Pertanian organik

sistem budi daya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis

Pertanian organik adalah sistem budi daya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis.[1] Beberapa tanaman Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dengan teknik tersebut adalah padi, hortikultura yang meliputi tanaman sayur, buah, bunga, dan tanaman obat (contohnya: brokoli, kubis merah, jeruk, dll.), tanaman perkebunan (kopi, teh, kelapa, dll.), dan rempah-rempah.[1] Pengolahan pertanian organik didasarkan pada prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan perlindungan.[2] Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan dalam pertanian organik adalah kegiatan pertanian harus memperhatikan kelestarian dan peningkatan kesehatan tanah, tanaman, hewan, bumi, dan manusia sebagai satu kesatuan karena semua komponen tersebut saling berhubungan dan tidak terpisahkan.[2] Pertanian organik juga harus didasarkan pada siklus dan sistem ekologi kehidupan.[2] Pertanian organik juga harus memperhatikan keadilan baik antarmanusia maupun dengan makhluk hidup lain di lingkungan.[2] Untuk mencapai pertanian organik yang baik perlu dilakukan pengelolaan yang berhati-hati dan bertanggungjawab melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia baik pada masa kini maupun pada masa depan.[2]

Sebuah tanda di luar kebun apel bagian organik di Pateros, Washington yang mengingatkan pekerja kebun untuk tidak menyemprotkan pestisida
Pertanian sayuran organik di Capay, California.

Sejarah pertanian organik sunting

Pertanian tradisional dalam berbagai bentuk, yang telah dilakukan sejak ribuan tahun di seluruh dunia, merupakan pertanian organik yang tidak menggunakan bahan kimia sintetik. Pertanian dengan memanfaatkan ekologi hutan pada kebun hutan merupakan salah satu sistem produksi pangan pada masa prasejarah yang dipercayai merupakan pemanfaatan ekosistem pertanian yang pertama.[3]

Pupuk sintetis telah dibuat pada abad ke 18, berupa superfosfat. Lalu pupuk berbahan dasar amonia mulai diproduksi secara massal ketika proses Haber dikembangkan semasa Perang Dunia I. Pupuk ini murah, bernutrisi, dan mudah ditransportasikan dalam bentuk curah. Perkembangan juga terjadi pada pestisida kimia pada tahun 1940-an, yang memicu penggunaan bahan kimia pertanian secara besar-besaran di seluruh dunia.[4] Namun sistem pertanian baru yang mulai berkembang ini membawa dampak serius secara jangka panjang pada pemadatan tanah, erosi, penurunan kesuburan tanah secara keseluruhan, juga dampak kesehatan pada manusia akibat bahan kimia beracun yang masuk ke bahan pangan.[5]:10

Para pakar biologi tanah mulai mengembangkan teori mengenai bagaimana ilmu biologi dapat digunakan pada pertanian untuk menanggulangi dampak negatif bahan kimia pertanian tanpa mengurangi hasil produksi pertanian. Biodinamika biologi berkembang pada tahun 1920-an dan menjadi versi awal dari pertanian organik yang dikenal sekarang.[6][7][8]:[9][10][11][12] Sistem ini berdasarkan filosofi antroposofi dari Rudolf Steiner.[8]:17–19

Pada tahun 1930-an dan awal 1940-an, pakar botani terkemuka Sir Albert Howard dan istrinya Gabriel Howard mengembangkan pertanian organik. Howard terinspirasi dari pengalaman mereka mengenai metode pertanian tradisional di India, pengetahuan mereka mengenai biodinamika, dan latar belakang pendidikan mereka.[6] Sir Albert Howard dapat dikatakan sebagai "bapak pertanian organik" karena ia yang pertama kali menerapkan prinsip ilmiah pada berbagai metode pertanian tradisional dan alami.[13]:45

Meningkatnya kesadaran lingkungan secara umum pada populasi manusia pada masa modern telah mengubah gerakan organik yang awalnya dikendalikan oleh suplai, kini dikendalikan oleh permintaan pasar. Harga yang tinggi dan subsidi dari pemerintah menarik perhatian petani. Di negara berkembang, berbagai produsen pertanian yang bekerja dengan prinsip tradisional dapat dikatakan setara dengan pertanian organik namun tidak bersertifikat dan tidak mengikuti perkembangan ilmiah dalam pertanian organik. Sehingga beberapa petani tradisional dapat berpindah menjadi petani organik dengan mudah, yang terdorong oleh alasan ekonomi.[14]

Metode sunting

Pertanian organik mengkombinasikan pengetahuan ilmiah mengenai ekologi dan teknologi modern mengenai praktik pertanian tradisional berdasarkan proses biologis yang terjadi secara alami. Metode pertanian organik dipelajari di dalam bidang ekologi pertanian. Pertanian konvensional menggunakan pestisida dan pupuk sintetik, sedangkan pertanian organik membatasinya dengan hanya menggunakan pestisida dan pupuk alami. Prinsip metode pertanian organik mencakup rotasi tanaman, pupuk hijau/kompos, pengendalian hama biologis, dan pengolahan tanah secara mekanis. Pertanian organik memanfaatkan proses alami di dalam lingkungan untuk mendukung produktivitas pertanian, seperti pemanfaatan legum untuk mengikat nitrogen ke dalam tanah, memanfaatkan predator untuk menaggulangi hama, rotasi tanaman untuk mengembalikan kondisi tanah dan mencegah penumpukan hama, penggunaan mulsa untuk mengendalikan hama dan penyakit, dan pemanfaatan bahan alami, termasuk mineral bahan tambang yang tidak diproses atau diproses secara minimal, sebagai pupuk, pestisida, dan pengkondisian tanah.[15] Tanaman yang lebih unggul dan tangguh dikembangkan melalui pemuliaan tanaman dan tidak dimodifikasi menggunakan rekayasa genetika.

Keanekaragaman hayati sunting

Tingginya keanekaragaman tanaman pertanian adalah salah satu penciri pertanian organik. Pertanian konvensional fokus pada produksi massal hasil pertanian tunggal di lahan, yang disebut dengan monokultur. Dalam ekologi pertanian diketahui bahwa polikultur (penanaman berbagai jenis tanaman pada satu ahan) lebih menguntungkan dan lebih sering diterapkan di pertanian organik.[16] Penanaman berbagai jenis sayuran mendukung berbagai jenis serangga yang bersifat menguntungkan, mikroorganisme tanah, dan faktor lainnya yang menambah kesehatan lahan pertanian. Keanekaragaman tanaman pertanian membantu lingkungan untuk mempertahankan suatu spesies yang dekat dengan lahan pertanian agar tidak punah.[17]

Pengelolaan tanah sunting

Pertanian organik bergantung sepenuhnya pada dekomposisi bahan organik tanah, menggunakan berbagai teknik seperti pupuk hijau dan kompos untuk menggantikan nutrisi yang hilang dari tanah oleh tanaman pertanian sebelumnya. Proses biologis ini dikendalikan oleh berbagai mikroorganisme seperti mikoriza yang memungkinkan terjadinya produksi nutrisi secara alami di dalam tanah sepanjang musim tanam. Pertanian organik mendayagunakan berbagai metode untuk meningkatkan kesuburan tanah, termasuk rotasi tanaman, pemanfaatan tanaman penutup, pengolahan tanah tereduksi, dan penerapan kompos. Dengan mengurangi pengolahan tanah, maka tanah tidak dibalik dan tidak terpapar oleh udara. Hal ini berarti nutrisi yang bersifat mudah menguap seperti nitrogen dan karbon semakin sedikit yang menghilang.

