinjaman dari Kompeni. Dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan perjanjian tahun 1787 mendatangkan kerugian bagi Kompeni Belanda, lagi pula banyak kesukarannya bagi Orang Kulit Putih mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan lada dan lainnya, kesulitan karena berbeda adat istiadat apalagi terhadap Orang Dayak yang suka memotong kepala, disamping perjalanan yang ditempuh sangat jauh, akhirnya Kompeni Belanda mengadakan perjanjian tahun 1789 yang sangat merugikan dan menunjukkan kekalahan diplomasinya. Perjanjian itu terdiri atas 13 pasal dan ditanda tangani di Bumi Kencana istana Sultan dan di Batavia. Para pembesar istana yang ikut membubuhkan tanda tangan mereka terdiri dari: Sultan Soleman, Putra mahkota Sultan Adam, Panembahan Batu (mantan Sultan Suleman Sa’idallah I), Perdana Menteri Kerajaan Ratu Anom Ismail, Pangeran Ishak dan Pangeran Hasin. Dari pihak Kompeni Belanda adalah: Van Boekholtz sebagai Komisaris, A.W. Jorissen, Wm. Bloem, A.B. Dietz, S.H. Rose Seer dan Pieter Gerardus van Overstraten.[35]

Pasal yang ketiga dari perjanjian itu menyebutkan bahwa Kompeni Belanda menetapkan Sultan Suleman Sa’idallah II yang berkuasa memerintah di atas sekalipun tanah Kompeni dan Sultan pulalah yang memelihara Kerajaan itu sebagai kepunyaan sendiri. Segala keuntungan dari hasil kerajaan termasuk segala jenis sarang burung dan semua komoditas perdagangan yang sebelumnya menjadi hak Kompeni Belanda, sekarang diserahkan kepada Sultan.
.... Maka dari itu sekarang Kompeni tetapkan Tuan Sultan Suleman Sa’idallah yang kuasa memerintah di atas sekaliannya tanah Kompeni serta Sultan Suleman pula yang kewakilan dari Kompeni menjaganya dan memeliharanya seperti Tuan Suleman punya sendiri. Tambahan lagi Tuan Suleman pula yang menerima hasil-hasil dari sekalian negeri dan desa-desa. ......Lagi pula Kompeni kasihkan kepada Tuan Suleman keuntungan dari barang yang dapat keluar dari jenis sarang burung….[47]

Pasal keempat menetapkan bahwa kedaulatan atas daerah Paser dan Laut Pulo yang telah diambil Kompeni, dikembalikan kepada Sultan. Inilah bukti kemenangan diplomasi Sultan Nata Alam yang menyebabkan Sultan berkuasa atas kerajaan sebagaimana sebuah kerajaan merdeka tanpa camput tangan kompeni Belanda. Biaya yang dikeluarkan Kompeni Belanda untuk memenuhi isi perjanjian tahun 1787, tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan Belanda sebelumnya, dengan kata lain mempertahankan kedudukannya terhadap Kesultanan Banjar, Kompeni Belanda dihadapkan dengan risiko pengeluaran biaya yang sangat besar.[35]

Kemerosotan ekonomi dan pendapatan Kompeni Belanda itu terlihat dari isi Pasal 10 yang menyatakan bahwa kewajiban Kompeni Belanda untuk membayar tiap-tiap tahun kepada Pangeran Prabu sebanyak 250 real dan kepada Ratu Prabu sebanyak 50 real seperti ditetapkan dalam kontrak yang dibuat oleh Komisaris Cr. Hoffman, Kompeni Belanda menyatakan tidak dapat membayarnya.[35]

