Song Si-yeol (nama pena: U Am, 1607-1689) adalah tokoh literati, penasehat politik, dan sastrawan dari Dinasti Joseon.[1][2][3]

Song Si-yeol

Song Si-yeol merupakan tokoh utama dari Partai Literati Barat, salah satu partai literati yang besar pada periode Joseon. Partai-partai literati ini merupakan kaum pendukung Konfusianisme Baru (Neo Konfusianisme) yang mendukung pemerintahan raja yang berkuasa. Mereka mendalami Konfusianisme, mengajarkan serta menawarkan kebijakan-kebijakan bagi pemerintahan raja.

Kelompok Literati dan Konfusianisme di periode Joseon sunting

Sejak abad ke-13, pendidikan di Joseon dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari Zhu Xi, seorang tokoh Neo-Konfusianis Tiongkok. Penyebaran ajaran Zhu Xi diyakini karena kontribusi tokoh literati Jeong Mong-ju pada awal-awal pembentukan negara itu.[4]

Sejak tahun 1600-an, situasi politik dalam negeri Korea diwarnai perdebatan dan konflik mengenai interpretasi ajaran-ajaran Zhu Xi, bahkan terdapat perlawanan terhadap pemikiran tokoh itu.[5] Song Si-yeol sangat menghargai kontribusi Jeong Mong-ju dalam menyebarkan doktrin Zhu Xi dan ia sendiri adalah sarjana literati yang secara khusus mendalami ajaran-ajaran Zhu Xi. Sebagian tokoh menganggap bahwa Song Si-yeol adalah seorang yang kokoh dan keras mempertahankan kemurnian ajaran Zhu Xi dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Panggilan orang-orang untuknya ialah Song Ja, "Guru Song".[3]

Perbedaan pendapat di antara partai literati sering kali menimbulkan konflik. Kelompok Literati Nam In ("Partai Selatan") dipimpin Heo Mok dan Seo In ("Partai Barat") yang dipimpin Song Si-yeol berbeda pendapat mengenai penafsiran ajaran Zhu Xi. Beberapa perdebatan sengit terjadi karena hal-hal semacam Ritual Perkabungan tahun 1659 dan 1674.

Dari pendalaman terhadap ajaran Zhu Xi, Song menulis beberapa buku yang berisi intisari penting doktrin Neo Konfusianisme yang dapat digunakan sebagai ideologi pemerintahan negara Joseon. Poin-poin penting ajaran Song: peningkatan superioritas kebudayaan bangsa dan penolakan terhadap bangsa biadab.[6] Ketika Dinasti Qing yang mereka anggap sebagai bangsa biadab (barbar) telah menaklukkan Ming dan kemudian menyerang mereka dua kali pada tahun 1627 dan 1636, negara itu menetapkan bahwa Konfusianisme di Tiongkok sudah tidak berlaku lagi dan selanjutnya menyatakan diri sebagai "Tiongkok Kecil" (Sinosentrisme Joseon).[6] Song Si-yeol dianggap sebagai promotor Neo-Konfusianisme yang anti Qing mengutip Chunqiu menyatakan: "bahkan jika bangsa Tionghoa pun mengikuti cara hidup bangsa yang biadab maka mereka pun akan dinamakan menjadi bangsa biadab".[6]

Kehidupan dan pendidikan awal sunting

Song Si-yeol lahir pada tahun 1607, masa pemerintahan Seonjo di Okcheon, Chungcheong. Ayahnya Song Gap-jo, adalah anggota Klan Song dari Eunjin. Masa kecil dan remajanya ia habiskan dengan belajar bermacama-macam bidang seperti filsafat dan politik dari berbagai guru terkenal pada masa itu antara lain Kim Jang-Saeng dan Kim Jip. Karier Song Si-yeol dimulai setelah ia lulus Ujian Kenegaraan pada tahun 1633 dengan nilai tertinggi.