Tumbuhan membutuhkan berbagai nutrisi seperti nitrogen, fosfor, dan nutrisi mikro lainnya serta hubungan simbiosis dengan fungi dan organisme lainnya untuk berkembang dengan baik. Sinkronisasi diperlukan agar tumbuhan mendapatkan nitrogen yang cukup pada waktu yang tepat. Hal ini menjadi salah satu tantangan di dalam pertanian organik.[18] Residu tanaman dapat dikembalikan ke tanah sehingga membusuk dan memberikan nutrisi bagi tanah.[18] Dalam banyak kasus, pengaturan pH diperlukan dengan menggunakan kapur pertanian dan sulfur.[19]:43

Lahan usaha tani yang tidak memiliki usaha peternakan di dalamnya mungkin akan lebih sulit dalam mengembalikan kesuburan tanah dan membutuhkan input kotoran dari luar untuk digunakan sebagai sumber nitrogen yang baik. Namun nitrogen juga dapat diberikan dengan menggunakan legum sebagai tanaman penutup tanah.[18]

Penelitian dalam ilmu biologi pada tanah dan mikroorganisme yang hidup di dalamnya telah membuktikan manfaat bagi pertanian organik. Berbagai jenis bakteri dan fungi memecah bahan kimia, residu tanaman, dan kotoran hewan menjadi nutrisi yang dapat diserap oleh tumbuhan, sehingga tanaman pertanian menjadi produktif.[20][21]

Pengelolaan gulma sunting

Pengelolaan gulma secara organik bersifat menekan, bukan memberantas gulma, dengan meningkatkan kompetisi dan mendayagunakan sifat fitotoksik tanaman.[22] Pertanian organik mengintegrasikan strategi budaya, biologi, mekanis, fisik, dan kimiawi untuk mengelola gulma tanpa menggunakan herbisida sintetik.

Berbagai standar organik membutuhkan rotasi tanaman dari tanaman semusim,[23] yang berarti satu jenis tanaman tidak bisa ditumbuhkan di lokasi yang sama tanpa tumbuhan antara yang berbeda jenisnya. Rotasi tanaman secara organik mencakup tanaman penutup yang menekan pertumbuhan gulma dan tanaman dengan siklus hidup yang tidak sama untuk menekan pertumbuhan gulma yang hanya menyerang jenis tanaman tertentu.[22] Berbagai penelitian dikerjakan untuk mengembangkan metode organik untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme yang secara alami menekan pertumbuhan atau perkecambahan gulma.[24] Metode lainnya yaitu meningkatkan tingkat kompetisi tanaman pertanian untuk menekan pertumbuhan gulma dengan berbagai cara seperti mengatur tingkat kepadatan penanaman, mengatur jumlah varietas tanaman yang ditanam, dan mengatur periode penanaman.[22]

Pengendalian gulma secara mekanis dan fisik dapat dilakukan dengan:[25]

  • Pengolahan tanah - membalik tanah di atara tanaman untuk menempatkan residu tanaman dan gulma ke dalam tanah.
  • Pemotongan
  • Memberikan panas ke tanah
  • Pemberian mulsa untuk menghalangi pertumbuhan gulma (lihat plastikultura)[26]

Namun metode pengolahan tanah dikritik sebagian kalangan karena dapat menyebabkan erosi.[27][28] FAO dan berbagai organisasi mempromosikan pendekatan pertanian tanpa pengolahan tanah (no till farming) dan menekankan pada rotasi tanaman.[28][29] Sebuah studi menunjukan bahwa rotasi tanaman dan pemanfaatan tanaman penutup tanah mampu mengurangi erosi tanah, mengendalikan hama, dan menekan penggunaan pestisida secara signifikan.[30] Beberapa bahan kimia yang tersedia secara alami dapat digunakan sebagai herbisida (bioherbisida), seperti asam asetat, tepung gluten jagung, dan minyak atsiri. Bioherbisida yang berbasis fungi patogen yang menjadi parasit bagi gulma, juga telah dikembangkan.[25]

Gulma juga dapat dikendalikan dengan memanfaatkan penggembalaan hewan di atas lahan pertanian. Angsa telah dipelihara secara jelajah bebas di atas lahan kapas, strawberry, tembakau, dan jagung untuk menekan pertumbuhan gulma.[31] Petani sawah di berbagai belahan dunia juga memelihara bebek dan ikan di sawah untuk memakan gulma dan serangga.[32]

Hewan ternak sunting

Usaha pemeliharaan hewan ternak yang menghasilkan daging, susu, dan telur secara organik dapat menjadi pelengkap bagi usaha pertanian organik. Berbagai pembuat kebijakan memiliki sikap yang bervariasi mengenai kesejahteraan hewan, tetapi USDA secara umum tidak mengutamakan kesejahteraan hewan untuk memberi label produk organik.[33] Kuda dan sapi dapat menjadi hewan pekerja yang menyediakan tenaga untuk menggerakkan mesin, membajak, menambah kesuburan tanah dengan kotorannya, dan menjadi sumber bahan bakar (misal biogas).

Keekonomian sunting

Keekonomian dari pertanian organik merupakan subbidang dari ekonomi pertanian yang mencakup seluruh jenis proses dan dampak dari pertanian organik terhadap masyarakat, terutama biaya sosial, biaya peluang, biaya tak terduga, asimetri informasi, ekonomi skala, dan sebagainya. Meski cakupan ekonomi begitu luas, pada ekonomi pertanian fokusnya ada pada maksimisasi hasil dan efisiensi pada tingkat lahan usaha tani. Ekonomi merupakan pendekatan antroposentrik terhadap nilai alam (misal keanekaragaman hayati). Beberapa lembaga dan pemerintahan memberikan subsidi kepada pertanian organik dalam skala besar karena manfaatnya yang begitu banyak pada lingkungan.[34]

Persebaran produsen sunting

Pasar produk organik paling kuat berada di Amerika Utara dan Eropa, yang pada tahun 2001 diperkirakan telah menguasai antara US$ 6 hingga 8 miliar dari pangsa pasar global yang sebesar US$ 20 miliar.[35]:6 Australasia memiliki 39% pangsa lahan usaha tani organik di seluruh dunia, tetapi 97% dari lahan ini merupakan kawasan penggembalaan yang tidak menghasilkan bahan pangan secara langsung. Di sisi lain, Amerika Serikat, dengan lahan yang lebih sempit, memiliki tingkat penjualan 20 kali lebih banyak dibandingkan Australia.[35]:7 Lahan usaha tani organik di Eropa menguasai 23% dari lahan usaha tani organik dunia, diikuti Amerika Latin dengan 19%, Asia 9.5%, Amerika Utara 7.2%, dan Afrika 3%.[36]

Selain Australia, negara dengan lahan usaha tani organik terbesar adalah Argentina yang mencapai 3.1 juta hektare, China 2.3 juta hektare, dan Amerika Serikat 1.6 juta hektare. Kebanyakan lahan organik di Argentina adalah lahan penggembalaan seperti Australia. Brazil merupakan eksportir produk organik terbesar.