Sultan Nata telah memainkan peranan yang sangat penting bagi politik kerajaan Banjarmasin dan berhasil mempertahankan kedaulatan dan keutuhan Kesultanan Banjar dari dominasi kolonialisme Belanda. Walaupun ia yang menyerahkan kedaulatan kerajaan kepada VOC, tetapi dalam perkembangannya ia segera menyadari kesalahannya, sehingga ia lalu memerintahkan pemusnahan kebun-kebun lada yang dikuasai Belanda dan segera menjalin hubungan dengan Inggris.[63] Hal ini di bayar mahal bagi Kesultanan Banjar. Perdagangan merosot akibat kebun lada dihancurkan, sedangkan komoditas lada merupakan salah satu sumber devisa yang terpenting bagi Kesultanan Banjarmasin. Akibat dari perdagangan merosot, maka kekayaan negara juga merosot dan akhirnya lemah, sehingga menjelang abad ke-19 kerajaan Banjarmasin menghadapi Belanda yang sudah cukup kuat, sedangkan kesultanan sudah sangat lemah. Abad ke-18 ditutup dengan meninggalnya Sultan Nata Alam, Sultan terbesar dalam kerajaan Banjar yang meninggal pada tahun 1801.[35]

 
Pieter Gerardus van Overstraten, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-33. Ia memerintah antara tahun 17961801.
 
Johannes Siberg, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke 34. Ia memerintah antara tahun 18011805.

Dalam kontrak perjanjian 6 Juli 1797 ini, Sunan Nata Alam (Sunan Sulaiman Saidullah 1) rupanya sudah turun tahta (bergelar Panembahan) tetapi masih ikut membubuhkan cap dengan nama Panembahan Batu. Kontrak ini dibuat oleh anaknya Tuan Sultan Saleman Sa’idallah (ke-2) dan cucunya Pangeran Ratu Sultan Adam (Putra Mahkota):[7]

Banjersch Contract van den 6 Julij 1797 No. 6. berisi:

Pemakaman sunting

Makam Sunan Nata Alam Sultan Tahmidillah II terletak di Kelurahan Dalam Pagar, Martapura Timur, Kabupaten Banjar.[64]

