Stola

Pita Kain Panjang Sempit Dikenakan Di Leher dan Jatuh Dari Bahu Sebagai Bagian dari Pakaian Gereja

Stola adalah vestimentum liturgis dari berbagai denominasi Kristen. Stola berupa sehelai selempang kain dengan bordiran, dulunya berbahan dasar sutera, panjangnya sekitar tujuh setengah sampai sembilan kaki dan selebar tiga sampai empat inci, makin ke ujung makin lebar.

Etimologi dan sejarah sunting

Kata Latin stola berasal dari kata Yunani στολη (stolē), "pakaian", arti aslinya adalah "tatanan" atau "kelengkapan".

Stola mula-mula merupakan semacam syal yang dikenakan menutupi bahu dan menjuntai di bagian depan tubuh; syal yang dikenakan kaum wanita memang sangat besar ukurannya. Setelah dialihgunakan oleh Gereja Roma sekitar abad ke-7 (stola juga telah dipergunakan oleh Gereja-Gereja lokal lain sebelumnya), bentuk stola makin lama makin menyempit dan dipenuhi hiasan karena stola dikembangkan menjadi semacam tanda kehormatan. Kini stola biasanya lebih lebar dan dapat dibuat dari berbagai jenis bahan.

Ada banyak teori mengenai "leluhur" stola. Ada yang berpendapat bahwa stola berasal dari tallit (mantel sembahyang Yahudi), karena kemiripannya dengan tata cara penggunaan tallit saat ini (pemimpin ibadah Yahudi mengerudungi kepalanya dengan tallit pada saat memimpin doa) tetapi teori ini sudah tidak dipergunakan lagi sekarang. Teori yang lebih populer adalah bahwa stola berasal dari semacam kain lap liturgis yang disebut orarium dan sangat mirip dengan sudarium. Kenyataanya, di banyak tempat stola disebut orarium. Oleh karena itu stola dihubung-hubungkan dengan kain lap yang digunakan Yesus tatkala membasuh kaki murid-muridNya, dan merupakan simbol yang tepat bagi kuk Kristus, yakni kuk pelayanan.

Bagaimanapun juga, "leluhur" stola yang mungkin paling dekat adalah syal jabatan yang dikenakan para pejabat Kekaisaran Romawi. Ketika kaum klerus menjadi angota badan administrasi Romawi, mereka pun menerima tanda kehormatan yang sama, yang merupakan penanda jenjang jabatan dalam hierarki kekaisaran (dan Gereja). Pelbagai konfigurasi stola (termasuk pallium atau omoforion) berasal dari penggunaan syal jabatan ini. Maksud aslinya adalah sebagai tanda pengenal seseorang dalam organisasi tertentu dan untuk untuk menunjukkan pangkat orang tersebut dalam kelompoknya, fungsi inilah yang masih diteruskan oleh stola hingga hari ini. Jadi, tidak seperti busana liturgis lain yang awalnya dikenakan baik oleh klerus maupun awam, stola merupakan busana yang dikhususkan untuk dikenakan oleh kelas masyarakat tertentu berdasarkan pekerjaannya.

Penggunaan sunting

 
Imam mengenakan sehelai stola

Katolik Roma sunting

Dalam Gereja Katolik Roma, stola adalah vestimentum yang menandai penerimaan sakramen imamat. Stola diberikan dalam pentahbisan menjadi diakon, yang dengannya seseorang menjadi anggota klerus (kaum tertahbis). Uskup dan imam mengenakan stola dengan cara menyampirkannya pada tengkuk dan membiarkan dua ujungnya menjuntai di bagian depan, sedangkan diakon menyampirkannya pada bahu kiri dan menyilangkan kedua ujungnya di pinggul kanan. Pada masa ketika Misa Tridentina masih digunakan, para imam yang bukan uskup menyilangkan stola di dada (lihat gambar kanan bawah), tetapi hadanya dalam Misa atau upacara-upacara lain bilamana dikenakan pula kasula atau kap. Kini stola dikenakan dengan membiarkan kedua ujungnya menjuntai lurus (Petunjuk Umum Misa Romawi, 340). Pada kesempatan-kesempatan istimewa, Sri Paus mengenakan, sebagai bagian dari pakaian seragamnya, semacam stola khusus yang penuh hiasan serta diberi lambang pribadinya.