Di Uni Eropa pada tahun 2005, 3.9% dari total lahan pertanian merupakan lahan usaha tani organik. Negara di Uni Eropa dengan proporsi lahan terbesar adalah Austria 11%, Italia 8.4%, dan Republik Ceko dan Yunani (keduanya 7.2%). Yang paling sempit adalah Malta 0.15, Polandia 0.6% (168 ribu hektare),[37] dan Irlandia 0.8%.[38][39] Pada tahun 2009, proporsi lahan organik di Uni Eropa tumbuh hingga 4.7%.[40] Pada tahun 2010, 16% petani Austria bercocok tanam secara organik.[41]

Setelah keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991, input usaha pertanian (terutama pestisida dan pupuk sintetik) yang sebelumnya didatangkan dari negara Eropa TImur tidak lagi tersedia di Kuba. Banyak petani Kuba beralih menjadi petani organik karena keterpaksaan.[42] Sehingga pertanian organik menjadi cara yang utama dalam menghasilkan bahan pangan sampai sekarang.[43][44][45]

Pertumbuhan sunting

Pada tahun 2001, diperkirakan nilai pasar produk organik bersertifikat di seluruh dunia adalah US$ 20 miliar. Pada tahun 2002, nilainya menjadi US$ 23 miliar dan pada tahun 2007 US$ 46 miliar. Pada tahun 2012, nilainya telah mencapai US$ 63 miliar.[46]

Eropa dan Amerika Utara mengalami peningkatan tertinggi dalam hal luas lahan.[46]:26 Antara tahun 2005 hingga 2008, Uni Eropa mengalami perluasan sebesar 21%.[47] Hal ini disebabkan pemberian subsidi pertanian di Uni Eropa yang beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik karena besarnya manfaat bagi lingkungan. Namun Amerika Serikat masih mensubsidi pertanian konvensional, terutama gula dan jagung.[48] Hal inilah yang menjadi pembeda antara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Secara persentase luas lahan pertanian total pada kedua wilayah tersebut, 4.6% di Uni Eropa adalah lahan pertanian organik sedangkan di Amerika Serikat hanya 0.6% dari total luas lahan pertaniannya.[49]

Produktivitas sunting

Berbagai studi mengenai produktivitas pertanian organik beragam.[50]

Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 1990 dengan data dari 26 jenis hasil tanaman pertanian dan dua hasil peternakan pada ratusan lahan usaha tani menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan berarti secara statistik antara pertanian organik dan pertanian konvensional. Perbedaan berarti hanya ada pada produksi susu dan kacang-kacangan di mana pertanian organik lebih banyak menghasilkan dibandingkan pertanian konvensional.[51]

Sebuah survei di Amerika Serikat yang dipublikasikan pada tahun 2001 menganalisis 150 musim tanam serealia dan kacang kedelai dan mendapati bahwa pertanian organik menghasilkan antara 5% lebih sedikit hingga setara dibandingkan pertanian konvensional.[50]

Sebuah studi yang berlangsung selama dua dekade dan dipublikasikan pada tahun 2002 mendapatkan bahwa pertanian organik menghasilkan 20% lebih sedikit dibandingkan pertanian konvensional dengan menggunakan pupuk 50% lebih sedikit, pestisida 97% lebih sedikit, dan input energi 34-53% lebih sedikit.[21] Meski lebih sedikit menghasilkan, tetapi dengan input bahan kimia pertanian dan bahan bakar yang lebih sedikit, petani bisa mendapatkan menghasilkan keuntungan lebih banyak.

Sebuah studi pada tahun 2003 menemukan bahwa di musim kering, pertanian organik menghasilkan lebih banyak dibandingkan pertanian konvensional.[52][53] Pertanian organik juga mampu bertahan melawan gangguan cuaca seperti badai dan topan, lebih baik dibandingkan pertanian konvensional. Lapisan tanah atas pada pertanian organik tidak menghilang sebanyak pertanian konvensional ketika diterpa angin kencang.[54]

Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2005 membandingkan pertanian konvensional, pertanian organik berbasis hewan, dan pertanian organik berbasis legum pada Institut Rodale selama 22 tahun. Studi ini mendapati bahwa untuk penanaman jagung dan kedelai cenderung menghasilkan dalam jumlah yang setara di antara ketiganya, tetapi pertanian organik berbasis legum dan berbasis hewan membutuhkan energi fosil yang lebih sedikit secara signifikan. Dan pada pertanian organik, pestisida dan pupuk sintetik tidak digunakan sama sekali.[55][56][57]

Pada studi yang dilakukan pada tahun 2007 menggabungkan 293 penelitian yang telah dilakukan untuk menilai efisiensi secara keseluruhan antara kedua sistem pertanian dan menemukan bahwa metode organk dapat memproduksi bahan pangan yang mencukupi bagi populasi dunia untuk mendukung kelangsungan hidup manusia dengan kebutuhan lahan yang lebih sedikit. Para peneliti juga menemukan bahwa di negara maju meski pertanian organik menghasilkan 8% lebih sedikit dibandingkan pertanian konvensional, tetapi di negara miskin pertanian organik menghasilkan 80% lebih banyak dibandingkan pertanian konvensional. hal ini dikarenakan di negara miskin bahan-bahan organik untuk input usaha pertanian lebih mudah didapatkan dibandingkan akses menuju pestisida dan pupuk sintetik.[58] Namun studi ini ditantang kebenarannya dengan studi lain pada tahun 2008 yang menyatakan bahwa estimasi berlebihan pada pertanian organik dikarenakan misinterpretasi data dan kesalahan hitung.[59]

Sebuah studi pada tahun 1999 oleh Badang Perlindungan Lingkungan Denmark menemukan bahwa, pertanian organik menghasilkan kentang, bit gula, dan rumput lebih sedikit, hingga 50%-nya saja, dibandingkan pertanian konvensional.[60] Michael Pollan, pengarang dari The Omnivore's Dilemma, merespon publikasi ini dengan menyatakan bahwa hasil pertanian dunia rata-rata lebih rendah dibandingkan hasil pertanian berkelanjutan modern. Dengan menjadikan mayoritas usaha pertanian dunia berhaluan organik dapat meningkatkan hasil pangan dunia hingga 50% lebih banyak.[61]

Sebuah studi analisis yang diterbitkan tahun 2012 menyarankan agar petani mengambil langkah hibrid atau kombinasi antara pertanian organik dan konvensional demi memenuhi kebutuhan pangan manusia sambil menjaga kualitas lingkungan.[62][63]