Pada bulan Oktober 1633, ia ditunjuk menjadi Gubernur Gyeongneung namun kemudian meletakkan jabatannya karena pulang untuk merawat sang ibu yang sudah tua.

Masa pemerintahan Raja Injo dan Invasi Bangsa Manchu sunting

Masa pemerintahan Injo, dinasti itu sedang melewati masa-masa sulit dengan adanya pergantian kekuasaan dari Dinasti Ming ke Dinasti Qing di Tiongkok.[3] Song bersama tokoh-tokoh Konfusianis Joseon menyatakan dukungan terhadap Dinasti Ming, hal ini yang kemudian menyebabkan Qing menyerang Korea dua kali pada tahun 1627 dan 1636.[3] Sejak tahun 1635, di usianya yang ke-28, Song ditunjuk sebagai guru bagi Pangeran Bongnim, yang kelak menjadi Raja Hyojong.

Invasi Kedua Manchu yang terjadi tahun 1636 benar-benar menghancurkan Korea.[3] Song Si-yeol bersama Raja Injo dan keluarganya mengungsi ke Benteng Gunung Nam. Dalam waktu tak lama Joseon menyerah kepada Qing. Raja Injo mengakui kebesaran kaisar Qing di Samjeondo dengan kowtow serta menyetujui perjanjian bahwa dua orang putranya akan dibawa ke Tiongkok sebagai tawanan politik.

Setelah menyerahnya Joseon kepada Manchu, seperti banyak tokoh literati lain, Song Si-yeol lebih memilih keluar dari istana kerajaan untuk menyepi ke daerah terpencil. Meskipun demikian ia dianggap masih memiliki kedudukan yang penting dan berpengaruh.[3]

Masa pemerintahan Raja Hyojong sunting

Pangeran yang diasingkan kembali dari Tiongkok dan naik tahta pada tahun 1649 sebagai Raja Hyojong menggantikan Injo. Song Si-yeol kembali ke istana sebagai penasehat raja untuk urusan-urusan politik.

Pada masa pemerintahan Hyojong, muncul rencana untuk berperang dengan Dinasti Qing.[3] Sesuai dengan ajaran-ajaran Konfusianisme, Song Si-yeol mendorong raja untuk memperkuat negara dengan cara ekspansi wilayah ke arah utara melawan bangsa biadab guna mengukuhkan bangsanya. Dengan kematian Raja Hyojong pada tahun 1659, rencana perang dibatalkan.[3]

Muasa pemerintahan Raja Hyeonjong dan Sukjong sunting

Masa pemerintahan raja berikutnya, Hyeonjong, Song Si-yeol diangkat sebagai Menteri Kiri.[3]

Semasa pemerintahan Hyojong, Partai Literati Barat menjadi kepercayaan raja. Ketika raja itu wafat, terjadi perdebatan mengenai lama masa berkabung yang harus dilaksanakan oleh ibu suri. Song Si-yeol dari Partai Barat bersikeras ibu suri harus mengenakan pakaian berkabung selama satu tahun, sebaliknya Partai Selatan dan pemimpin mereka Heo Jeok berpendapat bahwa masa berkabung harus tiga tahun. Konflik ini mencuat karena tidak adanya catatan terdahulu mengenai tata cara ritual ketika anak tiri laki-laki kedua yang mewarisi tahta kerajaan meninggal. Partai Barat ingin mengikuti tradisi untuk anak tiri laki-laki kedua, dan Partai Selatan beranggapan Hyojong berhak atas pemakaman selama tiga tahun karena ia masih keturunan Raja Injo. Raja Hyeonjong memutuskan masa berkabung satu tahun mengikuti Partai Barat sekaligus mengangkat Heo Jeok dari Partai Selatan sebagai perdana menteri. Raja Hyeonjong lebih memilih untuk bersahabat dengan Dinasti Qing dan lebih memfokuskan pembangunan kembali negara yang hancur akibat Perang Tujuh Tahun dan Invasi Manchu. Keputusan yang tidak mendua ini membuat tidak ada orang-orang yang disingkirkan.