Anglikan sunting

 
Stola menyilang di dada bagi imam.
 
Stola pada bahu kiri bagi diakon.

Demikian pula halnya, dalam Gereja-Gereja Komuni Anglikan, stola diberikan pada saat seseorang ditahbiskan menjadi diakon serta disampirkan pada pundak. Dalam pentahbisan imam, sang imam yang baru saja ditahbiskan tersebut menyampirkan stola pada tengkuk dengan kedua ujungnya menjuntai di depan, baik menjuntai lurus atau dengan cara tradisional yakni disilangkan. Klerus injili yang berkeberatan mengenakan stola karena alasan hati nurani, mengikuti praktik reformasi yakni mengenakan syal khotbah (preaching scarf).

Protestan sunting

Dalam gereja-gereja Protestan, stola sangat sering dipandang sebagai lambang tahbisan dan jabatan pelayanan Firman dan Sakramen. Stola kerap diberikan oleh jemaat (kadang kala berupa stola buatan tangan atau stola yang diberi hiasan) sebagai hadiah pada saat pentahbisan atau perayaan peringatan tahbisan seseorang. Umumnya klerus protestan mengenakan stola dengan aturan yang sama dengan imam Anglikan atau imam Katolik Ritus Latin yakni disampirkan pada tengkuk dan membiarkan kedua ujungnya menjuntai pada dada (dan tidak disilangkan). Stola secara umum dikenakan oleh para petugas pelayanan yang tertahbis dalam Gereja Calvinis, Gereja Lutheran, Gereja Methodis, Presbiterian, dan beberapa denominasi protestan lainnya.

Dalam Gereja Lutheran Injili di Amerika (ELCA, Evangelical Lutheran Church in America), hanya para uskup dan pastor yang mengenakan stola karena hanya merekalah yang menerima tahbisan, yakni stola imam, karena dalam tradisi Lutheran jabatan uskup bukanlah suatu tahbisan tersendiri melainkan hanya suatu jabatan tertentu saja. Para petugas pelayanan diakonal ELCA (setara dengan diakon) umumnya tidak mengenakan stola, namun kadang kala mengenakan stola diakon tradisional pada saat menjalankan fungsi liturgis tradisional selaku diakon.

Dalam Gereja Persatuan Methodis di Amerika Serikat (United Methodist Church), para diakon mengenakan stola dengan cara yang sama seperti diakon-diakon dalam tradisi Anglikan dan Katolik Ritus Latin. Seorang penatua yang tertahbis mengenakan stola dengan cara yang sama dengan imam-imam Anglikan dan Katolik Ritus Latin, karena jabatan penatua dalam gereja ini setara dengan jabatan imam dalam Gereja Anglikan atau Katolik.

Simbolisme dan warna sunting

 
Warna-warna stola

Stola beserta sinktura dan manipel, melambangkan ikatan dan rantai yang membelenggu Yesus dalam jalan sengsaraNya; stola biasanya diberi hiasan berbentuk salib. Versi lain mengatakan bahwa stola melambangkan tugas memberitakan Firman Allah.