Keuntungan sunting

Pengurangan penggunaan pestisida dan pupuk sintetik disertai dengan harga premium bagi bahan pangan organik berkontribusi pada keuntungan petani yang lebih tinggi. Secara umum pertanian organik lebih menguntungkan dibandingkan pertanian konvensional. Tanpa harga premium, pertanian organik mendapatkan hasil yang beragam, ada yang untung dan ada yang rugi.[35]:11 Organic production was more profitable in Wisconsin, given price premiums.[64] Bagi pasar tradisional dan pasar modern, bahan pangan organik juga lebih menguntungkan dan umumnya dijual pada keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan bahan pangan non-organik.[65]

Meskipun pembeli membandingkan harga dan membeli secara sadar, bahan pangan organik tidak selalu lebih mahal dibandingkan bahan pangan non-organik. Seperti contoh pada tahun 2000, sebuah usaha restoran mengganti 85% bahan baku yang digunakannya ke organik tanpa meningkatkan harga bagi pembelinya. Pemilik restoran juga menyatakan bahwa sejak tahun 2000, harga bahan pangan organik telah turun dan saat ini tidak lagi menjadi masalah untuk mendapatkan bahan pangan organik dengan harga yang bersaing.[66][67]

Tenaga kerja sunting

Sebuah surver yang dilakukan di Irlandia dan Britania Raya menemukan bahwa pertanian organik mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja dibandingkan pertanian konvensional. Perbedaan ini terlihat jelas pada ukuran lahan usaha tani yang lebih besar. Para peneliti menyimpulkan bahwa akan ada lapangan pekerjaan di bidang pertanian 19% lebih banyak di Inggris, dan 6% lebih banyak di Irlandia, jika 20% usaha pertanian di kedua negara menjadi usaha pertanian organik.[68]

Eksternalitas sunting

Eksternalitas adalah biaya atau keuntungan yang harus ditanggung atau diterima oleh suatu pihak yang tidak menyebabkan terbentuknya biaya atau keuntungan tersebut. Dalam pertanian secara umum, eksternalitas yang terjadi pada masyarakat biasanya dikarenakan penggunaan sumber daya seperti air, hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya erosi, berpindahnya pajak masyarakat ke pertanian melalui subsidi pertanian, dan sebagainya. Eksternalitas positif misalnya terbentuknya kemandirian, terciptanya kewirausahaan dan lapangan kerja, dan mensupai bahan pangan lokal. Tidak terkecuali pada pertanian organik, ada eksternalitas secara positif dan negatifnya.[69]

Di Inggris pada tahun 2000, biaya eksternalitas negatif yang tidak terbayarkan mencapai 2343 juta pundsterling atau 208 poundsterling per hektare lahan pertanian.[70] Di Amerika Serikat, biaya eksternalitas negatif pada budi daya tanaman diperkirakan mencapai US$5 hingga 16 miliar atau US$30–96 per hektare, dan pada peternakan mencapau US$714 juta.[71]

Pertanian organik memiliki biaya eksternalitas negatif yang lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional.[72] Beberapa survey menemukan bahwa pertanian organik lebih sedikit merusak lingkungan karena tingkat kehilangan keanekaragaman hayati lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional, dan pertanian organik menggunakan lebih sedikit energi dan menghasilkan lebih sedikit limbah per unit luas lahan usaha tani.[73][74] Pada tahun 2003, Department for Environment Food and Rural Affairs di Inggris menemukan hasil yang serupa bahwa pertanian organik memiliki lebih banyak manfaat bagi lingkungan, tetapi manfaat itu dikatakan cenderung tidak berarti karena hasil pertaniannya yang lebih sedikit per luas lahan.[75]

Sebuah studi perbandingan yang dilakukan antara peternakan susu di Wisconsin dan Selandia Baru menemukan bahwa, dengan menggunakan jumlah emisi per kg susu yang dihasilkan, peternakan susu di Selandia Baru menghasilkan lebih banyak emisi gas metana dan di Wisconsin lebih banyak menghasilkan emisi gas karbon dioksida. Keduanya merupakan gas rumah kaca. Hal ini dikarenakan di Selandia Baru, sapi lebih banyak diberikan rumput dan hijauan, sedangkan di Wisconsin lebih banyak berupa konsentrat. Selulosa diubah menjadi asetat (CH3COO-) di dalam perut sapi dan dapat berubah menjadi gas metana. Pada pakan konsentrat, kandungan selulosa lebih rendah sehingga ion propanoat (CH3CH2COO-) lebih banyak dihasilkan dibandingkan asetat, sehingga emisi metana berkurang.[76][77]

Pestisida sunting

Tidak seperti pertanian konvensional, pertanian organik menghindari penggunaan pestisida sintetik.[78] Beberapa jenis pestisida sintetik merusak lingkungan dan kesehatan manusia. Anak kecil memiliki risiko kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa jika terpapar secara langsung.[79]

Ada lima jenis pestisida alami (berupa hasil tambang murni atau identik alami) yang digunakan dalam pertanian organik, yaitu toksin bakteri, piretrin, rotenon, tembaga, dan sulfur.[80][81] Namun petani organik pengguna pestisida jenis tersebut sangatlah sedikit; sebagian besar tidak menggunakan pestisida sama sekali. Hanya 10 persen petani organik yang menggunakan pestisida berbahan dasar tumbuhan, 12 persen menggunakan sulfur, dan 7 persen menggunakan pestisida berbahan dasar tembaga.[35]:26

Aliran air permukaan merupakan salah satu risiko lingkungan penggunaan pestisida yang sangat membahayakan. USDA melacak dampak lingkungan dari kontaminasi perairan dan menyimpulkan bahwa meski kebijakan penggunaan pestisida di tingkat negara telah mengurangi risiko lingkungan, tetapi masih terdapat wilayah di mana airnya tidak dapat diminum atau organisme yang hidup di dalamnya tidak boleh dimakan.[82][83] Sebagian besar risiko kesehatan tersebut tidak terlacak dengan baik dan harus ditanggung oleh penderita. Pada pertanian organik, risiko ini hampir tidak ada karena pestisida sintetik tidak digunakan, sehingga ikut berkontribusi menjaga kesehatan masyarakat di sekitar lahan usaha tani.