Referensi sunting

  1. ^ a b c Idwar Saleh, Mohamad (1986). Tutur Candi, sebuah karya sastra sejarah Banjarmasin,. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah,. 
  2. ^ a b c (Belanda) J. Pijnappel Gzn; Beschrijving van het Westeli jike gedeelte van de Zuid-en Ooster-afdeeling van Borneo (disimpul daripada empat laporan oleh Von Gaffron, 1953, BK 17 (1860), hlm 267 ff.
  3. ^ a b "Regnal Chronologies Southeast Asia: the Islands". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-11. Diakses tanggal 2010-08-18. 
  4. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-18. Diakses tanggal 2014-05-18. 
  5. ^ (Belanda) (1861)Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië. 23. hlm. 225. 
  6. ^ (Belanda) (1860)"Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde". Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen: 98. 
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Hindia-Belanda (1965). Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia-Belanda 1635-1860 (PDF). Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat. hlm. 12. 
  8. ^ Makam Raja-raja Banjar di Martapura
  9. ^ Poesponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho (2008). Sejarah nasional Indonesia: Kemunculan penjajahan di Indonesia, ±1700-1900. PT Balai Pustaka. hlm. 276. ISBN 978-979-407-410-7. 
  10. ^ "Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde" (dalam bahasa Belanda). Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1860: 98. 
  11. ^ Abdul Rahman Hj. Abdullah (2016). "Sejarah, Tamadun, Islam, Masihi, Nusantara". Biografi Agung Syeikh Arsyad Al-Banjari (dalam bahasa Melayu). Malaysia: Karya Bestari. hlm. 100. ISBN 9678605945.  ISBN 9789678605946
  12. ^ (Melayu) Mohd. Shaghir Abdullah (Hj. W.), Perkembangan ilmu fiqh dan tokoh-tokohnya di Asia Tenggara, Jilid 1, Ramadhani, 1985
  13. ^ De gids: nieuwe vaderlandsche letteroefeningen (dalam bahasa Belanda). G. J. A. Beijerinck. 1866. hlm. 48. 
  14. ^ Kielstra, Egbert Broer (1892). De ondergang van het Bandjermasinsche rijk (dalam bahasa Belanda). E.J. Brill. hlm. 2. 
  15. ^ Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863: met portretten, platen en een terreinkaart. D. A. Thieme. hlm. 8. 
  16. ^ Müller, Salomon (1857). Reizen en onderzoekingen in den Indischen archipel, gedaan op last der nederlandsche indische regering, tusschen de jaren 1828 en 1836: Nieuwe uitgave, met verbeteringen (dalam bahasa Belanda). hlm. 141. 
  17. ^ Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde (dalam bahasa Belanda). 3. 1855. hlm. 569. 
  18. ^ Hoëvel, Wolter Robert (1861). Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (dalam bahasa Belanda). 52. Ter Lands-drukkerij. hlm. 199. 
  19. ^ a b Pluvier, Jan M. (1967). A Handbook and Chart of South-East Asian History (dalam bahasa Inggris). hlm. 33. 
  20. ^ (Indonesia)Kiai Bondan, Amir Hasan (1953). Suluh Sedjarah Kalimantan. Bandjarmasin: Fadjar. 
  21. ^ Ranah Banjar. Departemen Pendidikan Nasional. 2000. 
  22. ^ Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen (dalam bahasa Belanda). 2. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1784. 
  23. ^ a b Radermacher, Jacob Cornelis Matthieu (1826). Beschryving van het eiland Borneo, voor zoo verre het zelve, tot nu toe, bekend is (dalam bahasa Belanda) (edisi ke-3). Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. hlm. 46. 
  24. ^ (Belanda) Cornelis Noorlander, Johannes (1935). Bandjarmasin en de Compagnie in de tweede helft der 18de eeuw. M. Dubbeldeman. hlm. 43. 
  25. ^ a b c d e f Sjamsuddin, Helius (2001). Pegustian dan Temenggung: akar sosial, politik, etnis, dan dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906. Balai Pustaka. hlm. 325. ISBN 979666626X.  ISBN 9789796666263
  26. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-01-18. Diakses tanggal 2011-08-04. 
  27. ^ (Belanda) Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (1861). "Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (Geschiedkundige aanteekcningen omtrent zuidelijk Borneo)". 23. Ter Lands-drukkerij: 199. 
  28. ^ (Inggris) Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (1861). "Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië". 23 (1-2). Nederlandsch-Indië: 198. 
  29. ^ Nama Islami Nan Indah Untuk Anak, Mizan Pustaka, ISBN 979-8394-41-0, 9789798394416
  30. ^ "Mencari Surat-Surat :: Sejarah Nusantara". Arsip Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-14. Diakses tanggal 2020-09-10. 
  31. ^ "Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie͏̈" (dalam bahasa Belanda). 51. Lands-Drukkerij. 1861: 220. 
  32. ^ Noorlander, Johannes Cornelis (1935). Bandjarmasin en de Compagnie in de tweede helft der 18de eeuw (dalam bahasa Belanda). M. Dubbeldeman. hlm. 47. 
  33. ^ Basset, D. K. (1971). British Trade and Policy in Indonesia and Malaysia (dalam bahasa Inggris). hlm. 19. 
  34. ^ http://kasultananbanjar.blogspot.com/2012/09/silsilah-sultan-hidayatullah-al.html
  35. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w Gazali Usman, Ahmad (1994). Kerajaan Banjar:Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam. Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press. 
  36. ^ Antemas, Anggraini (2004). Orang-Orang Terkemuka dalam Sejarah Kalimantan (edisi ke-5). Kalimantan Selatan: Ananda Nusantara. 
  37. ^ De gids: nieuwe vaderlandsche letteroefeningen (dalam bahasa Belanda). G. J. A. Beijerinck. 1866. hlm. 48. 
  38. ^ "Notulen van de algemeene en bestuurs-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen" (dalam bahasa Belanda). 1. Lange. 1863: 315. 
  39. ^ A. MEIJER (Jonkheer.) (1872). Militair tijdschrift (dalam bahasa Belanda). Bruining & Wijt. hlm. 554. 
  40. ^ Republik Indonesia: Propinsi Sulawesi. 2008. hlm. 366.  ISBN
  41. ^ Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1864). "Notulen van de Algemeene en Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappenn" (dalam bahasa Belanda). 1. Lange & Company: 315. 
  42. ^ "Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde" (dalam bahasa Belanda). 9. Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1860: 98. 
  43. ^ ACTE VAN RENOVATIE per tanggal 19 APRIL 1802 bertajuk: Acte van Renovatie en Vernieuwing der Contracten tergeleegenheid van de Installatie van den SULTAN SOLIMAN AMOH TAMIT ALALAH op den 19de April Anno 1802. (Undang-Undang Renovasi dan Pembaruan Kontrak untuk Pemasangan Sultan Sulaiman Al-Mu'tamid 'Alâ Allâh per tanggal 19 April tahun 1802). Pada pasal 1 yang tertulis dengan huruf Arab-Melayu dan berbahasa Melayu berbunyi:

    Perkara jang pertama.

