Platyhelminthes adalah filum dalam Kerajaan Animalia (hewan). Filum ini mencakup semua cacing pipih kecuali Nemertea, yang dulu merupakan salah satu kelas pada Platyhelminthes, yang telah dipisahkan.[1]

Platyhelminthes

Taksonomi
SuperkerajaanEukaryota
KerajaanAnimalia
SuperfilumSpiralia
FilumPlatyhelminthes
Gegenbaur, 1859
Kelas

Ciri-ciri sunting

Tubuh pipih dosoventral dan tidak bersegmen. Umumnya, golongan cacing pipih hidup di sungai, danau, laut, atau sebagai parasit di dalam tubuh organisme lain.[2] Cacing golongan ini sangat sensitif terhadap cahaya.[2] Beberapa contoh Platyhelminthes adalah Planaria yang sering ditemukan di balik batuan (panjang 2–3 cm), Bipalium yang hidup di balik lumut lembap (panjang mencapai 60 cm), Clonorchis sinensis, cacing hati, dan cacing pita.[2]

Struktur dan fungsi tubuh sunting

Platyhelminthes merupakan cacing yang tergolong triploblastik aselomata karena memiliki 3 lapisan embrional yang terdiri dari ektoderma, endoderma, dan mesoderma.[3] Namun, mesoderma cacing ini tidak mengalami spesialisasi sehingga sel-selnya tetap seragam dan tidak membentuk sel khusus.[3]

Sistem pencernaan sunting

Sistem pencernaan cacing pipih disebut sistem gastrovaskuler, dimana peredaran makanan tidak melalui darah tetapi oleh usus.[3] Sistem pencernaan cacing pipih dimulai dari mulut, faring, dan dilanjutkan ke kerongkongan.[3] Di belakang kerongkongan ini terdapat usus yang memiliki cabang ke seluruh tubuh.[3] Dengan demikian, selain mencerna makanan, usus juga mengedarkan makanan ke seluruh tubuh.[3]

Selain itu, cacing pipih juga melakukan pembuangan sisa makanan melalui mulut karena tidak memiliki anus.[3] Cacing pipih tidak memiliki sistem transpor karena makanannya diedarkan melalui sistem gastrovaskuler.[3] Sementara itu, gas O2 dan CO2 dikeluarkan dari tubuhnya melalui proses difusi.[3]

Sistem saraf sunting

Ada beberapa macam sistem saraf pada cacing pipih:[3]

  • Sistem saraf tangga tali merupakan sistem saraf yang paling sederhana.[3] Pada sistem tersebut, pusat susunan saraf yang disebut sebagai ganglion otak terdapat di bagian kepala dan berjumlah sepasang.[3] Dari kedua ganglion otak tersebut keluar tali saraf sisi yang memanjang di bagian kiri dan kanan tubuh yang dihubungkan dengan serabut saraf melintang.[3]
  • Pada cacing pipih yang lebih tinggi tingkatannya, sistem saraf dapat tersusun dari sel saraf (neuron) yang dibedakan menjadi sel saraf sensori (sel pembawa sinyal dari indra ke otak), sel saraf motor (sel pembawa dari otak ke efektor), dan sel asosiasi (perantara).[3]

Indra sunting

Beberapa jenis cacing pipih memiliki sistem penginderaan berupa oseli, yaitu bintik mata yang mengandung pigmen peka terhadap cahaya.[3] Bintik mata tersebut biasanya berjumlah sepasang dan terdapat di bagian anterior (kepala).[3] Seluruh cacing pipih memiliki indra meraba dan sel kemoresptor di seluruh tubuhnya.[4] Beberapa spesies juga memiliki indra tambahan berupa aurikula (telinga), statosista (pegatur keseimbangan), dan reoreseptor (organ untuk mengetahui arah aliran sungai).[3] Umumnya, cacing pipih memiliki sistem osmoregulasi yang disebut protonefridia.[5] Sistem ini terdiri dari saluran berpembeluh yang berakhir di sel api.[4] Lubang pengeluaran cairan yang dimilikinya disebut protonefridiofor yang berjumlah sepasang atau lebih.[5] Sedangkan, sisa metabolisme tubuhnya dikeluarkan secara difusi melalui dinding sel.[5]

Reproduksi sunting

Cacing pipih dapat bereproduksi secara aseksual dengan fragmentasi dan secara seksual dengan perkawinan silang, walaupun hewan ini tergolong hermafrodit.[6]

Klasifikasi sunting

Platyhelminthes dapat dibedakan menjadi 3 kelas, yaitu Turbellaria (cacing bulu getar), Trematoda (cacing isap), Monogenea, dan Cestoda (cacing pita).[7]

  • Kelas Turbellaria merupakan cacing pipih yang menggunakan bulu getar sebagai alat geraknya, contohnya adalah Planaria.[7]
  • Kelas Trematoda memiliki alat isap yang dilengkapi dengan kait untuk melekatkan diri pada inangnya karena golongan ini hidup sebagai parasit pada manusia dan hewan.[7] Beberapa contoh Trematoda adalah Fasciola (cacing hati), Clonorchis, dan Schistosoma.[7]
  • Kelas Cestoda memiliki kulit yang dilapisi kitin sehingga tidak tercemar oleh enzim di usus inang.[7] Cacing ini merupakan parasit pada hewan, contohnya adalah Taenia solium dan T. saginata.[7] Spesies ini menggunakan skoleks untuk menempel pada usus inang. Taenia bereproduksi dengan menggunakan telur yang telah dibuahi dan di dalamnya terkandung larva yang disebut onkosfer.[7]