Kualitas dan keamanan pangan sunting

Keberadaan bukti ilmiah terkait perbedaan keamanan dan kualitas nutrisi antara bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional tidak mencukupi dan cenderung memberikan hasil yang bervariasi.[84][84][85][86][86][87][88][88][89][90]

Sebuah studi pada tahun 2009 mengenai efek bagi kesehatan yang dilakukan oleh Badan Standar Pangan Inggris menganalisis sebelas artikel dan menyimpulkan bahwa data yang diberikan sangat bervariasi dan tidak ditemukan perbedaan signifikan antara bahan pangan organik dan bahan pangan konvensional, juga terhadap kualitas nutrisinya.[91]

Studi yang dilakukan secara individu mempertimbangkan beragam dampak yang mungkin didapatkan, seperti residu pestisida pada bahan pangan.[85] Risiko kesehatan dari residu pestisida tidak bisa dipandang sebelah mata,[92][93] namun keberadaan dan kadar residu pestisida pada kedua jenis bahan pangan masih diperdebatkan.[85] Hanya satu dampak kesehatan yang diyakini baik pada bahan pangan organik adalah kadar nitrat yang lebih rendah yang disebabkan penggunaan pupuk berbasis nitrat yang tidak dilakukan pada pertanian organik. Beberapa masih mempertanyakan peran nitrat di dalam tubuh manusia.[94] Dampak keberadaan residu pestisida organik berbasis tanaman dan patogen bakteri juga tidak memiliki data yang mencukupi.[85]

Namun harga bahan pangan organik yang cenderung lebih tinggi dibandingkan bahan pangan konvensional dapat menghalangi konsumsi bahan pangan organik.[85]

Konservasi tanah sunting

Pertanian organik diyakini mampu mengelola tanah dengan baik dengan kemampuan menahan air yang lebih tinggi.[95] Hal ini dipercaya menjadi sebab mengapa pertanian organik mampu bertahan pada tahun yang kering. Pertanian organik mampu membentuk bahan organik tanah lebih baik dibandingkan pertanian konvensional, yang dapat memberi manfaat jangka panjang.[96]

Dalam buku Dirt: The Erosion of Civilizations, pakar geomorfologi David Montgomery mengemukakan krisis yang akan datang yang berasal dari erosi. Pertanian bergantung sepenuhnya pada tanah atas (top soil) yang kurang lebih sedalam satu meter, tetapi bagian ini terus terkuras dengan laju sepuluh kali dibandingkan laju pengembaliannya.[97] Pertanian konvensional tanpa pengolahan tanah, yang sangat bergantung pada herbisida untuk membasmi gulma, adalah salah satu cara untuk meminimalisasi erosi. Namun sebuah studi yang dilakukan oleh USDA menemkan bahwa aplikasi pupuk kandang pada lahan pertanian, meskipun lahan tersebut dibajak, dapat membangun lapisan tanah atas lebih cepat dibanginkan pertanian konvensional tanpa pengolahan tanah.[98][99][100]

Perubahan iklim sunting

Pertanian organik menekankan pada siklus nutrisi alami, keanekaragaman hayati, dan manajemen tanah efektif untuk mencegah atau bahkan membalikkan efek perubahan iklim.[101] Pertanian organik dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil secara signifikan dan memitigasi karbon di atmosfer ke dalam tanah. Dengan mengeliminasi penggunaan nitrogen sintetik, pertanian organik mampu mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang digunakan dalam produksi pupuk sintetik.[99]

Data mengenai jumlah karbon di dalam tanah menunjukan bahwa metode pertanian organik merupakan salah satu metode yang paling efektif dalam memitigasi emisi CO2.[99]

Namun kritik mengenai pertanian organik mengemuka pada kebutuhan lahan bagi produksi bahan pangan organik karena produktivitasnya yang masih dipertanyakan, sehingga berpotensi mampu menggusur hutan dan ekosistem alam liar.[102][103]

Pembilasan nutrisi sunting

Pemberian nutrisi yang berlebih mampu menyebabkan nutrisi terbilas oleh air hujan dan bergerak menuju perairan sehingga menyebabkan eutrofikasi. Selain itu, nitrat yang menjadi bahan dasar pupuk membahayakan hewan air. Pupuk nitrat, yang menjadi pencemar utama perairan dari lahan pertanian, diyakini akan meningkat penggunaannya menjadi hampir tiga kali lipat pada tahun 2050.[104] Nitrat yang terbilas menjadi salah satu faktor inefisiensi dari pertanian konvensional karena nutrisi yang seharusnya diserap oleh tanaman menjadi hilang.

Lahan pertanian yang diberikan pupuk secara organik mampu mengurangi secara signifikan pembilasan nitrat, jika dibandingkan dengan pertanian konvensional. Pembilasan nitrat pada lahan pertanian konvensional lebih besar 4.4 hingga 5.6 kali lipat dibandingkan lahan pertanian organik.[105] Namun bukan berarti pertanian organik bebas nitrat; kotoran hewan yang digunakan sebagai pupuk pada pertanian organik juga dapat berubah menjadi nitrat setelah proses fiksasi oleh bakteri. Tetapi nitrat hasil fiksasi lebih terikat oleh tanah, sehingga risiko terbilas ke perairan lebih rendah.

Zona mati yang telah membesar di Teluk Meksiko disebabkan oleh aliran air permukaan dari lahan pertanian, yang datang dari kombinasi pupuk sintetik dan pupuk kandang. Lebih dari setengah nitrogen yang dilepaskan ke Teluk Meksiko datang dari pertanian. Hal ini menyebabkan para nelayan harus berlayar jauh dari bibir pantai untuk mendapatkan ikan, meningkatkan biaya bagi nelayan.[106] Aliran air permukaan dari lahan pertanian serta kejadian ledakan populasi alga di California merupakan kejadian yang sangat terkait erat.[107]