  44. ^ M. Idwar Saleh (1993). Pangeran Antasari. Indonesia: Proyek lnventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 77. 
  45. ^ a b "Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah". Sejarah Daerah Kalimantan Selatan. Indonesia: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977. hlm. 33. 
  46. ^ Urang Banjar dan kebudayaannya, Penerbit Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2007 ISBN 979-98892-1-9, 9789799889218
  47. ^ a b c d e (Indonesia) Hindia- Belanda (1965). Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860. Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat. 
  48. ^ a b c (Indonesia)Tamar Djaja, Pustaka Indonesia: riwajat hidup orang-orang besar tanah air, Jilid 2, Bulan Bintang, 1965
  49. ^ (Indonesia)A. Kardiyat Wiharyanto; Sejarah Indonesia madya abad XVI-XIX, Universitas Sanata Dharma, 2006
  50. ^ gelar ketika berumur 20 tahun
  51. ^ (Inggris) Jacobs, E. M. (2006). Merchant in Asia: the trade of the Dutch East India Company during the eighteenth century. CNWS Publications. ISBN 978-90-5789-109-0. ISBN 90-5789-109-3
  52. ^ van Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863 (dalam bahasa Belanda). D. A. Thieme. hlm. 2. 
  53. ^ Urang Banjar dan kebudayaannya, Penerbit Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan, 2007
  54. ^ Surat Beriluminasi Raja Nusantara
  55. ^ (Inggris) J. H., Moor (1837). Notices of the Indian archipelago & adjacent countries: being a collection of papers relating to Borneo, Celebes, Bali, Java, Sumatra, Nias, the Philippine islands ... Singapore: F.Cass & co. 
  56. ^ (Indonesia) Abdul Qadir Djaelani, Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah, 1999
  57. ^ (Indonesia) Rachman, M. Fadjroel (2007). Bulan jingga dalam kepala: novel. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 41. ISBN 9792228764. ISBN 9789792228762
  58. ^ Intan Mardiana N, Endang Sriwigati, Yuni Astuti Ibrahim, Andini Perdana (2009). Agus Aris Munandar, ed. Koleksi Pilihan 25 Museum di Indonesia. Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 64. 
  59. ^ https://web.archive.org/web/20140303172019/http://sinarbulannews.wordpress.com/2011/01/02/silsilah-keturunan-sultan-adam-al-wasikubillah-martapura-kerajaan-banjar/
  60. ^ Anggota Dewan Mahkota tinggal di luar Kayu Tangi yaitu Pangeran Marta dan Pangeran Ulahnegara yang tinggal di Margasari
  61. ^ Kyai ingabehi Surengrana berasal dari Margasari memegang jabatan Puspawana (petugas yang mengurus ternak, padang perburuan, dan sungai untuk persediaan ikan bagi warga istana).
  62. ^ (Inggris) Soekmono, Soekmono (1981). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 3. Kanisius,. ISBN 9794132918. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-01-19. Diakses tanggal 2010-08-18. ISBN 978-979-413-291-3 Diarsipkan 2015-01-19 di Wayback Machine.
  63. ^ a b A. Kardiyat Wiharyanto; Sejarah Indonesia madya abad XVI-XIX, Universitas Sanata Dharma, 2006
  64. ^ (Indonesia) Team Penulis Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi Jakarta (Indonesia), Mencermati nilai budaya masa lalu dalam menatap masa depan, Bedugul 14-17 Juli 2000: proceedings EHPA, Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi Jakarta, 2001, ISBN 979-8041-25-9, 9789798041259

Pranala luar sunting

Didahului oleh:
Muhammad Aliuddin
Aminullah
Sultan Banjar
1761-1801
Diteruskan oleh:
Sulaiman al-Mu'tamidullah/
Sulaiman Sa'id-Allah II