Siklus hidup sunting

Fasciola hepatica sunting

Telur (bersama feces) -> larva bersilia (mirasidium) -> siput air (lymnea auricularis atau lymnea javanica) -> sporokista -> redia -> serkaria -> keluar dari tubuh siput -> menempel pada rumput / tanaman air -> membentuk kista (metaserkaria) -> dimakan domba(hepatica)/sapi(gigantica) -> usus -> hati -> sampai dewasa

Clonorchis sinensis sunting

Telur (bersama feces) -> mirasidium -> siput air -> sporokista -> menghasilkan redia -> menghasilkan serkaria -> keluar dari tubuh siput -> ikan air tawar (menempel di ototnya) -> membentuk kista (metaserkaria) -> ikan dimakan -> saluran pencernaan -> hati -> sampai dewasa

Schistosoma javanicum sunting

Telur (bersama feces) -> mirasidium -> siput air -> sporokista -> menghasilkan redia -> menghasilkan serkaria -> keluar dari tubuh siput -> menembus kulit manusia -> pembuluh darah vena

Taenia saginata/Taenia solium sunting

Proglotid (bersama feces) -> mencemari makanan babi -> babi -> usus babi (telur menetas jadi hexacan) -> aliran darah -> otot/daging (sistiserkus) -> manusia -> usus manusia (sistiserkus pecah -> skolex menempel di dinding usus) -> sampai dewasa di manusia -> keluar bersama feces[3][8]

Penyakit yang disebabkan sunting

 
Schistosoma mansoni, penyebab Schistosoma pada manusia.

Beberapa spesies Platyhelminthes dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan.[8] Salah satu diantaranya adalah genus Schistosoma yang dapat menyebabkan skistosomiasis, penyakit parasit yang ditularkan melalui siput air tawar pada manusia.[8] Apabila cacing tersebut berkembang di tubuh manusia, dapat terjadi kerusakan jaringan dan organ seperti kandung kemih, ureter, hati, limpa, dan ginjal manusia.[3][8] Kerusakan tersebut disebabkan perkembanganbiakan cacing Schistosoma di dalam tubuh hingga menyebabkan reaksi imunitas. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit endemik di Indonesia.[3][8] Contoh lainnya adalah Clonorchis sinensis yang menyebabkan infeksi cacing hati pada manusia dan hewan mamalia lainnya.[9] Spesies ini dapat menghisap darah manusia.[9] Pada hewan, infeksi cacing pipih juga dapat ditemukan, misalnya Scutariella didactyla yang menyerang udang jenis Trogocaris dengan cara menghisap cairan tubuh udang tersebut.[10]

Peranan sunting

Umumnya Platyhelminthes merupakan cacing yang merugikan karena bersifat parasit pada manusia dan hewan, namun terdapat spesies platyhelminthes (cacing pipih) yang tidak merugikan manusia atau hewan yaitu planaria. Planaria memiliki peranan yang dimanfaatkan sebagai makanan ikan. Platyhelminthes (cacing pipih) lebih banyak memberikan dampak kerugian bagi manusia dan hewan. Ketika manusia mengkonsumsinya, dampaknya dapat merugikan manusia karena terinfeksi cacing yang dapat menyebabkan masalah-masalah bagi kesehatan manusia.

Referensi sunting

  1. ^ (Inggris) Torsten H. Struck, Frauke Fisse (2008). "Phylogenetic position of Nemertea derived from phylogenomic data". Molecular Biology and Evolution. doi:10.1093/molbev/msn019. 
  2. ^ a b c (Inggris) Marty Snyderman, Clay Wiseman (1996). Guide to marine life: Caribbean, Bahamas, Florida. Aqua Quest Publications, Inc. ISBN 978-1-881652-06-9. Hal.83-87
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t (Inggris) Wojciech Pisula (2009). Curiosity and Information Seeking in Animal and Human Behavior. Brown Walker Press. ISBN 978-1-59942-498-9. Hal.37-41 Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "pp" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  4. ^ a b (Inggris) "Platyhelminthes". 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-11-10. 
  5. ^ a b c (Inggris) Cecie Starr, Christine A. Evers, Lisa Starr (2007). Biology: Concepts and Applications Without Physiology. Brooks Cole. ISBN 978-0-495-38150-1. 
  6. ^ (Inggris) Whittington ID. (1997). "Reproduction and host-location among the parasitic platyhelminthes". 27 (6): 705–14. 
  7. ^ a b c d e f g (Inggris) Greg Lewbart (2006). Invertebrate medicine. Wiley-Blackwell. ISBN 978-0-8138-1844-3. Hal.53-55
  8. ^ a b c d e (Inggris) Garjito TA, Sudomo M, Abdullah, Dahlan M, Nurwidayati A. (2008). "Schistosomiasis in Indonesia: past and present". Parasitol Int. 57 (3): 277–80. 
  9. ^ a b (Inggris) T. Suna, S.T. Choua and J.B. Gibson (1968). "Route of entry of Clonorchis sinensis to the mammalian liverstar". Experimental Parasitology. 22 (3): 346–351. 
  10. ^ (Inggris) Joan Bowman Williams (1986). "Phylogenetic relationships of the Temnocephaloidea (Platyhelminthes)". Hydrobiologia. 132. doi:10.1007/BF00046229.