Pembilasan nitrogen ke Sungai Danube telah turun sejak meningkatkan lahan usaha tani organik di sekitar sungai. Manfaat yang didapatkan setara dengan 1 Euro per kg nitrogen yang tidak lepas ke perairan.[108]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b "Prospek Pertanian Organik di Indonesia". Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 4 Juli 2002. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Mei 2010. Diakses tanggal 23 Mei 2010. 
  2. ^ a b c d e "PRINSIP-PRINSIP PERTANIAN ORGANIK" (PDF). International Federation of Organic Agriculture Movements. Diakses tanggal 23 Mei 2010. 
  3. ^ Douglas John McConnell (2003). The Forest Farms of Kandy: And Other Gardens of Complete Design. hlm. 1. ISBN 9780754609582. 
  4. ^ Horne, Paul Anthony (2008). Integrated pest management for crops and pastures. CSIRO Publishing. hlm. 2. ISBN 978-0-643-09257-0. 
  5. ^ Stinner, D.H (2007). "The Science of Organic Farming". Dalam William Lockeretz. Organic Farming: An International History. Oxfordshire, UK & Cambridge, Massachusetts: CAB International (CABI). ISBN 978-0-85199-833-6. Diakses tanggal 30 April 2013.  ebook ISBN 978-1-84593-289-3
  6. ^ a b Paull, John (2006) The Farm as Organism: The Foundational Idea of Organic Agriculture Elementals ~ Journal of Bio-Dynamics Tasmania 83:14–18
  7. ^ Paull, John (2011). "Attending the First Organic Agriculture Course: Rudolf Steiner's Agriculture Course at Koberwitz, 1924". European Journal of Social Sciences. 21 (1): 64–70. 
  8. ^ a b Holger Kirchmann and Lars Bergström, editors. Organic Crop Production – Ambitions and Limitations Springer. Berlin 2008.
  9. ^ Paull John (2011). "Attending the First Organic Agriculture Course: Rudolf Steiner's Agriculture Course at Koberwitz, 1924" (PDF). European Journal of Social Sciences. 21 (1): 64–70. 
  10. ^ Lotter, D.W. (2003) Organic agriculture Diarsipkan 2017-08-09 di Wayback Machine.. Journal of Sustainable Agriculture 21(4)
  11. ^ Biodynamics is listed as a "modern organic agriculture" system in: Minou Yussefi and Helga Willer (Eds.), The World of Organic Agriculture: Statistics and Future Prospects, 2003, p. 57
  12. ^ Biodynamic agriculture is "a type of organic system". Charles Francis and J. van Wart (2009), "History of Organic Farming and Certification", in Organic farming: the ecological system Diarsipkan 2012-04-05 di Wayback Machine.. American Society of Agronomy. pp. 3-18
  13. ^ Stinner, D.H (2007). "The Science of Organic Farming". Dalam William Lockeretz. Organic Farming: An International History. Oxfordshire, UK & Cambridge, Massachusetts: CAB International (CABI). hlm. 40–72. ISBN 978-0-85199-833-6. Diakses tanggal 10 August 2010.  ebook ISBN 978-1-84593-289-3
  14. ^ Paull, John "China's Organic Revolution", Journal of Organic Systems (2007) 2 (1): 1-11.
  15. ^ FiBL (2006) Use of potassium bicarbonate as a fungicide in organic farming Diarsipkan 2014-01-11 di Wayback Machine.
  16. ^ Fargione J, and D Tilman. 2002. "Competition and coexistence in terrestrial plants". Pages 156-206 In U. Sommer and B Worm editors, Competition and Coexistence. Springer-Verlag, Berlin, Germany.
  17. ^ Crop diversity: A Distinctive Characteristic of an Organic Farming Method - Organic Farming; April 15, 2013
  18. ^ a b c Watson CA, Atkinson D, Gosling P, Jackson LR, Rayns FW. (2002). "Managing soil fertility in organic farming systems". Soil Use and Management. 18: 239–247. doi:10.1111/j.1475-2743.2002.tb00265.x. Diakses tanggal 2009-05-29. [pranala nonaktif permanen] Preprint with free full-text.
  19. ^ Gillman J. (2008). The Truth About Organic Farming.
  20. ^ Ingram, M. (2007). "Biology and Beyond: The Science of Back to Nature Farming in the United States". Annals of the Association of American Geographers. 97 (2): 298–312. doi:10.1111/j.1467-8306.2007.00537.x. 
  21. ^ a b Mader; Fliessbach, A; Dubois, D; Gunst, L; Fried, P; Niggli, U; et al. (2002). "Soil Fertility and Biodiversity in Organic Farming". Science. 296 (5573): 1694–1697. Bibcode:2002Sci...296.1694M. doi:10.1126/science.1071148. PMID 12040197. 
  22. ^ a b c Kathleen Delate and Robert Hartzler. 2003. Weed Management for Organic Farmers. Iowa State University Extension Bulletin 1883.
  23. ^ Staff, United Nations Conference on Trade and Development. Organic Standards Diarsipkan 2015-06-06 di Wayback Machine.
  24. ^ Robert J. Kremer and Jianmei Li. 2003. Developing weed-suppressive soils through improved soil quality management Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine.. Soil & Tillage Research 72: 193-202.
  25. ^ a b Mark Schonbeck, Virginia Association for Biological Farming. Last Updated: March 23, 2010. An Organic Weed Control Toolbox Diarsipkan 2010-08-28 di Wayback Machine..
  26. ^ Szykitka, Walter (2004). The Big Book of Self-Reliant Living: Advice and Information on Just About Everything You Need to Know to Live on Planet Earth. Globe-Pequot. hlm. 343. ISBN 978-1-59228-043-8. [pranala nonaktif permanen]
  27. ^ Pimentel D et al. (1997) Environmental and Economic Costs of Soil Erosion and Economic Benefits of Conservation Diarsipkan 2016-12-13 di Wayback Machine. Science 267(52010):1117-1123
  28. ^ a b Staff, Green.View (2008-08-11). "Stuck in the mud". The Economist. 
  29. ^ David R. Huggins and John P. Reganold. (2008) No-till: The Quiet Revolution Diarsipkan 2012-09-16 di Wayback Machine. Scientific American July 2008 Issue:70-77
  30. ^ Pimentel D et al. (2005) Environmental, Energetic, and Economic Comparisons of Organic and Conventional Farming Systems Diarsipkan 2013-06-01 di Wayback Machine.. BioScience 55(7):573-82
  31. ^ Glenn Geiger and Harold Biellier. 1993. Weeding With Geese Diarsipkan 2010-09-23 di Wayback Machine.. University of Missouri Extension Bulletin G8922.
  32. ^ How to feed the world By Laurent Belsie (February 20, 2003 edition) The Christian Science Monitor
  33. ^ "Clouds on the Organic Horizon". CropWatch. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-12-05. Diakses tanggal 14 March 2007. 
  34. ^ IFOAM. Criticisms and Frequent Misconceptions about Organic Agriculture: The Counter-Arguments Diarsipkan 2014-01-24 di Wayback Machine.
  35. ^ a b c d Lotter, D. (2003). "Organic Agriculture" (PDF). Journal of Sustainable Agriculture. 21 (4): 59. doi:10.1300/J064v21n04_06. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-07-08. Diakses tanggal 2013-12-16. 
  36. ^ Willer, Helga and Kilcher Lukas, Eds. (2009) The World of Organic Agriculture - Statistics and Emerging Trends 2009. International Federation of Organic Agriculture Movements(IFOAM), DE-Bonn, Research Institute of Organic Agriculture, FiBL, CH-Frick and International Trade Centre ITC, Geneva. full table of contents Diarsipkan 2011-06-26 di Wayback Machine.