Kontroversi mengenai ritual perkabungan berlanjut setelah Hyeonjong meninggal pada tahun 1674. Raja Sukjong melarang seluruh perdebatan mengenai ritual perkabungan.

Hukuman bagi Song Si-yeol menimbulkan pro dan kontra. Karena alasan itu, ia dipindahkan beberapa kali. Ia diasingkan ke utara pada tahun 1675 dan ditempatkan di Deogwon, Hamgyeong.[3] Beberapa bulan kemudian dipindahkan lagi ke Ungcheon, di selatan Gyeongsang. Perdana Menteri Heo Jeok yang mengetahui tempat tersebut kurang baik bagi kesehatan Song, menyarankan raja agar ia dipindahkan ke Janggi, di utara Provinsi Gyeongsang (dekat kota Pohang kini). Catatan mengenai perjalanan Song Si-yeol dicatat dengan lengkap dan jelas dalam Riwayat Raja Sukjong kemungkinan karena banyak sejarawan di istana menghormati Song Si-yeol. Song tinggal selama 4 tahun di Janggi.[3] Pada tahun 1679, ia dipindahkan ke Geoje, pulau di selatan Gyeongsang. Setelah dua bulan tinggal di pulau, ia dibebaskan, nama baiknya dipulihkan, dan menjabat sebagai Kepala Kementerian.[3] Raja Sukjong yang mulanya berpihak pada Partai Selatan, tetapi berbalik pada tahun 1680, petinggi partai Heo Jeok dan Yun Hyu dieksekusi dalam peristiwa Gyeongsin Hwanguk (경신환국). Pada tahun 1683, Song menyatakan pensiun namun situasi politik di istana kembali memanas dengan pecahnya koalisi Partai Barat menjadi Partai Soron dan Partai Noron. Ia sendiri berdiri di pihak Partai Noron.

Sukjong yang khawatir tak punya penerus dirinya nanti, menginginkan putra pertamanya Gyeongjong diangkat sebagai Putra Mahkota. Namun karena putranya tersebut lahir dari seorang selir bernama Jang, keputusannya ditentang oleh Partai Barat (yang didukung Ratu Inhyeon dan ayah sang Ratu) tetapi didukung oleh Partai Selatan. Partai Selatan yang berhasil mempengaruhi Sukjong mendapatkan kepercayaannya. Raja yang marah menurunkan ratu dan mengusirnya. Song Si-yeol dibuang ke Pulau Jeju dan diperintahkan untuk bunuh diri dengan cara minum racun di Jeolla pada tahun 1689.[3][7] Peristiwa pembersihan Partai Barat oleh raja dinamakan Gisa Hwanguk (기사환국).

Nama sunting

  • Nama pena = U Am
  • Nama sastrawan = Munjeong
  • Nama kehormatan = Yeong-bo

Pranala luar sunting

Referensi sunting

  1. ^ (Inggris)Song Si-Yeol (1607-1689) Diarsipkan 2016-10-13 di Wayback Machine., donggu.go.kr. 13-10-2016
  2. ^ (Inggris)Song Si-yeol, the scholar with the chisel, londonkoreanlinks. 13-10-2016
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m (Inggris) Haboush, JaHyun Kim (2009). Epistolary Korea: Letters in The Communicative Space of the Choson, 1392-1910. Columbia University Press. 
  4. ^ (Inggris)Chun Chu thought of Song Si-Yeol and Worship for Jeong Mong-Ju, scholar.dkyobobook.co.kr. 15-10-2016
  5. ^ (Inggris) Seth, Michael J (2016). A Concise History of Korea: From Antiquity to the Present. Rowman & Littlefield. 
  6. ^ a b c (Inggris) Kang, Jung In (2015). Western-Centrism and Contemporary Korean Political Thought. Lexington Books. 
  7. ^ (Inggris) Kang, Jae-eun (2006). The Land of Scholars: Two Thousand Years of Korean Confucianism. Homa & Sekey Books.