Warna-warna stola dan vestimentum lainnya dalam Gereja Katolik Roma tercantum dalam Petunjuk Umum Buku Misa Romawi (Missale Romanum), 346. Warna putih digunakan dalam masa Paskah dan Natal serta hari-hari raya yang bukan hari peringatan martir; merah untuk hari Minggu Palma, Jumat Agung, dan hari Minggu Pentakosta, serta hari-hari peringatan orang-orang kudus yang wafat sebagai martir; hijau untuk masa biasa (antara masa Natal dan masa Prapaskah, serta antara masa Paskah dan masa Adven). Lembayung (sering kali dicampuradukkan dengan warna ungu) untuk masa Adven dan masa Prapaskah, serta dapat digunakan dalam Misa bagi orang yang telah meninggal dunia. Di tempat-tempat yang lazim menggunakannya, warna merah muda (pink) dapat digunakan untuk hari Minggu ke-3 dalam masa Adven dan hari Minggu ke-4 dalam masa Prapaskah, karena hari Minggu ke-3 dalam masa Adven disebut hari Minggu Gaudete dan hari Minggu ke-4 dalam masa Prapaskah disebut hari Minggu Laetare; kata-kata Latin tersebut berarti "bersukacitalah", dan perubahan warna yang digunakan melambangkan "selingan" dalam penintensi selama masa penggunaan warna lembayung. Demikian pula, di tempat-tempat yang lazim menggunakannya, warna hitam digunakan dalam Misa bagi orang yang telah meninggal dunia. Meskipun demikian, Konferensi Waligereja, dengan persetujuan Tahta Suci, boleh menyesuaikan aturan-aturan ini dengan tradisi-tradisi nasional, seperti misalnya, di negara-negara yang menggunakan warna putih sebagai warna perkabungan.

Komuni Anglikan dan Gereja Lutheran Injili di Amerika menggunakan warna-warna utama yang sama (putih, merah, hijau, dan ungu), namun sering pula menggunakan warna biru sebagai ganti ungu untuk masa Adven (melambangkan langit malam hari atau Perawan Maria), merah-keunguan (Komuni Anglikan) atau merah-kirmizi(Gereja Lutheran Injili di Amerika) digunakan selama Pekan Suci. Hitam, warna umum dalam kebanyakan denominasi, melambangkan perkabungan, mulanya digunakan pada hari Jumat Agung dan upacara pemakaman, akan tetapi sejak tahun 1960-an, hitam tergantikan oleh putih. Dalam keadaan-keadaan tertentu, warna hitam tetap digunakan untuk upacara pemakaman dalam beberapa upacara pemakaman Anglikan (misalnya dalam pemakaman Ratu Elizabeth, "Queen Mother"), Sedangkan Gereja Lutheran Injili di Amerika menggunakan warna hitam hanya untuk ibadah hari Rabu Abu, dan sebagai warna selubung salib pada hari Jumat Agung. Sebagai aturan, tata cara Anglikan umumnya identik dengan tata cara Katolik Roma.

Stola dalam Gereja-Gereja Timur sunting

Dalam Gereja-Gereja Timur, stola dikenal sebagai epitrakhelion (dikenakan oleh imam atau uskup) dan orarion (dikenakan oleh diakon atau subdiakon). Stola milik imam berupa sehelai selempang yang disampirkan pada tengkuk, dan kedua ujungnya dibiarkan menjuntai di bagian depan, kedua sisi stola yang bertemu di bagian depan disatukan dengan jahitan. Protodiakon atau diakon agung menyampirkan stolanya pada pundak kiri lalu disilangkan pada pinggul kanan, sedangkan diakon menyampirkannya pada pundak kiri dan membiarkan kedua ujungnya menjuntai bebas di sisi kiri. Dua cara tersebut hanya dapat dijumpai dalam Gereja-Gereja Ortodoks yang paling tradisional. Dalam kebanyakan tradisi Timur, hanya cara pertama yang digunakan, kecuali jika diakon yang bersangkutan hanya mengenakan eksorasson (jubah luar) maka orarion disampirkan ganda pada bahu kiri. Subdiakon menyampirkan orarion-nya pada kedua pundak lalu disilangkan di belakang dan depan. Orang-orang yang bertindak selaku subdiakon menyilangkan orarion hanya pada bagian belakang agar menunjukkan bahwa mereka tidak ditahbiskan.

Referensi sunting

  • Encyclopaedia Britannica, edisi ke-11., vol. 26, hal. 953.

Pranala luar sunting