  37. ^ SixtyTwo International Consultants. "The organic food market in Poland: Ready for take-off". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2007-10-08. 
  38. ^ "Organic Farming in the European Union" (PDF). European Commission. hlm. 30. Diakses tanggal 2012-01-19. 
  39. ^ European Commission – Eurostat. "Eurostat press release 80/2007" (PDF). hlm. 1. Diakses tanggal 2007-10-07. 
  40. ^ FiBL,OTA. "Organic Market Growth - Facts and Figures". Diakses tanggal 2012-01-18. [pranala nonaktif permanen]
  41. ^ Bauernzeitung (RollAMA survey). "Bio hat Zukunft, aber auch viele Probleme". Diakses tanggal 2012-01-19. 
  42. ^ Auld, Alison. "Farming with Fidel". Archived from the original on 2009-03-04. Diakses tanggal 2012-02-04. 
  43. ^ Center for Genetic Engineering and Biotechnology. "Cuban GMO Vision" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-11-05. Diakses tanggal 2007-10-08. 
  44. ^ Centro de Ingeniería Genética y Biotecnología de Cuba. "DirecciÓn de Investigaciones Agropecuarias". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2007-10-08. 
  45. ^ Office of Global Analysis, FAS, USDA. "Cuba's Food & Agriculture Situation Report" (PDF). Diakses tanggal 2008-09-04.  Parameter |archive-url= mengalami cacat: timestamp (bantuan)
  46. ^ a b Helga Willer, Julia Lernoud and Robert Home The World of Organic Agriculture: Statistics & Emerging Trends 2013 Research Institute of Organic Agriculture (FiBL) and the International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM, 2013
  47. ^ http://epp.eurostat.ec.europa.eu/cache/ITY_PUBLIC/5-01032010-BP/EN/5-01032010-BP-EN.PDF
  48. ^ Dimitri, C.; Oberholtzer, L. (2006) EU and US Organic Markets Face Strong Demand Under Different Policies Diarsipkan 2011-01-10 di Wayback Machine.
  49. ^ Willer, Helga; Kilcher, Lukas (2011). "The World of Organic Agriculture. Statistics and Emerging Trends 2011". Bonn; FiBL, Frick: IFOAM. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-09-11. Diakses tanggal 2013-12-16. 
  50. ^ a b Welsh, Rick (1999). "Economics of Organic Grain and Soybean Production in the Midwestern United States" (PDF). Henry A. Wallace Institute for Alternative Agriculture. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-04-05. Diakses tanggal 2013-12-17. 
  51. ^ Stanhill, G. (1990). "The comparative productivity of organic agriculture". Agriculture, Ecosystems & Environment. 30: 1. doi:10.1016/0167-8809(90)90179-H. 
  52. ^ Lotter, D. W., Seidel, R. & Liebhardt W. (2003). "The performance of organic and conventional cropping systems in an extreme climate year". American Journal of Alternative Agriculture. 18 (3): 146–154. doi:10.1079/AJAA200345. 
  53. ^ Welsh (1999) The Economics of Organic Grain and Soybean Production in the Midwestern United States Diarsipkan 2010-12-08 di Wayback Machine..
  54. ^ A study of 1,804 organic farms in Central America hit by Hurricane Mitch: Holt-Gimenez, E. (2000) Hurricane Mitch Reveals Benefits of Sustainable Farming Techniques Diarsipkan 2010-07-30 di Wayback Machine.. PANNA.
  55. ^ Pimentel DP et al (2005) Environmental, Energetic, and Economic Comparisons of Organic and Conventional Farming Systems Diarsipkan 2013-06-01 di Wayback Machine. Bioscience 55(7): 573-582.
  56. ^ Rodale Farm Trial Site
  57. ^ "Rodale 30 year report" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-02-22. Diakses tanggal 2013-12-17. 
  58. ^ Badgley, Catherine; Moghtader, Jeremy; Quintero, Eileen; Zakem, Emily; Chappell, M. Jahi; Avilés-Vázquez, Katia; Samulon, Andrea; Perfecto, Ivette (2007). "Organic agriculture and the global food supply". Renewable Agriculture and Food Systems. 22 (2): 86. doi:10.1017/S1742170507001640. RingkasanNew Scientist (July 12, 2007). 
  59. ^ Connor, D. J. 2008. Organic agriculture cannot feed the world Diarsipkan 2013-05-30 di Wayback Machine.. Field Crops Res. 106: 187-190.
  60. ^ The Bichel Committee. 1999. Report from the main committee. Danish Environmental Protection Agency. Conclusions and recommendations of the Committee: 8.7.1 Total phase-out. Diarsipkan 2014-01-19 di Wayback Machine. "A total abolition of pesticide use would result in an average drop in farming yields of between 10% and 25%, at the farm level; the smallest losses would occur in cattle farming. On farms that have a large proportion of special crops, such as potatoes, sugar beet and seed grass, the production losses in terms of quantity would be closer to 50%. These crops would probably be ousted by other crops."
  61. ^ Pollan, Michael (2008-10-12). "Chief farmer". New York Times. Diakses tanggal 2008-11-15. 
  62. ^ http://www.scientificamerican.com/article/organic-farming-yields-and-feeding-the-world-under-climate-change/
  63. ^ Verena Seufert, Navin Ramankutty & Jonathan A. Foley 2012. Comparing the yields of organic and conventional agriculture. Nature Nature 485, 229–232
  64. ^ Chavas, Jean-Paul; Posner, Joshua L.; Hedtcke, Janet L. (2009). "Organic and Conventional Production Systems in the Wisconsin Integrated Cropping Systems Trial: II. Economic and Risk Analysis 1993–2006". Agronomy Journal. 101 (2): 288. doi:10.2134/agronj2008.0055x. 
  65. ^ Organic food more expensive than food from traditional agriculture
  66. ^ "Phillipe Renard". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-17. Diakses tanggal 2013-12-17. 
  67. ^ Another example are the "Voedselteams" in Belgium, basically packets with vegetables from community supported agriculture, which are sold at low prices
  68. ^ Morison, James, et al (2005). "Survey and Analysis of Labor on Organic Farms in the UK and Republic of Ireland", International Journal of Agricultural Sustainability(3):24-43
  69. ^ Marshall, G. (1991). "Organic Farming: Should Government Give it More Technical Support?" (PDF). Review of Marketing and Agricultural Economics. 59 (3): 283–296. 
  70. ^ Pretty, J; Brett, C.; Gee, D.; Hine, R.E.; Mason, C.F.; Morison, J.I.L.; Raven, H.; Rayment, M.D.; Van Der Bijl, G.; et al. (2000). "An assessment of the total external costs of UK agriculture" (PDF). Agricultural Systems. 65 (2): 113–136. doi:10.1016/S0308-521X(00)00031-7. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-04-18. Diakses tanggal 2013-12-18. 
  71. ^ Tegtmeier, E.M.; Duffy, M. (2005). "External Costs of Agricultural Production in the United States" (PDF). The Earthscan Reader in Sustainable Agriculture. 
  72. ^ New Zealand's Ministry of Agriculture and Forestry. "A Review of the Environmental/Public Good Costs and Benefits of Organic Farming and an Assessment of How Far These Can be Incorporated into Marketable Benefits". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-10-15. Diakses tanggal 2008-04-20. 
  73. ^ Stolze, M.; Piorr, A.; Häring, A.M. and Dabbert, S. (2000) Environmental impacts of organic farming in Europe. Organic Farming in Europe: Economics and Policy Vol. 6. Universität Hohenheim, Stuttgart-Hohenheim.
  74. ^ Hansen, Birgitt (2001). "Approaches to assess the environmental impact of organic farming with particular regard to Denmark". Agriculture, Ecosystems & Environment. 83 (1–2): 11–26. doi:10.1016/S0167-8809(00)00257-7. 
  75. ^ Department for Environment Food and Rural Affairs. "Assessment of the environmental impacts of organic farming" (PDF). Diakses tanggal 2009-09-29. 
  76. ^ Johnson, KA; Johnson, DE (1995). "Methane emissions from cattle". Journal of animal science. 73 (8): 2483–92. PMID 8567486. 
  77. ^ Capper, J. L.; Cady, R. A.; Bauman, D. E. (2009). "The environmental impact of dairy production: 1944 compared with 2007". Journal of Animal Science. 87 (6): 2160–7. doi:10.2527/jas.2009-1781. PMID 19286817. 
  78. ^ Hester, Ronald (2007). Biodiversity under threat. Royal Society of Chemistry. hlm. 16. ISBN 978-0-85404-251-7. 
  79. ^ "Pesticides in the Diets of Infants and Children". Nap.edu. 2003-06-01. Diakses tanggal 2012-06-12. 
  80. ^ DOI:10.1021/jf980332b
    Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual
  81. ^ Beckerman, Janna. "Using Organic Fungicides". Planet Natural. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-06-14. Diakses tanggal 2009-02-05. 
  82. ^ "Trends in the Potential for Environmental Risk from Pesticide Loss from Farm Fields". USDA Natural Resources Conservation Service. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-07-12. Diakses tanggal 2007-09-29. 
  83. ^ Kemper, Katherine (2010). Addressing Add Naturally. Xlibris, Corp. hlm. i. ISBN 978-1-4535-6052-5. 
  84. ^ a b Smith-Spangler, C (September 4, 2012). "Are organic foods safer or healthier than conventional alternatives?: a systematic review". Annals of Internal Medicine. 157 (5): 348–366. doi:10.7326/0003-4819-157-5-201209040-00007. PMID 22944875. 
  85. ^ a b c d e Magkos F; Arvaniti, F; Zampelas, A (2006). "Organic Food: Buying More Safety or Just Peace of Mind? A Critical Review of the Literature". Critical reviews in food science and nutrition. 46 (1): 23–56. doi:10.1080/10408690490911846. PMID 16403682. 
  86. ^ a b Bourn D, Prescott J (2002). "A comparison of the nutritional value, sensory qualities, and food safety of organically and conventionally produced foods". Crit Rev Food Sci Nutr. 42 (1): 1–34. doi:10.1080/10408690290825439. PMID 11833635. 
  87. ^ Kouba, M (2003). "Quality of organic animal products". Livestock Production Science. 80: 33–40. doi:10.1016/S0301-6226(02)00318-4. 
  88. ^ a b Blair, Robert. (2012). Organic Production and Food Quality: A Down to Earth Analysis. Wiley-Blackwell, Oxford, UK. ISBN 13: 9780813812175
  89. ^ Williams, C. M. February 2002. Nutritional quality of organic food: shades of grey or shades of green? Proceedings of the Nutrition Society. 61(1): 19–24
  90. ^ Comparison of composition (nutrients and other substances) of organically and conventionally produced foodstuffs: a systematic review of the available literature Diarsipkan 2012-12-03 di Wayback Machine., Food Standards Agency.
  91. ^ Dangour A et al (2009) Comparison of putative health effects of organically and conventionally produced foodstuffs Diarsipkan 2009-10-15 di Wayback Machine. Report for the UK Food Standards Agency
  92. ^ Curl, C. L.; et al. (2003). "Organophosphorous Pesticide Exposure of Urban and Suburban Preschool Children with Organic and Conventional Diets" (PDF). Environmental Health Perspectives, 111(3). Diarsipkan dari study versi asli Periksa nilai |url= (bantuan) tanggal 2010-04-18. Diakses tanggal 2007-11-03. 
  93. ^ Lu, Chensheng; et al. (2006). "Organic Diets Significantly Lower Children's Exposure to Organophosphorus Pesticides" (PDF). Environmental Health Perspectives 114(2). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2006-05-14. Diakses tanggal 2007-11-04. 
  94. ^ l'Hirondel, J. and J.-L. l'Hirondel. 2002. Nitrate and man: toxic, harmless or beneficial? CABI, Wallingford. 168 pp.
  95. ^ Johnston, A. E. (1986). "Soil organic-matter, effects on soils and crops". Soil Use Management. 2 (3): 97–105. doi:10.1111/j.1475-2743.1986.tb00690.x. 
  96. ^ ARS (2007) Organic Farming Beats No-Till?
  97. ^ Seattle PI (2008). The lowdown on topsoil: it's disappearing
  98. ^ "No Shortcuts in Checking Soil Health". USDA ARS. Diakses tanggal 2007-10-02. 
  99. ^ a b c LaSalle, T. and P. Hepperly (2008). Regenerative Organic Farming: A Solution to Global Warming. Rodale Institute.
  100. ^ Hepperly, Paul, Jeff Moyer, and Dave Wilson. “Developments in Organic No-till Agriculture.” Acres USA: The Voice of Eco-agriculture September 2008: 16-19. And Roberts, Paul. “The End of Food: Investigating a Global Crisis.” Interview with Acres USA. Acres USA: The Voice of Eco-Agriculture October 2008: 56-63.
  101. ^ Meleca (2008). The Organic Answer to Climate Change.
  102. ^ Goldberg, Bob. "The Hypocrisy of Organic Farmers". AgBioWorld. Diakses tanggal 2007-10-10. 
  103. ^ Leonard, Andrew. "Save the rain forest -- boycott organic?". How The World Works. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-13. Diakses tanggal 2007-10-10. 
  104. ^ Tilman, D; Fargione, J; Wolff, B; d'Antonio, C; Dobson, A; Howarth, R; Schindler, D; Schlesinger, WH; Simberloff, D; Swackhamer, D (2006-03-21). "Forecasting Agriculturally Driven Global Climate Change". Science. 292 (5515): 281–4. Bibcode:2001Sci...292..281T. doi:10.1126/science.1057544. PMID 11303102. Diakses tanggal 2007-09-30. 
  105. ^ Kramer, SB; Reganold, JP; Glover, JD; Bohannan, BJ; Mooney, HA (2006-03-21). "Reduced nitrate leaching and enhanced dentrifier activity and efficiency in organically fertilized soils". Proceedings of the National Academy of Sciences. United States National Academy of Sciences. 103 (12): 4522–7. Bibcode:2006PNAS..103.4522K. doi:10.1073/pnas.0600359103. PMC 1450204 . PMID 16537377. Diakses tanggal 2007-09-30. 
  106. ^ Yoon, Carol Kaesuk (January 20, 1998). "A "Dead Zone" Grows in the Gulf of Mexico". New York Times. Diakses tanggal 2007-11-04. 
  107. ^ Beman, M. (2005). "Agricultural runoff fuels large phytoplankton blooms in vulnerable areas of the ocean" (PDF). Nature 25(2). Diakses tanggal 2007-11-04. 
  108. ^ Alföldi, Thomas; Lockeretz, William; Niggli, Urs; Movements, International Federation of Organic Agriculture (2000). Environmental impact and macro-economic feasibility of organic agriculture in the Danube River Basin. Proceedings of the 13th International IFOAM Conference, p. 160-163. ISBN 978-3-7281-2754-9. Diakses tanggal 2007-11-04. 

Bahan bacaan terkait sunting

Pranala luar sunting